Beban Masa Lalu dalam Teori Sosial
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tokoh-tokoh besar meninggalkan beban bagi generasi sesudah mereka. Pencapaian mereka yang luar biasa di bidang politik, seni, atau pemikiran, membuat generasi sesudah mereka, yang memperoleh manfaat dari prestasi mereka, merasa tak berdaya karena tak ada lagi persoalan yang benar-benar penting untuk diselesaikan. Terbersit pula perasaan bahwa peluang-peluang yang paling gemilang telah habis diselidiki dan diperas manfaatnya. Akibatnya, generasi penerus seakan menghadapi dilema, menjadi sekedar pelestari karya-karya agung yang diwariskan oleh tokoh-tokoh besar, atau --berbekal hasrat akan kemandirian, tetapi kalah dalam kecemerlangan-- mengerucutkan ambisi secara drastis dan dengan keahlian teknisnya bertekad untuk menguasai satu bidang yang sempit.
Dalam sejarah pemikiran spekulatif, bentuk dilema ini memang khas. Di satu sisi, para peniru (epigone) dapat menjadi peneliti dan penafsir teks-teks klasik, kendati sembari menanggung malu karena hilangnya kemandirian intelektual mereka. Di sisi lain, mereka dapat berdalih bahwa masa sebelum mereka termasuk masa prasejarah belum jelas dalam dunia ilmu mereka, dan dalam masa itu masih terbuka peluang untuk berkarya tanpa dibatasi pembedaan-pembedaan antar disiplin ilmu. Sebagai alternatif agar terhindar dari pembandingan dari para pendahulu, mereka menekuni spesialisasi dengan risiko terjerumus ke dalam minoritas intelektual permanen.
kedua respon terhadap masalah yang datang setelah zaman sarat prestasi gemilang ini merupakan kegagalan pikiran dan batin. Kedua respon itu melambangkan penolakan untuk menghadapi kebesaran sejarah secara langsung dan meneladani dengan berani dan jujur apa yang dikagumi. Sikap pengecut semacam itu sangat mahal mahal harganya karena menjerumuskan para sarjana untuk diam-diam melecehkan diri sendiri dengan kedok skeptisisme defensif terhadap teori umum. Dalam situasi seperti ini, satu-satunya cara untuk meneguhkan identitas adalah dengan mempermasalahkan hal-hal kecil dalam karya-karya agung mereka --mencari-cari kehebatan kepiting yang menjadi figur zodiak gara-gara binatang ini menggigit mata kaki Hercules.
Memang ada situasi ketika sikap semacam itu menjadi lebih sulit atau mudah untuk dihindari. Jika rentang waktu dengan zaman gemilang ini sudah jauh, memiliki sikap sendiri dan mempertahankannya akan jauh lebih mudah. Para pemikir yang dianggap menjadi panutan hidup orang lain adalah tokoh klasik. Anehnya, tindakan mendefinisikan karya-karya agung yang paling diminati sebagai tokoh klasik itu bersifat membebaskan, sebab itu berarti orang tersebut sudah bisa mengakuui generasi pemikir masa lalu, berusaha menyamai atau bahkan melebihi mereka, namun dengan tetap memahami kekhasan situasi yang dialaminya sendiri dan arti penting tugas-tugas yang harus diselesaikan. Dengan demikian, dia tak perlu lagi takut menghadapi masalah-masalah yang belum terselesaikan dalam karya-karya pemikir klasik sebagai permasalahannya sendiri dan dengan lega dan leluasa menyejajarkan diri sebagai mitra kerja tokoh-tokoh tersebut.
Segala hal tentang hubungan antara kebesaran dan kejayaan yang telah dipaparkan dalam paragraf-paragraf di atas ada kaitannya dengan sikap kita terhadap tokoh-tokoh yang menciptakan teori sosial dalam paruh waktu terakhir abad ke-19 dan beberapa dasawarsa pertama abad ke-20. Nama-nama seperti Marx, Durkheim, dan Weber, paling banyak mendapat sorotan. Pemikir sosial setelah zaman mereka dibedakan antara ulasan mengenai doktrin-doktrin mereka atau spesialisasi menurut tradisi-tradisi yang mereka bangun. Lambat laun bidang yang dispesialisasikan ini kian jauh dari cita-cita para pendirinya. Semakin bidang-bidang tersebut diupayakan berdalih sebagai kebebasan ilmiah. semakin sedikit pencerahan yang diberikan.
Kendati demikian, dari banyak sisi agaknya semakin jelas bahwa kita mulai dapat melihat Marx, Durkheim, dan Weber sebagai tokoh klasik dan memandang karya-karya mereka sebagai teori sosial klasik yang sangat berbeda dengan tradisi panjang filsafat politik yang sudah ada sebelumnya.
Referensi:
Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern. Terjemahan dari buku "Law and Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory"
Bandung: Nusamedia, 2007
No comments:
Post a Comment