Sunday, March 25, 2012

HUKUM DAN MACAM-MACAMNYA - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (3 Habis)

DEFINISI DAN PEMBAGIAN HUKUM

Mengetahui hukum syara’ adalah puncak tujuan dari ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ushul fiqh berperan meletakkan kaidah dan metode pengantar hukum, sedangkan ilmu fiqh berperan melakukan pencetusan hukum dan menerapkan kaidah dan metode yang telah diletakkan ushul fiqh.


Menurut ulama ushul fiqh, hukum adalah: khithob Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf[1] berupa tuntutan (iqtidla’), pilihan (takhyir) atau ketetapan (positif/wadl’i).[2]


Yang dimaksud dengan khithob Allah adalah: firman Allah secara langsung yakni Al Quran, dan firman Allah melalui perantara yang semuanya merujuk pada firman Allah yang langsung itu, yakni sunah, ijma’, dan semua dalil yang diletakkan Allah untuk mengetahui hukum-Nya.


Sunah: sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW yang termasuk dalam kategori hukum syara’. Sunah merujuk pada firman Allah karena merupakan penjelas dari firman Allah itu. Sunah adalah wahyu Allah, Allah berfirman, “Dan dia (Muhammad) tidak berbicara dari hawa nafsunya, perkataannya tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3).


Ijma’ harus memiliki dalil dari Al Quran atau sunah. Dengan ini maka jelaslah bahwa ijma’ merujuk pada firman Allah.


Demikian pula dalil-dalil syara’ yang lain, semuanya berperan menyingkap khithob Allah dan mencetuskan hukum syara’, bukan meletakkan hukum.


Penjelasan:


Iqtidla’: Tuntutan, baik tuntutan untuk melakukan atau tuntutan untuk meninggalkan. Macam-macam tuntutan itu baik berdasarkan keharusan (ilzam) atau memilih yang paling unggul (tarjih).


Takhyir: menyamakan antara melakukan atau meninggalkan, tidak mengunggulkan salah satunya dan membolehkan keduanya untuk dilakukan oleh mukallaf.


Wadl’: menjadikan sesuatu sebagai sebab (sabab), syarat (syarth) atau penghalang (mani’) bagi sesuatu yang lain.[3]


Maka ayat “Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janjimu” (Al-Maidah: 1) adalah hukum syara’, karena merupakan khithab Allah yang berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yakni tuntutan untuk menepati janji.


Ayat “Dan janganlah kamu mendekati zina, karena zina adalah perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan” (Al-Isra’: 32) adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang berupa tuntutan untuk meninggalkan perbuatan zina.


Ayat “Jika kamu sudah melakukan tahallul, maka berburulah…” (Al-Maidah: 2) adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang berupa kebolehan berburu binatang setelah bertahallul dari ihram.


Ayat “Jika shalat (jum’at) sudah dilaksanakan, maka menyebarlah kamu di muka bumi…” (Al-Jumu’ah: 10) adalah hukum syara’, karena merupakan khithab Allah yang berupa kebolehan melakukan aktifitas setelah selesai melaksanakan shalat jum’at.


Ayat “Dan bagi Allah (wajib) atas manusia berhaji ke baitullah, yakni orang-orang yang mempu menempuh perjalanan (ke baitullah)” (Ali Imran: 97) adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang berupa kewajiban haji bagi mukallaf.


Ayat “Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan dari perbuatannya” (Al-Maidah: 38) adalah hukum syara’ karena merupakan khitab Allah yang menjadikan pencurian sebagai sebab dari wajibnya potong tangan bagi pencuri.


Ayat “Tegakkanlah shalat pada waktu tergelincirnya (duluk) matahari…” (Al-Isra’: 78) adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang menjadikan tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat.[4]


Sabda Nabi SAW “Tiga perkara yang tidak dicatat: orang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia mimpi basah, dan orang gila sampai dia sembuh” adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang menunjukkan bahwa tidur, belia, dan gila adalah penghalang seseorang dari pembebanan hukum (taklif).


Dari definisi hukum menurut ulama ushul fiqh di atas, maka kita dapat mengetahui dua hal:


Petama, menurut ulama ushul fiqh, khithab Allah yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf tidak bisa disebut hukum. Di antaranya khithab Allah yang berhubungan dengan dzat dan sifat-Nya, seperti ayat, “Dan Allah maha mengetahui atas segala sesuatu”, khithab Allah yang berhubungan dengan benda-benda ciptaan-Nya, seperti ayat, “Dan matahari, bulan dan bintang tunduk di bawah perintah-Nya” (Al-A’raf: 54) dan ayat, “Tidakkah kami ciptakan bumi sebagai hamparan dan gunung sebagai pasak?” (An-Naba’: 6), dan khithab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf tetapi tidak berupa tuntutan, pilihan atau ketetapan, seperti kisah-kisah dalam Al Quran, misalnya ayat, “Alif laam miim, bangsa romawi pasti akan dikalahkan. Di negeri yang terdekat, dan mereka akan menang (lagi) setelah dikalahkan. Dalam beberapa tahun (lagi)…” (Ar-Rum: 1-2) juga seperti kabar-kabar penciptaan, misalnya ayat, “Allah telah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (As-Shaffat: 96).


Kedua, menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud dengan hukum adalah khitab Allah atau nash-nash itu sendiri. Sedangkan menurut ulama fiqh, hukum adalah akibat khithab itu, artinya sesuatu yang terkandung dalam khithab. Maka menurut ulama ushul fiqh, ayat “Dan janganlah kamu mendekati zina” adalah hukum, sedangkan menurut ulama fiqh yang disebut dengan hukum adalah akibat yang terkandung dalam ayat itu, yakni haramnya zina.


Macam-macam Hukum Syara’


Menurut Ulama ushul fiqh, hukum syara’ ada dua macam:[5]


Pertama, Hukum Taklifi: yakni hukum yang mengandung tuntutan untuk melakukan, meninggalkan atau memilih antara melakukan atau meninggalkan.


Hukum ini disebut dengan taklifi karena di dalamnya ada beban bagi manusia. Beban itu terlihat jelas karena merupakan suatu tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan, dan takhyir (mubah) dimasukkan dalam hukum taklifi karena dimutlakkan dan digolongkan secara istilah, bukan hakikatnya, atau bisa juga dikatakan bahwa maksudnya adalah: hukum takhyir/mubah hanya berlaku bagi mukallaf, artinya kebolehan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan hanya berlaku bagi orang yang telah dibebani tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Inilah alasan mengapa takhyir/mubah dimasukkan dalam hukum taklifi, bukan berarti bahwa mubah itu adalah sesuatu yang dibebankan kepada mukallaf.[6]


Kedua, hukum wadl’i: hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain.


Hukum ini disebut dengan wadl’I karena merupakan perantara antara dua hal dengan hubungan sebab, syarat, atau penghalang (mani’) yang telah ditetapkan syari’ (Allah). Artinya syari’ telah menetapkan bahwa ini menjadi sebab bagi ini, ini menjadi syarat bagi ini atau ini menjadi penghalang bagi ini. Untuk contoh-contoh hukum taklifi dan hukum wadl’I sudah dijelaskan sebelumnya.


Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i


a. Hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu, meninggalkan atau memilih antara keduanya, sedangkan hukum wadl’I tidak menunjukkan suatu tuntutan, hukum wadl’I hanya menjelaskan bahwa syari’ telah menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain, agar mukallaf mengetahui kapan ada dan tidaknya hukum syara’.


b. Dalam hukum taklifi, sesuatu yang dibebankan (mukallaf bih) adalah sesuatu yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf dan berada dalam kekuasaan dan kadar kemampuannya, karena tujuan dari pembebanan hukum adalah ketaatan mukallaf terhadap hukum yang dibebankan itu. Maka sia-sia saja jika sesuatu yang dibebankan itu berada di luar kadar kemampuannya, dan hal ini tidak mungkin terjadi dalam ketentuan syari’. Dalam kaidah disebutkan bahwa, “Pembebanan hukum hanya berlaku jika berada dalam kadar kemampuan mukallaf.”


Sedangkan dalam hukum wadl’I, sesuatu itu tidak harus selalu berada dalam kadar kemampuan mukallaf, kadang ia di luar kadar kemampuan. Akan tetapi jika sesuatu itu ada, maka pasti ada akibatnya.


Hukum wadl’I yang berada dalam kadar kemampuan mukallaf di antaranya adalah: pencurian, zina, dan perbuatan dosa yang lain, syari’ telah menetapkannya sebagai sebab yang memiliki akibat. Pencurian adalah sebab dan akibatnya adalah hukum potong tangan, zina adalah sebab dan akibatnya adalah hukum cambuk atau rajam, dan sebagainya.


Demikian pula semua akad dan transaksi, semua itu merupakan sebab yang memiliki akibat syara’. Jual beli adalah sebab berpindahnya kepemilikan, menikah adalah sebab halalnya hubungan suami-isteri dan tetapnya hak-hak kedua belah pihak, menghadirkan saksi adalah syarat sahnya pernikahan dan wudlu adalah syarat sahnya shalat, karena itulah nikah tidak sah tanpa saksi dan shalat tidak sah tanpa wudlu. Membunuh pemberi harta waris adalah penghalang bagi ahli waris memperoleh harta warisan dan membunuh pemberi wasiat adalah penghalang bagi penerima wasiat memperoleh apa yang diwasiatkan.


Sedangkan hukum wadl’I yang berada di luar kadar kemampuan mukallaf di antaranya adalah: datangnya bulan Ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa, tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat, kekerabatan sebagai sebab hubungan waris. Ketiga sebab itu di luar kadar kemampuan mukallaf. Baligh adalah syarat berakhirnya kekuasaan wali dan cakap adalah syarat bolehnya melakukan beberapa transaksi. Baligh dan cakap adalah syarat yang tidak bisa diusahakan oleh mukallaf. Status bapak adalah penghalang diberlakukannya hukum qishash baginya jika dia membunuh anaknya dengan sengaja, gila adalah penghalang diberlakukannya hukum bagi orang gila, dan status penerima wasiat sebagai ahli waris adalah penghalang baginya menerima wasiat menurut sebagian ulama fiqh. Ketiga penghalang itu di luar batas kemampuan mukallaf.


________________________________________

[1] Mukallaf: orang yang sudah baligh dan berakal. Disebut dengan mahkum ‘alaih (orang yang sudah dibebani hukum). Hal ini akan dijelaskan kemudian. 

[2] Fawatih ar Rahamut (Abdul Ali Muhammad bin Nidhamuddin al Anshari) syarah dari Muslam ats Tsubut (Muhibbullah bin Abdussyakur) Juz. 1 hal. 54 dan Irsyad al Fuhul (Imam as Syaukani) hal. 5.

[3] Yang sama dengan hal ini adalah menggolongkan sesuatu sebagai shahih, bathil, atau fasid. Hal ini akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.

[4] Duluk: bergesernya matahari ke tengah langit dan condong ke arah barat.

[5] Sebagian ulama ushul fiqh membagi hukum dalam tiga macam: 1) Hukum Iqtidla’i: hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. 2) Hukum Takhyiri: hukum yang mengandung pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan. 3) Hukum wadl’i: hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain (Al Amidi, Juz. 1, hal. 137). Pembagian ini adalah pembagian yang paling cocok dengan definisi, akan tetapi kami memilih pembagian yang sudah tersebar di kalangan sebagian besar ulama ushul fiqh yang membagi hukum menjadi dua macam.

[6] Alu Taimiyah, Al Musawwadah fi ushul al fiqh, hal. 36.

1 comment: