John Preston mengklaim bahwa filsafat Paul Feyerabend setelah tahun 1970-an, yakni filsafatnya tentang tema-tema filsafat Popper membuatnya menjadi Popperian (penganut filsafat Karl Raimund Popper) yang mengecewakan. Preston menganggap bahwa Feyerabend menjadi skeptik, relativistik dan anarkis literal karena anggapannya tentang kegagalan filsafat Popper. Dalam artikel ini, Robert P. Farrell yakin bahwa anggapan Preston tersebut salah, karena tuduhan terhadap Feyerabend tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan, mengingat perkembangan filsafat Feyerabend yang berkomitmen untuk melakukan kritik pada tema-tema yang diusung Popper, yakni penolakan terhadap metodologi spesifik untuk membebaskan metolodogi pluralistik. Mengusung metodologi pluralistik tidak membuat seseorang menjadi skeptic, relatifistik, atau anarkis literal. Feyerabend bukanlah Popperian yang mengecewakan, tetapi dia adalah pemegang teguh pluralistik Popperian.
Menurut Farrell, Preston tidak menempatkan Feyerabend dalam kaitannya dengan pernyataan Popper bahwa norma dan standar metodologi adalah masalah keputusan, baik normative maupun aksiologis. Feyerabend memahami metodologi tersebut dalam pemahaman aksiologis, dan sampai pada kesimpulan yang menolak filsafat Popper.
Antara Normativitas Aksiologis Popper dan Feyerabend
Filsafat ilmu Popper menganggap bahwa harus ada kriteria yang membatasi ilmu dari pseudo-ilmu (ilmu palsu), non-ilmu dan metafisika. Kriteria tersebut adalah falsifiability (bisa diuji, dibongkar, diperbaiki dan diganti), atau dengan kata lain sistem ilmu empiris harus harus bisa dibantah seiring dengan perjalanan waktu. Alasannya adalah bahwa falsifiability adalah sebuah proposal/usulan untuk sepakat, yang pada akhirnya tergantung pada keputusan (decisions) konvensional. Popper mengakui bahwa ilmu dapat diketahui dengan standar konvensionalisme. Prinsipnya adalah memilih sistem yang paling simpel, yakni sistem klasik. Popper menganggap bahwa konvensionalisme adalah sistem yang mandiri dan bisa dipertahankan, serta tidak mungkin ada inkonsistensi dalam penerapannya. Keputusan (decision) untuk memilih salah satu metodologi berdasarkan alasan pragmatis dan aksiologis. Oleh karena itu, mungkin saja falsikasionalisme Popper bisa lebih bagus dalam memproduksi ilmu daripada konvensionalisme atau instrumentalismenya. Bahkan Popper menganggap falsifikasinya tidak mungkin tergoyahkan, karena ia menganggapnya sebagai anti-dogmatis, terbuka, dan lebih bagus. Dengan falsifikasi, kita akan mendapat pengalaman yang luar biasa, karena teori menjadi tiada berujung dan tiada habisnya. Popper beralasan bahwa falsifikasinya tidak ingin menolak alternatif metode dengan menunjukkan inkonsistensinya, tetapi ia berargumen bahwa ilmuan akan lebih baik dalam memproduksi ilmu jika menggunakan falsifikasi.
Sementara Feyerabend dalam awal karir kefilsafatannya mengikuti dan menerima normativitas aksiologis Popper. Feyerabend menganggap bahwa epistemologi diterima atas dasar keputusan etis, yakni mana di antara semua teori dan metodologi yang lebih baik, lebih kritis dan lebih menyenangkan. Feyerabend menjatuhkan kesetiannnya pada falsifikasionisme Popper dan tidak pernah membelot dari normativisme aksiologis. Jadi salah besar jika Feyerabend adalah Popperian yang mengecewakan. Hanya saja, Feyerabend tidak berhenti di situ. Feyerabend memikirkan implikasi dari keberlakuan normativisme aksiologis Popper, yakni teori-teori metodologis tertentu menjadi dogmatis (padahal Popper sendiri mengusung falsifikasinya di atas pluralisme metodologi yang anti-dogma).
Tujuan falsifikasi Popper adalah menghasilkan ilmu terbaik. Akan tetapi menurut Feyerabend, norma-norma dalam falsifikasi tersebut malah menjadi dogma, sehingga ilmu terbaik tidak selalu bisa dihasilkan akibat dogmatisme. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas normativisme aksiologis untuk mencari norma lain di luar itu sehingga dapat terhindar dari dogma.
----------------------------------
Pada tahun 1960-an, Feyerabend menjadi pendukung metodologi pluralistik Popper yang bermuara pada falsifiability. Sekalipun pluralisme adalah bagian dari filsafat Popper, tidak ada yang lebih banyak mengusung pluralisme daripada Feyerabend. Ia menekankan ilmuan agar kritis terhadap teori dan metodologi yang tidak kompatibel. Menurut Feyerabend, falsifikasi Popper tidak mungkin ada tanpa pluralisme. Singkatnya, Feyerabend percaya bahwa pluralisme sangat penting tidak hanya bagi Popper terhadap tujuan kritis, tetapi juga resolusi metodologis dari falsifikasionisme.
Pada mulanya, Feyerabend tidak mempermasalahkan metodologi pluralistik dalam metodologi falsifikasi Popper. Akan tetapi, dalam tulisannya dia memandang bahwa metode tersebut membuat kita tidak kritis lagi, Feyerabend menganggap pentingnya ‘ketidakkonsitenan’, ‘ketumpangtindihan’, dan teori-teori empiris agar bisa lebih kritis. Materialisme tidak boleh disingkirkan begitu saja, Feyerabend menganggapnya penting untung ditolak dan dipertahankan. Di satu sisi dia menolak sebuah teori metodologi karena menganggapnya tidak baik, akan tetapi dia juga menerimanya agar tidak terbuai dalam ‘bahasa sehari-hari’ yang biasa.
Feyerabend kemudian menyadari masalah dalam filsafatnya pada tahun 1964 dalam artikelnya tentang realisme dan instrumentalisme. Feyerabend berpendapat bahwa usulan Osiander untuk hipotesis Copernicus secara instrumentalistik membuatnya bertahan. Akan tetapi jika hal tersebut bisa diterima secara realistic, maka hal tersebut juga harus ditolak karena telah ada pemalsuan atau modifikasi. Dalam hal ini, Feyerabend menganggap adanya argument empiris yang melawan interpretasi realistik dan instumentalistik. Akan tetapi Feyerabend tetap menganggap bahwa realisme adalah pilihan terbaik. Di sini lah Feyerabend mulai mempertanyakan falsifikasi Popper. Motivasi dari perubahan sikapnya ini adalah agar kritisisme dan ‘bisa diuji’ tetap ada dalam pluralisme Popper. Feyerabend menunjukkan kesetiaannya pada meta-metodologis Popper dengan mempertahankan kritisime, sekaligus mulai menolak metodologi Popper atas dasar inkonsistensi internal.
Pada tahun 1970-an profilerasi Feyerabend dan keuletannya berbuah pada kritisismenya terhadap metodologi Popper dan dianggap sebagai penganut Popper yang benar-benar kritis. Dalam artikel-artikel yang ditulisnya pada tahun-tehun ini, Feyerabend menganggap bahwa satu metodologi yang diusung oleh Kuhn (satu metodologi terbaik yang dihasilkan oleh revolusi ilmiah) atau Popper (satu metodologi terbaik yang dihasilkan oleh falsifikasi) tidak lah cukup untuk membangun metodologi ilmu pengetahuan yang utuh, sehingga hal tersebut dianggap Feyerabend sebagai ‘pelipur’ untuk metode tertentu.
Feyerabend mempunyai dua cara pandang: konseptual dan historis. Secara konseptual, Feyerabend menyimpulkan bahwa kritik hanya mungkin terjadi jika ada alternatif pandangan, sehingga falsifikasi juga tidak bisa lepas dari penolakan untuk melestarikan pluralisme dan kritisisme. Secara historis, Feyerabend menemukan bahwa ilmu terbaik terkadang bisa ditemukan oleh metodologi standar Popper, tetapi terkadang juga tidak, mengingat pendapat Popper yang mengatakan bahwa kita bisa menilai falsifikasionalisme dengan melihat konsekuensi yang ditimbulkannya.
Yang perlu ditekankan adalah bahwa Feyerabend tetap merupakan pengikut setia Popper pada tahap meta-metodologi: bahwa Feyerabend, sebagaimana Popper, tetap meyakini bahwa tujuan ilmu pengetahuan ada dalam perkembangan penjelasan kritik. Perbedaannya, Feyerabend kemudian menyadari dan percaya bahwa pluralisme adalah konsep yang lebih mendalam berdasarkan kritisisme, yakni lebih dalam daripada pluralisme Popper yang selama ini dikenal oleh Feyerabend.
Disarikan dari tulisan Robert P. Farrel, will the Popperian Feyerabend please step forward: pluralistic, Popperian themes in the philosophy of Paul Feyerabend
Sumber: Journal of International Studies in the Philosophy of Science, 2000, Oktober, vol : 14, 3, p. 257-266
No comments:
Post a Comment