Monday, March 26, 2012

SYARAT - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (12 Habis)


Secara etimologi: tanda yang tetap.

Secara terminologi: sesuatu yang menjadi tolak ukur adanya sesuatu yang lain dan letaknya di luar hakikat sesuatu itu. Jika syarat ada, belum tentu sesuatu ada. Akan tetapi jika syarat itu tidak ada maka sesuatu itu pasti tidak ada.[1]



Yang dimaksud dengan adanya sesuatu adalah adanya secara syar’i yang disusul dengan akibat-akibat syar’inya. Seperti wudhu’ sebagai syarat sahnya shalat dan hadirnya dua saksi sebagai syarat sahnya akad nikah.


Wudhu’ adalah syarat adanya shalat secara syar’i yang diikuti dengan akibat-akibatnya, yakni shalat menjadi sah, mendapat pahala, dan terlepas dari kewajiban shalat. Akan tetapi wudhu’ tidak termasuk bagian dari hakikat shalat dan terkadang wudhu’ dilakukan tetapi tidak untuk melakukan shalat.


Hadirnya dua orang saksi dalam akad nikah adalah syarat adanya pernikahan secara syar’i, kemudian diikuti hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh akad nikah itu. Akan tetapi hadirnya dua orang saksi itu bukan bagian dari hakikat dan esensi akad nikah, karena terkadang dua saksi ada tetapi akad nikah tidak dilaksanakan.


Syarat dan Rukun


Persamaan antara syarat dan rukun adalah bahwa syarat dan rukun itu, menurut syara’, menjadi landasan adanya sesuatu. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa syarat terletak di luar hakikat dan esensi sesuatu. Contohnya adalah wudlu’, wudlu’ adalah syarat sahnya shalat dan shalat seseorang tidak akan dianggap jika syaratnya tidak terpenuhi, hanya saja wudlu’ merupakan sesuatu hal yang tempatnya di luar hakikat pelaksanaan shalat itu. Sedangkan rukun adalah bagian dari hakikat dan esensi sesuatu itu. Contohnya adalah ruku’ dalam shalat, ruku’ merupakan rukun shalat karena ia merupakan bagian dari hakikat shalat itu, karena menurut syara’, shalat tidak akan sah bila tidak ada ruku'. 


Contoh lainnya adalah masalah ijab dan qabul dalam akad nikah. Keduanya adalah rukun nikah karena merupakan hakikat dari nikah itu. Sedangkan hadirnya dua orang saksi dalam akad nikah adalah syarat nikah karena tidak termasuk hakikat dari nikah itu.


Syarat dan Sabab


Syarat dan sabab mempunyai persamaan, yakni keduanya berkaitan dengan ‘sesuatu’ yang lain, ‘sesuatu’ itu tidak akan ada tanpa adanya syarat atau sabab, akan tetapi syarat atau sabab itu bukan bagian dari hakikat ‘sesuatu’ itu.


Perbedaannya adalah: sabab pasti menimbulkan akibat (musabbab), kecuali jika ada penghalang (mani’), sedangkan syarat tidak selalu menimbulkan akibat (masyruth ‘alaih).



Macam-macam Syarat


Jika dilihat menurut hubungan sabab-musabbab, syarat ada dua macam, yakni syarat bagi sabab dan syarat bagi musabbab.


Syarat bagi sabab: yakni syarat yang menjadi penyempurna sabab, menguatkan arti kausalitas, dan menjadikan sabab sampai pada musabbab. Contoh: a) suatu tindak pembunuhan bisa menjadi sabab hukum qishash bagi yang melakukannya jika tindakan itu memenuhi syarat, yakni dilakukan dengan sengaja. b) pencurian bisa menjadi sabab hukum had bagi pelakunya jika harta yang dicuri memenuhi syarat, yakni harus berupa harta yang tersimpan dan dipelihara. c) nishab yang menjadi salah satu sabab wajibnya zakat harus memenuhi syarat, yakni harus mencapai satu tahun. d) akad nikah yang menjadi sabab lahirnya hak dan kewajiban jikah harus memenuhi syarat, yakni harus ada saksi, dan sebagainya.


Syarat bagi musabbab, contoh: dalam masalah waris, hak waris (musabbab), yang disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan, ikatan suami istri atau ‘ushubah, harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain: muwarrits (pewaris/yang mewariskan) sudah mati baik secara hakiki (benar-benar mati) atau secara hukum (tidak diketahui kabar dan keberadaannya)


Jika dilihat dari asal-muasal syarat, syarat ada dua macam, yakni syarat ja’li dan syarat syar’i. 


Syarat syar’i: yaitu syarat yang berasal dari syari’, artinya bahwa sesuatu bisa terwujud jika memenuhi syarat yang ditetapkan syari’. Contoh: agar anak kecil bisa mengelola hartanya sendiri maka dia harus memenuhi syarat yang ditetapkan syari’, yakni mencapai umur kecakapan. Syarat lain yang ditetapkan syari’ adalah beberapa syarat yang ada dalam akad, transaksi bisnis, ibadah dan jinayah (perkara pidana).


Syarat ja’li: yakni syarat yang dibuat atas kemauan mukallaf, seperti ketika mereka menyepakati adanya syarat tertentu ketika berakad dan bertransaksi bisnis, atau syarat sepihak seperti syarat yang ditetapkan oleh waqif ketika wakaf.


Syarat ja’li ada dua macam:

Pertama, syarat yang menjadi gantungan akad, artinya ada tidaknya akad tergantung pada ada tidaknya syarat. Oleh karena itu, syarat seperti ini termasuk dalam kategori syarat bagi sabab. Contoh: melakukan kafalah dengan syarat jika si penghutang tidak mampu membayar hutangnya. Contoh lain adalah ta’liq talak, seperti perkataan suami kepada isterinya: jika kamu mencuri, maka kamu tertalak. 

Syarat ja’li yang pertama ini disebut dengan syarat mu’alliq dan akad yang ada tidaknya tergantung ada tidaknya syarat disebut dengan ‘aqd mu’allaq.

Tidak semua akad dan transaksi bisa digantungkan pada syarat tertentu. Dalam hal ini ada tiga macam: a) akad dan transaksi yang tidak bisa digantungkan, seperti akad yang menyebabkan berpindahnya kepemilikan, baik kepemilikan terhadap barang maupun manfaat/jasa, dengan atau tanpa barter. Contoh lain adalah akad nikah dan khulu’.[2] b) akad dan transaksi yang bisa digantungkan tetapi hanya pada syarat tertentu saja yang sesuai/sepadan, seperti mau menanggung harga (memberikan garansi) barang dengan syarat yang menanggung mempunyai hak atas barang tersebut. c) akad dan transaksi yang bisa digantungkan pada syarat apapun, sekalipun syarat itu tidak sesuai, seperti dalam wakalah dan wasiat.

Kedua, syarat yang berbarengan dengan akad. Contoh: a) nikah dengan syarat suami tidak meninggalkan istrinya ke luar kota, atau dengan syarat pihak isteri memiliki hak talak. b) jual beli dengan syarat pembeli menanggung harga (tidak menerima garansi) barang, atau dengan syarat penjual harus tinggal di tempat penjualan selama setahun.


Ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya syarat yang berbarengan dengan akad. Mereka terbagi dalam tiga kelompok: ulama yang ketat, ulama yang longgar dan ulama yang moderat antara keduanya.


Ulama kelompok pertama tidak memberikan kewenangan apapun bagi mukallaf untuk membuat persyaratan. Menurut mereka hukum asal akad dan syarat adalah tahrim, kecuali ada nas yang menunjukkan kebolehannya. Ulama yang termasuh kelompok ini adalah Dhahiriyah dan pengikutnya.


Ulama kelompok kedua memberikan kewenangan mutlak bagi mukallaf untuk membuat persyaratan. Mukallaf berkuasa sepenuhnya dalam hal akad dan syarat. Menurut mereka hukum asal syarat dan akad adalah ibahah, kecuali jika ada nas yang menunjukkan keharamannya. Ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Hanabilah dan para penganut madzhab, ulama madzhab Hanabilah yang paling ekstrim dalam hal ini adalah Ibnu Taimiyah.


Penjelasan lebih luas mengenai dalil dan perdebatan antara kedua kelompok di atas bukan tempatnya jika dijelaskan di sini, hanya saja menurut kami yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat kelompok kedua.[3]



___________________________________

[1] Al-Mahlawi: Hal. 256.

[2] Menurut kami, syarat mu’alliq atau syarat ta’liqi dalam akad yang menyebabkan berpindahnya kepemilikan diperbolehkan jika memang terdapat kebutuhan, kemaslahatan atau keharusan untuk melakukannya. Lihat I’lam al-Muthi’in, Ibn Al-Qayyim, Juz 3 Hal. 288. Dalam kitab tersebut terdapat kalimat yang mendukung pendapat kami. Lihat Nail al-Authar, Juz 6 Hal. 100.

[3] Lihat Fatawa, Ibnu Taimiyah, Juz 3 Hal. 332 dan seterusnya. Lihat pula Nadhariyyah al-‘aqd, Ibnu Taimiyah Hal. 14 dan seterusnya. Madzhab Hanafiyah membagi syarat menjadi tiga macam: a) syarat shahih: yakni syarat yang sesuai atau menguatkan tujuan akad, syarat yang diperbolehkan syara’ atau syarat yang berlaku menurut kebiasaan umum. b) syarat fasid: yakni syarat yang berat sebelah, menguntungkan salah satu pihak atau pihak luar dan juga tidak termasuk salah satu dari tiga macam syarat shahih di atas. c) syarat batil: yakni syarat yang sia-sia, tidak termasuk dalam syarat shahih maupun syarat fasid. Contohnya: seseorang menjual rumahnya tetapi dengan syarat rumah tersebut tidak boleh dihuni. Syarat fasid merusak akad, syarat batil itu tidak dianggap, akan tetapi akad yang dilakukan tetap sah.

No comments:

Post a Comment