Friday, March 30, 2012

HAKIM - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (15 Habis)


Dalam bab sebelumnya kami mendefinisikan hukum sebagai khithob Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf berupa tuntutan (thalab/iqtidla’), pilihan (takhyir) atau ketetapan (positif/wadl’i).

Definisi ini menunjukkan bahwa sumber hukum dalam syariat Islam adalah Allah SWT semata.

Dari definisi ini, maka hakim (yang menetapkan hukum) tidak lain hanya Allah SWT, tiada hukum kecuali yang Dia tetapkan dan tiada syari’at kecuali yang Dia syariatkan. Dalil Al-Qur’an menunjukkan hal ini dan telah menjadi ijma’ di kalangan muslim. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (Al-An’am: 57, Yusuf: 40, 67). “Ketahuilah (bahwa) hukum itu kepunyaan Allah” (Al-An’am: 62).

Atas dasar inilah, hukum selain yang diturunkan Allah adalah kufur, karena tidak ada satupun/seorangpun selain Allah yang memiliki wewenang menetapkan hukum. Allah berfirman, “Dan barangsiapa tidak menghukumi (sesuatu) dengan hukum yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.” Tugas para Rasul hanyalah menyampaikan hukum Allah dan tugas para mujtahid hanya memperkenalkan dan menyingkap hukum itu melalui banyak metode dan kaidah yang diletakkan oleh ilmu Ushul Fiqh.

Ijma’ sudah bulat bahwa hakim itu adalah Allah, akan tetapi ulama berbeda pendapat tentang satu hal, atau menurut kami dua hal, yakni:


Pertama, apakah hukum Allah itu tidak bisa diketahui kecuali dengan perantara para rasul-Nya atau mungkinkah bagi akal mengetahui dengan sendirinya dan atas dasar apa?

Kedua, jika akal bisa mengetahui hukum Allah tanpa melalui perantara para rasul maka apakah pencapaian pengetahuan itu dapat menjadi dasar pembebanan hukum (taklif) serta segala konsekuensinya seperti dosa dan siksa di akhirat serta pujian dan celaan di dunia?

Ulama berbeda pendapat mengenai dua masalah tersebut, berikut kami rangkum pendapat mereka lalu kami akan menjelaskan mana yang paling rajih (kuat/mendekati kebenaran).[1]

Kelompok pertama, yakni Madzhab Mu’tazilah dan sebagian madzhab Ja’fariyah. Rangkuman pendapatnya: setiap perbuatan itu mengandung nilai kebaikan dan keburukan esensial (dzati), akal bisa dengan sendirinya mengetahui nilai kebaikan dan keburukan pada sebagian besar perbuatan dengan melihat sifat-sifatnya dan akibat baik atau buruknya, yakni manfaat (maslahah) dan kerugian (mudlarat) yang ditimbulkannya.

Jika pengetahuan ini (baik dan buruk) tidak datang melalui para rasul dan risalahnya, maka nilai baik-buruknya perbuatan adalah perkara akal, bukan syara’, dengan kata lain penetapannya bukan berdasarkan syara’, karena Allah menetapkan hukum itu sesuai dengan tingkat nalar akal mengenai nilai baik dan buruknya perbuatan. Apa yang baik menurut akal maka baik pula menurut Allah dan manusia dituntut untuk mengerjakannya, jika dia melakukan maka dia mendapat pujian dan pahala, begitu juga sebaliknya jika dia meninggalkan maka mendapat cela dan siksa. Apa yang buruk menurut akal maka buruk menurut Allah dan manusia dituntut meninggalkannya, jika dia meninggalkan maka dia mendapat pujian dan pahala, begitu pula sebaliknya.

Menurut kelompok ini, syari’at selalu sesuai dengan nalar akal tentang nilai baik dan buruk. Jika menurut akal baik, maka syari’at pasti menetapkan harus untuk dilakukan, tidak mungkin menetapkan harus ditinggalkan, begitupula jika menurut akal suatu perbuatan itu buruk. Apabila akal tidak mampu menjangkau nilai baik-buruknya seperti dalam beberapa perkara ibadah dan tata-caranya, maka perintah atau larangan dari syari’ itulah yang menyingkap nilai kebaikan atau keburukannya.

Berdasarkan hal tersebut, mereka mengatakan bahwa manusia sudah dibebani hukum (mukallaf) sebelum diutusnya rasul dan sebelum dakwah sampai padanya. Dia harus melakukan perbuatan yang menurut akal baik dan meninggalkan perbuatan yang menurut akal buruk, karena itu adalah hukum Allah. Dengan adanya pembebanan hukum tersebut maka timbul tanggungjawab dan hisab serta konsekuensi pahala dan dosa.

Kelompok kedua, yakni Asy’ariyah pengikut Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari dan ulama fiqh yang sependapat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama ushul.

Ringkasan pendapatnya: akal tidak bisa dengan sendirinya mengetahui hukum Allah, tetapi harus melalui perantara para rasul dan risalahnya. Tidak ada yang namanya kebaikan esensial pada suatu perbuatan yang mengharuskan Allah memerintah karena kebaikan itu, begitu juga tidak ada keburukan esensial dalam suatu perbuatan yang mengharuskan Allah melarang karena keburukan itu. Kehendak Allah adalah mutlak, tidak dibatasi sesuatupun. Perbuatan baik adalah sesuatu yang ada dengan adanya perintah syari’ untuk melakukannya, dan perbuatan buruk adalah sesuatu yang ada dengan adanya perintah syari’ untuk meninggalkannya. Nilai kebaikan dan keburukan suatu perbuatan tidak ada sebelum adanya perintah atau larangan syari’. Perbuatan itu menjadi baik jika syari’ memerintahkannya bukan karena esensi perbuatan itu, dan perbuatan itu menjadi buruk jika syari’ melarangnya bukan karena esensi perbuatan itu. Dengan demikian baik-buruknya suatu perbuatan itu tergantung pada perintah atau larangan syari’ bukan karena nilai kebaikan dan keburukan esensialnya.

Berdasarkan hal tersebut maka menurut mereka tidak ada hukum Allah yang dibebankan kepada hambanya sebelum diutusnya para rasul. Jika rasul belum datang menyampaikan hukum Allah maka mereka tidak dibebani hukum, tidak ada kewajiban dan larangan bagi mereka. Karena tidak ada hukum maka tidak ada pembebanan hukum (taklif) dan karena tidak ada pembebanan hukum maka tidak ada hisab, pujian dan pahala serta celaan dan dosa.

Kelompok ketiga, yakni kelompok Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi, sebagian muhaqqiq (mujtahid) Hanafiyah dan ulama ushul serta sebagian kelompok Ja’fariyah dan lain-lain.

Ringkasan pendapatnya: perbuatan-perbuatan itu memiliki nilai baik dan buruk yang sebagian besarnya bisa diketahui oleh akal berdasarkan sifat-sifat yang ada padanya serta maslahah dan mafsadah yang ditimbulkannya. Akan tetapi adanya nilai kebaikan yang bisa dijangkau akal itu tidak mengharuskan syari’ memerintahkannya, dan nilai keburukan pada perbuatan tidak mengharuskan syari’ melarangnya, karena akal bilamana sudah mendalam maka dia terbatas dan bilamana sudah meluas maka dia kurang.

Maka kesimpulan yang bisa ditarik adalah: nilai kebaikan suatu perbuatan yang bisa dijangkau oleh akal menjadikan perbuatan itu layak diperintahkan oleh syari’ dan nilai keburukan suatu perbuatan yang bisa dijangkau akal menjadikan perbuatan itu layak dilarang oleh syari’, tidak bisa dikatakan bahwa nilai baik-buruk itu mengharuskan hukum Allah memerintah atau melarangnya.

Berdasarkan hal di atas mereka berpendapat bahwa hukum Allah tidak bisa dijangkau tanpa perantara rasul dan risalahnya. Allah tidak memberi ketetapan pada perbuatan manusia sebelum diutusnya para rasul dan risalah mereka. Jika tidak ada hukum maka tidak ada pembebanan hukum dan jika tidak ada pembebanan hukum maka tidak ada pahala maupun dosa.


Pendapat yang Terpilih
Pendapat kelompok ketiga adalah pendapat yang paling kuat dan hal ini diperkuat oleh dalil al-Kitab dan akal. Banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Allah hanya memerintahkan perbuatan yang baik dan hanya melarang perbuatan yang buruk. Nilai baik-buruk suatu perbuatan sudah ada dalam perbuatan sebelum datangnya perintah dan larangan, antara lain, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat baik, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (An-Nahl: 90). “(Allah) memerintahkan mereka berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran dan menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang buruk-buruk” (Al-A’raf: 157). Yang diperintahkan syari’ seperti berbuat adil dan berbuat baik, yang dilarang seperti berbuat keji, mungkar dan bermusuhan, hal-hal baik yang dihalalkan serta hal-hal buruk yang diharamkan, semua sifat baik dan buruk tersebut sudah ada dalam perbuatan sebelum datangnya hukum syara’ dan hal ini menunjukkan bahwa suatu perbuatan itu memiliki esensi baik dan buruk.

Akal dengan segera dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan. Keadilan dan kejujuran adalah baik, kelaliman dan kebohongan termasuk buruk. Meskipun demikian hukum Allah tidak bisa diketahui kecuali melalui perantara rasul-Nya. Jika rasul tidak menyampaikan hukum Allah kepada manusia, maka perbuatan manusia tidak ada yang dihukumi wajib atau haram, berdasarkan dalil firman-Nya, “Dan kami tidak akan memberi siksaan sampai kami mengutus seorang utusan (rasul)” (Al-Isra’: 15). Tidak ada siksa sebelum rasul diutus dan sampainya dakwah. Tidak ada siksa maka tidak ada taklif dan jika tidak ada taklif maka tidak ada hukum Allah pada perbuatan manusia, yakni hukum Allah dalam bentuk perintah dan kebolehan memilih antara melakukan atau meninggalkan.

Begitu indahnya pernyataan Imam Syaukani ketika dia mengatakan, “Mengingkari kemandirian akal yang dapat menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah bertentangan dan bohong...,tidak dapat diterima jika akal mengetahui bahwa perbuatan baik itu berkaitan dengan pahala dan perbuatan buruk itu berkaitan dengan dosa. Puncak pengetahuan yang bisa diketahui akal adalah pelaku perbuatan baik itu mendapatkan pujian dan pelaku perbuatan buruk itu mendapat celaan, hal ini tidak pasti berhubungan dengan pahala dan dosa.”[2]


Buah dari Perbedaan
Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, maka timbul beberapa konsekuensi sebagai berikut:

Pertama, menurut kelompok Mu’tazilah, pada umunya orang yang tidak mendengar dakwah Islam dan risalah rasul harus dihisab dan mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena tuntutannya adalah: melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal, itulah hukum Allah.

Sedangkan menurut kelompok Asy’ariyah, Maturidiyah dan yang sependapat: orang yang tidak pernah mendengar dakwah maka mereka tidak dihisab serta tidak mendapat pahala dan dosa.

Kedua, setelah turunnya syari’at Islam, ulama sepakat bahwa hukum Allah dapat diketahui dengan perantara Al-Kitab atau Sunah Nabi SAW, keduanya sudah disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Jika suatu masalah tidak ada hukum syariatnya, maka para ulama memilih pendapat kelompok pertama, yakni: logika nilai baik dan buruk. Akal menjadi sumber hukum, artinya: masalah yang tidak ada hukumnya dihukumi wajib jika akal menilainya baik dan dihukumi haram jika akal menilainya buruk, karena landasan hukum Allah adalah sifat/nilai baik dan buruk pada suatu perbuatan. Jika suatu masalah tidak ada hukumnya, maka artinya syari’ memperbolehkan kita kembali kepada akal berlandaskan nilai baik dan buruk dan ada dalam masalah itu. Menurut pendapat kelompok kedua dan ketiga (Asy’ariyah dan Maturidiyah), akal tidak menjadi sumber hukum dan hukum diambil dari sumber-sumber fiqh tetap, bukan akal.

____________________________________

[1] Tentang pembahasan ini, lihat: Mirqah al-Wushul dan Hasyiyah al-Izmiriy Juz 1 hal. 276 dst, Muslam al-Tsubut dan syarahnya fawatih al-Rahamut Juz 1 Hal. 25 dst, Al-Mustasyfa-nya Al-Ghazali Juz 1 hal 55. Irsyad al-Fuhul­-nya Al-Syaukani Hal. 6 dst, Al-Taudlih dan syarahnya Al-Talwih Juz 1 Hal 172 dst. Tentang ushul-nya Al-Ja’fariyah lihat: kitab Al-Qawanin-nya Abu al-Qasim al-Jailani, Al-Fushul fi al-Ushul-nya Syaikh Muhammad Husain bin Muhammad Rahim, Taqrirat al-Na’ini Juz 2 Hal. 34 dst, dan Al-Araik-nya Syaikh Mahdi hal. 130 dst.

[2] Al-Syaukani Hal. 8.

No comments:

Post a Comment