Sunday, April 22, 2012

AL-JABIRI

Ahmad Afandi
ANTARA PERDEBATAN HEGEL DAN PERDEBATAN MATERIL

Muhammad 'Abed Al-Jabiri 

Menurut kami, cara Al-Jabiri membangun suatu masa tertentu dengan kebudayaan -bukan dalam arti fisik- dengan tujuan untuk mengukur idealnya Al-Jabiri dengan perantara hati nurani jernih, tidak akan menimbulkan kontroversi materil dan historis dan tidak bisa dijangkau secara lahir karena adanya hubungan yang lekat antara materi dan alam. Pemahaman tersebut dapat memungkinkannya bergumul dengan kebudayaan dan logika, seakan keduanya tidak memiliki historisitas yang tidak diproklamirkan, dengan jaminan historis keduanya, kapanpun ideologi menginginkan dan membutuhkannya, berdasarkan tingkat yang lain, bukan tingkat kenyataan kehidupan.


Untuk membenarkan hal tersebut, Al-Jabiri memberikan model yang berasal dari Freud dan Jean Piaget berdasarkan logika budaya tanpa intuisi dalam esensinya, karena sebenarnya hal tersebut berasal dari alam bawah sadar yang diperbincangkan Freud dan Jean Piaget. Model yang diambil oleh Al-Jabiri pada logika arab adalah logika Freud untuk bawah sadar. Sesuatu yang khas dari masanya (sesuai dengan interpretasi Al-Jabiri) dan emosi represi yang hidup di dalamnya adalah termasuk satu dari berbagai macam tahapan pertumbuhan individu. Demikian pula logika arab dinaungi elemen lama yang diwariskan dari masa sebelumnya beserta elemen baru yang berasal dari masa sekarang, tentu secara tidak langsung. Berikut salah satu ciri khas logika arab: yang lama hidup dengan yang baru secara seimbang dan kuat tanpa harus tumpang tindih. Dalam hal ini, Al-Jabiri berpendapat tentang kekhasan individu dalam masyarakat arab kontemporer: “......hal yang lama dan yang baru hidup dalam kesadaran, baik dalam keadaan konflik maupun dalam kehidupan damai atau bersaing, dampaknya yang tercermin menurut ukuran ilmu pengetahuan – intelektualitas orang arab menjadi normal atau tegang, seimbang atau jomplang, akan tetapi dalam semua hal orang arab hidup dalam satu masa budaya, selama yang baru tidak benar-benar putus total dari yang lama, artinya selama sistem ilmu pengetahuan sebagaimana adanya, yakni selama adanya kemungkinan masuknya hal baru dalam dialogisme hal lama, yang dimaksudkan adalah hasil pengembangan tidak sampai pada titik nadir, yakni titik yang tidak memungkinkannya bertransmisi kepada hal lama” (Hal. 42).


Pada tahap ini akan timbul beberapa pertanyaan esensial sebagai berikut: apakah pergumulan yang baru dengan yang lama itu karena faktor yang baru? Apakah hal lama yang ada dalam kesadaran yang hidup dengan hal baru itu karena faktor hal lama? Apakah kesadaran orang arab yang buruk mampu menyerap materi yang baru? Dan apakah faktor utama yang struktural untuk menyongsong hal baru dalam menyerapnya?


Akan tetapi, sebagai ganti dari permasalahan yang dibawa oleh Al-Jabiri yang mungkin membawanya kepada diagnosa ilmiah yang berguna bagi dilema kemajuan dan kemerdekaan di negara arab, maka hal itu mengharuskan adanya pergumulan yang lama dan yang baru dalam hal materil sesuai yang ditekankan Freud, dan berpindah pada pembenaran persepsi tersebut dengan bentuk acak yang sangat selektif dan berpindah pada pemahaman ilmiah yang telah disinggung oleh ahli ilmu kalam Mu’tazilah Ibrahim bin Siyar Al-Nidham.


Al-Nidham telah menyampaikan bahwa dalam hal ini ada dua kelompok asasi dalam pergerakannya, yakni: gerakan adopsi dan gerakan transmisi. Gerakan yang kedua bertanggungjawab atas transmisi jasmani dari tempat pada yang lain. Sedangkan gerakan pertama berakibat konflik tanpa transmisi. Pengelompokan ini pada esensinya merupakan ide Aristoteles yang mengingatkan kita pada ide dasar sebenarnya di depan Aristoteles. Sebagaimana hal tersebut menimbulkan pencetusan dua paham energi tersembunyi dan energi kinetik dalam fisika klasik (Newton). Hal ini mencerminkan kecenderungan materil yang dalam pada struktur, seperti yang telah dijelaskan oleh Alm. Ghalib Hilsan dalam kitabnya “Alam: Materi dan Gerakan”


Akan tetapi Al-Jabiri menyerang dua paham ini dan memberikan pengertian dan penggunaan atas paham gerakan adopsi dari pemahamannya sendiri yang masih berkaitan dengan asal. Dia menerapkannya tidak pada tempatnya, yakni kebudayaan, dia mengatakan, “Dan jelaslah bahwa pengelompokan kebudayaan – yakni budaya- pada beberapa tahapan adalah benar ketika gerakan adopsi berubah menjadi gerakan transmisi. Ketika gerakan menyerupai gerakan adopsi maka tahapan kebudayaan –atau tahapan perkembangan ide pada sesuatu yang menjadi rohnya- menjadi akumulatif, tumpang tindih, berdesakan, tidak satu dan tidak pula banyak dan terpisah, sempurna sebagaimana sesuatu yang dinisbahkan pada isi bawah sadar menurut pandangan Freud”. (Hal. 42).


Yang jelas bahwa cara penerapan Al-Jabiri pada hal ini (Fisika dalam esensinya) berdasarkan pada budaya yang tidak sedikitpun bersandar pada paham budaya dan membuatnya tidak bisa terhubung pada paham asli. Kenyataannya cara Al-Jabiri hanya merupakan serikat ideologi yang membuatnya yakin dan mencoba meyakinkan kami bahwa caranya adalah sebuah interpretasi pada kekhasan budaya arab. Karena itulah dia mengatakan, “Hampir pasti bahwa gerkan dalam budaya arab masih berupa gerakan adopsi, bukan gerakan transmisi, sehingga menjadikan masanya sebagai periode diam, bukan periode gerakan, hal ini adalah menurut pandangan dari seluruh gerakan/mutasi, getaran, dan guncangan yang ada.” (Hal. 42).


Seakan-akan Al-Jabiri mengetahui kedangkalan “interpretasi” ini, maka dia cepat menambahkan, “kasus ini membutuhkan, dengan sifat kasus, pada pembenaran, itu saja.” (42). Saya tidak menganggap bahwa dia mengedepankan perumpamaan pembenaran itu dalam halaman yang sesuai.


Georg Wilhelm Friedrich Hegel 


Dengan semua hal tersebut dia menghilangkan dan mengaburkan pertanyaan-pertanyaan yang telah kami kemukakan di atas. Isu esensial ini mengkoeksistensi yang lama dengan yang baru dalam budaya atau dalam kesadaran itu sendiri, isu itu adalah kerangka struktur yang hidup bersama atau mungkin dua unsur yang kontras di dalamnya, sehingga menjadi biophysis ide dasar bagi keduanya. Di sini kami juga mengatakan, “Andai al-Jabiri bersandar pada sosiologi budaya sebagai dasar metode epistemologinya, maka dia pasti mampu merumuskan masalah dengan cara yang menjanjikan dan dapat membukan jalan bagi munculnya solusi yang realistis dan efektif. Jika dia melakukannya, maka dia akan bertanya pada dirinya sendiri, “jika benar bahwa yang lama dan yang baru ada dalam kebudayaan arab modern, maka apa yang disebut dengan alam sosial yang muncul membawa yang baru dan apa pula alam sosial penjaga yang membawa yang lama? Bagaimana membedakan yang baru itu dengan ide asing masa kontemporer? Sebaliknya, bagaimana membedakan yang lama dengan warisan arab islam dulu? Bagaimana kita menggolongkan pada yang lama dan pada yang baru? Apakah yang baru itu adalah faktor baru, atau itu hanyalah puncak gunung es yang dasarnya adalah hal yang lama? Apakah yang lama itu adalah karena faktor lama atau hanya puncak gunung es yang dasarnya adalah yang baru, yang tujuannya memblokir penyalipan dan membalas dominasi yang melumpuhkan hal lama? Bagaimana kita menetapkan bahwa yang baru adalah karena faktor baru dan yang lama karena faktor yang lama? Bagaimana yang lama bisa (atau dengan yang lain, bukan dengan yang baru) meresap yang baru (yakni eropa modern) tanpa memodernisasi kesadaran yang berarti satu dari potongan beserta selain yang baru? Bagaimana kemudian Al-Jabiri mengatakan bahwa orang arab hidup pada satu masa budaya dalam segala hal, menurut asas bahwa yang baru tidak terputus total dari yang lama, dan ada kemungkinan yang baru masuk pada wilayah yang lama?


Tidakkah terdapat kontradiksi yang jelas dalam pendapat ini? Bagaimana yang baru disebut baru jika ada sesuatu yang dapat memutus total yang baru dengan yang lama? Kita memahami bahwa ada kekuatan yang membawa benih yang baru dan mengkristalisasinya dari jalan konslik historis bersama kekuatan penjaga yang lazim, dari situlah yang baru tumbuh di benak pemimpin. Sedangkan adanya yang baru disebut baru adalah karena ia masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan yang lama dan variasinya, ini yang tidak kami mengerti. Masalahnya sekarang adalah bagaimana membuat yang baru benar-benar terputus dari yang lama dalam budaya pekat dan kesadaran pekat yang menghilangkan kebutuhan mendesak historis dalam keterdesakan munculnya kesadaran arab akan penyelenggara yang dapat membawa yang baru dalam lingkupnya, serta memahami esensi dan kebutuhan terhadap yang baru sebagai ganti konflik historis yang mengganggu tubuh konfigurasi sosial arab, sehingga mampu memadu dan memperkuat tingkat kemunculan dengan sempurna lewat jalan kemunculan dan transmisi dari arus konfigurasi sosial yang dipaksakan untuk kreativitas dan dan kemerdekaan, kepada konfigurasi sosial baru yang bernama energi dan kekuatan produktif. Dari perspektif ini, maka sebenarnya masalahnya bukan tentang kekhasan nalar budaya atau budaya nasionalisme pekat, tetapi tentang kekhasan konfigurasi sosial pekat, yang mengusik konflik historis pekat dan didalamnya muncul kekuatan revolusioner yang membawa hal baru dari kelemahan kronis yang menghalanginya untuk mengalahkan kekuatan yang ada dan menegakkan struktur sosial yang baru, dan hal itu terjadi dengan melibatkan banyak sebab, yakni sebab internal dan sebab eksternal.


Yang menjadi titik esensial di sini adalah bahwa konflik antara yang lama dengan yang baru tidak bisa sempuna masuk dalam satu nalar, bagian dari satu kesatuan ruh, atau masuk dalam satu materil, akan tetapi bisa sempurna masuk dalam satu konfigurasi sosial antara kekuatan diferensiasi sosial yang membawa unsur-unsur yang berbeda dengan kesadaran sosio-historis. Yang baru bereproduksi dalam kebudayaan, tumbuh dan berkembang dalam kemunculan konflik kekuatan sosial yang membawanya beserta kekuatan yang ada dan dalam pergumulannya dengan kekuatan lokal dan kekuatan lain yang natural. Demikianlah kristalisasi kekuatan yang baru dan penyerapan hal baru yang lain. Perbedaan materil ini bisa dipisahkan antara perdebatan Hegel dan perdebatan materi; perbedaan antara penggambaran konflik yang seakan-akan adalah konflik antara beberapa unsur budaya dalam kesadaran sesuatu atau esensi individu atau sosial dan antara penggambarannya sebagai konflik antara kekuatan sosial materil yang terkumpul dalam satu konfigurasi sosial.

No comments:

Post a Comment