Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - “UUP”).
Dijelaskan dalam bagian penjelasan umum UUP bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Wujud dari pencatatan perkawinan adalah diterbitkannya akta nikah. Sesuai Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah (“Permenag 11/2007), akta nikah adalah akta otentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan. Setelah perkawinan dicatatkan, pasangan yang menikah akan diberikan buku nikah. Buku nikah merupakan kutipan dari akta nikah sebagai bentuk pembuktian hukum adanya perkawinan (Pasal 7 ayat [1] Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Bagi yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu disimpan oleh Pegawai Pencatat dan satu helai disimpan di Panitera Pengadilan di wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada, dan suami-istri masing-masing diberikan buku kutipan akta perkawinan (Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Berdasarkan Pasal 35 Permenag 11/2007, terhadap buku nikah yang hilang, dapat diterbitkan duplikat buku nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan surat keterangan kehilangan atau kerusakan dari kepolisian setempat.
Sebagaimana dijelaskan dalam situs resmi Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, jika buku nikah hilang, bisa meminta Duplikat Kutipan Akta Nikah ke KUA tempat Perkawinan dilangsungkan. Merujuk kembali pada Pasal 35 Permenag 11/2007, sebelumnya harus melaporkan kehilangan tersebut ke kepolisian setempat terlebih dahulu.
Jika ternyata catatan perkawinan juga tidak ada di KUA setempat, sehingga keabsahan perkawinan tidak dapat dibuktikan atau diragukan dan duplikat akta nikah tidak dapat diterbitkan, harus diajukan permohonan pengesahan itsbat nikah agar perkawinan mempunyai kekuatan hukum.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) KHI, itsbat nikah diajukan ke pengadilan agama terkait dengan hal-hal berikut:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974; dan
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengajukan permohonan itsbat nikah dapat simak dalam Panduan Itsbat Nikah, secara singkat adalah sebagai berikut:
Langkah 1. Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan Setempat.
Langkah 2. Membayar Panjar Biaya Perkara.
Langkah 3. Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan.
Langkah 4. Menghadiri Persidangan.
Langkah 5. Putusan/Penetapan Pengadilan.
Jadi, ketika buku nikah hilang, kehilangan tersebut dilaporkan ke kantor kepolisian setempat untuk kemudian menjadi dasar permohonan diterbitkannya duplikat kutipan akta nikah. Jika ternyata akta nikah asli juga tidak ditemui di KUA setempat, itsbat nikah dapat diajukan ke pengadilan agama sesuai langkah-langkah yang diuraikan di atas, sehingga hubungan hukum perkawinan dapat dibuktikan.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;
5. Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.
No comments:
Post a Comment