(Courtesy of http://infopublik.kominfo.go.id)
Hasil penelitian yang dilakukan Partisipasi Indonesia menunjukan bahwa industri rokok menggunakan sistem outsourcing. Menurut Managing Director Partisipasi Indonesia, Arie Ariyanto, produktivitas industri rokok di Indonesia cukup produktif dengan kenaikan produksi rata-rata 4 persen pertahun. Menurutnya, hal itu yang membuat perusahaan asing berminat untuk menggarap industri rokok di Indonesia.
Sayangnya, dari tingginya produktivitas itu tak berbarengan dengan meningkatkan kesejahteraan para pekerjanya. Khususnya para pekerja yang bertugas melinting rokok. Dari penelitian yang dilakakukan terhadap salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia yang lebih dari 30 persen sahamnya dimiliki asing, Arie mengatakan perusahaan itu menggunakan sistem outsourcing. Yaitu dalam proses melinting rokok. Arie mengatakan perusahaan itu menyerahkan proses pelintingan rokok kepada perusahaan lain. Perusahaan lain yang diberi tugas untuk melinting rokok itu dinamakan Mitra Produksi Sigaret (MPS).
Dari data yang dihimpunnya, Arie menyebut sampai saat ini perusahaan itu menggandeng 40 MPS yang berlokasi di pulau Jawa dengan jumlah pekerja lebih dari 60 ribu. Sementara, sampai tahun 2011 jumlah pekerja tetap di perusahaan rokok yang memberi pekerjaan pelintingan itu hanya 28.300 orang.
Mengacu data itu Arie menyebut jumlah pekerja outsourcing -walau bekerja di perusahaan lain- jumlahnya lebih banyak ketimbang pekerja tetap di perusahaan rokok itu. Dari informasi yang diperoleh pihak perusahaan rokok tersebut, Arie mengatakan alasan utama melakukanoutsourcing itu adalah efisiensi di segi produksi dan ketenagakerjaan.
Sebagaimana peraturan ketenagakerjaan yang ada Arie melihat proses pelintingan itu sebagai pekerjaan pokok. Oleh karenanya, Arie melihat ada dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan rokok tersebut.
Dengan terbitnya Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Permenakertrans Outsourcing), Arie melihat ada potensi pekerjaan yang dilakukan oleh MPS dianggap pemborongan pekerjaan. Sehingga, dapat lepas dari sanksi yang ada dalam Permenakertrans itu. “Saya khawatir nanti MPS di masukan ke dalam pemborongan pekerjaan,” kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (21/11).
Pasalnya, sebelum menyerahkan pekerjaan pelintingan, perusahaan rokok itu menerapkan beberapa syarat. Salah satunya pengerjaannya dilakukan secara terpisah. Sedangkan untuk bahan rokok yang dilinting berasal dari perusahaan rokok yang memberi pekerjaan itu.
Pada kesempatan yang sama, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan dalam UU Ketenagakerjaan tidak menyebut soal outsourcing, menurutnya itu hanya istilah yang populer di masyarakat. Namun, dalam peraturan itu disebut penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya. Yaitu terdapat di pasal 66 UU Ketenagakerjaan, khusus mengatur tentang penyerahan sebagaian pekerjaan kepada perusahan penyedia jasa pekerja.
Namun, salah satu syarat penting yang harus diperhatikan menurut Timboel adalah jenis pekerjaan yang dapat dialihkan itu hanya pekerjaan yang tergolong pekerjaan penunjang. Menurutnya hal itu juga dijelaskan dalam Permenakertrans Outsourcing. “Bukan pekerjaan pokok (core),” tuturnya.
Terkait proses pelintingan rokok, Timboel menilai termasuk dalam jenis pekerjaan pokok (core), sehingga tak dapat dialihkan ke perusahaan lain (outsourcing). Pasalnya, jika proses pelintingan itu ditiadakan, maka dapat mengganggu proses produksi di perusahaan rokok. Jika itu terjadi, maka perusahaan rokok tidak dapat menjual produknya. Oleh karenanya, Timboel menyebut proses pelintingan rokok tidak dapat di-outsourcing.
Mengacu peraturan perundang-undangan yang ada Timboel menekankan MPS itu apakah berbadan hukum atau tidak. Pasalnya, sebuah perusahaan penerima pekerjaan (outsourcing) harus punya izin dari dinas ketenagakerjaan di daerah untuk menyelenggarakan bisnis outsourcing. Jika syarat itu tak terpenuhi maka status pekerja outsourcing dapat berubah menjadi pekerja tetap di perusahaan pemberi pekerjaan atau perusahaan rokok yang memberi pekerjaan pelintingan tersebut.
Menurut Timboel, tak sedikit putusan pengadilan perselisihan hubungan industrial (PHI) yang mengalihkan status pekerja outsourcing menjadi pekerja tetap di perusahaan pemberi pekerjaan karena izin perusahaan outsourcing itu tak punya izin untuk menyelenggarakan outsourcing. Jika perusahaan outsourcing sudah berizin, Timboel mengingatkan izin tersebut memiliki masa berlaku.
Bagi Timboel, masa berlaku itu harus ikut menjadi perhatian. Selain itu Timboel mengatakan jika mau mengalihkan sebagian pekerjaannya kepada perusahaan penyedia pekerja (outsourcing) hal seperti itu harus diperhatikan perusahaan pemberi pekerjaan agar tak melanggar hak pekerja. “Itu juga (terjadi,-red) karena manajemen tidak menanyakan ke perusahaan outsourcing soal izin,” imbuhnya.
Tapi pada intinya Timboel berpendapat outsourcing untuk penyedia jasa pekerja lekat dengan eksploitasi terhadap pekerja. Pasalnya, banyak hak pekerja yang tidak diperhatikan, salah satunya soal pesangon. Oleh karenanya outsourcing jasa pekerja itu layak dihapus. Melihat Permenakertrans Outsourcing masih membolehkan lima jenis pekerjaan, Timboel menilai hal itu sebagai bentuk kompromi pemerintah. Pasalnya, pihak pengusaha ingin jenis pekerjaan itu lebih dari lima.
Menanggapi sistem outsourcing yang ada di industri rokok, anggota Komisi IX DPR dari PDIP, Nursuhud, menyebut mengetahuinya. Sampai saat ini dia menyebut masih memperjuangkan agar perusahaan rokok yang bersangkutan dipanggil untuk dimintai keterangan di Komisi IX DPR.
Pengawas Ketenagakerjaan
Terkait pengawas ketenagakerjaan, Nursuhud menilai pemerintah tak serius. Pasalnya, di tengah kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan yang minim, sampai saat ini pemerintah tak kunjung membenahinya. Ujungnya, banyak pelanggaran ketenagakerjaan yang tak terselesaikan dengan baik.
Soal usulan agar pengawas ketenagakerjaan tidak diserahkan ke pemerintah daerah, namun dialihkan kembali ke pemerintah pusat, Nursuhud mengatakan hal itu tak dapat dilakukan. Pasalnya, terbentur dengan berlakunya otonomi daerah. Namun, mengingat UU Pemerintah Daerah sedang dibahas revisinya di DPR, Nursuhud menilai hal itu dapat digunakan sebagai peluang dalam memperkuat pengawas ketenagakerjaan. “Bisa diatur bagaimana memaksimalkan pengawasan,” ucapnya.
Sementara Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan penelitian yang dihasilkan Partisipasi Indonesia itu semakin menegaskan bahwa sistemoutsourcing sudah menyebar ke seluruh sektor industri. Dengan terbitnya PermenakertransOutsourcing, Ikbal mengatakan ada potensi besar pekerja yang tadinya berstatus pekerjaoutsourcing beralih menjadi tetap. Khususnya bagi perusahaan yang menggunakan jasa perusahaan outsourcing di luar lima jenis pekerjaan.
Atas dasar itu Ikbal mengatakan peran penting untuk terimplementasinya PermenakertransOutsourcing itu berada di pegawai pengawas ketenagakerjaan. Dia menyatakan koalisi serikat pekerja yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) akan membantu pemerintah mengawal Permenakertrans itu. Misalnya, membentuk Satgas untuk mendata berapa jumlah pekerja yang berstatus kontrak dan outsourcing di berbagai perusahaan. Nantinya, data yang dihasilkan akan diserahkan kepada dinas tenaga kerja, agar petugas pengawas ketenagakerjaan menegur perusahan yang dinilai melanggar aturan.
Jika perusahaan yang ditegur tak mematuhinya, Ikbal menambahkan, serikat pekerja akan bergerak untuk mendesak agar perusahaan tersebut mematuhinya. Menurutnya, pekerja harus berjuang untuk mendapatkan haknya yang kerap diabaikan. Misalnya, peningkatan upah minimum, menurutnya hal itu salah satu dampak dari gerakan yang dibangun serikat pekerja. “Makanya buruh harus bangkit melawan (ketidakadilan,-red).”
No comments:
Post a Comment