Jangan sembarangan mengumbar janji, apalagi janji untuk mengawini. Petuah bijak itu sebenarnya bisa kita petik dari ungkapan ‘mulutmu harimaumu’. Janji untuk mengawini seseorang sudah sering terlontar dari mulut pasangan. Janji cinta tersebut malah sering meninabobokkan pasangan sehingga mereka lupa diri dan melakukan tindakan berlebihan. Misalnya, melakukan hubungan suami isteri sebelum waktunya.
Tidak sedikit janji kawin yang akhirnya tidak ditepati. Tidak menepati janji kawin bagi sebagian orang mungkin hal yang biasa. Mempersoalkan janji tersebut sama saja menggantang asap. Apalagi jika pasangan yang mengumbar janji ternyata sudah menikah dengan perempuan atau laki-laki lain.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenal istilah “perjanjian perkawinan”. Sebelum melangsungkan perkawinan, pasangan boleh mengadakan perjanjian tertulis sepanjang substansi perjanjian tidak melanggar batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Bila perjanjian perkawinan dibuat tertulis, tidak demikian halnya janji menikahi. Pada umumnya, janji menikahi disampaikan secara lisan, bahkan mungkin sebagai bagian dari upaya merayu pasangan. Ada yang berhasil merayu, ada pula yang tidak. Berhasil merayu pasangan berkat iming-iming janji dinikahi, bukan berarti bebas melaksanakan tindakan melanggar hukum. Kalau Anda kebablasan, misalnya, sampai pasangan Anda hamil, akibatnya bisa berantakan.
Begitulah pelajaran yang bisa dipetik dari sejumlah putusan yang pernah dijatuhkan Mahkamah Agung berkaitan dengan janji menikahi. Dalam salah satu putusan (No. 522 K/Sip/1994), MA menghukum si pria (sebut saja D) yang kebablasan bertindak setelah berjanji menikahi, dan bertunangan dengan seorang perempuan (sebut saja R). Gara-gara janji menikahi ‘nyaris’ terealisir, D dan R melakukan hubungan suami isteri sampai sang perempuan hamil. Kehamilan itu ternyata tidak diharapkan D, dan memaksa calon pasangannya menggugurkan kandungan. Upaya paksa dibarengi dengan pukulan dan tendangan. MA akhirnya menghukum si pria dengan pidana menyerang kehormatan susila, pencurian dengan kekerasan, dan penganiayaan mengakibatkan luka berat.
PMH
Dalam putusan atas perkara lain, MA secara tegas menyatakan tidak menepati perjanjian untuk melangsungkan pernikahan adalah perbuatan melawan hukum. Karena itu pula, tergugat dihukum membayar ganti rugi kepada penggugat untuk pemulihan nama baik penggugat. Putusan MA dalam perkara ini seolah mendobrak pakem yang dirumuskan pasal 58 KUH Perdata.
Pasal 58 KUH Perdata merumuskan tiga hal. Pertama, janji menikahi tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal. Kedua, namun jika pemberitahuan nikah telah diikuti suatu pengumuman, maka hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian. Ketiga, masa daluarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan.
Kembali ke soal perbuatan melawan hukum (PMH). Dalam sebuah perkara yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, MA menghukum tergugat melakukan PMH gara-gara tidak menepati janji untuk menikahi. Berdasarkan keterangan atasan tergugat, tergugat sudah memperkenalkan penggugat sebagai calon isterinya kepada orang lain. Beberapa dokumen penting, seperti tabungan, juga sudah diserahkan tergugat kepada penggugat sebagai bukti keseriusannya mau menikahi. Mereka malah hidup bersama. Tetapi ketika si perempuan menagih janji untuk dinikahi, si laki-laki ingkar. MA menyatakan perbuatan di pria “melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat”. Karena itu pula, perbuatan si pria dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Adat
Dalam masyarakat yang masih kuat memegang prinsip adat, tidak menepati janji menikahi bisa berakibat fatal. Yang ribut bukan hanya pasangan calon suami-isteri, tetapi juga bisa merembet ke hubungan keluarga besar. Kasus semacam ini pula yang pernah ditangani dan diputus MA. Si laki-laki dianggap melanggar adat pualeu manlu pada masyarakat Biboki, Timor, karena tidak menepati janji menikahi perempuan.
“Jangan takut, saya pasti mengawinimu,” begitulah kata-kata yang sering terucap dari bibir si laki-laki (sebut saja Ed) manakala merayu si perempuan (inisial Mp). Setelah lebih setahun menjalin hubungan, berbekal rayuan janji menikahi, Ed menggauli Mp sampai Mp hamil. Kehamilan Mp akhirnya diketahui keluarganya.
Keluarga berinisiatif menyelesaikan masalah ini secara adat. Keluarga Ed datang dan kembali mengakui perbuatan Ed. Keluarga juga bersedia dihukum secara adat. Namun pas hari yang sudah ditentukan, tak seorang pun keluarga Ed datang. Padahal keluarga si perempuan sudah mempersiapkan acara adat.
Merasa dipermalukan, keluarga si perempuan akhirnya membawa masalah ini ke jalur hukum. Dalam putusannya MA mengutip keterangan ahli. Berdasarkan adat masyarakat Biboki, bila seorang nona bujang telah hamil, lalu dicari tahu siapa pelakunya. Bila pelakunya tidak mau bertanggung jawab memenuhi janji menikahi si perempuan yang telah dia hamili, si pria dikenakan sanksi adat tatam fani benas sesuai persetujuan kedua belah pihak. MA akhirnya menjatuhkan putusan yang menyatakan si laki-laki dan keluarganya melanggar hukum adat pualeu manleu.
Meskipun putusan-putusan MA ini sudah bertahun-tahun lalu dijatuhkan, tetapi masih kontekstual. Janji menikahi masih sering terdengar sekedar janji atau umbaran kata-kata. Dalam kasus tersebut, ternyata bukan hanya sekedar janji lisan, melainkan sudah ada tindakan atau dampak dari janji tersebut.
Terobosan
Aktivis perempuan Ratna Batara Munti sangat mendukung putusan MA yang menghukum orang yang tidak menepati janji menikahi. Selama ini, kalau ada perempuan yang mempersoalkan janji tersebut, mereka seolah menabrak tembok. “Kasus-kasus ingkar janji seperti menabrak tembok. Tidak pernah ada keadilan buat perempuan yang sudah dipermalukan baik di keluarga maupun di muka umum,” ujarnya kepada hukumonline.
Komisioner Komnas Perempuan, Sri Wiyanti Eddyono, juga menilai perbuatan mengingkari janji menikahi sering terjadi namun sulit untuk diangkat ke ranah hukum. “Selama ini sulit diselesaikan secara hukum,” tegasnya.
Putusan MA tersebut jika sudah menjadi yurisprudensi, kata Sri Wiyanti, justru bisa menjadi positif bagi korban ingkar janji. Bahkan mungkin menjadi terobosan penting yang bisa menjadi pegangan. Cuma, diakui Sri Wiyanti, yang paling sulit jika dibawa ke ranah hukum adalah membuktikan adanya janji mengawini tersebut.
Dalam kasus-kasus di atas, MA merujuk pada bukti dokumen, keterangan saksi dan ahli. Dari bukti dokumen, ternyata telah terjadi percampuran keuangan. Dari saksi-saksi terbukti bahwa si laki-laki selalu memperkenalkan si perempuan sebagai calon isterinya kepada orang lain. Dan, dari keterangan ahli, perbuatan si laki-laki sudah melanggar adat istiadat setempat dimana perempuan yang belum menikah seharusnya dihormati calon suaminya.
No comments:
Post a Comment