Biarkan aku memanggil kekasihku
Jangan halangi aku, jangan halangi aku...
dari keindahan dua hati yang menyatu
Jika kau tidak membiarkanku,
***
Aku tidak tahu kenapa. Tiba-tiba aku di sini. Di
ruangan yang menyempit, semakin menyempit. Hampir- hampir ia menggencetku dari
semua sisi. Hening... Hanya detak jantung dan rintik hujan yang aku dengar,
sendu. Sesosok putih berkelebat, diikuti ribuan kunang-kunang yang membentuk
sebuah jembatan. Kulihat dia menatapku seperti seonggok daging. Dia mendekat,
mulutnya yang kecil tiba-tiba menganga, melebar lima kali lipatnya, bersiap
memakanku. Petir menggelegar. Sontak ia membuyarkan lamunanku.
Astaghfirullah, aku terlalu banyak melamun. Rintik di luar mulai menderu, lebat. Aku melongok ke luar.
Astaghfirullah, aku terlalu banyak melamun. Rintik di luar mulai menderu, lebat. Aku melongok ke luar.
“Kemari, bermainlah
denganku, menarilah di tengahku, akan kulepas semua beban di pundakmu,”
seolah ia memanggilku.
“Tidak, dekapanmu sedingin kematian,” ujarku seolah menjawab.
“Tidak, dekapanmu sedingin kematian,” ujarku seolah menjawab.
Guyurannya semakin lebat, angin mulai bersorak, mungkin badai akan menyeretku jika aku tak segera menimpali.
“Baiklah, aku
akan menikmatimu saja,” aku melunak pada panggilannya, aku tak tega dengan
rengekan alam.
Sesaat kemudian aku sudah ada di pelataran, hujan
mengantarkanku pada ruang-ruang hampa di masa lalu, waktu-waktu yang terbuang
di kolong langit. Pikiranku lari bersama kekalutan, menjelajah kenangan. Tidak,
aku tidak menyesal. Aku hanya sedikit kecewa pada aliran air yang terlalu
bergelombang, aku bisa menjangkau tepian seberang, tapi aku tak mau tenggelam.
“Apa kau bisa
menanggung bebanku, aku bahkan tak bisa menjilat sikuku,” tanyaku pada hujan.
Tak ada jawaban.
Petir menggelegar sejurus. Aku tak tahu apa maksudnya. Tetap tak ada jawaban.
Ia menggelegar lagi, dan lagi. Mungkin ia coba merangkai kata. Tapi aku tak
dapat menjangkaunya. Telingaku tak setajam kelelawar, tak sejernih bayi.
Aku masuk ke
dalam. Sibuk dalam pikiran yang kutiggalkan tadi. Aku sadar, alam tak bisa menjadi tumpuan. Aku harus
menyelesaikannya sendiri. Kau tak tahu apa yang menggelayuti pikiranku, saat
ini.
Kembali aku duduk di depan komputer. Mengukir bayangan
yang berkecamuk. Tak terasa waktu berlalu begitu cepatnya. Senin sudah
menunjukkan dini hari. Aku masih terpaku pada tugas-tugas dengan jari-jari yang
melemah. Aku putuskan untuk melanjutkannya besok. Entah apa tadi yang kubuka di
internet, gambar ini menggelitikku. Daun dan ranting pohon yang mensketsakan
sesosok perempuan. Membentuk mata, hidung, dan bibir. Mewakili kegelisahanku
selama ini. Sudut hati yang kosong. Jiwa yang merantau. Ruang rindu yang
menganga. Benar. Bukan beban dunia yang kupikul. Bukan gunung yang kupanggul. Kau
lah yang selama ini bergelayut, membuat tengkukku melutut.
Sebelum beranjak ke peraduan. Kupandangi sejenak
gambar itu. Kubuka akun facebook-ku,
lalu ku-upload gambar itu. Ya, di
sanalah kau seharusnya berada. Biarlah dunia tahu apa yang kurindu. Apa yang
aku tidak tahu. Siapakah dirimu? Perempuan yang akan menemaniku bahkan ketika
aku terpuruk, ketika pangkuan tak lagi hangat kecuali pangkuanmu, ketika pundak
tak lagi lapang kecuali pundakmu. Aku tak tahu. Mungkin jaring-jaring internet
bisa melacak identitasnya melalui rumus-rumus algoritma. Atau mungkin profesor google bisa memberi petunjuk di mana dia
berada. Aku sendiri tak sanggup. Aku berharap orang yang melihatnya cepat-cepat
memberitahuku. Ah, hanya Tuhan yang tahu.
****
Sejak saat itu, beberapa bulan telah berlalu. Aku
masih disibukkan dengan tugas-tugas yang tak pernah usai kecuali setelah tali
topi toga menjuntai. Masih dengan dunia internet yang sudah kuputuskan menjadi
awal usahaku, aku tidak akan berhenti di sini. Dunia telah membukakan mataku. Aku
sudah terlanjur minum segelas air laut. Dahaga ini menuntutku untuk meminum
segelas lagi, mungkin dua, atau tiga, atau satu galon. Masih banyak dunia yang
harus kujelajahi, di luar sana. Dunia asing yang mengolokku ketika aku
terhempas. Barcelona-Makkah, Paris-Moscow, Roma-Tokyo, mungkin banyak lagi.
Kuharap suatu saat ke sana, bersama tulang rusukku yang sekarang belum
kutemukan.
Pagi menjelang siang. Aku tidak ingat hari apa dan
tanggal berapa. Yang jelas hari itu tidak ada kuliah. Entah apa yang
menggangguku, ada sebuah bisikan lembut di telingaku, seperti hembusan angin, atau
seperti tiupan. Aku mendengarnya, lirih.
Bisikan surga? Atau mungkin sebuah isyarat yang belum mampu
kuterjemahkan.
Setelah shalat dhuha beberapa raka‘at, aku kembali ke
depan komputer. Menyelesaikan makalah demi makalah. Tiap hari adalah presentasi
dan diskusi. Sebenarnya aku muak dengan hal itu. Bagaimana mungkin waktu
beberapa jam hanya dihabiskan untuk bercuap-cuap. Kata-kata berbusa tanpa
bentuk yang jelas. Mengapa ruang kelas tidak menjadi eraman ide-ide, menetaskan
hal-hal yang berguna, nyata. Ah, hanya protes dalam hati yang aku bisa. Jika
kusampaikan pada mereka pun tidak lebih berguna.
Kulanjutkan menyusun kata. Ditemani makanan kecil, air
putih, dan tentu saja, facebook. Aku
tidak tahu apakah facebook bisa
membantuku keluar dari masalah. Yang jelas, aku jarang membuat update status. Bagiku, ia tak lebih
berguna dari handphone. Perlakuannya
juga tidak jauh berbeda. Kadang dia masih on
tapi aku sudah tidur atau meninggalkannya untuk menghirup udara.
Beberapa jam berlalu, seperti biasanya. Tiba-tiba
tanda chat menunjukkan warna merah
berangka satu. Sebuah pesan.
“Kamu dulu lulusan AS ya?”
“Iya,” jawabku.
“Kenapa?,” aku menimpali.
“Gapapa,”
balasnya.
Chat berhenti di situ. Ehm kenapa ya tiba-tiba dia
bertanya seperti itu. Aku ingat kalau dulu pernah inbox seseorang, perempuan. Iya, orang yang sama. Tapi beberapa
bulan, mungkin setengah tahun aku tidak tahu kabarnya. Seolah menghilang dari
peredaran. Muncul sesekali di facebook pun
tidak. Mungkin dia bosan, seperti aku yang sudah jenuh dengan facebook. Atau mungkin dia sudah menikah
dan punya anak sehingga tidak sempat bergalau ria di jejaring sosial. Siapa
tahu, aku hanya bisa menduga.
“Bisa minta
tolong ga?,” katanya lagi.
“Minta tolong
apa?,” tanyaku.
“Tolong ‘like’
fotonya temenku, dia tadi minta tolong ke aku untuk nyebarin ke temen-temenku
untuk di-like.” Jawabnya.
Lalu dia memberi sebuah tautan. Aku klik tautan
tersebut dan memberi ‘like’ seperti
permintaannya.
“Udah,”
kataku.
“Ok makasih ya,”
jawabnya.
Chat berakhir. Aku mulai bertanya-tanya,
menghubung-hubungkan hal-hal yang samar-samar. Saat aku menerobos satu lorong, lorong
lain terlompati. Saat aku mencari isyarat yang mungkin tertinggal, aku sudah
terjebak dalam anomali dan dugaan tak bertuan. Maafkan aku Tuhan, aku tak
bermaksud mendahului takdirmu, kuserahkan semua pada-Mu.
****
Hari berikutnya. Bisikan itu mulai jelas. Aku mulai
bisa mengankap, menerjemahkan sekalipun hanya satu kata. Kali ini hanya kata “tahajud”. Tak banyak memang. Tapi itu
lebih dari cukup untuk membuatku berani dalam melangkah. Aku akan berpijak pada
kemungkinan-kemungkinan. Karena tidak ada kemungkinan yang nol persen salah
atau nol persen benar. Mungkin ini satu anak tangga untuk anak tangga
berikutnya.
Aku coba menerjemahkan bisikan itu lebih jauh, tapi ada
sesuatu yang mendorongku dari belakang. Aku terhuyung. Siapa pula yang
menggangguku. Aku tidak pernah mempunyai musuh. Penasaran, aku tengok ke
belakang, tidak ada siapa-siapa. Aku keluar. Berjalan di sekeliling, mencari siapa
yang mendorongku barusan. Ah, hanya khayalanku saja.
Aku masuk ke dalam. Duduk di depan komputer. Membuka
file-file tugas. Sesekali berselancar menjaring berita-berita terbaru surat
kabar online, facebook juga. Lalu
pandanganku terpaku di pojok kanan halaman obrolan facebook. Dia
juga sedang online. Aku ragu, memulai
obrolan atau tidak. Memulai berarti membuka kemungkinan. Tidak memulai berarti
menutupnya. Akhirnya kuberanikan memulai obrolan. Tapi dengan kata apa aku
mengawalinya? Oh iya, kemarin dia memintaku memberikan ‘like’, kenapa aku tidak memintanya juga? Bodohnya aku.
“Eh boleh minta
tolong ga,” pintaku memulai obrolan.
Beberapa detik berlalu. “Boleh, minta tolong apa?,” tanyanya.
“Tolong buka
tautan ini trus kasih ‘like’ di pojok kanan atas,” jelasku.
Beberapa saat kemudian. “Sampun,” dia memenuhi permintaanku. Ah, kenapa tiba-tiba hati ini
merasa senang, senyum tak sengaja tersungging.
Keesokan harinya, aku memulai obrolan lagi, karena dia
tidak pernah memulai lagi sejak saat itu. Aku terlihat seperti cowok murahan.
Padahal sebelumnya aku tidak pernah memulai obrolan dengan perempuan kecuali
ada keperluan mendesak, tugas, atau membalas pesan yang masuk, mungkin sesekali
pernah. Biarlah. Setidaknya dia layak memperlakukanku seperti itu. Beberapa
kata pun mulai berbalas-balasan. Hari berikutnya obrolan mulai lebih renyah.
“Iya aku tidurnya
mesti malem, tapi sekarang belajar tidur lebih awal, biar lebih teratur,”
terangnya. Tak lupa dia menyelipkan tawa di akhir atau terkadang berupa smiley dan emoticon. Aku juga begitu. Kran sudah terbuka, tinggal bagaimana
menyaringnya.
“Aku kalo ada bola
mesti bangun, eh kamu suka conan ya?,” tanyaku.
“Iya, aneh ya
orang jaman sekarang, kalo ada bola jam piro wae semangat bangunnya. Giliran
tahajud males, padahal jelas mana yang lebih bermanfaat, tapi kamu rajin ding
yaa. Iya seneng banget. Kok tau?,” tanyanya penasaran.
“Kamu sering tahajud ya? Aku dulu ada yang
ngingetin & bangunin, tapi sekarang ga ada, jadinya kadang ga tahajud,
hehe. Iya tahu, aku punya the movie-nya 1-16,” jelasku, sok tahu, sok dekat.
“Kalo aku yang
bangunin ya cuma alarm. Wah, ngopy donk,” pintanya. Aku masih belum
mengerti isyarat itu. Sepertinya, ini adalah awal dari sebuah pertemuan.
Beberapa tautan putus yang coba kusambung lagi.
“Kalo alarm yang bangunin,
kadang tak matiin lagi. Kalo ada yang nemenin jadi semangat yang mau tahajud.
Hehe, bolah, kapan-kapan ya…,” jawabku sedikit memancing. Aku memang sesekali bangun malam shalat tahajud.
Hanya saja, aku memang butuh motivasi
atau teman, teman yang mempunyai satu visi.
“Ya ayo tak
temenin. Iya, besok-besok aku ngopy punyamu ya…,” pintanya. Ah, ada sedikit
rasa lega di dadaku. Entah apa yang sedang ia rasakan. Tapi aku merasa ada
sedikit gejolak yang hadir, entah apa gejolak itu. Tak terasa aku berucap
syukur Alhamdulillah.
“Ok. Wah
beneran? Tapi gimana caranya?,” tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku ingin
meminta nomor handphone-nya tapi
takut dikira lancang.
“Hmmm…mau tak
sms tak bangunin po piye? Biar aku juga ada temennya jadi lebih semangat,”
jelasnya memberi tawaran. Dug! Seolah
ada palu yang tiba-tiba mengetok jantungku. Apa ini yang disebut-sebut oleh
pepatah ‘pucuk dicinta ulam pun tiba’?
Aku memang membutuhkan motivasi, membutuhkan teman agar lebih semangat
beribadah. Tapi ini lebih dari yang aku bayangkan. Seorang perempuan yang
mempunyai motivasi sama. Ini lebih dari cukup untuk sebuah syarat.
“Ehmm…boleh lah,” jawabku datar. Padahal perasaanku saat itu sedang meluap-luap tak
terbendung. Aku senang. Hampir saja aku melompat kegirangan. Kemudian aku
bertanya berapa nomor handphone-nya,
beberapa saat kemudian, setelah mengurusi keponakannya yang bangun, dia
memberikan nomornya.
“Alhamdulillah,” ucapku dalam hati. Menit-menit selanjutnya kami
membicarakan hal-hal teknis, seperti jam berapa biasanya bangun untuk shalat
tahajud, jam berapa sebaiknya membangunkan, dan sebagainya.
Aku tidak akan melupakan malam ini, Rabu, 10 April
2013. Malam di mana
tautan-tautan yang terputus mulai disambungkan. Malam di mana Allah memberikan
isyarat yang tak terbantahkan. Mungkin ini makna kata yang dibisikkan tadi: “Tahajud”, ya, mungkin tahajud bisa mengawali sesuatu ikatan
suci yang diridlai-Nya. Mungkin tahajud dapat menjembatani dua hati yang telah
lama terpisah, dua jiwa yang haus akan pancaran cahaya Tuhan. Semoga. Aku tidak
tahu apakah ini juga berhubungan, dia lahir tanggal 10 Januari, aku tanggal 10
Maret, dan awal pertautan kami adalah 10 April. Mungkin aku lebih menyukai lagi
angka 10 di masa depan. Aku ingat akan sebuah pesan: “jika mulai melangkah
menuju kebaikan, mulailah dengan
bismillahirrahmanirrahim.” Aku pun melakukannya.
Kamis dini hari, aku mengawali acara
bangun-membangunkan-ingat-mengingatkan-semangat-menyemangati. Kebetulan saat itu sedang ada pertandingan sepak bola
yang aku tunggu. Sehingga aku yang pertama ‘bertugas’ membangunkan. Tepat pukul
02.30, seperti permintaannya, aku mengirimkan pesan ‘semangat 45’ agar dia bangun shalat tahajud. Beberapa saat kemudian
dia membalas dengan pesan ‘semangat 46’. Aku tidak tahu, apa dia bangun karena
pesanku, atau sudah bangun sebelumnya, atau tidak tidur. Entahlah, yang aku
tahu aku sudah membayar kepercayaannya kepadaku. Kemudian aku beranjak ke kamar
mandi, ambil wudlu lalu tahajud. Aku tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan yang
dia berikan, semangat yang coba dia bangun. Sekalipun tetap tujuannya adalah lillahi ta’ala. Terima kasih, Tuhan.
Jam menunjukkan pukul 04.00. Dia kembali mengirimiku
pesan:
“Eh sekarang
kamis lho, puasa yuuk,” ajaknya bersemangat.
“O iya, ayuuk,”
jawabku tak kalah semangat. Ternyata benar firman Tuhan, bila kita bersyukur
akan nikmat yang diberikan, Allah pasti akan menambahkan nikmat-Nya. Benar
saja, semangat tahajud aku dapatkan, sekarang semangat puasa. Betapa
bersyukurnya aku, Tuhan. Tapi aku bingung, beberapa menit lagi subuh sudah
menjelang. Jika aku pergi ke warung, waktu subuh akan terlebih dahulu menggapaiku.
Akhirnya kuputuskan untuk membeli roti di minimarket. Aku tidak tahu kalau yang
mengingatkanku ternyata hanya sahur dengan air putih. Ah! betapa malunya aku.
***
Wahai angin…
Jika ia datang pada malam yang dingin
Hangatkan anginmu seperti selimut
Jangan sampai ia sakit sebab rasa dinginmu
Karena saat ini...
aku tak dapat mengusir dingin yang dia rasakan
Pelukku belum diijinkan
Dekapku belum dihalalkan
***
Kamis 11 April 2013. Pagi menjelang siang, aku
bersiap-siap pergi ke kampus. Bergegas aku membawa print out tugas yang akan kupresentasikan. Aku tergesa-gesa, lupa
makan, lupa memberi sedekah dengan dhuha. Aku berangkat dengan satu fokus:
makalah.
Sesampainya di kampus, aku mulai memberikan presentasi,
bersama kedua temanku. Sebagaimana biasanya, antusias teman-teman sedikit
mengobati rasa capekku. Tanya-jawab kemudian berlangsung. Di tengah-tengah tanya-jawab
itu, hp-ku berbunyi, sms rupanya. Aku sempatkan membukanya.
“Jangan lupa
shalat dhuhanya…,” bunyi pesan itu. Kontan aku sumringah. Betapa nikmat
Allah itu tiada batas, Ia balas berkali lipat hanya karena kita mengucapkan
syukur. Jam menunjukkan pukul 11.00. Jika aku tidak keluar sekarang, maka waktu
dhuha akan terlewat. Akhirnya kuberanikan meminta ijin sebentar untuk shalat
dhuha di mushala kampus. Aku tidak mau ikatan ini rapuh karena aku tidak
melaksanakan apa yang dia pesankan.
Hari-hari berikutnya: kamis sampai kamis lagi. Kami
saling mengingatkan untuk shalat tahajud, membaca al-Qur’an, puasa, shalat
dhuha. Sudah tak terhitung berapa pesan yang masuk dan terkirim menuju dan
melalui hp-ku, hp-nya. Atau pesan di jejaring facebook. Satu-persatu tema kami bahas. Maksud hati ingin
mengenalnya lebih jauh. Gayung bersambut. Dia pun antusias saat aku bertanya sesuatu
atau mengajukan sebuah tema. Ketika aku tanya apa dia suka sepak bola, dia
menjawab tidak suka. Katanya, dia pusing melihat orang mondar-mandir merebutkan
satu bola. Ketika aku membahas tentang bahasa, dia ternyata juga menguasai
beberapa bahasa. Hanya saja dia tidak terlalu suka dengan hal-hal yang
melibatkan hafalan. Dia sangat menyukai novel, menyukai baca. Aku senang
mendengarnya. Karena aku pun suka. Aku bertanya tentang keluarganya, berapa
saudaranya. Dia juga bertanya hal yang sama. Sampai kemudian aku bertanya
sesuatu yang penting.
“Oh iya, conan-nya ni gimana?,” tanyaku.
“Baiknya gimana? Kapan-kapan wes tak ngopy ke
sana kalo ada kesempatan,” jawabnya memancing. Aku punya ide yang lebih
baik.
“Biar aku aja yang nganterin,” aku
menawarkan diri. Sudah lama aku ingin bertemu dengan orang yang menghidupkan
kembali duniaku, semangat ibadahku. Satu minggu mengenalnya sudah seperti
setahun aku menjalin komunikasi. Aku tidak tahu mengapa hati ini begitu dekat.
Benar kata orang, ketika pulau seberang tak lagi terasa jauh, maka di sanalah
takdirmu tertanam.
“Rumah kamu di mana ya?,” tanyaku kembali.
“Pleret. Itu
perempatan jejeran Jl. Imogiri Timur. Itu masih ke timur…,” jawabnya
menjelaskan. Aku mulai bingung. Aku tidak tahu jejeran itu di mana. Akhirnya
kubuka wikimapia.org. Ooh…ternyata aku pernah melewatinya beberapa kali.
Kemudian aku bertanya lebih detail lagi. Dia pun menjelaskan sampai aku
mengerti betul. Dia juga memberi petunjuk, mulai dari makam, mushala, bengkel,
masjid, dan perempatan. Kuingat-ingat petunjuknya. Yup! Tinggal menunggu kesempatan.
***
Aku tertinggal saat kapal berlayar
Mereka pergi sedang tangisku tak mengering
Membawa jiwa dan ragaku
Wahai penawar segala dahaga
Obati rasa yang mungkin tak pantas ini
Jika kau berkenan, tautkan rasa ini dengan tali
Sambungkan ke dalam lubuk hatinya
***
Sudah lama bisikan itu menghilang. Aku tak dapat menangkapnya
lagi. Aku coba mengingat-ingat. Karena mengundangnya adalah hal yang mustahil.
Hanya ‘tahajud’ kah yang bisa
kuterjemahkan? Tidak, pasti ada kata lain. Satu kata, atau dua kata lagi. Aku
butuh petunjuk, benar-benar butuh. Aku ingat pesan kyaiku dulu. Ketika pikiran
buntu, hati sempit, dan semuanya serasa sulit, ambillah wudhu, shalat lah dua
raka’at. Aku pun melakukannya.
Benar. Kali ini petunjuknya bukan sesuatu yang asing:
“CONAN”. Kenapa tidak terpikirkan olehku. Jika Conan Doyle dengan Sherlock
Holmes-nya bisa mengingat dan menerjemahkan bahkan sampai hal-hal terkecil,
atau Aoyama Gosho dengan Shinichi Kudo-nya bisa menyembunyikan fakta bahkan
yang tidak tersadar, lalu mengapa aku tidak ingat akan hal-hal yang sudah jelas
di depan mata? Ah! Tingkat
kecerdasanku memang masih berada di kisaran nol koma.
Kira-kira sudah sepuluh hari perkenalanku dengannya
berlangsung. Senin, 22 April 2013 aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya,
menemuinya. Aku tidak tahu kalau menemui dia di rumahnya berarti juga menemui
kedua orang tuanya, mas, mbak, dan keponakannya. Aku bersyukur tidak
menyadarinya di awal, karena jika aku sadar, maka jantungku tidak akan bisa menahan
detakan yang benar-benar akan sangat kencang. Setelah semua siap, pukul 18.30
aku berangkat. Bismillahi tawakkaltu
‘alallahi la haula wala quwwata illa billah. Mudah-mudahan berjalan lancar.
Amin.
Jalan Parangtritis sudah mencapai batasnya, aku belok
kiri ke jalan tembi. Lurus.
Sampai di Jalan Imogiri Barat, kemudian Jalan Imogiri Timur. Yup! Ini dia yang katanya perempatan
Jejeran. Aku lurus ke timur. Mencari petunjuk pertama: Kantor Desa Pleret.
Lapangan pertama aku lewati. Aku tidak menemukan lapangan kedua, kegelapan menghalangiku.
Beberapa puluh meter kemudian aku mulai ragu. Apa Kantor Desa sudah terlewat?
Akhirnya aku kembali, mencari petunjuk. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya. Ternyata Kantor
Desa masih 200 meter lagi. Ah! Salah
rupanya. Aku pun melanjutkan ke timur. Itu dia kantor desa. Kemudian aku belok
ke kanan. Beberapa meter kemudian aku berhenti sejenak. Mengingat-ingat. Hp-ku
berbunyi, ada pesan masuk.
“Aku shalat isya dulu ya…” Benar. Adzan
sudah berkumandang. Aku ragu, mampir ke masjid atau melanjutkan. Akhirnya
kuputuskan menunggu sejenak, lalu melanjutkan. Aku khawatir tidak bisa
menemukan. Was-was mulai merasuk. Karena apa yang ada di peta
tidak sama dengan yang ada di depan mata. Akhirnya kuingat-ingat petunjuknya.
Aku belok kiri, masuk gapura Dusun Karet. Ini dia. Lalu melewati makam. Mushala
di kanan jalan, bengkel di kira jalan, dan masjid. Ah! Terlewat lagi. Ternyata benar belokan yang tadi. Aku
berbelok. Perempatan, tapi aku masih belum menemukan di mana warung yang
dimaksud. Aku bertemu dengan para pemuda desa. Aku bertanya di mana rumah
Silvy. Ah! Ternyata benar yang tadi.
Aku masuk ke pelataran rumahnya. Ada dua rumah. Yang mana? Aku lalu bertanya
pada pemilik rumah.
“Permisi, rumah
Silvy di mana ya Mbak?,” Tanyaku.
“Silvy? Silvy siapa?? Oooh Sippy. Iya ini
rumahnya. Dia lagi shalat,” jawab wanita yang kutanya tadi. Ternyata dia
mbaknya. Ah! Sesuatu yang tidak
terduga lagi.
Aku duduk di
kursi depan.
“Ini bapaknya Silvy,” mbaknya tadi
memberitahuku bahwa orang yang baru datang dari masjid ini adalah orangtua
Silvy. Lalu aku
bersalaman dengannya. Hangat di tangannya, dingin di tanganku. Aku terlalu
gugup menyadari semua ini. Tidak kusangka aku sudah disambut oleh keluarganya.
Bapaknya lalu mempersilahkan aku masuk. Aku kemudian duduk. Degup jantungku
semakin kencang. Apakah ini pengadilan? Atau penilaian kelayakan? Baiklah,
kuhirup nafas dalam-dalam, kucoba berpikir tenang.
Bapaknya memulai pembicaraan. Menanyakan aku dari
mana. Orang mana, dan sebagainya. Beberapa menit kemudian Sang Mentari pun
datang. Aku tak menyangka. Ia berjalan dengan anggunnya. Lalu duduk di depanku.
Dia melempar senyum. Subhanallah.
Inikah senyum bidadari? Bukan. Aku belum berada di surga.
Obrolan berlanjut. Beberapa waktu kemudian, bapaknya
keluar meninggalkan kami berdua. Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Kubuka
tasku, aku berikan sesuatu padanya, dua flashdisk dan satu DVD. Dia masuk ke
dalam, lalu kembali dengan membawa laptop. Ini dia. Akhirnya ada sesuatu yang
bisa memecahkan kebuntuan. Merenyahkan suasana. Obrolan terus berlanjut. Saat
kutanya sudah jam berapa, dia menjawab dengan kikuk. Ah getaran apakah ini. Aku
tidak tahu. Beribu kata yang kupikirkan, tapi hanya beberapa kata yang terucap.
Berjuta benih yang kurasakan, tapi tak tersampaikan. Pikiranku berkecamuk. Perasaanku
tak menentu, entah apa yang dia rasakan. Dia sibuk dengan laptopnya. Aku pun
jadi serba salah. Beberapa kata terucap. Aku tidak ingat. Sebelum aku pamit,
aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya. Aku tidak tahu kenapa aku berani
berpikir seperti itu. Aku tahu ini terlalu cepat. Tapi aku akan mati penasaran
jika tak jadi kuungkapkan. Akhirnya kuberanikan diri. Setelah sekian kali gagal
terucap.
“Kalau aku suka sama kamu,
gimana, gak papa kan?,”
ujarku. Ah! Kenapa kata itu yang terucap. Padahal aku sudah memikirkan kata
yang lebih baik.
“Iya gapapa,”
jawabnya singkat. Dug! Aku tidak
mengerti. Tidak apa-apa itu bagaimana. Jawabannya memang benar. Berarti
pertanyaanku yang salah.
Waktu juga lah yang akhirnya berbicara. Aku pamit
kepadanya, kedua orang tuanya serta mas dan mbaknya. Perasaanku tidak menentu.
Antara bahagia, bingung, dan tidak tahu.
Aku pulang. Setengah jam kemudian aku sampai. Masih
tanpa jawaban. Kami kembali memulai pembicaraan melalui sms, kemudian dengan
YM, masih tanpa jawaban. Tapi dari tingkah lakunya, ungkapan perasaannya,
penjelasannya, aku tahu bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Malam itu kami akhiri dengan rasa rindu yang menjulang. Berharap bisa bertemu
lagi. Berharap bisa disatukan dalam ikatan suci berupa pernikahan.
Esok harinya. Duniaku berubah. Jam merangkak sangat
lamban. Satu jam serasa setengah hari. Kami saling melayangkan kerinduan. Ini
adalah hari terlama dalam hidupku, sehari serasa seminggu. Begitu kusampaikan.
Tapi dia merasakan kerinduan yang lebih dalam, karena sehari baginya serasa
sebulan. Kekasihku, betapa menderitanya dirimu menahan rindu. Rinduku ternyata
tak semenjulang dirimu.
Sabtu, 27 April 2013. Akhirnya kami bertemu lagi.
Melepaskan rindu setelah lima minggu bagiku, atau lima bulan baginya berlalu. Aku
mencoba bersikap wajar. Dia mungkin juga demikian. Kekasihku, seandainya kau
tahu bahwa hati ini sudah tidak kuat membendung kerinduan. Tapi hanya ini yang
bisa kutumpahkan. Andai aku boleh memelukmu, akan kupeluk dan takkan pernah
kulepaskan. Astaghfirullah, pikiran
kotor apa ini.
Aku berbincang dengan bapaknya, lagi. Beberapa tema
terlewati. Saat bidadariku masuk ke dalam, kuberanikan diri menyampaikan kepada
Bapaknya bahwa aku ingin serius dengan anak bungsunya. Tapi apa kata, tidak ada
kata penolakan atau kata persetujuan. Hanya beberapa petunjuk yang mungkin harus
aku sadari lagi. Tapi aku benar-benar merasa bahagia. Setidaknya ada pintu
masuk terbuka menuju ke sana. Apalagi ketika bapaknya menepuk pundakku ketika
pulang. Aku merasa terharu. Aku akan berusaha menanggung amanah ini.
Ya Tuhan, mimpikah aku? Jika ini mimpi, jangan
bangunkan aku. Aku benar-benar melayang. Tidak kusangka bahwa petunjuk-petunjuk
itu benar adanya. Gambar yang ku-upload itu
sekarang menunjukkan dirinya. Tidak perlu rumus algoritma atau petunjuk google.
Aku hanya percaya pada petunjuk tuhan, melalui alam, melalui bisikan, melalui
mimpi.
***
Oh iya, aku lupa mengenalkan dia padamu. Namanya
Anggra, begitu ia akrab kusapa. Nama lengkapnya Silvy Anggraini. Tahu kah kau
apa arti namanya? Silvy berarti hutan. Itu menandakan bahwa hatinya kaya akan
hikmah dan lebat akan ilmu pengetahuan. Anggraini adalah satu kata dalam bahasa
sansekerta, dia adalah salah satu tokoh dalam legenda mahabarata. Putri dari
sang bidadari. Semoga dia menjadi bidadariku, di dunia dan di surga kelak.
Amin…amin…amin.
***
Kabarkan tangis dan ratapanku wahai alam
Sirnakan kerinduanku
Aku terbuai oleh cinta dan kerinduan
Kerinduanku padamu menambah dahaga
Lara tiada tertahan
***
Siapa yang tahu akan umur seseorang?
Aku tidak akan berkhayal
Aku akan menikahimu
Walau air belum mampu kugenggam
***
Kenapa kau bertanya aku bahagia atau tidak?
Hidupku sempurna bersamamu
Apa ada kata yang lebih baik?
Coba dengarkan rintihan hujan
Dia tak pernah menyesal turun dari langit menuju bumi
Seperti aku yang tidak akan pernah menyesal
mencintaimu
Terima
kasih
Kekasihku
***
No comments:
Post a Comment