Sunday, December 23, 2012

Pemikiran Interdisipliner dalam Sejarah Kajian Hukum



Kebutuhan untuk mengembangkan pemikiran interdisipliner dalam pengkajian terhadap hukum tentunya tidak akan timbul apabila sejak semula memang hukum tersebut sudah disiasati secara komprehensif. Oleh karena itu, pengembangan pemikiran secara interdisipliner langsung muncul dari keadaan pengusahaan dalam bidang ilmu hukum itu sendiri (the state of the fair). Salah satu sifat dari pengusahaan tersebut adalah keinginannya untuk mengucilkan diri sebagai bidang yang otonom. Dengan demikian, mempunyai kecenderungan kuat untuk bersifat eksklusif. Pernyataan tersebut bisa diperkuat oleh penglihatan kalangan atau ilmuan bukan hukum, yang menyebutnya bidang yang eksoterik, artinya yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang dipersiapkan untuk itu. Oleh karena itu, untuk waktu yang lama bidang hukum yang menurut mereka penuh dengan hal-hal yang teknis, penggunaan istilah-istilah yang khas, cara-cara berpikir, mengkonseptualisasikan, menganilis yang unik itu untuk dikeluarkan dari agenda perhatian para ilmuan sosial.


Sekedar contoh, berikut ini dibicarakan tentang bagaimana soisologi menghadapi hukum sebagai suatu subjek yang menantang untuk dipelajari, tetapi sekaligus sulit untuk dimasuki begitu saja (Schur, 1968:3-16; Selznick, 1959: 115-118).

Beberapa faktor yang menjadi sebab dari keadaan itu adalah:

1. Otonomi dari pengusahaan ilmu hukum (legal scholarship) yang bercirikan sifat teknis dan perkembangan yang rumit dari banyak pengertian, hukum, kekhususan sejarah hukum, kebanggaan profesional yang mendalam, dan keadaan pendidikan hukum yang relatif terisolasi.

2. Gambaran tentang sulitnya menembus hukum secara intelektual, disebabkan oleh hal-hal yang telah dapat dicapai oleh para ahli hukum dalam kurun waktu berabad-abad.

3. Adanya begitu banyak data yang membutuhkan keahlian khusus untuk menguasainya, yang pada kenyataannya menyebabkan kesulitan untuk menembus hukum sebagaimana yang dinyatakan di atas.

4. Pandangan ahli sosiologi yang melihat sistem hukum sebagai seperangkat peraturan, yang sama sekali jatuh ke dalam kawasan normatif; suatu hal yang dirasakan tidka menyenangkan mereka.

5. Kesulitan dalam komunikasi antara para ahli hukum dengan para ahli sosiaologi, karena mereka tidak berbicara dalam bahasa yang sama. Keadaan yang mengandung perbedaan tersebut membangkitkan ketidakpastian dalam usaha untuk menimbulkan keterlibatan dari kedua profesi tersebut, yang gilirannya menyulitkan usaha untuk melakukan kerjasama interdisipliner.

6. Para ahli hukum dan ahli sosiologi terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berbeda sifatnya. Di satu pihak, para ahli hukum ditarik kepada pekerjaan dan perhatian tentang masalah kebijakan, sedangkan para ahli sosiologi bersikap tidka berminat terhadap masalah seperti tersebut dan hanya ingin memburu penstrukturan secara sistematis.


Keadaan sekarang tentu sudah jauh lebih baik dari keluhan-keluhan sebagaimana disebut di atas. Sekarang kita sudah dapat menjumpai hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan sosial diluar hukum tentang proses-proses hukum, pranata hukum dan pokok permasalahan lain yang berhubungan dengan hukum. Sudah tentu titik tolak serta sudut pandang yang dipakai oleh para ahli hukum sosial tersebut berbeda dengan yang lazimnya dilakukan oleh para ahli hukum ketika mereka mengkaji hukum.

Seperti dikemukakan pada poin-poin di atas, hal yang menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk melakukan pengkajian interdisipliner terhadap hukum adalah pengucilan diri yang terlalu jauh dari hukum. Tentu saja ada faktor-faktor lain yang menyebabkan munculnya kebutuhan untuk melakukan pengkajian secara interdisipliner tersebut, namun faktor pengucilan tersebut dianggap memperkuat kebutuhan untuk melakukan kajian interdisipiliner. 

Aliran positivisme bisa didakwa sebagai penyebab utama yang menjadikan hukum diperlakukan secara otonom dan terpisah dari proses-proses lain yang ada dalam masyarakt. Aliran positivisme mamng mampunyai sejarahnya sendiri, karena positivisme muncul sebagai reaksi terhadap aliran hukum alam atau naturalisme.

Berbeda dengan aliran naturalisme yang memusatkan perhatiannya kepada masalah keadilan yang abstrak, maka positivisme mengutarakan masalah ketertiban dan ketepatan. Dengan demikian mereka didirong untuk membatasi perhatiannya terhadap objek yang jelas dan pasti.

Dalam usaha untuk mencari onjek pengkajian tersebut, John Austin mengidentifikasikan hukum dengan perintah dan kekuasaan yang berdaulat di suatu negeri. Di luar bentuk seperti itu, orang tidak akan menemukan hukum dan bentuk-bentuk lain tidak diakui sebagai hukum. Oleh karena itu, aliran positivisme juga sering disebut dengan nama formalisme. Dengan cara demikian, objek studi hukum memang bisa ditunjuk dan dibatasi secara jelas dan tegas, tetapi bukan tanpa resiko. Resiko tersebut seperti telah beberapa kali disinggung di atas adalah terjadinya proses pengucilan hukum dari proses-proses di luarnya.

Aliran positivisme atau formalisme ini juga dinamakan ilmu hukum analitis, dilihat dari cara bekerjanya. Sesudah orang berhasil melokalisasi objeknya, maka perhatiannya sekarang dipusatkan kepada peraturan-peraturan yang merupakan unsur pokok dari hukum positif. Ilmu hukum positif mengkaji pertautan logis, baik antara peraturan-peraturan yang satu dengan yang lain amupun antara bagian-bagian dari sistem hukum serta mengusahakan terciptanya pemakaian definisi-definisi dan pengertian-pengertian secara pasti dan menciptakan andaian yang meningkatkan pertautan (coherence) seperti disebutkan di atas (Stone, 1966: 5). Kita bisa mengerti bagaimana kelanjutan dari pengkajian hukum yang seperti itu, yakni antara lain timbulnya penglihatan tentang otonomi hukum dan munculnya persepsi diri yang besar dari para ahli hukum.

Suatu konsep yang sangat penting artinya karena berkaitan dengan metode dasar yang dipakai adalah yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tentang ajaran hukum murni (Kelsen, 1976: 1). Kelsen berkali-kali menekankan ilmu hukum seharusnya hanya berurusan dengan hukum positif, dengan peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu, ilmu hukum harus dipisahkan dari ilmu-ilmu yang tidak membahas peraturan-peraturan hukum tersebut, seperti psikologi, sosiologi, dan etik.

Ilmu hukum dituntut untuk menjawab pertanyaan tentang apa dan bagaimana hukum itu, dan bukan pertanyaan tentang bagaimana hukum dalam kenyataannya atau bagaimana hukum seharusnya dibuat. Ia adalah ilmu hukum dan bukan politik hukum. Namun Kelsen juga mengakui dalam perkembangan sejarahnya telah terjadi sesuatu yang menyimpang dari ide ilmu hukum yang murni tersebut, yakni bergabungnya ilmu hukum dengan sosiologi, psikologi, etik, dan teori politik. Terjadinya penggabungan tersebut adalah karena ilmu-ilmu itu mempunyai objek yang ada kaitannya dengan hukum. Kelsen tidak menolak kenyataan tersebut, melainkan hanya berusaha untuk menghindari terjadinya sinkretisme dalam metode yang akan menjadikan gelapnya ilmu hukum dan dia ingin menghapuskan batas-batas yang dilahirkan oleh sifat dari objek setiap ilmu tersebut.

Apapun yang telah terjadi pada waktu lampau dan bagaimanapun keyakinan ilmu seseorang, kebutuhan untuk membicarakan hukum dalam konteks yang luas semakin hari menjadi semakin kuat saja. Salah satu faktor kuat yang mendorong timbulnya kebutuhan tersebut adalah kenyataan tentang penyebaran peraturan-peraturan hukum yang semakin luas dalam masyarakat. Tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa hukum telah memasuki hampir semua bidang kehidupan masyarakat.

Dalam keadaan tersebut, tampaknya orang tidak bisa dengan tenang memuaskan keingintahuan intelektualnya hanya pada pengkajian terhadap hukum, dengan cara memperlakukannya bagaikan suatu pulau yang terkucil di tengah-tengah lautan yang luas. Perumpamaan di atas digunakan untuk menggambarkan kedudukan hukum di tengah-tengah proses sosial, politik, dan ekonomi yang berlangusng di masyarakat. Apabila penyebaran yang meluas seperti disebutkan di atas telah terjadi, maka kita bisa membayangkan kelanjutan-kelanjutan apa saja yang bisa terjadi.

Dengan demikian, hukum merupakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan dalam masyarakat ketika kita membicarakan hal-hal yang terjadi di dalamnya, seperti keluarga, perkawinan, perdagangan, kejahatan, pendidikan dan lain-lain. Hukum sekarang telah terkait dan terjalin dengan erat kepada masyarakat, atau masyarakat lah yang sudah terjalin dengan erat kepada hukum. Keingintahuan intelektual yang berkembang ke arah keinginan untuk mengkaji hubungan antara hukum dan masyarakat, atau keinginan untuk mengkaji hukum secara kmprehensif memang mempunyai alasan yang kuat dan mendasar. Seperti yang dikatan oleh Arthur T. Vanderbilt, dikutip oleh Julius Stone, "apabila hukum modern telah menjadi begitu luas dan kompleks, maka ia hanya akan bisa tetap mempertahankan isinya secara vital, efisien dalam o[erasinya, dan tepat dalam membidikkan arahnya, dengan cara meminjam kebenaran-kebenaran dari ilmu-ilmu politik, sosial, ekonomi, dan juga filsafat" (Stone: 1966: 22).

Dalam sejarah pemikiran hukum, bisa ditemukan semacam bibit-bibit yang nantinya bisa ditunjuk sebagai suatu susunan atau sistem peraturan semata. Pemikiran-pemikiran seperti tersebut akan memperlihatkan sikap reaktifnya atau sikap penolkannya yang kuat terhadap pikiran yang dominan yang menekankan segi-segi formal dari hukum. meminjam pensifatan terhadap kecenderunagn ilmu-ilmu sosial yang dibuat oleh Morton White, Stone berbicara mengenai adanya suatu 'revolusi menentang formalisme'. Menurut Stone, revolusi terhadap formalisme sebetulnya lebih dahulu berkembang dalam ilmu hukum dibanding dengan kejadiannya terhadap ilmu-ilmu sosial (Stone, 1966: 14). Stone menunjuk kepada Savigny di Jerman dan Maine di Inggris sebagai pemikir-pemikir hukum yang sudah jauh lebih dulu melakukan pemberontakan terhadap formalisme tersebut.

Berbeda dengan pemikiran Kelsen dan Austin, ancangan sejarah dan antropologi memberikan perhatian terhadap isi dari hukum (Rahardjo, 1982: 246-254). Reaksi-reaksi dan pemberontakan di atas tidak dapat dilepaskan dari suburnya pemikiran yang timbul pada abad kesembilanbelas. Abad tersebut merupakan masa yang kaya akan ide dan gerakan hukum baru. Semuanya merupakan bagian dari suatu kehidupan manusia yang dipacu oleh berbagai kemajuan dalam peradabannya. Ilmu yang diusahakan oleh manusia telah mencapai momentum yang memungkinkan dibukanya cakrawala baru, seperti kemungkinan yang dibawa oleh penemuan di bidang teknologi yang sekan menjungkirbalikkan pandangan, konsep, serta irama kehidupan masa lampau. Manusia semakin meyakini kemampuannya sendiri dan mendoorng keberaniannya untuk menembus dunianya dengan pikiran-pikiran baru yang kritis, juga dalam bidang filsafat, hukum dan sebagainya.

Pikiran-pikiran baru yang kritis tersebut menampilkan dirinya dalam bentuk gerakan 'pemberontakan' seperti yang dilakukan oleh aliran positivisme, sejarah, dan antropologi yang merupakan reaksi teori-teori hukum alam sebelumnya. Kemenangan dan prestasi akal manusia yang telah dibuktikan melalui hasil penemuan teknologi memacu orang untuk mengembangkan pemikiran positif yang sifatnya tidak spekulatif.

Para pemikir pada masa itu tampaknya semakin menyadari bahwa teori-teori Locke dan 'kontrak sosial' dari Rousseau tidak didasarkan pada kenyataan, melainkan pada asumsi-asumsi menakjubkan. Ancangan sejarah ini boleh disebut sebagai revolusi dari fakta terhadap khayalan (Alien, 1958: 15-16). Tidak diperoleh kapastian mengenai bahan-bahan fakta sejarah yang dipakai untuk menyusun teori kontrak sosial tersbut.

Aliran sejarah yang dipelopori oleh Savigny menolak pengagungan akal manusia. Savigny menolak bahwa hukum itu dibuat, dan menyatakan bahwa hukum itu ditemukan dalam masyarakat. Baik kaum rasionalis maupun aliran sejarah berada pada dua ujung yang ekstrem. Apabila kaum rasionalis telah berbuat kesalahan dengan mengagungkan waktu yang akan datang, maka ancangan sejarah dianggap salah karena mengagungkan masa lampau. Ketidakpercayaan terhadap pembuatan undang-undnag, terutama jika dikodifikasikan, menunjukkan adanya pandangan yang skeptis terhadap kemampuan manusia dan meregukan keberhasilan usaha manusia untuk menguasai dunia di sekelilingnya (Alien, 1958: 17).

Aliran sejarah telah membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap sejarah dari suatu tata hukum dan mengembangkan pengertian hukum merupakan suatu unikum. Keadaan tersebut menyuburkan dilakukannya penelitian serta karya yang bersifat antropologis. Antropologi hukum menerima kehadiran hukum sebagai sesuatu yang sangat vital, seperti mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat, mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan cara-cara untuk melindungi masyarakat dari gangguan dari dalam maupun musuh dari luar. Dengan demikian, hukum diterima dari sudut pandang yang sangat luas, khususnya mengenai tempat dan peranannya dalam masyarakat.

(Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Membangun dan Merombak Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hal. 49-57.

No comments:

Post a Comment