Sunday, April 22, 2012

PROBLEMATIKA NALAR ARAB MODERN


Al-Jabiri 

Kami telah menjelaskan arti problematika sebagaimana yang telah dikemukakan oleh filsuf Perancis akhir, Louis Althusser, kami juga telah menjelaskan bahwa esensi ideologi terhadap teks, nalar, atau kesadaran ada dalam problematika Althusser. Artinya bahwa ideologi terejawantahkan dalam problematika dan yang satu terbatasi dengan yang lain. Karena ideologi termasuk dalam bawah sadar, yakni faktornya bekerja dari belakang kejadian kesadaran menurut kebiasaan, maka bisa dikatakan bahwa ideologi mencerminkan struktur bawah sadar terhadap teks, nalar, dan kesadaran. Akan tetapi hal tersebut tidak membuatnya sama dengan pemahaman struktur pengetahuan dan nalar budaya sebagaimana yang telah disampaikan Al-Jabiri.


Problematika bukanlah struktur pengetahuan atau materi yang menghasilkan pengetahuan sebagaimana yang terdapat dalam nalar budaya, tetapi dia adalah bangunan ideologi yang mendukung pola tertentu dari ukuran sosial. Dari sisi kedua, ideologi adalah bangunan bawah sadar bagi bagian terpisah yakni budaya. Berdasarkan hal tersebut maka kata “bangunan” sebagaimana disebut dalam pengertian “problematika” adalah bukan contoh yang ada dalam pengertian nalar budaya atau struktur pengetahuan. Maka bangunan, dalam penegrtian problematika, tidak berarti adanya pembenar dan pengganti sebagaimana dugaan Al-Jabiri dalam definisinya tentang struktur pengetahuan, akan tetapi jaringan yang dituju dari hubungan-hubungan antara unsur yang membentuk bagian yang tak terbagi dari jaringan itu. Artinya, ada korelasi kontroversial yang mendesak antara hubungan-hubungan dan unsur-unsur. Hubungan-hubungan itu tidak tersusun secara acak atas unsur yang ada dengan dan dalam materilnya, etapi secara esensial masuk dalam susunan unsur dan pembentukannya, seperti halnya bahwa unsur masuk dengan sendirinya dalam pembatasan hubungan-hubungan. Maka bangunan di sini adalah semua satuan yang menghitung semua keberadaan dan materi unsur yang bergubungan dengan unsur bangunan lain secara kompleks. Berdasarkan hal itu, maka problematika adalah bangunan mekanisme praktis yang membatasi cara yang digunakan teks, kesadaran atau nalar dengan tujuannya dan caranya menghasilkan masalah-masalah dan menyerapnya secara naluri. Dengan demikina, kesadaran sosial dengan penggambaran umum tidak mempengaruhi struktur dan pemahaman nalar dan kebudayaan yang mendahuluinya dalam bentuk asli atau materi, akan tetapi mempengaruhi dan mencernanya dengan cara yang dapat membatasi problematikanya, dengan arti bahwa problematika menghasilkan unsur nalar yang konsisten dengan hubungan internalnya dan analisa asal. Dengan cara ini, problematika bereaksi bersama dengan yang lama dan yang baru dan menghimpunnya. Akan tetapi problematika lama dan problematika baru tidak serupa dengan yang lama dan yang baru dengan dan dalam materilnya, tetapi arti dan esensinya dianggap sebagai bagian dari struktur problematika yang meliputinya, dan bagian dari hubungan kompleks atara sebagian dan yang lain dari beberapa unsur dalam kesatuan problematika. Sebagaimana kami katakan sebelumnya, yang membatasi esensi nalar ideologis terhadap teks atau nalar bukanlah objek teks atau nalar, tetapi cara teks dan nalar menghasilkan objek. Maka adanya teks misalnya, adalah dengan tingkatan-tingkatan sosial, negara, konflik sosial, serta hubungan kerja yang tidak menghasilkan teks cara Markus, karenadia hanya dia menyebut beberapa objek tersebut. Sosiologi alphippria juga menyebutkan objek-objek tersebut, tetapi dengan bentuk yang sama sekali berbeda dari cara Markus menghasilkan teks, maka problematika ini sama sekali berbeda dengan problematika itu.


Dari analisis ini, maka sebenarnya kekhususan nalar arab modern tidak ada dan tidak mungkin ada, dalam pergumulan yang lama dalam materilnya dan yang baru dalam materil yang ada di dalamnya, tetapi ada dalam kekhasan problematika nalar yang dominan dalam budaya budaya arab modern dan kekhasan problematika nalar yang menolak di dalam budaya itu. Karena batasan kedua problematika tersebut sudah jelas, maka pengertian dan tugas sebenarnya terbatas terhadap yang lama dan yang baru dalam budaya itu.


Dari sini muncul beberapa pertanyaan sebagai berikut: apa yang dimaksud dengan fitur umum problematika nalar yang dominan dalam budaya arab modern? Pada apa kita menyandarkan fitur problematika ini? Bagaimana membedakan satu problematika dari semua problematika nalar arab klasik sebelum invasi kolonialis eropa dan problematika nalar eropa modern yang mulai terbentuk semenjak masa kebangkitan eropa? Di sini kami pasti menunjukkan pada nalar yang dominan pada setiap kebudayaan di atas.


Pertama-tama kita harus menjelaskan bahwa nalar yang dominan dalam pembentukan sosial tertentu adalah nalar tingkat dominan atau persekutuan tingkat dominan. Tingkat dominan mengharuskan problematika berada di atas lembaga-lembaga kemasyarakatan, serta di atas bentuk-bentuk kesadaran yang berbeda. Berdasarkan hal itu, maka rumusan masalah yang muncul menjadi sebagaimana berikut: jika problematika nalar arab klasik sebelum invasi kolonialisme eropa adalah problematika teokrasi militer aristokrat yang saat itu dikontrol, jika problematika nalar eropa (sejak masa kebangkitan) pada hakikatnya adalah problematika industri eropa borjuis, maka apakah dasar materil sosial bagi problematika nalar arab modern yang dominan? Apa yang disebut dengan tingkat sosial dominan dalam negara arab?




Tidak diragukan lagi bahwa ada beberapa kemiripan antara problematika nalar arab modern dominan dan problematika naar yang ada sebelum invasi kolonialisme modal di negara arab. Beberapa kenyataan ini menunjukkan bahwa ada kemiripan yang ekstrim antara dua problematika tersebut. Mungkin ini berdasarkan ilusi bahwa yang lama tetap seperti semula selama masih tertanam dalam benak nalar arab modern. Hanya sedikit penelitian yang mengungkapkan bahwa problematika nalar arab modern mempunyai cara yang berbeda dari problematika nalar arab klasik dalam varian perjalanannya, dengan anggapan ada banyak sisi yang serupa antara keduanya. Demikian pula, ada beberapa sisi kesamaan yang dangkal antara problematika nalar arab modern dengan problematika nalar eropa modern yang dominan. Kadang beberapa sisi tersebut menunjukkan bahwa sisi dari nalar arab modern yang dominan tidak berbeda dengan esensi nalar eropa modern. Akan tetapi beberapa penelitian mengenai hal ini menunjukkan keterpisahan antar problematika dalam banyak perincian dasar. Dengan demikian, problematika nalar arab modern yang dominan tidak sama dengan problematika feodal klasik, dan tidak sama pula dengan problematika arab borjuis setelahnya, atau yang disebut Mehdi Amil sebagai kolonialisme borjuis. Fitur utama borjuasi adalah tidak mampu menghadapi kedua hal yang lama dan yang baru. Satu sisi tidak mampu memisahkan diri secara total pada yang lama ketika menghadapi yang benar-benar baru, dan di sisi lain tidak mampu untuk sampai pada hal baru yang bersifat eropa borjuis menggunakan hukum ketergantungan. Atau sebagaimana yang dikatakan Mehdi Amil dalam bukunya, “Krisis Peradaban atau Krisis Borjuis-borjuis Arab”: “Kolonialisme borjuis, pada elemen dasarnya, adalah preseden tingkat dominan itu sendiri, datang dengan transformasi internal, yakni cara adaptasi dengan syarat-syarat baru yang dimodernisasi invasi kolonialisme, yakni dengan keterdesakan hidup dalam aliansi bersama imperialisme yang menjadi subyek dominasi dalam bentuk yang menghalanginya dari eksekusi atas hubungan preseden produksi yang terdapat tingkat dominan di dalamnya –dalam unsur dasar. Akan tetapi proses adaptasi bertingkat itu mengharuskan, di sisi lain, keragaman yang terbatas dalam usaha membongkar hubungan yang lalu dari produksi yang menuntut pembaharuan struktur hubungan ketergantungan pada imperialisme. Artinya adalah kolonialisme borjuis ada dengan sendirinya, pada prosesnya yang bertingkat, dan juga karena sebab hubungan dengan materil, dilema kelas secara sadar melahirkan ideologi yang terpecah selamanya antara kesamaan kelas dengan imperialisme borjuis yang diharapkan, karena kelemahan struktural tentang pencapaian target, dan antara kenyataan sebenarnya dalam pelanggaran konstan dengan yang diinginkan, tetapi kolonialisme borjuis menolaknya. (Hal. 168).


Yang menjadi titik esensial di sini adalah bahwa tingkatan dominasi dalam negara arab tidak muncul sebagai lawan bagi kenyataan yang ada sebelum invasi imperialisme modal, atau lawan yang membawa pandangan peradaban baru dalam struktur internalnya, sebagaimana halnya pada eropa borjuis, tetapi muncul dengan aksi invasi imperial dan membentuk invasi itu. Hasilnya adalah bahwa invasi itu tidak mencari transformasi radikal dalam struktur sosial budaya dan tidak pula spirit peradaban baru, tetapi hanya menuntut pemberlakuan sebagian perubahan dan adaptasi hal yang sesuai dengan ikatan negara arab sebagai ikatan struktur konsekuensial dengan pusat-pusat modal sesuai tuntutan akumulasi modal pada pusat-pusat itu. Lebih jelasnya, borjuasi kemudian tidak tampak sebagai pengganti tingkatan hukum klasik atau pengganti-penggantinya, tetapi datang sebagai perubah dan adaptor bagi tingkatan itu untuk melaksanakan perannya kemudian. Karena semua itulah, problematika nalar arab modern yang dominan datang sendiri dengan atribut progresif terhadap problematika eropa borjuis, gejala awalnya: kebangkitan eropa, revolusi ilmu besar-besaran, gerakan reformasi keagamaan, revolusi filsafat, refolusi pertanian, revolusi industri, dan revolusi nasionalisme demokrasi.


Dan ringkasan dari yang telah kami jelaskan di atas adalah bahwa kemajuan pada nalar arab tidak tercermin dalam pemberlakuan hal lama yang terputus dari hal lama pada nalar arab, sebagaimana anggapan Al-Jabiri, tetapi tercermin dengan munculnya kekuatan sosial baru yang memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memberlakukan pemutusan pengetahuan dengan gagasan/malar tingkat dominan, artinya melompat dari problematika nalar arab modern yang dominan kepada problematika ilmiah revolusioner yang mampu menyerap dan memungkinkan kenyataan, yakni keluar dari batas ideologi terhadap tingkat dominan. Tidak ada jalan bagi kemerdekaan dan kemajuan tanpa memerdekakan kesadaran tingkat yang menjadi lawan dari batas-batas tersebut, dan tanpa membangun problematika baru yang membentuk dasar bagi program penyempurna untuk perubahan.

kebudayaan, tumbuh dan berkembang dalam kemunculan konflik kekuatan sosial yang membawanya beserta kekuatan yang ada dan dalam pergumulannya dengan kekuatan lokal dan kekuatan lain yang natural. Demikianlah kristalisasi kekuatan yang baru dan penyerapan hal baru yang lain. Perbedaan materil ini bisa dipisahkan antara perdebatan Hegel dan perdebatan materi; perbedaan antara penggambaran konflik yang seakan-akan adalah konflik antara beberapa unsur budaya dalam kesadaran sesuatu atau esensi individu atau sosial dan antara penggambarannya sebagai konflik antara kekuatan sosial materil yang terkumpul dalam satu konfigurasi sosial.

No comments:

Post a Comment