Friday, February 8, 2013

Syarat Sah Taklif



Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar taklif dianggap sah: 

Pertama, mukallaf harus mengetahui taklif sepenuhnya sehingga dia menyadari maksud dan tindakannya sebagaimana yang di-taklif-kan. Taklif tidak berlaku jika tidak diketahui. Oleh karena itu, semua taklif dalam Al-Qur’an yang mujmal (umum), seperti shalat dan zakat, telah dirinci oleh Rasulullah SAW sehingga ke-ijmal-annya terhapus, hal ini karena Rasul mempunyai mandat untuk menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, “Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an untuk kamu terangkan pada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka...” (An-Nahl: 44). 


Yang dimaksud dengan ‘mengetahui’ adalah mukallaf mengetahui atau ‘bisa mengetahui’ perbuatan dalam taklif itu sehingga dia mampu, dengan sendirinya atau melalui perantara, mengerti apa yang di-taklif-kan dengan bertanya pada ahlinya. Indikasi untuk ‘bisa’ mengetahui: mukallaf berada di negara Islam, karena hukum Islam sudah lumrah di dalam negara Islam, kelumrahan adalah indikasi ‘mengetahui’. Ulama Fiqh mengatakan, “ ‘mengetahui’ diharuskan bagi orang yang berada di negara Islam.” 


Ketentuan, “mengaku tidak tahu hukum di negara Islam adalah tidak dibenarkan” menguatkan hal tersebut di atas. Berbeda jika dia berada di daar al-harb (selain negara Islam), dia tidak mempunyai keharusan untuk mengetahui hukum syariah, karena hukum syariah tidak menjadi hal lumrah di daar al-harb. Oleh karena itu, jika di sana ada orang yang masuk Islam lalu tidak tahu kewajiban shalat, maka dia tidak wajib menggantinya (qadlaa’) ketika suatu saat dia mengetahui kewajiban tersebut. Begitu pula jika dia tidak mengetahui haramnya minum khamr, dia tidak dapat diberi sanksi bila nanti kembali ke daar al-islam


Prinsip dalam hukum positif sama dengan prinsip dalam syariat Islam, undang-undang dianggap telah diketahui oleh mukallaf jika sudah disebarkan melalui penyebarluasan undang-undang seperti melalui surat kabar resmi. 


Kedua, perbuatan yang di-taklif-kan itu dalam jangkauan kemampuan mukallaf.(1) Maksudnya, perbuatan itu bisa dilakukan atau tidak dilakukan oleh mukallaf. Karena tujuan taklif adalah ketaatan (patuh). Jika perbuatan itu di luar kadar kemampuan mukallaf, maka ketaatan tidak tercapai dan taklif menjadi sia-sia, Syari’ tidak mungkin melakukan hal tersebut. Konsekuensi hukum dari adanya syarat ini adalah: 


1. Tidak ada taklif pada hal yang mustahil. Baik mustahil lidzatihi (sebab hal itu sendiri memang mustahil dilakukan) seperti menggabungkan dua hal yang bertentangan, atau mustahil lighairihi (sebab sesuatu yang lain sehingga membuat hal itu mustahil dilakukan), yakni hal yang tidak mungkin terjadi menurut kebiasaan, meskipun masih masuk akal, seperti terbang tanpa alat bantu, karena hukum alam tidak memungkinkan hal tersebut terjadi. Maka taklif pada hal yang mustahil adalah taklif di luar kemampuan yang tidak akan dilakukan oleh syari’

2. Tidak ada taklif di luar kehendak manusia. Seperti taklif agar dia mengharuskan orang lain untuk melakukan suatu hal. Hal tersebut di luar kemauan dan kemampuan manusia, yang dia mampu hanyalah mengingatkan orang lain berbuat kebaikan atau melakukan suatu hal. 


Hal-hal lain yang di luar kemampuan manusia misalnya: taklif pada hal-hal afektif yang berhubungan dengan emosi dan perasaan, manusia tidak dapat mencegahnya. Mengenai hal ini, Nabi SAW bersabda ketika pembagian giliran atas isteri-isterinya, “Ya Allah, pembagian giliran ini di luar kemampuanku, maka janganlah Kau menghukumku atas sesuatu yang Kau miliki sedangkan aku tidak.” Yaitu mengenai perasaan dam kasih sayang yang kadarnya tidak sama kepada masing-masing isterinya. 


Hadits Nabi SAW, “Jangan marah”. Yang dimaksud bukanlah larangan tentang marah ketika keadaan memaksa seseorang untuk marah, akan tetapi larangan marah yang tidak terkendali dan terburu-buru berkata dan berbuat hal yang tidak dibolehkan. Karena pada keadaan seperti itu, dia harus diam dan menahan diri sampai gejolak amarahnya mereda. Manusia harus berusaha mengindari akibat yang ditimbulkan jika dia sedang marah, karena dia tidak mampu menghilangkan amarah. Hal ini masih dalam jangkaun kemampuan manusia, untuk menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi akibat marah. 


Kesimpulannya, urusan hati, meskipun berada di luar taklif, seperti cinta seseorang yang tidak sama kepada isteri-isterinya, kasih sayang ayah yang kadarnya tidak sama kepada anak-anaknya, hanya mengharuskannya untuk berbuat adil pada anak-anaknya atau isteri-isterinya dan memberikan hak kepada yang berhak. Seorang ayah tidak boleh melebihkan pemberian kepada salah satu dari anak-anaknya yang lebih dia sayangi, karena akan menimbulkan kecemburuan bagi yang lain dan menimbulkan permusuhan di antara mereka, oleh karena itu hal tersebut dilarang. 


Sedangkan urusan hati yang berkaitan dengan iman atau semacamnya seperti mencintai Allah dan Rasul, wajib bagi mukallaf dan merupakan keharusan baginya melakukan hal-hal yang bisa mengantarkan pada cinta Allah dan Rasul. Hal tersebut harus tercapai dan tidak boleh melakukan sebaliknya, yakni membenci Allah dan Rasul, apabila tidak tercapai atau melakukan sebaliknya maka hal itu menjadi tanda tidak adanya iman, karena iman tidak mungkin terpisahkan dari cinta kepada Allah dan Rasul. 


Kesulitan yang ada dalam suatu perbuatan yang di-taklif 

Seperti yang disebutkan di atas, perbuatan yang di-taklif harus berada dalam kadar kemampuan mukallaf, lalu apakah perbuatan itu juga harus tidak sulit dilakukan? Kenyataannya, semua perbuatan tidak bisa lepas dari kesulitan, kesulitan adalah sesuatu yang lazim dalam taklif. Jika kesulitan itu masih dalam batas kemampuan manusia maka tidak masalah dan tidak menjadi penghalang berlakunya taklif, akan tetapi jika kesulitan itu di luar kewajaran, tidak bisa dilakukan manusia dan hanya menyebabkan bertambahnya kesulitan, masalah dan penderitaan, maka hukumnya menjadi sebagai berikut: 


Pertama, kesulitan di luar kewajaran yang terjadi akibat kondisi tertentu pada mukallaf. Seperti berpuasa dalam perjalanan dan ketika sakit, dipaksa mengucapkan kata-kata kufur, dan amar makruf nahi munkar yang berakibat hilangnya nyawa. Dalam kondisi-kondisi seperti itu, syari’ memberikan keringanan dengan membolehkannya meninggalkan perbuatan wajib dan melakukan perbuatan yang dilarang untuk menghindari masyaqqah (kesulitan) dan menghilangkan penderitaan. 


Dengan hal ini, dalam keadaan tertentu syari’ menjadikan sebagian kesulitan-kesulitan di luar kewajaran ini sebagai mandub, dalam kasus mengucapkan kata-kata kufur karena dipaksa maka dia boleh mengucapkan kata-kata kufur sebagai bentuk keringanan (rukhshoh). Mandub (yang dianjurkan): tetap sabar atas siksaan yang diterima dan tidak mengucapkan kalimat kufur, sekalipun harus mati. Dalam kasus penegak amar makruf nahi munkar, dia boleh diam dan tidak melawan para penguasa dhalim sebagai rukhshoh karena khawatir akan siksaan mereka. Mandub: tetap menegakkan amar makruf nahi munkar karena sudah kewajiban, sekalipun dapat mengantarkannya pada kematian, karena kesabaran dalam menghadapi hal itu berarti memuliakan agama, menguatkan para pemeluknya dan melemahkan mental orang-orang yang berbuat lalim dan sesat. 


Kedua, kesulitan di luar kewajaran tetapi mau tidak mau harus tetap dilakukan karena fardlu kifayah, seperti jihad. Jihad adalah fardlu kifayah, sekalipun di dalamnya harus ada pertumpahan darah, menghilangkan nyawa, melemahkan tubuh dan mengakibatkan letih dan lelah. Karena mau tidak mau, jihad harus dilakukan demi melindungi negara dari musuh. Taklif jenis ini pada hakikatnya termasuk fardlu kifayah, bukan fardlu ‘ain. Contoh jihad: amar makruf nahi munkar. Amar makruf nahi munkar termasuk dari salah satu macam jihad yang wajib dilakukan oleh umat, karena merupakan fardlu kifayah, meskipun mengakibatkan kesulitan besar di luar kewajaran. Hukum amar makruf yang mengakibatkan kesulitan bagi penegaknya adalah mandub dalam lingkup parsial, yakni bagi tiap-tiap individu umat, sedangkan dalam lingkup keseluruhan maka hukumnya wajib, yakni bagi seluruh umat pada umumnya. Sekalipun bisa menyebabkan bahaya yang menyulitkan, jihad tetap harus ada karena fardlu kifayah


Ketiga, kesulitan di luar kewajaran yang tidak mudah dilakukan karena sifat dari perbuatan itu, sebab mukallaf mewajibkan atas dirinya sendiri perbuatan yang tidak diperintahkan oleh syari’

Perbuatan yang seperti ini termasuk perbuatan yang tidak dibolehkan. Diceritakan bahwa Nabi SAW melihat seseorang berdiri di bawah terik matahari, lalu beliau bertanya tentang dia, sahabat menjawab, “Wahai Rasulallah, dia bernadzar untuk berdiri di terik matahari, tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, sambil puasa." Nabi lalu bersabda, “Suruh dia berbicara, duduk dan menyelesaikan puasanya.”(2)


Ketika ada sahabat yang ingin selalu shalat malam, ada yang ingin berpuasa seumur hidup tanpa putus, dan ada yang ingin menyendiri dan tidak menikah, maka Nabi SAW bersabda pada mereka, “Demi Allah, aku yang paling takut dan paling takwa kepada Allah di antara kamu, tetapi aku terkadang puasa terkadang tidak, aku terkadang shalat malam dan terkadang tidur dan aku juga menikah, maka barangsiapa membenci sunahku, dia tidak termasuk dalam golonganku.”(3)


Hikmah dari semua ini adalah: menyiksa diri sendiri dan membawanya pada kesulitan tanpa didasari kebaikan dan tujuan yang disyariatkan adalah sia-sia. Tidak ada kebaikan (maslahah) dalam menyiksa diri, maslahah-nya justru melindungi dan menjaga tubuh, sehingga dengan itu seorang mukallaf bisa menegakkan amal shalih. Akan tetapi jika ada alasan kemaslahatan serta tujuan dan maksud syara’ yang mengharuskannya terlibat dalam kesulitan maka mukallah dibolehkan, disunnahkan, atau diwajibkan untuk melaksanakannya. 


Atas dasar ini, maka kita harus meneladani perjalanan hidup para salafussalih, bagaimana mereka menjalani hidup serba sulit dengan pakaian dan makanan yang tidak memadai seperti Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz dan yang lainnya, mereka hidup sederhana serba kekurangan, mereka adalah pemimpin dan panutan umat, maka mereka patut dipuji karena tujuan mereka adalah kebaikan dan atas dasar tujuan syara’. 


Demikian juga orang yang mengutamakan orang lain di atas dirinya sendiri, dia patut dipuji sekalipun dengan itu dia mengalami kesulitan dan kesusahan hidup, karena dalam pengutamaan itu berarti dia telah membantu orang yang membutuhkan dan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi. Patut dipuji juga orang yang berusaha menjauhi pintu kelaliman dan tidak membantu orang lain berbuat dzalim, sekalipun dengan itu dia mendapat kesempitan rejeki dan kesulitan hidup. 


Kesulitan dan kesusahan hidup dalam beberapa kondisi di atas patut dipuji bukan karena ‘kesulitan’ itu, tetapi karena kesulitan itu datang demi tujuan yang disyariatkan dan maksud yang mulia. Selain dalam kondisi di atas, maka orang yang menyebabkan hidupnya susah dan sengsara tidak patut dipuji. 

__________________________
(1) Al-Amidi, Juz. 1 Hal. 187, Irsyad al-Fuhul, Al-Syaukani, Hal. 8. 
(2) H.R. Bukhari, Lihat Riyadl al-Shalihin, Nawai, hal. 92. 
(3) Riyadl al-Shalihin, hal. 86.

No comments:

Post a Comment