Tuesday, January 1, 2013

Peranan Baru Pendidikan Hukum dan Ahli Hukum

Ahmad Afandi


dok. http://indonesian.irib.ir

Pendidikan hukum di Indonesia tidak baru dimulai pada saat mencapai kemerdekaan, melainkan sejak masa penjajahan. Sebagaimana perhatian pemerintah penjajah pada umumnya, maka penyelenggaraan hukum di Indonesia pada waktu itu juga diarahkan kepada usaha untuk memelihara kepentingan negara dan masyarakat penjajah. Pendidikan diarahkan untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang mampu memberikan pengabdian bagi kepentingan-kepentingan tersebut. Dengan demikian, aka pertanyaan penting yang harus dijawab oleh pendidikan bukan bagaimana memajukan masyarakat dan pendidik di negeri jajahan, melainkan bagaimana mengabdikan penjajahan dalam berbagai manifestasinya.

Pendidikan hukum di Indonesia dimulai pada tahun-tahun permulaan abad ini. Pada tahun 1909, di Jakarta didirikan Rechtsschool yang lama pendidikannya enam tahun Tiga tahun pertama pendidikan tersebut sama dengan pendidikan pada sekolah lanjutan pertama yang ada pada waktu itu, yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). banyak lulusan sekolah hukum tersebut melanjutkan pelajarannya pada pendidikan tinggi hukum di negeri Belanda. Di samping Rechtsschool tersebut, pada tahun 1914 di Jakarta didirikan pula Bestuursschool yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan pegawai negeri di Jawa dan Madura, sehingga mereka nanti dapat menduduki jabatan yang lebih tinggi.

Kedua lembaga pendidikan tersebut kiranya bisa dijadikan petunjuk tentang siasat penyelenggaraan hukum penjajah di negeri ini yang mengutamakan pemeliharaan ketertiban daripada memikirkan tentang kemajuan hukum sesungguhnya. Melalui pendidikan hukum seperti tersebut tentulah kurang dapat diharapkan munculnya pemikir-pemikir hukum yang sesungguhnya, melainkan sekedar tenaga dan orang-orang yang terampil untuk menerapkan hukum dan notabene hukum yang memihak kepada kepentingan negeri penjajah.

Secara pedagogis tampaknya memang ada kesukaran yang dihadapi untuk segera menyelenggarakan suatu pendidikan hukum, sedangkan sumber yang akan mengadakan mahasiswanya belum diadakan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan seperti Rechtsschool tersebut serta lembaga pendidikan dokter yang didirikan pada tahun 1851, yaitu STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), memang sekaligus harus merangkap sebagai lembaga pendidikan tingkat menengah. Barulah pada tahun 1919, lebih dari dua ratus tahun sejak Belanda menjajah negeri ini, dibuka pendidikan tingkat menengah atas yang akan menjadi jembatan antara pendidikan tingkat rendah dan tinggi. Pada tahun 1919dibuka AMS (Algeme Middelbare School) di Yogyakarta dan di Bandung masing-masing untuk jurusan ilmu pasti dan ilmu alam dan kesusasteraan barat klasik; sedangkan untuk kesusasteraan Indonesia diselenggarakan di Surakarta.

Dengan dibukanya pendidikan lanjutan tingkat atas maka jalan ke aras pendidikan tinggi sudah terpenuhi. Lembaga pendidikan tinggi memulai sejarahnya di Indonesia dengan dibukanya bidang pendidikan teknik yang paling dibutuhkan pada waktu itu. Panitia mulai dibentuk demi mewujudkan pendidikan teknik ini. Panitia yang didirikan pada tahun 1917 ini terdiri atas pengusaha-pengusaha swasta yang mempunyai kepentingan di Indonesia. Pada tahun 1920 berdiri Technische Hogeschool di Bandung, di Jakarta bendiri pula balai-nalai pendidikan tinggi hukum, yaitu Rechtshogeschool (1924) dan kedokteran, yaitu Geneeskundige Hogeschool (1927).

Perkembangan tersebut merupakan perwujudan perubahan pandangan masyarakat di Belanda terhadap negara jajahannya. Politik mengeruk keuntungan atas beban negeri dan rakyat jajahan pada permulaan abad kedua puluh mulai mendapatkan kritik yang tajam disebabkan oleh bangkitnya aliran pemkiran yang memandang tindakan-tindakan pemerintah kolonial selama ini sebagai sebagai sesuatu yang asusila. Untuk menebus kesalahan tersebut, Belanda ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagai balas budi terhadap keuntungan-keuntungan yang telah diberikan selama ini oleh negeri jajahannya tersebut.

Pendirian perguruan tinggi hukum tersebut merupakan keinginan untuk mempunyai suatu lembaga yang bisa memikirkan peranan hukum untuk memajukan masyarakat belum segera terpenuhi. Maih terlalu kuat kecenderungan untuk meneruskan politik status quo di bidang pendidikan hukum, dalam arti sekedar memberikan keterampilan untuk menjalankan hukum yang ada.

Mochtar Kusumaatmadja juga berpendapat bahwa tugas yang dipikul oleh lembaga tersebut adalah mendidik tenaga-tenaga yang nantinya terampil dalam menggunakan hukum positif. Menurut mochtar, mereka dipersiapkan sebagai tenaga-tenaga mahir yang nantinya bertugas untuk mempertahankan tertib hukum yang ada sekarang (Kusumaatmadja, 1971: 10).

Secara lebih terperinci beliau mengatakan bahwa mereka dipersiapkan untuk memasuki jenjang pekerjaan sebagai: (1) tenaga kehakiman (2) pegawai negeri, dan (3) pekerjaan-pekerjaan bebas (advokat). Lebih lanjut lagi, Mochtar berbicara mengenai kualitas pendidikan tinggi hukum pada waktu itu yang disebutnya sebagai pendidikan yang menitikberatkan pada aspek keterampilan sebagai tukang, berupa studi analisis terhadap kasus-kasus dan peraturan perundang-undangan. Mochtar mengeluh cara pendidikan tersebut kurang memadai bagi tenaga-tenaga yang nantinya diharapkan dapat menangani masalah hukum dalam rangka pembangunan masyarakat.

Periode yang dijalani oleh pendidikan tinggi hukum di Indonesia pada waktu itu, yaitu antara pendiriannya pada tahun 1924 sampai pada masa pendudukan Jepang 1942, adalah periode di mana perubahan sosial tidak mengalami perubahan yang besar. Perubahan sosial yang dimaksud adalah pembangunan negeri ini yang pada gilirannya akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan hukum.

to be continued
(Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Membangun dan Merombak Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hal. 127-130)

No comments:

Post a Comment