Di dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah pernikahan menurut Islam, yaitu ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidzon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan, dalam Pasal 3 KHI dinyatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Dalam perkawinan ada hal-hal yang dibolehkan, dan ada yang dilarang. Incest (hubungan sedarah, dan lebih jauh berarti hubungan badan atau hubungan seksual yang terjadi antara dua orang yang mempunyai ikatan pertalian darah, misal bapak dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar-sesama saudara kandung atau saudara tiri) adalah salah satu hal terlarang di dalam hukum Islam.
Secara tegas Al Quran Surah An Nisa: 23 menyatakan larangan yang artinya:
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya); (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Pelanggaran ketentuan tentang larangan pernikahan atau rukun pernikahan atau syarat-syarat pernikahan dalam ketentuan Hukum Perkawinan Indonesia terdapat dalam Pasal 39 butir (1) huruf a KHI, yang menyatakan:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita disebabkan:
(1) Karena pertalian nasab:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya, atau keturunannya.
b. ....
Terkait permasalahan nasab, jika anak terlahir dari pernikahan sedarah (incest) yang diketahui sejak awalnya, karena masih ada hubungan mahram, maka hal tersebut adalah pernikahan yang diharamkan.
Adapun mengenai anak sah, diatur dalam:
a. Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
b. Pasal 99 huruf a KHI, yang menyatakan, anak sah adalah anak yang dilahirkan dari ikatan perkawinan yang sah.
Menurut sebagian ulama, hukum anak hasil incest, diqiyaskan kepada anak di luar nikah yang hanya dinisbatkan kepada Ibunya dengan argumentasi bahwa pernikahan jenis ini dianggap batal demi hukum sehingga dianggap tidak pernah terjadi pernikahan antara kedua suami-isteri.
Jika di awal perkawinan kedua belah pihak tidak mengetahui hubungan darah di antara mereka, di antara ulama kontemporer seperti Al-Jaziri memberikan pandangan yang berbeda dengan menyatakan bahwa anak yang lahir dari pernikahan tersebut tetap dinasabkan kepada kedua orang tuanya karena ia dilahirkan dari pernikahan yang sah, dan anak tersebut memiliki setiap hak yang melekat pada anak yang sah di mata hukum, termasuk untuk masalah warisannya.
Setelah salah satunya mengetahui status larangan menikah antara mereka, maka wajib bagi keduanya untuk berpisah. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 70 huruf d butir 1 KHI, yang menyatakan sebagai berikut:
Perkawinan batal apabila:
(d) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan, menurut pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
Jika suami-isteri sama-sama tidak mengetahui hubungan sedarah mereka, maka hukum yang berlaku adalah seperti konsep hilangnya beban hukum atas tiga orang; orang yang khilaf (QS. Al Ahzab: 5), lupa dan orang yang dipaksa. Jika keduanya tidak mengetahui adanya cacat nikah dari aspek larangan pernikahan, maka hubungan suami-isteri yang lalu adalah sah dan tidak dianggap sebagai perbuatan zina.
Dalam hal pihak istri kemudian baru mengetahui hubungan sedarah antara dirinya dan suaminya setelah suaminya meninggal, maka hal tersebut tidak dimasukkan dalam kriteria perzinahan. Dan anak hasil perkawinan mereka tetap bernasab kepada bapaknya dan juga berhak mewaris kepada bapak dan ibunya.
Jika ternyata pihak istri sebenarnya sudah mengetahui keadaan hubungan sedarah antara ia dan suaminya (yang juga adalah bapak kandungnya), tetapi tetap menyembunyikan pengetahuannya tersebut terhadap suaminya (yang juga adalah bapak kandungnya tersebut) padahal ia mengetahui adanya larangan pernikahan di antara mereka, maka yang menanggung beban dosa zina tersebut tentunya adalah pihak istri (anak perempuannya tersebut).
Dan karenanya, untuk pihak istri tersebut berlaku hukum perzinahan dengan keluarga sedarah (bapak kandungnya). Dan hal tersebut tentu membawa akibat hukum terhadap status anak yang dilahirkan (kalau sang istri mengetahui tetapi menyembunyikan).
Status anak tersebut adalah anak tidak sah (jika istri mengetahui hubungan hubungan sedarah tersebut sejak dari awal pernikahannya). Dan karenanya kelak anaknya hanya mempunyai nasab dan waris dengan ibunya saja.
Jika istri mengetahui status hubungan sedarah mereka setelah kelahiran anaknya, dan kemudian mereka bercerai, maka anak tersebut tetap termasuk anak sah. Perkawinan tersebut adalah sah selama tidak diketahui tentang informasi tentang hubungan nasab tersebut. Setelah diketahuinya larangan perkawinan sedarah, maka perkawinan tersebut batal demi hukum.
Tetapi putra mereka berhak mewaris dari bapak dan ibunya. Dan saat penghitungan waris, maka tidak ada perbedaan dengan anak dari pernikahan biasa, baik dalam posisi maupun takarannya.
Adapun jika ada wasiat yang diberikan oleh suami kepada istrinya, (yang juga sebenarnya adalah anaknya), Abu Umamah Al Bahili ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda pada saat khutbah haji wada’, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi masing-masing orang haknya, karenanya tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Daud no. 3565, At-Tirmizi no. 2120, Ibnu Majah no. 2704, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1655).
Dengan demikian, jika istrinya juga saat kematian suaminya tidak mengetahui status larangan perkawinan di antara mereka, maka terhadap dirinya, posisinya tetap sebagai ahli waris yang tidak berhak menerima wasiat.
Bahkan, jika kemudian ternyata saat suaminya meninggal, dia baru mengetahui status hubungan mereka, maka ia justru semakin tertolak atas wasiat yang diberikan.
Dasar hukum:
1. Al Quran
2. Al Hadist
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
No comments:
Post a Comment