Monday, March 18, 2013

Posisi Politik Hukum Islam di dalam Politik Hukum Nasional

Saiful Bahri


Sudah menjadi fakta yang tidak bisa ditolak bahwa ada sebagian- untuk tidak mengatakan mayoritas- peraturan hukum yang belum bisa menjamin kepastian dan keadilan bagi masyarakat. Banyak kita jumpai kenyataan adanya hukum yang berwujud peraturan yang hanya memenuhi aspek kepastian tanpa memenuhi rasa keadilan. Hukum yang berlaku di negeri ini hanya tajam pada masyarakat kecil, dan seketika menjadi tumpul ketika dihadapkan pada orang-orang besar. Gampangnya, banyak sekali peraturan hukum yang masih tumpul dan belum mampu memberantas kesewenang-wenangan yang terjadi. Parahnya, saat ini, banyak peraturan hukum yang belum mampu hadir sebagai payung yang melindungi dan memberi rasa nyaman kepada masyarakat.

Tentu saja, apa yang tergambar di atas merupakan fakta yang tidak bisa ditolak keberadaannya. Untuk mengurai problem di atas, yang harus dipahami adalah bahwa hukum, yang dalam hal ini berbentuk peraturan, semuanya tidak steril dari berbagai kepentingan yang mengeintervensi kelahirannya, utamanya politik. Politik merupakan salah satu “pihak” yang sangat berperan dalam proses kelahiran sebuah peraturan hukum. Untuk itu, tidak salah kemudian, jika produk peraturan bisa dikatakan sebagai sebuah produk politik yang mempunyai tujuan atau nilai tertentu yang hendak disampaikan. 


Antara politik dan hukum terjadi hubungan yang saling berkelit-berkelindan. Politik tidak bisa dipisahkan dari hukum, dan hukum tidak bisa dipisahkan dari politik. Jika memang demikian, manakah di antara keduanya (politik dan hukum) yang paling mendominasi dan mempunyai supremasi yang lebih tinggi? Dan bagaimana pengaruh politik terhadap hukum? Mengapa politik banyak mengintervensi hukum? 


Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah sebagian dari permasalahan yang berada dalam wilayah kajian politik hukum. Untuk itu, tulisan singkat ini akan mencoba menjelaskan masalah arti dan cakupan politik hukum, yang kemudian dikorelasikan dengan politik hukum Islam dan keberadaanya dalan sistem politik hukum nasional. Namun, sebelum penulis membahas apa itu politik hukum, penulis akan memaparkan secara singkat definisi dan relasi antara politik dan hukum. 



Politik dan Hukum; Definisi dan Relasi 

Sebelum menjelaskan arti dan cakupan politik hukum, menjelaskan secara terminologis satu persatu dari dua kata tersebut, merupakan sesuatu yang niscaya. Secara terminologis, kata politik dapat diartikan sebagai pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.[1] Politik dalam arti di atas adalah politik dalam arti “mengatur” untuk melihat tujuan dan merumuskan segala keputusan. Dengan demikian, dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa unsur-unsur pokok politik meliputi: (1) Negara (state); (2) Kekuasaan (power); (3) Pengambilan keputusan (decision making); (4) Kebijakan (policy); dan (5) Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).[2]


Sementara itu, istilah hukum, secara ontologis, tiap generasi mempunyai konsepsi tersendiri mengenai hukum. Soetandyo Wignjosoebroto, sebagaimana dikutip Winardi menulis bahwa dalam sejarah perkembangan pengkajian hukum tercatat sekurang-kurangnya ada tiga konsep hukum yang pernah dikemukakan orang, yaitu: (a) hukum sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal, dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam; (b) hukum sebagai kaidah-kaidah positif yang berlaku pada suatu waktu tertentu dan tempat tertentu, dan terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik yang terlegitimasi; dan (c) hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan bermasyarakat, baik dalam proses-proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses-proses pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku baru.[3]


Dari tiga konsepsi hukum di atas, khususnya dalam konsepsi kedua, nampak jelas bahwa hukum merupakan produk politik karena lahir dari sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan aktifitas politik. Hukum adalah formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. 


Dengan demikian, jika ditanyakan hubungan kausalitas yang terjalin antara politik dan hukum, dapat dijawab dengan tiga jawaban. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada dalam posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk politik, tetapi, begitu hukum ada, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.[4]


Dari ketiga hubungan kausalitas di atas dapat dipahami bahwa relasi antara politik dan hukum bersifat berkelit-berkelindan. Artinya, antara keduanya terjalin sebuah relasi yang tidak bisa dipisahkan. Hukum tidak bisa dipisahkan dari politik, dan begitupun sebaliknya. Dalam kapasitas ini, persepsi seseorang sangat mempengaruhi dalam memangdang relasi antara hukum dan politik. Mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen semata, menganggap bahwa hukum begitu determinan dan harus dijadikan pedoman dalam semua disiplin kehidupan, termasuk dalam aktifitas politik. Sedang bagi mereka yang memandang hukum dari sudut das sein, menganggap bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya, namun juga dalam kenyataan empirisnya.[5]


Dengan demikian, dalam proses pembuatan hukum, intervensi politik memang tidak bisa dilepaskan. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Konfigurasi politik yang demokratis melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konservatif.[6]


Arti dan Cakupan Politik Hukum 

Berbicara tentang arti atau definisi politik hukum[7], kita akan menemukan berbagai varian definisi yang dikemukakan oleh berbagai kalangan. Menurut Abdul Hakim G. Nusantara, sebagaimana dikutip Winardi, politik hukum adalah kebijaksanaan hukum yang hendak diterapkan dan dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu.[8] Sedang menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum adalah aktifitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.[9]


Menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di balik pembuatan dan penegakan hukum tersebut.[10] Meski definisi politik hukum sangat bervariasi, dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.[11]


Secara lebih detail, dari berbagai definisi di atas dapat disampaikan secara lebih rinci bahwa cakupan politik hukum meliputi sebagai berikut: 

1. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum; 

2. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan Perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum; 

3. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum; 

4. Peraturan Perundang-undangan yang memuat politik hukum; 

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan; 

6. Pelaksanaan dari peraturan Perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.[12]


Lebih lanjut, menurut Bagir Manan, sebagimana dikutip Winardi, politik hukum terdiri dari politik hukum yang bersifat tetap (permanen) dan politik hukum yang bersifat temporer. Yang tetap berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum. Bagi Indonesia, politik hukum yang tetap antara lain: (1) Ada satu sistem hukum Indonesia; (2) Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945; (3) Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara, suku, ras, agama. Kalaupun ada, pembedaan tersebut dilakukan atas dasar kepentingan nasional dan dalam rangka menjaga kesatuan dan persatuan bangsa; (4) Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat; (5) Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang hukum yang tidak tertulis tersebut masih dipertahankan dan diakui oleh masyarakat; (6) Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat; dan (7) Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan masyarakat.[13]


Sedangkan politik hukum temporer adalah kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Termasuk dalam kategori ini hal-hal seperti penentuan prioritas pembentukan peraturan Perundang-undangan kolonial, pembaruan peraturan Perundang-undangan yang menunjang pembangunan nasional dan sebagainya.[14]



Politik Hukum Islam: Definisi dan Signifikansi 

Dalam hukum Islam, hukum didefinisikan sebagai aturan Allah yang berhubungan dengan orang mukallaf, baik yang bersifat menuntut, memilih, maupun dalam dimensi peletakannya.[15] Hukum Islam mempunyai dua sumber fundamental: Al-Qur’an[16] dan Sunnah[17] Nabi Muhammad. Sedang ijtihad adalah sumber ketiga yang secara operasional merupakan upaya untuk menggali pemahaman dari kedua sumber di atas. 


Sebuah fakta yang tidak bisa ditolak jika hukum Islam pada umumnya menganut prinsip dinamis (at-Taghayyur). Hukum Islam berubah sesuai perubahan ruang, waktu, dan person di dalamnya. Sementara itu, Islam sendiri kita kenal sebagai agama yang universal. Universalitas Islam terletak pada kemampuannya menjawab problematika yang terjadi. Tujuan utama dari dirumuskannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan bagi manusia.[18]


Dalam Islam, kata “politik” sepadan dengan kata siyasah, yang bermakna mengatur. Adapun definisi politik dalam perspektif Islam adalah pengaturan urusan kepentingan umat Islam, baik urusan dalam negeri maupun luar negeri dengan sistem yang menjamin keamanan terhadap individu dan golongan serta asas keadilan di antara mereka, dan merealisasikan kemaslahatan, mengahantarkan mereka agar lebih maju dan mengatur hubungan dengan orang lain.[19]


Dengan demikian, politik hukum Islam bisa diartikan sebagai upaya mengatur urusan umum dalam pemerintahan Islam dengan merealisasi asas kemaslahatan dan menolak bahaya selama tidak menyimpang batas-batas hukum yang ditetapkan. Yang dimaksud dengan urusan umum dalam pemerintahan Islam adalah segala sesuatu yang sesuai dengan tuntutan zaman, kehidupan sosial dan sistem, baik yang berupa Undang-undang, keuangan , hukum, peradilan dan lembaga eksekutif, dan juga urusan Undang-undang dalam dan luar negeri, maka untuk mengatur semua urusan ini, teori dan dasar-dasarnya serta membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan dasar hukum adalah politik hukum Islam.[20]


Jika dibandingkan, antara definisi politik hukum dan politik hukum Islam, ada kesamaan antara keduanya. Keduanya sama-sama berorientasi kepada perumusan peraturan yang dilakukan oleh “pihak yang berwenang”, yang tujuannya untuk kemaslahatan masyarakat. Baik politik hukum maupun politik hukum Islam sama-sama membahas dan melakukan proses perumusan, dan tentu saja melihat aspek nilai atau kepentingan yang hendak disampaikan dalam peraturan yang akan dirumuskan. 


Dengan demikian, dari definisi politik hukum Islam di atas dapat dipahami bahwa keberadaan politik hukum Islam sangat signifikan. Politik hukum Islam menempati posisi yang sangat sentral, karena dengan politik hukum Islam lah upaya melakukan pembaruan terhadap hukum Islam bisa dilakukan. Pembaruan dalam tulisan ini bukanlah pembaruan yang hanya mengulang format yang sama, yakni berupa teks biasa layaknya rumusan-rumusan hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fikih. Pembaruan dengan menggunakan pendekatan politik hukum Islam adalah perpindahan dari ketundukan kepada kuasa teks menuju kepada kepastian Undang-undang. Dan, tentu saja, upaya pembaruan di atas tidak boleh melunturkan prinsip dasar yang menjadi tujuan dari dirumuskannya hukum Islam itu sendiri. 



Posisi Politik Hukum Islam di Dalam Politik Hukum Nasional 

Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Kenyataan ini membawa implikasi logis bahwa selain hukum nasional yang dianggap berlaku, ada dua hukum lain yang hidup dan diakui, yaitu hukum adat dan hukum Islam. Pluralisme hukum yang secara faktual ada, terkadang membawa dan melahirkan “konflik” antar ketiganya. Tulisan ini tidak akan menfokuskan pada kajian kontestasi antar ketiga hukum yang sekarang masih diakui keberadaannya tersebut. Bagian ini akan membahas posisi politik hukum Islam dalam politik hukum nasional. 


Berlakunya hukum Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang berkesinambungan. Perkembangan hukum Islam di Indonesia ditentukan oleh perkembangan politik hukum nasional yang diberlakukan oleh negara. Bahkan di balik itu, pengaruh sosial-budaya dan keputusan politik yang diambil negara juga sangat mempengaruhi terhadap pemberlakuan hukum Islam di negeri ini. Cara pandang dan interpretasi terhadap Islam juga sangat mempengaruhi terhadap sudut pandang aplikasinya. 


Di Indonesia, hukum Islam bisa dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis-formal. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif, yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat Muslim untuk melaksanakannya.[21] Pemberlakuan hukum Islam di Indonesia, dilihat dari sudut pandang politik hukum nasional bisa dilihat dari dua periode. Periode pertama, periode persuasive source di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu. Periode kedua, authority source di mana setiap orang Islam meyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis-formal apabila dikodifikasikan dalam bentuk Perundang-undangan.[22]


Salah satu contoh produk hukum nasional yang digali dari nilai hukum Islam di Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Proses pengkodifikasian UU Perkawinan melalui berbagai dinamika dan kompromi yang berkepanjangan. Ada tarik ulur antara tokoh agama, tokoh nasionalis, dan pihak pemerintah dalam membicarakan masalah pengesahan UU Perkawinan. 


Dalam sistem politik hukum nasional yang tergambar dalam GBHN diterangkan bahwa pengkodifikasian dan unifikasi hukum harus sejalan dengan kepentingan dan keinginan masyarakat. Pun demikian dengan UU Perkawinan, adanya tuntutan akan adanya UU yang secara khusus mengatur masalah perkawinan menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya UU No. 1 Tahun 1074. Terlebih, upaya pembaruan terhadap hukum keluarga di belahan dunia menyeruak seiring pembaruan yang dilakukan Turki dan Mesir. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia juga merasa “terpancing” untuk melakukan pembaruan. Dalam fase inilah bisa kita lihat adanya kompromi antara politik hukum Islam dan politik hukum nasional. Kompromi itu terletak dalam materi UU Perkawinan itu sendiri yang digali dari hukum Islam, yang kemudian dibentuk dalam bingkai aturan yuridis-formal. 


Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa posisi dan hubungan politik hukum Islam dalam politik hukum nasional adalah saling melengkapi dan berkompromi. Politik hukum nasional memang menjadi acuan dalam proses pembuatan peraturan. Namun, karena realitas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam, maka mempertimbangan politik hukum Islam dalam merumuskan peraturan, utamanya peraturan yang menyangkut kehidupan umat Islam, adalah sebuah keniscayaan. Dalam kondisi inilah, penulis memahami bahwa antara politik hukum nasional dan politik hukum Islam tak bisa dipertentangkan. 


Adapun yang menjadi catatan utama dalam tulisan ini adalah, apapun produk peraturan yang dihasilkan oleh negara, semuanya tidak bisa dilpaskan dari intervensi politik. Konfigurasi sebuah negara sangat mempengaruhi terhadap produk UU yang dihasilkan. Negara dengan konfigurasi politik demokratis menghasilkan UU yang responsif. Sebaliknya, negara yang konfigurasi politiknya otoriter akan menghasilkan UU yang konvensional. Dengan demikian, adanya kenyataan bahwa banyak UU yang dalam tatanan praktisnya tidak bisa menjadi payung pelindung bagi masyarakat, harus dipahami sebagai akibat dari proses perumusan UU tersebut yang diramu dalam suasana politik yang kompromistis. 



Daftar Pustaka 

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. 
Winardi. Dinamika Politik Hukum Pasca Perubahan Konstitusi dan Implementasi Otonomi Daerah. Malang: Setara Press, 2008. 
Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006. 
Moh. Mahfud MD. “Hukum dan Peluang Demokratisasi dalam Interaksi Kenegaraan”, dalam Khamami Zada-Idy Muzayyad (ed.), Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. 
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, cet. Ke-1, (Damaskus: Dar al-Fikr li at-Thiba’ah wa at-Tauzi’, 1986 
Subhi as-Shalih, Ma’alim as-Syari’ah al-Islamiyah, cet. ke-1, (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1975 
Musthafa Sa’id al-Khin, Atsarul Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliah fi al-Ikhtilaf al-Fukaha’; cet. ke-7, (Beirut: Ar-Risalah, 1998 
Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, terj. Zainuddin Adnan, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994 
Didi Kusnadi, Hukum Islam di Indonesia; Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum, dan Produk Hukum, makalah tidak diterbitkan. 
Isma’il Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum Islam, dalam Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid. 1, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997) 



---------------------------------------
[1] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 5-16. 
[2] Winardi, Dinamika Politik Hukum Pasca Perubahan Konstitusi dan Implementasi Otonomi Daerah, cet. ke-1, (Malang: Setara Press, 2008), hlm. 2. 
[3] Ibid., hlm. 2-3. 
[4] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-3, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 8. 
[5] Ibid., hlm. 8-9. 
[6] Moh. Mahfud MD, “Hukum dan Peluang Demokratisasi dalam Interaksi Kenegaraan”, dalam Khamami Zada-Idy Muzayyad (ed.), Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 61. 
[7] Dalam disiplin keilmuan, para ahli masih berbeda pendapat mengenai letak politik hukum, apakah termasuk dalam disiplin ilmu politik atau ilmu hukum? Namun mayoritas ahli menyatakan bahwa politik hukum termasuk dalam disiplin ilmu hukum. Di antara para ahli yang mengakui bahwa politik hukum termasuk disiplin dalam ilmu hukum adalah Sartjipto Rahardjo, Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Bambang Poernomo, dan Mahfud MD. Bahkan berdasarkan SK Rektor UGM No. 4 Tahun 1986, “politik hukum” menjadi mata kuliah pilihan yang berdiri sendiri untuk jurusan –jurusan dan program kekhususan tertentu pada program S1; sedangkan SK Mendikbud No. 002/U/1996 menetapkan bahwa “politik hukum” menjadi salah satu mata kuliah wajib secara nasional untuk program Pascasarjana (S2) dalam ilmu hukum. Lihat dalam footnote buku Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia..., hlm. 7-8. 
[8] Winardi, Dinamika Politik Hukum..., hlm. 5. 
[9] www.pengertiandefinisi.com/pengertian-politik-hukum.html. akses tanggal 24 Februari 2013. 
[10] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia..., hlm. 1-2. 
[11] Ibid., hlm. 9. 
[12] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 51-52. 
[13] Winardi, Dinamika Politik Hukum..., hlm. 7. 
[14] Ibid., hlm. 7-8. 
[15] Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, cet. Ke-1, (Damaskus: Dar al-Fikr li at-Thiba’ah wa at-Tauzi’, 1986), juz. 1, hlm. 37-38. 
[16] Secara etemologis, kata Al-Qur’an adalah bentuk masdar dari kata qara’a. Sedang secara terminologis, kata Al-Qur’an berarti firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad yang fungsinya untuk dihayati dan diamalkan. Lihat Subhi as-Shalih, Ma’alim as-Syari’ah al-Islamiyah, cet. ke-1, (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1975), hlm. 16. 
[17] Sunnah secara etemologis adalah jalan. Sedang secara terminologis adalah segala sesuatu yang dilakukan, diucapkan, dan ditetapkan oleh Nabi. Lihat Musthafa Sa’id al-Khin, Atsarul Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliah fi al-Ikhtilaf al-Fukaha’; cet. ke-7, (Beirut: Ar-Risalah, 1998), hlm. 25. 
[18] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’ah Islam, Bercermin pada Sistem Aplikasi Syari’ah Zaman Nabi, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 35. 
[19] Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, terj. Zainuddin Adnan, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 11. 
[20] Ibid., hlm. 7. 
[21] Didi Kusnadi, Hukum Islam di Indonesia; Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum, dan Produk Hukum, makalah tidak diterbitkan. 
[22] Isma’il Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum Islam, dalam Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid. 1, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), hlm. 40-43.

No comments:

Post a Comment