Monday, September 3, 2012

Menikah Dengan Dua Tata Cara Agama Berbeda

Bagaimana status perkawinan sepasang suami istri yang pada awalnya meresmikan pernikahannya secara Kristen namun karena berbagai alasan melaksanakan kembali pernikahannya secara Islam, tapi tetap dengan suami/istri yang sama? Pernikahannya menjadi pernikahan secara Islam atau Kristen? 

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan dicatatkan. Syarat sahnya perkawinan ini diatur dalam Pasal 2 UUP yang berbunyi:

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Ketika perkawinan sudah dilakukan menurut hukum agama Kristen, maka perkawinan tersebut adalah sah. Perkawinan kedua dengan tata cara islam oleh sepasang suami-istri yang sama kami asumsikan bahwa suami-istri tersebut kemudian berpindah agama menjadi Islam.


Perpindahan agama tidak dapat dijadikan alasan perceraian menurut ketentuan Pasal 39 ayat (2) UUP serta penjelasannya yang ditegaskan kembali dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”). Alasan-alasan perceraian menurut dua peraturan tersebut adalah:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lainsebagainya yang sukar disembuhkan;

b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpaizin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.


Kecuali bila perkawinan sebelumnya dilakukan oleh suami-istri yang beragama Islam, lalu salah satu pihak murtad dari Islam sehingga menimbulkan ketidakrukunan dalam rumah tangga maka barulah berdasarkan Pasal 116 huruf h Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), dapat dijadikan alasan perceraian.


Dengan demikian, berdasarkan penjelasan sebelumnya, ketika keduanya berpindah agama, keabsahan perkawinan tersebut tidak perlu dipertanyakan.

Apakah pernikahannya menjadi Kristen atau Islam? 
Sebenarnya tanpa melakukan perkawinan secara Islam, perkawinan terdahulu yang telah dilaksanakan sesuai tata cara dan hukum Kristen tetap mengikat menurut ketentuan UUP dan PP 9/1975.


Akan tetapi, menurut Pasal 4 KHI, perkawinan (orang Islam) adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Jadi, karena suami-istri tersebut telah pindah agama menjadi Islam, maka agar perkawinan mereka dianggap sah harus dilakukan menurut hukum Islam.


Jadi, karena suami-istri telah pindah agama menjadi Islam, maka perlu dilakukan kembali perkawinan menurut hukum Islam. Dan ketika perkawinan sudah dilakukan menurut hukum Islam, maka perkawinan tersebut adalah perkawinan Islam.


No comments:

Post a Comment