Thursday, December 13, 2012

Islamic Family Law: Rekonstruksi Hak Ijbar Wali

Moh. Luthfi Hakim*

Dok. http://internasional.cukupsatu.com

Pada dasarnya, konsep hak ijbar wali ini merupakan bentuk perlindungan dan kasih sayang orang tua untuk menikahkan anaknya, dikarenakan belum cakapnya kemampuan anak untuk melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi, dalam realitanya sekarang, konsep hak ijbar ini disalahartikan oleh kalangan masyarakat. Hak ijbar wali digunakan sebagai sarana memaksakan anak perempuannya untuk dinikahkan dengan pilihan orang tuanya sendiri, bukan pilihan anaknya, yang populer dikenal denga kawin paksa.


Hak ijbar pun menjadi perdebatan dalam konteks kekinian. Di tengah sentralnya perjuangan hak-hak perempuan oleh kaum feminis, hak ijbar sangat bertentangan dengan kesetaraan dan keadilan. Melalui hak ijbar ini, orang tua bisa menikahkan anaknya tanpa seizin anak yang bersangkutan. Walaupun hak ijbar ini merupakan bentuk kasih sayang dan tanggung jawab orang tua, akan tetapi apa yang dianggap baik oleh orang tua belum tentu baik menurut anaknya. Hal ini yang perlu dikaji lebih dalam. 


Pemahaman ini tidak terlepas dari pendapat mayoritas ulama mazhab (Maliki, Al-Syafi’i dan Hanbaliyah) yang mengakui adanya hak ijbar wali. Dalam hal ini, Imam Syafi’i dan Imam Malik menyatakan bahwa bapak dan kakek dari pihak bapak saja yang memiliki hak ijbar. Sejalan dengan itu, hanya Hanafiyah yang mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai wanita secara mutlak. 


Pendapat ulama mazhab ini dihasilkan melalui ijtihad mereka, dengan latar belakang sosio-historis dan sosio-politik yang berbeda pula, sesuai dengan tempat dan waktu mereka tinggal. Pada waktu turun nash-nash tentang hak ijbar wali juga dilatar belakangi dengan hal yang sama, di mana pada waktu itu derajat wanita sangat rendah jika kita bandingkan dengan laki-laki[1]. Akan tetapi, jika kita mengkaji nash-nash dan pemikiran ulama klasik tersebut sesuai dengan konteks sosio-historis dan sosio politiknya, maka kita akan menemukan spirit atau nilai-nilai yang terkandung dalam nash tersebut, yakni mengangkat derajat kaum wanita. Nilai-nilai inilah yang perlu kita kontekstualisasikan pada zaman sekarang, khususnya pada hak ijbar wali dalam pernikahan. 


Dalam kesempatan kali ini, penulis mencoba menjelaskan problematika hak ijbar wali dalam pernikahan. Di sini penulis menggunakan pendekatan interdisipliner. Dalam menganalisis konsep hak ijbar wali dalam pernikahan, penulis menggunakan teori teori keadilan Aristoteles dan Adam Simth, teori kebutuhan Moslow, teori maqasid as-syari’ah al Syatibi dan Jasser Auda, teori perubahan hukum dan sosial Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Hazairin, Soepomo dan Rosque Pound. Ini bertujuan untuk menyetarakan hak memilih calon mempelai antara laki-laki dan perempuan, tanpa ada hak ijbar wali di dalamnya, karena sesuai dengan perkembangan hukum dan sosial. 


Wali Nikah dalam Nash (Al-Qur’an dan al-Hadits) 

Ada sejumlah nash (Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW) tentang wali dalam perkawinan. Nash Al-Qur’an adalah Al-Baqarah Ayat 230, 231, 232, 235, 240, Ali-Imran Ayat 159, Al-Nisa’ Ayat 25, 34, dan Al-Talaq Ayat 2. Pada Surat Al-Baqarah Ayat 231, 235 dan Surat At-Talaq Ayat 2 menyatakan bahwa larangan bekas suami yang mempersulit perkawinan seorang perempuan. Sedangkan pada Surat Al-Baqarah Ayat 230, 232, 240 dan Surat An-Nisa’ Ayat 25 dan 34 menyatakan bahwa keharusaan adanya izin wali dalam pernikahan dan tidak boleh mempersulit. Kemudian Surat Ali-Imran Ayat 159 menyatakan bahwa dianjurkan ada musyawarah antara kedua belah pihak (gadis dan bapak). 

Sementara sunnah Nabi Muhammad SAW yang menerangkan tentang peran wali dalam pernikahan diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut[2]: 

1) ليس للولي مع الثيب امر 

2) الأيم احق بنفسها من وليها 

3) لاتتزوج المرأة الا بولي 

4) أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَاِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ فَالسُّلْطَانُ لها. 

5) الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها و إذنها صما تها 

6) لانكاح لامرأة بغير اذن وليها 

7) لانكاح لامرأة بغير اذن وليها فان نكحت فنكاحها باطل باطل باطل فان اصابها فلها مهرها بما اصاب منها فان اشتجروا فالسلطان ولي من لاولي اها 

Dari konsep nash (Al-Qur’an dan al-Hadits) di atas, tidak ada yang secara tegas menyatakan bahwa wali mempunyai hak ijbar dalam menikahkan anak gadisnya. Adapun para ulama yang berpendapat adanya hak ijbar pada wali adalah sebuah pemahaman atau tafsir mereka mengenai nash-nash yang berbicara mengenai peran wali dalam pernikahan. Pandangan ini tidak terlepas dari latar belakang sosio-historis dan sosio-politik yang berbeda pula, sesuai dengan tempat dan waktu mereka tinggal. 


Pandangan Fuqaha tentang Hak Ijbar Wali 

1. Imam Syafi’i 

Menurut Imam Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada dibawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan Imam Syafi’i adalah Al-Baqarah: 232, An-Nisa: 25 dan 34, serta beberapa hadits Nabi. 


Menurut Imam Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “Janda lebih berhak kepada dirinya”, sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan, tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-Khansa’a. 


Adapun mengenai kebebasan dan persetujuan calon wanita, Imam Syafi’i mengklarifikasi menjadi tiga kelompok. Pertama, gadis yang belum dewasa. Batasan umurnya 15 tahun atau belum keluar haid. Dalam hal ini, ayah atau bapak boleh menikahkan gadis yang belum dewasa tanpa seizinnya terlebih dahulu. Kedua, gadis dewasa. Di sini adah hak berimbang antara bapak (wali) dan anak gadisnya. Ketiga, janda. Adapun perkawinan janda harus ada izin tegas darinya.[3] Imam Syafi’i juga mengatakan bahwa perkawinan anak laki-laki dan perempuan kecil, diwakilkan ke pada ayah dan kakeknya dari pihak ayah saja, tidak yang lain. Sedangkan akad orang yang safih (idiot) tidak dipandang sah kecuali atas izin walinya.[4]


2. Imam Maliki 

Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi, tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian Imam malik tidak membolehkan wanita menikahkan diri sendiri, baik gadis maupun janda. 

Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, Imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secara tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka bapak sebagai wali memiliki hak ijbar untuk menikahkan anaknya. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar. Dengan demikian, persetujuan gadis dalam pernikahan adalah sunnah atau sebagai penyempurna, tanpa persetujuanpun perkawinan dalam dapat dilaksanakan.[5]

3. Imam Hambali 

Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus, sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus. 


Adapun mengenai persetujuan calon dan hak ijbar wali Ibnu Qudamah mengklaim, ulama bersepakat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita yang bersangkutan senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Menurutnta dasar kebolehan menikahkan gadis yang belum dewasa adalah surat at-Talaq Ayat 4.[6]


4. Imam Hanafi 

Abu Hanifah mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan maupun janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya dengan syarat orang yang dipilihnya itu sekufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar misil. Tetapi, bila dia memilih seorang laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada Qadhi untuk membatalkan akad nikahnya. Kalau wanita tersebut kawin dengan laki-laki lain dengan mahar kurang dari mahar mitsil, Qadhi boleh diminta membatalkan akadnya bila mahar mitsil tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya.[7]


Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut Abu Hanifah diantaranya surat Al-Baqarah Ayat 230, 232, dan 240, serta mengartikan “al-aima” adalah “wanita yang tidak mempunyai suami”, baik gadis maupun janda. Akad ayat-ayat ini disandarkan kepada wanita (hunna), yang berarti akad tersebut menjadi hak dan kekuasaan wanita. Ditambah dengan hadits tentang kasus al-khansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi. Menurut Abu Hanifah persetujuan dari para calon adalah satu keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda. Perbedaannya, persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan tegas.[8]


Konsep Perundang-undangan di Negara-negara Islam 

1. Perundang-undangan di Indonesia 

Dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia[9], wali nikah menjadi salah satu rukun nikah, tanpa wali perkawinan tidak sah. Sejalan dengan keharusan adanya wali, pada prinsipnya wali nikah dalam perundang-undangan perkawinan di indonesia adlaah wali nasab. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu posisi wali nikah dapat digantikan dengan wali hakim, yaitu: (i) kalau tidak ada wali nasab, (ii) tidak mungkin menghadirkan wali nasab, (iii) tidak diketahui tempat tinggal wali nasab, (iv) wali nasab ghoib, (v) wali nasab enggan menikahkan.[10] Untuk menggantikan posisi itu wali nasab karena alasan enggan menjadi wali harus lebih dahulu ada putusan dari Pengadilan Agama[11]. 


Adapun mengenai kebebasan para calon mempelai untuk menentukan perkawinannya disebutkan, dalam satu perkawinan harus ada peretujuan dari kedua calon memepelai. Sehingga kalau calon tidak setuju dengan perkawinan tersebut, akad nikah tidak dapat dilaksanakan.[12]


Sementara perkawinan yang dilaksanakan dengan paksa dapat dibatalkan, dalam jangka waktu enam bulan setelah bebas dari ancaman atau menyadarinya.[13] Ada juga ketentuan yang menyebutkan keharusan persetujuan sepanjang hukum masing-masing agamanya tidak menentukan lain. Bersamaan dengan ini ada konsep fiqih yang menyebutkan adanya hak ijbar wali (bapak dan kakek) dari Imam Syafi’i. 


Adapun bentuk persetujuan dari para salon mempelai dapat dalam bentuk pernyataan tegas dan nyata. Dengan tulisan, lisan, dengan isyarat, atau diam yang menunjukkan tidak ada penolakan secara tegas. Sedang proses untuk mengetahui adanya persetujuan dilakukan dengan menanyakan keduannya sebelum dilangsungkannya akad nikah di depan dua orang saksi. Dengan demikian, Perundang-undangan Perkawinan Indonesia pada prinsipnya tidak mengakui hak ijbar wali.[14]


2. Perundang-undangan di Negara-negara Muslim Dunia

Dalam perundang-undangan keluarga (Perkawinan Malaysia) juga mengharuskan adanya wali dalam perkawinan, tanpa wali perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Seperti halnya perundang-undangan di Indonesia, dalam perundang-undangan Kelurga Malaysia, pada prinsipnya wali nikah adalah wali nasab, hanya saja dalam kondisi tertentu posisi nasab dapat diganti wali hakim (di Malaysia disebut wali raja).[15]


Adapun alasan penggantian posisi wali nasab dengan wali hakim dalam perundang-undangan Perkawinan Malaysia dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, karena si wanita tidak mempunyai wali nasab. Sedangkan kelompok kedua menyebut dua alasan, yaitu; (i) karena wali nasab tidak boleh bertindak sebagai wali, (ii) wali nasab tidak mau memberi persetujuan tanpa alasan yang tepat. Undang-undang yang masuk pada kelompok pertama adalah UU Negeri Sembilan, Persekutuan, Selangor dan Pulau Pinang[16]. Sementara di kelompok kedua adalah Perak, Pahang, Negeri Kelatan dan Serawak[17]. 


Berkaitan dengan kebebasan para calon mempelai untuk menentukan perkawinannya, di Malaysia secara umum juga menghendaki adanya persetujuan dari pihak calon mempelai (calon suami dan isteri). Kecuali terengganu. Di samping itu, UU kelatan masih mengakui adanya hak ijbar bapak dan kakek. Bersamaan dengan adanya keharusan persetujuan dari para calon, orang lain juga tidak boleh memaksa atau menghalangi para calon telah memenuhi syarat. Adapun bagi orang yang memaksa atau menghalangi tanpa dasar syari’at, semua Undang-undang keluarga Islam Malaysia menetapkan hukuman atau denda yang sama, yakni denda maksimal seribu ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya. 


Menurut Khoiruddin Nasution Kalau dilihat teks Undang-undang yang ada, secara umum juga sama, hanya ada sedikit perbedaan yang kalau dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: Pertama, kelompok mayoritas, yaitu UU Negeri Sembilan, Pinang, Selanggor, Serawak, dan Persekutuan. Kelompok kedua UU Perak. Ketiga, UU Pahang. Keempat, UU Kelantan[18]. 


Dengan demikian tidak semua perundang-undangan Perkawinan Malaysia muslim kontemporer Malaysia mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai sebelum akad nikah. Demikian juga masih ada negara bagian Malaysia yang mengakui hak ijbar wali. Karena itu, berbeda dengan Perundang-undangan Indonesia yang mengharuskan adanya persetujuan mempelai untuk akad nikah, sebagian kecil negara Malaysia tidak mengharuskannya, meskipun mayoritas mengharuskan adanya persetujuan tersebut. 


Undang-undang Brunei mengharuskan adanya wali dan persetujuan dari kedua calon mempelai dalam satu perkawinan. Tanpa persetujuan dari para calon mempelai, perkawinan tidak boleh dimasukkan dalam daftar perkawinan sesuai dengan Perundang-undangan perkawinan Brunei. Sejalan dengan itu, secara prinsip wali adalah wali nasab. Tetapi kalau wanita yang akan nikah tidak mempunyai wali nasab, atau wali nasab tidak bersedia menjadi wali dalam perkawinan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan, posisi wali nasab dapat diganti wali hakim.[19]


Secara umum, Akta Pentadbiran UU Islam (AMLA) Singapore menyebut setiap muslim laki-laki dan perempuan, warga negara Singapura atau bukan, asal dapat memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki syari’at dan peraturan pernikahan Singapura, dapat melakukan perkawinan. Bahkan disebutkan, wali berhak menikahkan anak yang ada dibawah perwaliannya. Sayang dalam UU Tahun 1957 tidak ada ketentuan tentang syarat-syarat, rukun dan aturan tentang wali serta persetujuan mempelai. Sebab UU ini hanya mengatur tentang tata cara berpekara dan tugas hakim di Pengadilan. Akibatnya, tidak diketahui bagaimana status wali dan kebebasan mempelai. 


Philipina juga mengharuskan adanya wali nikah dan persetujuan mempelai.[20] Sayang tidak ada penjelasan tegas tentang ada atau tidak hak ijbar wali bapak atau kakek. 


Sedangkan Lebanon menetapkan, wanita yang sudah berumur 17 tahun boleh nikah tanpa izin wali nasab kalau wali nasab menolak memberi izin tanpa alasan hukum. Bahkan kalau seseorang wanita dewasa nikah tanpa sepengetahuan wali, dengan syarat nikah dengan seseorang laki-laki sekufu akad nikahnya sah. Sebaliknya, kalau nikah dengan laki-laki yang tidak sekufu, wali nasab berhak minta pembatalan ke Pengadilan, sepanjang belum hamil.[21]


Yordania membedakan antara wanita yang masih gadis dengan yang sudah janda. Untuk perkawinan gadis dibutuhkan izin wali. Namun hakim dapat memberikan izin nikah kalau wali nasab tidak bersedia menjadi wali tanpa alasan hukum, dan si gadis nikah dengan seorang laki-laki sekufu. Untuk wali nasab selain bapak dan kakek, izin dapat diberikan kalau si gadis sudah berumur 15 tahun. Sementara kalau wali nasab adalah bapak dan kakek, izin dapat diberi kalau si gadis sudah berumur 18 tahun. Untuk seorang janda yang berumur lebih dari 18 tahun tidak dibutuhkan izin wali[22]. Sayang tidak ada penegasan dibutuhkan atau tidaknya persetujuan mempelai. Dengan ungkapan lain, tidak ada penegasan ada atau tidaknya hak ijbar. 


Syiria membedakan perkawinan yang walinya bapak atau kakek dengan yang bukan. Untuk wali selain bapak atau kakek, persetujuan dari calon mempelai dibutuhkan. Di samping itu ditetapkan, jika wanita dewasa menikahkan diri sendiri tanpa persetujuan wali, perkawinan tersebut masuk perkawinan absah kalau nikah dengan seseorang laki-laki sekufu. Sebaliknya, kalau nikah dengan laki-laki yang tidak sekufu wali berhak menuntut pembatalan, kecuali kalau si wanita tersebut telah hamil, hak pembatalan wali menjadi hilang[23]. 


Tunisia dengan tegas mengharuskan adanya persetujuan dari kedua calon mempelai. Lebih dari itu, Tunisia tidak mengharuskan wali dalam pernikahan[24]. 


Sedangkan Maroko mengharuskan adanya wali dan persetujuan dari para calon mempelai untuk satu perkawinan, dan secara prinsip melarang nikah paksa, namun masih mengakui adanya hak ijbar, dengan alasan kalau ada kekhawatiran bahwa dengan perkawinan tersebut anak akan sengsara. Kalau wali nasab menolak menjadi wali, hakim dapat menggantikan posisinya, dengan syarat nikah dengan laki-laki yang sekufu[25]. 


Irak mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai, dan menghukum pihak yang memaksa orang lain untuk menikah[26]. 


Dalam UU Somalia ditetapkan, wanita yang sudah berumur 18 tahun keatas boleh menikah tanpa izin wali, sebaliknya wanita yang berumur 16 tahun keatas tetapi belum 18 tahun, boleh nikah dengan izin wali. Hanya saja posisi wali nasab dapat diganti wali hakim kalau wali nasab menolak padahal si wanita sudah berumur 16 tahun keatas, tetapi belum berumur 18 tahun[27]. 


Aljazair mengharuskan adanya wali dalam perkawinan, dan seorang wali tidak boleh menolak menjadi wali tanpa alasan hukum. Sejalan dengan itu, Aljazair juga mengharuskan persetujuan dari kedua calon mempelai, dan tidak mengenal hak ijbar[28]. 


Libya secara tegas tidak menyebut tentang harus adanya wali dalam perkawinan. Namun dari penjelasan yang ada dapat disimpulkan, Libya mensyaratkan wali dalam perkawinan. Demikian juga Libya mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai dan melarang seorang memaksa orang lain, laki-laki atau perempuan, menikah yang bertentangan dengan kemauannya. 


Dalam UU Cyprus tahun 1951 ditetapkan, pada prinsipnya dalam pernikahan tidak diharuskan adanya wali, hanya saja untuk perkawinan wanita yang berumur diatas 16 tahun tetapi belum 18 tahun harus mendapat izin wali, dan harus ada persetujuan dari mempelai[29]. 

Sudan menetapkan, harus ada wali dan persetujuan dari mempelai wanita dalam perkawinan. Hanya saja tanda persetujuannya dibedakan antara gadis yang belum cukup umur dengan gadis yang sudah dewasa dan janda.[30]

Yaman dengan UU Republik Yemen No. 20 Tahun 1992 menetapkan, dalam perkawinan harus ada persetujuan dari calon mempelai wanita. Adapun tanpa setuju wanita yang masih gadis adalah dengan diamnya, sementara janda harus dengan tegas. 


Kerangka Teoretis 


Teori keadilan Aristoteles[31] Atas pengaruh Aristoteles secara tradisional keadilan dibagi menjadi tiga: 

a) Keadilan Legal. Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. 

b) Keadilan Komutatif. Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yan lain atau antara warganegara yang satu dengan warga negara lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga yang satu dengan warga yang lain. 

c) Keadilan Distributif. Prinsip dasar keadilan distributif yang dikenal sebagai keadilan ekonomi adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. 


Sedangkan menurut Adam Smith[32] hanya menerima satu konsep atau teori keadilan, yaitu keadilan komutatif. Smith beranggapan bahwa keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain. 


a) Prinsip No Harm. Prinsip keadilan komutatif menurut Adam Smith adalah no harm, yaitu tidak merugikan dan melukai orang lain baik sebagai manusia, anggota keluarga atau anggota masyarakat baik menyangkut pribadinya, miliknya atau reputasinya. 

b) Prinsip Non-Intervention. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain. 

c) Prinsip Keadilan Tukar. Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. 


Menurut hemat penulis, hak ijbar wali dalam pernikahan jika disandarkan pada teori keadilan Aristoteles dan Adam Smith sudah tidak relevan lagi. Hak ijbar wali bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan yang digunakan Smith dalam teori keadilan komutatif Aristoteles, yaitu Prinsip no harm, non-intervention, dan keadilan tukar. Menurut prinsip ini, hak ijbar wali dapat merugikan dan melukai anak gadisnya, serta dalam memilih pasangan, wanita harus setara dengan laki-laki dan tidak ada intervensi dari wali. 


Peraturan perundang-undangan di Indonesia, pada prinsipnya tidak mengakui hak ijbar wali. Akan tetapi, perlu revisi terhadap peraturan yang telah untuk mempertegas adanya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam memilih pasangan dan tidak ada intervensi oleh siapapun, dalam hal ini wali. Ini sesuai dengan konsep keadilan Aristoteles, yaitu keadilan legal, komutatif, dan distributif. 


2. Teori Kebutuhan 

Ada lima tingkat kebutuhan dasar menurut teori kebutuhan Maslow[33] adalah sebagai berikut (disusun dari yang paling rendah): 

a) Kebutuhan Fisiologis. Contohnya adalah: Sandang/pakaian, pangan/makanan, papan/rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya. 

b) Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan. Contoh seperti: Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan semacamnya. 

c) Kebutuhan Sosial. Misalnya adalah: Memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain. 

d) Kebutuhan Penghargaan. Dalam kategori ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu eksternal dan internal. Sub kategori eksternal meliputi: Pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya. Sedangkan sub kategori internal sudah lebih tinggi dari eskternal, pribadi tingkat ini tidak memerlukan pujian atau penghargaan dari orang lain untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya. 

e) Kebutuhan Aktualisasi Diri. Untuk memenuhi kebutuhan yang diklarifikasikan Moslow di atas, perempuan harus diberi hak untuk memilih calon suaminya sendiri. Walaupun niat dari bapak menikahkan (ijbar) anaknya baik, akan tetapi baik menurut orang tua belum tentu baik menurut anak itu sendiri. Sehinggga, menurut penulis, perlu adanya kesetaraan hak memilih pasangan antara laki-laki dan perempuan. Ini dilandaskan bahwa setiap orang mempunyai kriteria dan karakter sendiri dalam memilih pasangan ideal. 


3. Teori Maqasid al-Syari’ah 

Al-Syatibi membagi maqasid as-syari’ah menjadi tiga bagian, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Ketiga bagian tersebut tersusun bertingkat dimulai yang paling dasar menuju prioritas, dari daruriyat menuju ke tahsiniyat. Al-Syatibi lebih lanjut memetakan daruriyat menjadi lima tujuan, yaitu menjaga agama (hifzh al-din), menjaga jiwa (hifzh al-nafs), menjaga akal (hifzh al-akal), menjaga keturunan (hifzh al-nasl), dan menjaga harta (hifzh al-mal).[34]


Selanjutnya pemikir kontemporer, yaitu Jasser Auda dalam bukunya yang berjudul, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law. Inti dari analisa sistem hukum Islam yang sistematis menurut Jasser Auda adalah sebagai berikut: 

1) Maqasid al-Syari’ah berkaitan dengan cognitive nature hukum Islam. 

2) Al-Maqasid al-Ammah menunjukkan karakteristik holistik dan prinsip-prinsip universal. 

3) Maqasid al-Syari’ah memainkan suatu peran yang sangat penting dalam proses ijtihad dalam beragam bentuk. 

4) Maqasid al-Syari’ah dinyatakan dalam sejumlah cara hirarkis yang sesuai dengan hirarki sistim hukum Islam. 

5) Maqasid al-Syari’ah menyediakan dimensi ganda yang membantu menyelesaikan dan memahami kontradiksi dan perbedaan yang ada antara teks dan teori fundamental hukum Islam.[35]


Menurut hemat penulis, teori maqasid as-syari’ah yang digunakan al-Syatibi dalam sebuah pernikahan, yaitu bertujuan untuk menciptakkan sebuah perkawinan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, untuk mendapatkan keturunan, dan lain sebagainya. Untuk mencapai tujuan tersebut, perempuan harus diberi hak yang sama dengan laki-laki untuk memilih mempelai. Dengan diberinya hak memilih bagi perempuan, diharapkan adanya cinta dan kasih sayang sesama mempelai untuk mewujudkan tujuan pernikahan tersebut, serta terpeliharanya kebutuhan daruriyat mereka, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. 


Lain halnya jika hak ijbar wali masih diberlakukan, adanya keterpaksaan pada perempuan untuk menikah. Ini dikawatirkan adanya kesenjangan dalam rumah tangga, karena tidak ada cinta dan kasih sayang sebelumnya. Bahkan yang lebih parah lagi adalah, adanya praktek penyimpangan yang dilakukan orang tua untuk menikahkan anaknya dengan orang-orang luar negeri, yang dikenal dengan “kawin pesanaan” di daerah Singkawang, Kalimantan Barat. 


Hak ijbar wali ini jika dikaji dalam teori sistem Jasser Auda sudah tidak relevan lagi. Hukum Islam diharapkan dapat melepaskan kesakralan fiqih ulama mazhab, yang mengakui adannya hak ijbar wali, dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Perlu ditekankan bahwa pemahamaan ulama mazhab adalah manusia yang mungkin salah. Kemudian dalam mengkaji hak ijbar wali, jangan hanya menggunakan aspek bahasa saja (parsial), akan tetapi menggunakan beberapa ilmu yang dapat dikaji dalam masalah hak ijbar wali (multi-dimensi). Selanjutnya adanya keterbukaan dan tujuan dengan menggunakan beberapa ilmu dalam mengkanji hak ijbar wali, sehingga dapat membentuk tujuan dari perkawinan terebut. 


4. Teori Perubahan Hukum dan Sosial 

Dalam peper ini, penulis menggunakan teori perubahan hukum yang digunakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Menurutnya, aplikasi prinsip-prinsip dan asas-asas hukum Islam di masyarakat hendaknya koheren dengan perkembangan hukum Islam sesuai dengan situasi dan kondisi muslim itu sendiri. Logika ini sesuai dengan logika hukum Islam yang menyatakan تغيّر الاحكام بتغيّر الازمنة والامكنة dan
 دفع المفاسد مقدّم علي جلب المصالح.[36]


Selain itu, di sini penulis juga mengutip pendapat Hazairin dan Soepomo. Menurut Hazairin ada hubungan antara hukum adat dan kesusilaan di masyarakat. Perubahan di antara keduanya saling mempengaruhi. Demikian pula Soepomo, ada ada hubungan antara hukum adat dan kesusilaan di masyarakat terutama setelah kemerdekaan.[37]


Teori yang paling tepat menggambarkan penerimaan terhadap tidak adanya hak ijbar adalah teori perubahan sosialnya Rosque Pound dalam bukunya yang berjudul, The Law Theory of Social Engeneering. Pound menjelaskan bahwa hukum dapat diperankan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social angeneering).[38]


Menurut hemat penulis, dalam teori ini adanya pergesaran kultural budaya pada masa turunya al-Qur’an di Arab (budaya Arab yang patriakhi) dengan budaya kultural yang ada di Indonesia, yang sedikit-demi sedikit tidak menerima hak ijbar wali dalam pernikahan. Ini dapat dibuktikan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 


Selain itu dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 tentang Kewajian dan Tanggung Jawab Orang Tua telah ditegaskan bahwa, “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”. Kemudian Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1984 Pasal 16 Ayat (1) item b yaitu, “Hak yang sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya.” 

Kedua Undang-undang tersebut jelas mengamanatkan, bahwa orang tua wajib mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, apalagi dalam konteks pernikahan yang dipaksakan. Kemudian antara perempuan dan laki-laki harus diberi kesetaraan dalam memilih calon mempelai. Hal ini bertujuan untuk terpenuhinya tujuan perkawinan, karena kriteria dan karatek setiap orang dalam memilih pasangan berbeda-beda. 


Analisis 

Dari beberapa kajian para ahli hukum Islam diatas, dapat penulis simpulkan bahwa hanya Hanafiyyah saja yang membolehkan wanita dewasa menikahkan diri sendiri, sementara Maliki, Al-Syafi’i dan Hanbaliyah melarangnya. Menurut tiga mazhab terakhir ini hanya wali yang boleh menikahkannya. Sejalan dengan itu, hanya Hanafiyah yang mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai wanita secara mutlak, sementara Maliki, Al-Syafi’i dan Hanbaliyah mengakui adanya hak ijbar wali dengan pandangannya masing yang telah dijelaskan di atas. 


Sedangkan dari Perundang-undangan di negara-negara muslim dapat dibuat tipologi sebagai berikut: (1) wali tidak lagi menjadi syarat atau rukun akad nikah, yakni Tunisia; (2) perlu izin wali tetapi tidak menjadi rukun dan syarat nikah, seperti Ciprus; (3) membedakan antara gadis dengan janda, untuk Yordania dan gadis yang belum dewasa untuk Syria dan Somalia, di mana untuk janda atau dewasa tidak perlu izin atau persetujuan wali; (4) meskipun wali harus ada namun begitu longgar untuk diganti wali hakim kalau sudah dewasa, seperti Lebanon dan Druze Lebanon; (5) wali menjadi rukun nikah, yakni Brunei, Philippines, Druze Lebanon, Maroko, Aljazair, Libya, Ciprus, Sudan, dan Indonesia; (6) harus ada persetujuan mempelai, yaitu Brunei, Philippines, Druze, Lebanon, Maroko, Aljazair, Libya, Ciprus, Sudan dan Indonesia; (7) masih mengakui hak ijbar, yakni Maroko; dan (8) dihukum orang yang memaksa akad nikah, seperti Irak. Syarat sekufu masih mendominasi negara-negara Timur Tengah untuk bolehnya seorang wanita dewasa menikah tanpa persetujuan wali nasab. 


Menurut hemat penulis, pemahaman tentang fenomena wali nikah dikalangan Imam Mazhab masih menggunakan pemahaman juz’i (parsial), hal terlihat pada kecenderungan Imam Mazhab menggunakan nash implisit (mafhum mukhalafah), padahal masih ada nash yang menjelaskan secara eksplisit. Sedangkan, jika kita menggunakan semua dalil-dalil yang berbicara mengenai wali nikah dan dikaitkan dengan beberapa ilmu yang berhubungan dengan hak ijbar wali (multi-dimensi), maka kita dapat memahami ayat-ayat tersebut secara menyuluruh (holistik) dan tercapainya tujuan syari’at. 


Peran wali nikah adalah untuk mewakilkan calon mempelai perempuan untuk mengucapkan akad nikah. Dikarenakan wali itu perannya mewakilkan, wali tersebut harus sesuai dengan keinginan dari calon mempelai. Menurut hemat penulis, ini lebih tepat dan tidak ada hak ijbar di dalamnya dengan pertimbangan teori-teori yang telah dijelaskan di atas. Hal ini bertujuan untuk terpenuhinya tujuan perkawinan, karena kriteria dan karatek setiap orang dalam memilih pasangan berbeda-beda. 

* Moh. Luthfi Hakim, Mahasiswa Konsentrasi Hukum Keluarga, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Angkatan 2012.



DAFTAR PUSTAKA 

Auda, Jasser, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law, London: The International Institute of Islamic Thought, 2008. 

Mu’amar, M. Arfan, Abdul Wahid Hasan, dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012. 

Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab; Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Jakarta: Lentera, 1994. 

Muqoddas, Djazimah, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di Negara-Negara Muslim, Yogyakarta: LKiS, 2011. 

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan; Dilengkapi Perbandingan Undang-undang Negara Muslim Kontemporer, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004. 

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: PT Almaarif, 1982. 

Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1980. 

Undang-Undang Aljazair No. 84-11 Tahun 1984. 

Undang-Undang Burnei (Law of Burnei). 

Undang-Undang Cypus Tahun 1951. 

Undang-Undang Irak No. 188 Tahun 1959. 

Undang-Undang Keluarga Muslim Philippines (Code of Muslim Personal Laws of The Philippines). 

Undang-Undang Lebanon Tahun 1962. Undang-Undang Somalia Tahun 1975. Undang-Undang Syiria No. 34 Tahun 1975. Undang-Undang Tunisia. Undang-Undang Yordania No. 61 Tahun 1876. 

Undang-Undang Pinang 1985, Undang-Undang Negeri Sembilan, Undang-Undang Persekutuan 1984, Undang-Undang Selangor, Undang-Undang Serawak. 

http://kumpulan-teori-skripsi.blogspot.com/2011/09/teori-keadilan-aristoteles.html. 

http://kumpulan-teori-skripsi.blogspot.com/2011/09/teori-keadilan-adam-smith.html. 

http://manajemenringga.blogspot.com/2012/07/teori-hirarki-kebutuhan-maslow.html. 


Endnotes

[1] Kita dapat melihat kedudukan wanita sebelum datangnnya Islam, yang menggap wanita sebagai barang yang dapat diperjualbelikan. Pada Peradaban Yunani, perempuan adalah alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Peradaban Romawi, menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminnya. Perdaban Hindu Budha, hak hidup perempuan yang besuami harus berakhir pada kematian suaminya. Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Lihat kata pengantar Quraish Shihab dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Cet. II, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. xxviii-xxix.

[2] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan; Dilengkapi Perbandingan Undang-Undang Negara Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2004), hal. 69. 

[3] Ibid., hal. 87-89. 

[4] Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima Mazhab; Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, (Jakarta: Lentera, 1994), cet. IV, hal. 460. 

[5] Khoiruddin Nasution, Op. Cit., hal. 76. 

[6] Ibid., hal. 93. 

[7] Muhammad Jawad Mughniyyah, Op. Cit., hal. 458. 

[8] Khoiruddin Nasution, Op. Cit. hal. 83. 

[9] Malaysia, Brunei, Singapore termasuk Indonesia merupakan negara di bagian Asean yang sebagian besar menganut mazhab Syafi‟i. 

[10] KHI Pasal 23 Ayat (1), “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.” 

[11] KHI Pasal 23 Ayat (2), “Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada Putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.” 

[12] UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat (1), “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai”. KHI Pasal 16 Ayat 12), “Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai”. KHI Pasal 17 Ayat (2), “Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan”. 

[13] UU No. 1 tahun 1974 Pasal 27 Ayat (1) dan (3). 

[14] Khoiruddin Nasution, Op. Cit. hal. 100. 

[15] UU Pinang 1985 Pasal 7 Ayat (2), UU Negeri Sembilan 1983 Pasal 7 Ayat (2), UU Persekutuan 1984 Pasal 7 Ayat (2), UU Selangor Pasal 7 Ayat (2), UU Serawak 1991 Pasal 6 Ayat (2). 

[16] UU Negeri Sembilan 1983 Pasal 13, UU Persekutuan 1984 Pasal 13, UU Selangor 1984 Pasal 13, UU Pinang 1985 Pasal 13. 

[17] UU Perak 1984 Pasal 11, UU Pahang 1987 Pasal 13, dan UU Negeri Kelantan 1983 Pasal 13 Ayat (1), UU Serawak 1991 Pasal 11. 

[18] Khoiruddin Nasution, Op. Cit. hal. 104. 

[19] UU Burnei (Law of Burnei), Pasal 139. 

[20] UU Keluarga Muslim Philippines (Code of Muslim Personal Laws of The Philippines), Pasal 15. 

[21] UU Lebanon Tahun 1962 Pasal 47. 

[22] UU Yordania No. 61 Tahun 1876 Pasal 6a, 6b, dan Pasal 13. 

[23] UU Syiria No. 34 Tahun 1975 Pasal 18 Ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 30. 

[24] UU Tunisia Pasal 3. Lihat Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay: N.M. TRIPATHI PVT. LTD., 1972), hlm. 107. 

[25] UU Maroko Pasal 12 Ayat (1), (4), dan Pasal 13. 

[26] UU Irak No. 188 Tahun 1959 Pasal 9 Ayat (1), (2), (3), dan sudah diperbaharui beberapa kali. 

[27] UU Somalia Tahun 1975 Pasal 16 dan Pasal 17. 

[28] UU Aljazair No. 84-11 Tahun 1984 Pasal 11, Uu Aljazair Pasal 12, Pasal 9, dan Pasal 13. 

[29] UU Cypus Tahun 1951 Pasal 14 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (1), Pasal 14 Ayat (3). 

[30] Manshur 54 Tahun 1960 Pasal 2 dan Pasal 6 (a), (b), (c), dan (e). 

[31] http://kumpulan-teori-skripsi.blogspot.com/2011/09/teori-keadilan-aristoteles.html, diakses pada tanggal 02 September 2012. 

[32] http://kumpulan-teori-skripsi.blogspot.com/2011/09/teori-keadilan-adam-smith.html, diakses pada tanggal 02 September 2012. 

[33] http://manajemenringga.blogspot.com/2012/07/teori-hirarki-kebutuhan-maslow.html, diakses pada tanggal 02 September 2012. 

[34] M. Arfan Mu’amar, Abdul Wahid Hasan, dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2012), hal. 457-458. 

[35] Jasser Auda, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2008), hal. 54-55. 

[36] Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di Negara-Negara Muslim, (Yogyakarta: LKiS, 2011), hal. 72. 

[37] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1980), hal. 94. 


[38] Djazimah Muqoddas, Op. Cit., hal. 82.

No comments:

Post a Comment