Sunday, January 27, 2013

Relasi Suami Isteri Menurut Teori Determinisme Frederic Le Play



Pengertian Teori Determinisme 

Determinisme berasal dari bahasa Latin determinare yang artinya menentukan atau menetapkan batas atau membatasi.[1] Secara umum, pemikiran ini berpendapat bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada. Determinisme juga berpegangan bahwa perilaku etis manusia ditentukan oleh lingkungan, adat istiadat, tradisi, norma dan nilai etis masyarakat.[2] Istilah ini dimasukkan menjadi istilah filsafat oleh William Hamilton yang menerapkannya pada Thomas Hobbes. Penganut awal pemikiran determinisme ini adalah Demokritos yang percaya bahwa sebab-akibat menjadi penjelasan bagi semua kejadian.


Pemikiran determinisme melihat bahwa perilaku etis ditentukan oleh lingkungan, adat istiadat, tradisi, norma dan nilai masyarakat, mengakibatkan dua hal, yaitu: pertama, adanya berbagai faktor yang memengaruhi perilaku etis manusia menyebabkan perilaku etis manusia bersifat relatif. Kedua, perilaku etis tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor yang mengelilinginya tetapi juga oleh kehendak pelakunya. 


Teori determinisme merupakan teori monocausal yang menganggap ada faktor tunggal yang menyebabkan sebuah perubahan. Frederic Le Play (1806-1882) menggunakan perspektif determinisme ini untuk menganalisa faktor adat dan nilai-nilai budaya tradisional dalam proses pembentukan tertib sosial. Dia memberikan pertanyaan mendasar, apa yang harus diperbuat agar orang kembali dapat memperoleh kehidupan dengan rasa aman, kembali berada dalam kehidupan yang dikendalikan oleh nilai-nilai etika, serta kembali bersatu dengan penuh pengertian? Ia menjawab bahwa faktor struktural, dalam hal ini keluarga dan pola-pola relasinya mempengaruhi apakah masyarakat akan bergerak menuju tertib sosial seperti yang diharapkan. 


Keadaan keluarga menurut Le Play dipengaruhi oleh lingkungan dan pekerjaan, yang pada akhirnya mempengaruhi pola relasi sebuah keluarga. Pola relasi itu lalu mempengaruhi munculnya masalah dan fakta-fakta sosial. 


Relasi Suami-Isteri Menurut Teori Determinisme; Telaah Pasal 31 dan 34 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 

Dalam pasal 31 ayat 3 disebutkan bahwa “Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga”. Sedangkan pasal 34 ayat 1,2, dan 3 sebagai turunan dari pasal 31 disebutkan bahwa suami bertugas melindungi sedangkan isteri bertugas mengurusi urusan rumah tangga dan keduanya boleh mengajukan gugatan perceraian jika masing-masing tugasnya tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak. Kedua pasal ini jelas mangkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian khusus terutama dalam hubunganya dengan amandemen UU No. 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) secara menyeluruh yang saat ini sudah dibuat draft revisinya dan tinggal menunggu giliran dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). 


Sudah banyak teori yang digunakan oleh para praktisi, akademisi dan legislator untuk menelaah dan memperoleh argumentasi dalam rangka amandemen UU Perkawinan, seperti teori gender, teori keadilan, teori kebutuhan dan teori maqasid al-syari’ah. Akan tetapi tidak ada yang melihatnya dari teori determinisme, padahal teori ini juga penting jika kita mau melihat secara menyeluruh permasalahan yang ada sehingga UU Perkawinan dapat mengakomodasi semua kepentingan dan tuntutan keadaan. Oleh karena itu, saya akan sedikit menganilisis polemik amandemen tersebut khususnya pasal 31 dan pasal 34 dilihat dari teori determinisme Frederic Le Play yang sudah kami jelaskan pengertiannya di atas. 


Pasal 31 ayat 3 dan pasal 34 ayat 1, 2, dan 3 UU Perkawinan jelas tidak mencerminkan bagaimana relasi suami-isteri yang seharusnya, terutama jika kita melihat rentang waktu antara lahirnya UU tersebut dan keadaan pada masa sekarang. Dalam kurun waktu hampir empat puluh tahun berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 (1975-2012), nilai-nilai dalam masyarakat sudah berubah. Misalnya di pedesaan umumnya seorang suami menjadi kepala keluarga, namun karena perkembangan zaman dan adanya perubahan sosial budaya menjadikan adanya perubahan peranan dalam keluarga tersebut yaitu istri yang lebih tegas dan mampu menguasai, mengatur segala hal dari pada suaminya. Ketidaksepahaman mengenai peran ini mengakibatkan banyak orang gagal dalam menjalankan peran mereka, karena standar lama sudah berubah dengan standar baru. Keseimbangan peran ini yang masih belum kita temukan dalam pasal ini juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 secara umum. 


Dalam teori determinisme, lingkungan, adat istiadat, tradisi, norma dan nilai masyarakat adalah beberapa faktor penting yang menyebabkan perilaku etis manusia bersifat relatif. Nilai yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan perubahan peranan yang menuju pada kesamaan dalam relasi masyarakat menurut teori ini adalah bermuara pada relasi dan peran dalam keluarga. Le Play memandang bahwa keadaan keluarga, pekerjaan dan lingkungan mempengaruhi pola relasi sebuah keluarga. Oleh karena itu, pasal 31 ayat 3 dan pasal 34 ayat 1, 2,dan 3 UU No. 1 Tahun 1974 perlu direvisi sesuai dengan peran dan nilai yang berkembang dalam masyarakat, yakni menuju pada kesetaraan peran dan relasi antara suami dan isteri. 

Menurut penulis, pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan seharusnya diubah dari teks asalnya: 
Suami adalah keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga” 

Menjadi: 
Suami dan isteri mempunyai peran, relasi, dan tanggungjawab yang sama dalam kehidupan berumahtangga” 

Pasal 34 ayat 1 yang semula berbunyi: 
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga sesuai kemampuannya” 

Diubah menjadi: 
Suami dan isteri wajib saling melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga dengan kemampuannya” 

Pasal 34 ayat 2 yang semula berbunyi: 
Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya” 

Diubah menjadi: 
Suami isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya” 

Pasal 34 ayat 3 yang semula berbunyi: 
Jika suami atau isteri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan” 

Diubah menjadi: 
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya untuk saling melindungi dan saling berbagi peran dan kerja dalam rumah tangga, atau salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil, maka ia berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan” 


Footnotes:
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama ), 2000. 
[2] A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, (Jogjakarta: Kanisius), 1997, Hal. 203-206.

No comments:

Post a Comment