Saturday, April 6, 2013

Dua Pendapatan (Dual Income) dalam Keluarga


Dewasa ini tampak semakin banyak wanita atau isteri-isteri yang beraktivitas di luar rumah untuk bekerja. Ada yang beralasan mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga gengsi, mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Dengan suami dan isteri bekerja, pendapatan dalam rumah tangga bisa bertambah. Harusnya ini adalah hal yang sepatutnya disyukuri oleh seluruh keluarga, akan tetapi tidak jarang hal ini menyebabkan konflik yang memicu retaknya hubungan rumah tangga ketika tidak dimanage dengan komunikasi yang baik.


Persoalan-persoalan perkawinan yang akan dibahas dalam tulisan ini di antaranya: (1) apakah makna uang bagi kehidupan? (2) bagaimana jika suami isteri sama-sama bekerja di luar rumah? (3) apa saja persoalan-persoalan yang akan muncul dari two income in marriages?dan (4) bagaimana dampak jika terdapat dua sumber pendapatan dalam rumah tangga? 

Pembahasan permasalahan di atas diharapkan dapat menjadi bahan diskusi bersama yang pada akhirnya dapat membantu pasangan-pasangan yang menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh keadaan dimana suami isteri bekerja dalam satu rumah tangga. 

Makna Uang 
Dalam kamus Oxford, money didefinisikan sebagai “what you earn by working or selling things, and use to buy things”.Sedangkan merurut para ahli ekonomi dalam buku David Knox “Choices in Relationships” uang merupakan alat tukar yang memungkinkan untuk mendistribusikan barang-barang atau jasa dalam masyarakat. Tapi uang juga memiliki arti secara personalyang berhubungan dengan konsep diri, kekuasaan, keamanan, kebebasan, hubungan sosial, cinta dan konflik dalam pernikahan.[1]

Konsep Diri 
Uang mempengaruhi konsep diri seseorang. Karena, dalam masyarakat kita, nilai manusia sering disamakan dengan prestasinya secara finansial. Seorang ayah atau suami terkadang merasa gagal ketika dia tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya dan membandingkan keluarganya dengan keluarga lain yang berhasil secara finansial. Uang juga mempengaruhi konsep diri seseorang dalam pergaulan. Bagi remaja ketika teman-teman baik secara financial dan mendapati dirinya kurang, maka biasanya ada kecendrungan untuk merasa rendah diri. 

Kekuasaan/kekuatan 
Orang-orang yang punya uang biasanya merasa berkuasa, memiliki kendali lebih atas sesuatu, peristiwa, dan orang lain. Rata-rata orang jika ingin membeli sesuatu mungkin akan berkata “saya tidak mampu untuk membeli itu”. Lain halnya dengan orang yang memiliki banyak uang, mungkin mereka tidak mempertimbangkan harga barang, dan mungkin mereka membeli berdasarkan hasrat keinginan saja. Kemampuan untuk membeli barang dan jasa akan menghasilkan perasaan kekuatan, kekuasaan berarti mendapatkan apa yang kita inginkan ketika kita menginginkannya. 

Uang tidak hanya menyediakan kukuatan untuk memiliki sesuatu, tapi juga kekuatan untuk mengontrol kejadian. Bagi orang miskin ketika bahan bakar langka dan harganya naik, hampir pasti adalah sebuah ketidaknyamanan dan bias berarti kematian. Tapi untuk orang kaya, tidak peduli seberapapun tingginya harga bahan bakar itu tidak akan mengganggu kehidupan mereka. Karena mereka memiliki banyak uang. 

Uang juga berarti kekuasaan atas orang lain. Majikan atas karyawan, orang tua atas keturunan. Majikan mempunyai kuasa atas karyawan. Bisa saja majikan memecat karjawan ketika karyawan tidak bias memenuhi keinginannya. Orang tua bias saja tidak memberikan uang jajan kepada anaknya ketika anaknya membangkang. 

Uang digunakan sebagai kekuatan bersama antara suami istri mempunyai konsekuensi positif dalam pernikahan. Dalam sebuah studi tentang bagaimana pasangan suami istri mengatur keuangan dalam hubungan mereka, dua peneliti mengamati bahwa ketika istri lebih berpengaruh atau sama pengaruhnya dalam pengaturan uang seperti memutuskan berapa banyak uang tunai yang ada di tangan, membayar tagihan dll, maka ada kesempatan lebih besar untuk pasangan tersebut tinggal bersama. Namun ketika managemen keuangan rumah tangga didominasi oleh suami, kemungkinan untuk terjadi perceraian meningkat. (Schaninger & Buss, 1986). 

Keamanan 
Oscar Wilde pernah berkata, "Ketika saya masih muda, saya gunakan untuk berpikir bahwa uang adalah hal yang paling penting dalam hidup, sekarang saya lebih tua, saya tahu bahwa uang mewakili keamanan”. 

Orang-orang tanpa uang sering merasa bahwa mereka tinggal di ambang bencana. Tidak bisa membayar asuransi jiwa dan memberikan masa depan yang aman untuk orang yang dicintai. Uang juga mengamankan kita terhadap kesehatan yang buruk, karena perawatan medis biasanya tergantung pada kemampuan kita membayar. Banyak pasien tidak mampu ditolak oleh pihak rumah sakit karena tidak mampu membayar. Untuk itu, kesehatan kita secara langsung berkaitan dengan keuangan, ketika membeli obat, membayar dokter, dan membeli makanan yang layak. 

Kebebasan 
Uang memberi kebebasan untuk melakukan hal-hal yang ingin dilakukan. Ketika ingin makan di luar atau nonton di bioskop tapi tidak punya uang. Akan merasa buruk sepanjang waktu karena tidak ada uang untuk melakukan apa pun. Namun ketika memiliki pekerjaan yang baik, punya uang di bank dan di saku. Maka akan merasa bebas untuk melakukan apapun yang ingin dilakukan. 

Hubungan Sosial 
Uang mempengaruhi hubungan antar pasangan, antar pasangan dengan orang tua mereka, dan antar pasangan dengan rekan-rekan mereka. Orang lebih cenderung untuk tetap menikah di bawah kondisi tekanan keuangan. Meskipun kebanyakan studi menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan berpengaruh besar terhadap stabilitas perkawinan (mengurangi konflik yang disebangkan kurangnya uang), dan kemungkinan perceraian meningkat ketika pendapatan diperoleh suami isteri rendah. 

Cinta 
Uang juga bisa berarti cinta. Ketika memberi hadiah orang yang dikasihi biasanya ingin membelikan yang terbaik. Nilai sebuah hadiah bias diartikan sebagai perasaan yang dalam ketika mencintai. 

Konflik dalam Perkawinan 
Uang juga dapat menjadi sumber konflik antar pasangan ketika salah satu pasangan ingin membeli sesuatu yang akan mencegah pasangan lain dari membeli sesuatu yang lain. Sebagai contoh, seorang suami ingin membeli perekam video dan kamera yang harganya sekitar 2.5 juta. Istrinya ingin membeli piano dan sofa untuk ruang tamu kosong mereka, yang akan menelan biaya sekitar 3 juta. Suami berpikir bahwa menghabiskan uang untuk sofa dan piano yang tidak ada seorangpun memainkannya adalah hal yangbodoh, istri berpikir bahwa menghabiskan uang untuk video dan kamera adalah membuang-buang uang. Tidak semua uang konflik dalam pernikahan tentang perekam video dan furniture, tapi masalah selalu sama yaitu uang. 

Uang juga dapat digunakan untuk mengurangi konflik perkawinan dan stres-Misalnya, pasangan suami istri yang berdebat tentang siapa yang harus membersihkan rumah ketika sama-sama sibuk bekerja.Dengan uang mereka dapat menyewa seseorang untuk membersihkan rumah. Dengan uang pasangan suami istri bisa berlibur dan bersenang-senangbersama-sama. 

Uangbukanlah kunci menuju kebahagiaan, tapi uang membantu mewujudkan kebahagiaan.Jika kaya tetapi memiliki hubungan negatif dengan pasangan, anak-anak dan orang lainmaka bisa dikatakan miskin secara emosional. 

Wanita Bekerja: Dahulu dan Sekarang 
Sejarah telah menginformasikan bahwa sebelum datangnya Islam, kondisi wanita secara umum adalah suram. Wanita, yang melahirkan manusia, dihina, diperlakukan kasar dan diturunkan derajadnya sebagaimana pembantu, diperlakukan seperti budak yang dapat dipelihara dan diceraikan menurut kesenangan suaminya. Wanita dipandang sebagai perwujudan dosa, kemalangan, aib, dan malu, dan tidak memiliki hak dan kedudukan apapun di dalam masyarakat.[2]

Dengan datangnya Islam, posisi wanita secara radikal terdefinisi kembali.Islam melarang praktek penguburan bayi perempuan dan memperbaiki hak-hakkelahirannya. Demikian pula Islam telah mengangkat status wanita ke dalamstatus yang layak sebagai manusia yang bermartabat sebagaimana pria. Untukselanjutnya pria dan wanita dipandang sejajar dari segi kemanusiaanya.[3]

Apabila kita melihat pada masa permulaan Islam berkaitan dengan keterlibatan wanita dalam pekerjaan, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan kaum wanita berkreatifitas atau bekerja di luar rumah dalam berbagai bidang, baik secara mandiri atau bersama orang lain. Islam memberikan hak kepada wanita untuk memegang suatu pekerjaan dan melibatkan dirinya secara aktif dalam perdagangan dan perniagaan. Ia berhak bekerja di luar rumahnya dan memperoleh penghidupan. 

Sedangkan dalam tradisi lokal khususnya Jawa menempatkan kaum perempuan sebagai “penumpang” kamukten (kemulyaan) pria.[4] Wanita diposisikan sebagai konco wingking yang harus menjalankan 5 “ah”,yaitu omah-omah (kawin, berkeluarga), momong bocah (mengasuh anak), umbah umbah (mencuci pakaian), olah-olah (memasak), dan isah-isah (mencuci piring). 

Pada zaman pembangunan sekarang ini, sering ditemui seorang pria yang bekerja sebagai tukang masak, bekerja di salon-salon kecantikan, penjahit, yang sebenarnya pekerjaan itu umumnya dilakukan oleh wanita dan sebaliknya, banyak wanita bekerja di bidang proyek bangunan, sebagai mandor, manajer dan lain sebagainya. [5]

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut, serta pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan serta dapat pula menghindari dampak-dampak negative dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.[6]

Motivasi Wanita untuk Bekerja di Luar Rumah 
Menurut Dra. Catherine D.M. Limansubroto, MSc (Psikolog). banyak alasan yang menyebabkan seorang istri memutuskan bekerja. Salah satunya karena ingin membantu ekonomi keluarga. Mungkin istri merasa keluarganya perlu memperoleh income dari kedua belah pihak, sehingga ia ambil bagian dalam segi ekonomi keluarga. Bisa juga istri bekerja karena tuntutan keadaan semisal suami kena PHK dan kebetulan ia pun memiliki kesempatan untuk bekerja. Keinginan untuk mengaktualisasikan diri juga menjadi alasan lain seorang istri memutuskan bekerja. Mungkin karena pendidikannya yang cukup tinggi, sehingga ia ingin mengabdikan ilmunya. Tapi tak jarang pula keinginan bekerja muncul karena istri melihat di lingkungannya, semua wanitanya bekerja. Mungkin karena ibu dan kakak-kakaknya yang wanita bekerja semua, sehingga ia merasa aneh jika tak bekerja. Jadi ia bekerja karena memang ia merasa harus bekerja.[7]

Pekerjaan Berbeda dengan Karier 
Menanggapi motif-motif yang menyangkut dalaam hal pekerjaan, pekerjaan tidak selamanya diartikan sebagai sesuatu yang sama bagi isteri-isteri yang bekerja. Sebagian melihatnya pekerjaan hanya sebagai Job, disisi yang lainnya pekerjaan dilihat sebagai karier. 

Kriteria untuk Karier 
Karier dan pekerjaan pada dasarnya memiliki kesamaan, tetapi karier lebih didasarkan atas pelatihan khusus, membutuhkan komitmen yang tinggi serta mobilitas. Ada seorang pakar psikologi menyatakan adanya tingkatan S1, S2 dsb, bahwa saya tidak faham dengan posisi diri sendiri, saya suka bekerja dengan orang lain, aku sekolah 20 tahun, dan menghabiskan 230 lembar disertasiku untuk menyelesaikan S2 ku. Kebanykan para pembisnis mencatat ketika kamu tidak S2 maka kamu tidak akan diajak bicara. 

Dalam hal lain pelatihan yang lebih formal, karier juga berimplikasi pada ketepatan waktu dan energi, untuk mengejar target suatu profesi. Seorang eksekutif dalam perusahaan besar meneliti bahwa perusahaan yang besar akan menginginkan kesungguhan jiwa dan ragamu (totalitas). 

Pertimbangan – Meski perusahaan menginnginkan “jiwa” seluruh karyawan, karyawan yang mementingkan karier akan menjalankan perintah-perintah yang diberikan karena faktor gaji. Sedangkan jika terlalu banyak tugas bagi karyawan yang memandang karier hanya sekedar pekerjaan, karyawan tersebut menganggap tunjangan yang diberikan tidak sepadan dengan tugas yang berat, yang membuat mereka ingin mengundurkan diri. “Saat bos saya bilang saya harus bekerja di Sabtu pagi, saya bilang “tidak” kata seorang pegawai. “waktu tersebut adalah untuk keluarga saya” kewajiban kerja dan keluarga membuat suatu investasi menjadi sulit. 

Berhubungna denga komitmen karier adalah kelanjutan kerja dimana seseorang meraih posisi tertentu di perusahaan dengan waktu kerja (full time). Data- sangat sedikit pria yang bekerja kurang dari 40 jam/ Minggu, sebagian kecil wanita bekerja lebih dari 40 jam/ Minggu. (Sorensen at. Al. 1985). Satu pengecualian adalah dari penelitian terhadap 21 wanita karier yang sukses (gaji pertahun =$25000) mayoritas dari wanita ini mengaku sering bekerja 10-14 jam per hari, meninggalakan makan siang, membawa pulang pekerjaan, dan bekerja di akhir pekan. (Keown & Keown, 1985). 

Mobilitas penting bagi karier seorang karyawan yang berkomitmen harus bersedia berpindah kota sesuai dengan tugas yang diberikan. beberapa perusahaan enggan mempekerjakan wanita karena takut mereka lebih mementingkan keluarga sehingga tidak mau dipindahkan. Data- hanya 2% wanita yang bekerja jauh dari rumah yang berhasil mencapai posisi eksekutif (Hewlett, 1986). 

Pertimbangan- karier dan pekerjaan punya keuntungan sendiri-sendiri. Karier memberi uang lebih dan status yang lebih tinggi, namun pekerjaan memberi memberi flasibilitas lebih. Pekerjaan lebih mudah diambil dan ditinggalkan serta disesuaikan dengan kebutuhan keluarga yang berbeda-beda.[8]

Halangan Bagi Isteri yang Mengejar Karier 

1. Tanggung Jawab Terhadap Anak 
Kewajiban pada anak dan keluarga membuat wanita sulit bersaing dengan karyawan pria. Umumnya wanita menomorsatukan keluarga. Beberapa wanita karier ada yang memilih bekerja jauh daripada mengurus anak. Data- menurut penelitian dari 250 wanita karier yang menghasilkan $75,000 per tahun, 50% wanita karier tersebut belum mempunyai anak dibanding wanita non-karier (Gilson & Kene, 1987). 

2. Tanggung Jawab Terhadap Rumah 
Karier membuat wanita yang sudah menikah sulit mengurus rumah. Umumnya jika gaji isteri naik, maka peran suami dalam mengurus rumah akan meningkat. Tidak selalu isteri/wanita karier tidak bahagia, menurut survei 26% tidak bahagia dengan suami, sedangkan 69% mengaku bahagia. Data- dalam studi 113 mahasiswi yang sudah menikah, tidak lebih dari 3% suaminya yang bertanggung jawab mengurus anak. kurang dari 10% suami bertanggung jawab mencuci pakaian, membersihkan kamar mandi, dapur, menjahit dan menyiapkan makanan.(Sack & Liddell, 1985). 

3. Sikap Suami 
Jika suami tidak mendukung langkah karier sang isteri, akan membuat isterinya sulit sukses dan bahagia. Data- dalam studi 999 mahasiswa di 104 universitas, hanya 15% pria mengatakan mereka ingin isteri yang tidak bekerja di luar rumah (Stewart, 1986). 

Pertimbangan- meski meningkatnya isteri sebagai wanita karier di Amerika menunjukan kemungkinan untuk bisa mengurus keluarga dan pekerjaan. Ada fakta yang menunjukan hal itu lebih sulit dilakukan. “ Saya mencari iklan dan artikel tentang wanita karier, dan semua itu cocok ), kita berharap menjadi istri, ibu, pegawai dan orang dinamis. Ini hal yang sangat rumit. Saya mulai membicarakannya dengan teman-teman dan mereka sangat tertarik mengenai hal ini.” (Edmanson, 1986, hlm 18). Sebagai respon, Osborn membentuk Superwomen Anonymous yang menggerakan para wanita untuk berhenti mencari kepuasan dari orang lain, dan beralih untuk lebih mengatur kehidupannya. Motto grup tersebut adalah “Cukup adalah cukup” (Informasi lebih lanjut tersedia di Osborn Group; 1275 Colombus, San Francisco, CA 94133).[9]

Pernikahan dengan Suami-Istri Sama-sama Bekerja 

1. Karier Suami/Istri 
Karier tertentu dapat berpengaruh buruk pada keluarga, studi menunjukkan dari sebuah grup ilmuwan, 60 orang dari grup tersebut sangat fokus pada pekerjaan dan mengesampingkan keluarga. 

2. Karier Istri/Suami 
Beberapa pasangan mementingkan karier istri. Data- hanya 12% istri yang tinggal dengan suami mereka yang menghasilkan lebih banyak uang ketimbang suami mereka. Hal ini mewakili 6 juta istri. Beberapa darinya melampaui suaminya dibidang karier, namun kebanyakan kasus mereka menikah dengan pria yang untuk sementara kesulitan mendapat kerja yang bergaji lebih. 

Peneliti meneliti 46 pasangan dimana istri lebih dominan, pasangan berusia lebih daripada 40 tahun. Para istri mengaku resikonya adalah kelelahan dan kurangnya waktu bagi keluarga. Kedua, passangan mengaku imbalannya bisa lebih dari resikonya, diantaranya kebutuhan yang tercukupi dan memberikan kebanggaan sebagai tulangpunggung keluarga. Namun tidak semua penelitian menunjukkan hasil yang sama, beberapa suami dengan istri wanita karier berperan jadi “Bapak Rumah Tangga”. Data- Lebih dari 500 responden 15% pria dan 20% wanita mengaku bersedia menjadi tulangpunggung keluarga. (Billingham dan Sack, 1986). 

3. Karier Mereka 
Kadang-kadang pasangan mengaku karier mereka sama pentingnya, meski begitu sangat jarang mereka mendapat hasil yang sama. Data- Dari survey dari 65.000 wanita, 13% diantaranya mengaku mendapat penghasilan yang sama dengan partner mereka. (Bowe, 1986). 

Menurut penelitian, beberapa istri kurang berperan dalam mengurus keluarga. Namun jika gaji istri meningkat suami akan lebih berperan dalam mengurus rumahtangga.[10]

Pernikahan dengan Pasangan yang Berpindah-Pindah (Demi Pekerjaan) 
Kepentingan karier membuat pasangan harus berpindah-pindah demi pekerjaannya, bahkan harus terpisah. 

1. Karakteristik pernikahan dengan pasangan yang berpindah-pindah demi pekerjaan 
a. Komitmen karir setara 
Kedua pasangan mendedikasikan karir dan pekerjaan. Pekerjaan bagi keduanya sama-sama penting. 

b. Jarak 
Pasangan tersebut mengalami kesulitan dalam hal jarak, karena harus berpindah demi pekerjaan. 

c. Ketetapan 
Pasangan tersebut menganggap keterpisahan tersebut sebagai konsekuensi permnen dari pernikahan. 

d. Keputusan hidup bersama 
Mereka sulit berkonsentrasi pada pekerjaan karena memikirkan keluarga. Data- Sudah biasa bagi pasangan yang berpindah-pindah (demi pekerjaan) menghabiskan 6000 dollar per tahun, bepergian untuk bisa selalu bersama. 

2. Masalah Khusus Pernikahan dengan pasangan yang berpindah-pindah demi pekerjaan 
a. Percakapan yang terpisah 
Karena jarang hidup bersama mereka jarang berkomunikasi untuk berbagi permasalahan. Data- Dalam suatu study 42% pasangan yang berpindah-pindah demi pekerjaan menelpon satu sama lain setiap hari, 30% diantaranya beberapa hari sekali. (Gerstel dan Gross, 1984, p.56) 

b. Kurangnya waktu luang 
Pasangan mempunyai waktu luang yang sedikit karena terpisah. Data- Lebih dari 50% dari 71 pasangan yang berpindsh demi pekerjaan bersama-sama bertemu setiap minggunya. (Gerstel and Gross, 1984) 

c. Kebutuhan hubungan intim (seks) 
Terpisah satu sama lain membuat pasangan tersebut jarang berhubungan intim. 

d. Merasa kurang produktif 
Mereka sulit berkonsentrasi pada pekerjaan karena memikirkan keluarga. 

e. Anak 
Pasangan tersebut kurang punya waktu untuk liburan bersama anak mereka atau mengurus kebutuhan anak sehari-hari. 

3. Keuntungan Pernikahan dengan pasangan yang berpindah-pindah demi pekerjaan 
a. Hubungan yang meningkat 
Karena terpisah, soal bersama menjadi spesial yang membuat meningkatnya kualitas hubungan. 

b. Mengurangi pertengkaran 
Pasangan yang terpisah cenderung jarang bertengkar dibanding pasangan yang selalu bersama. Pertimbangan- Beberapa konflik dalam pasangan yang berpindah-pindah dapat dikurangi dengan mengakui satu sama lain bahwa karier satu orang sangat penting dan pasnagan tersebut mempunyai komitmen yang tinggi dibidang karier. Pasangan tersebut dapat fokus pada keuntunagn gaya hidup mereka dan menikmati saat-saat bersama mereka.[11]


Job Sharing: Definisi dan Konsekuensinya 
Ekonomi adalah salah satu pondasi fundamental dalam kehidupan rumah tangga. Kemapanan ekonomi dalam rumah tangga adalah salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan[12] sebuah keluarga. Namun perlu diingat, ekonomi bukanlah satu-satunya faktor yang membuat kehidupan keluarga menjadi bahagia. Terkadang, rumah tangga yang ekonominya pas-pasan malah bisa lebih bahagia daripada rumah tangga yang ekonominya mapan. Fakta yang seperti memang tidak bisa ditolak. Namun, bagaimanapun, ekonomi yang mapan akan lebih baik daripada yang pas-pasan. 

Dalam pandangan tradisonal, kehidupan rumah tangga, khususnya yang menyangkut masalah ekonomi, laki-laki (baca: suami) adalah pihak yang mendominasi. Dalam artian, laki-laki selalu ditempatkan sebagai pihak yang berkewajiban mencari pemasukan ekonomi dalam kehidupan rumah tangganya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari “pemahaman lama” yang meyakini bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (baca: isteri) dalam segala hal. Dari peran inilah kemudian lahir istilah pembagian peran dalam rumah tangga, laki-laki mengurusi urusan publik, sedang perempuan hanya mengurusi urusan privat.[13]

Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, sumber pendapatan ekonomi dalam rumah tangga tidak lagi menjadi beban suami saja. Sesuai dengan perkembangan zaman, banyak perempuan (baca: isteri), yang tidak lagi “menerima” begitu saja nasib mereka yang hanya diberi ruang berkarya di wilayah domestik semata. Ada keinginan dari mereka untuk membantu perekonomian keluarga dengan bekerja di luar. Biasanya, perempuan yang memilih bekerja di luar kewajiban rumah tangga disebut wanita karir. 

Rumah tangga yang suami dan isterinya sama-sama bekerja, akan mempunyai dua sumber pendapatan dalam ekonominya. Pembagian kerja (job sharing) antara suami dan isteri adalah salah satu cara untuk menambah pemasukan dalam ekonomi rumah tangga. Secara sederhana, istilah job sharing diartikan sebagai sebuah situasi di mana kerja penuh (full time) yang permanen direkonstruksi menjadi kerja paruh waktu (part-time) untuk dua orang.[14] Ada data yang menunjukkan bahwa job sharing untuk isteri berkisar 45 jam per minggu, sedang untuk suami berkisar 56 jam per minggu. Dan hanya satu pasangan dari 20 pasangan yang menerapkan job sharing sebagai gaya hidup yang permanen, 19 pasangan lainnya menyatakan bahwa pendapatan dari job sharing tidaklah cukup. 

Pilihan untuk menerapkan job sharing dalam kehidupan rumah tangga tentu saja akan mempunyai konsekuensi, baik yang bersifat positif maupun negatif. Adapun konsekuensi yang ditimbulkan dari penerapan job sharing dalam kehidupan rumah tangga bisa dilihat sebagai berikut: 

1. Konsekuensi Bagi Isteri 
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan antara isteri yang bekerja di luar rumah dengan isteri yang memilih berkarir di rumah tangga saja. Ada dampak positif maupun negatif dari pilihan isteri yang memilih sebagai wanita karir. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mereka (isteri) lebih bahagia dibandingkan dengan yang tidak bekerja di luar rumah (McLanahan & Glass, 1985), serta mereka merasa lebih bahagia dengan kehidupan perkawinannya (Blumstein & Schwartz, 1983). Perempuan pekerja yang mendapat dukungan sosial dari teman-teman kerjanya dan yang mersa terintegrasi secara sosial dengan lingkungan kerjanya juga dilaporkan merasa lebih sehat dan menghabiskan lebih sedikit hari di rumah sakit (Hibbard & Pope, 1985).[15]

Namun, ada penelitian lain yang menunjukkan hal yang berbeda. Peneliti Stokes & Peyton (1986) misalnya, mereka mengemukakan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah lebih tidak puas (mengalami penurunan kebahagiaan) yang diakibatkan oleh stress terhadap pekerjaannya. Penelitian ini mereka lakukan dalam kasus pekerja wanita yang memiliki gaji rendah dan potensi rendah untuk naik pangkat.[16] Konsekuensi lain dari perempuan pekerja yaitu memiliki sedikit waktu untuk dirinya sendiri karena kecenderungan seorang isteri memperluas dirinya sendiri dalam dua peran (karir dan ibu rumah tangga) sebagai jalan untuk memagari konflik antara dua peran tersebut. Jadi, pagar utama seorang istri pekerja yaitu dengan strategi “do it all” (mengerjakan semuanya). Hasilnya yaitu perempuan tersebut lebih stress dari pada suaminya (White dkk., 1986).[17]

2. Konsekuensi Bagi Suami 
Dalam sebuah studi perbandingan antara 208 suami yang isterinya bekerja dan 408 suami yang isterinya menjadi ibu rumah tangga menghasilkan data penting bahwa, suami yang isterinya bekerja akan lebih merasa tidak puas dengan pekerjaan mereka dan kehidupan keluarganya daripada suami yang isterinya hanya tinggal di rumah saja.[18] Dan konsekuensi terpenting bagi suami adalah isteri yang memilih bekerja di luar rumah akan bisa mengurangi beban ekonomi keluarga. 

3. Konsekuensi Bagi Perkawinan 
Studi menunjukkan bahwa isteri yang memilih bekerja akan mengalami penurunan hasrat untuk melakukan hubungan seksual dengan suaminya (Berg, 1986). Namun ada studi lain yang menunjukkan bahwa tidak ada efek yang ditimbulkan dalam kehidupan perkawinan dari isteri yang memilih bekerja di luar rumah (Smith, 1985). Selain itu, isteri yang memilih ikut bekerja bisa merubah derajatnya dalam hubungan suami-isteri, karena juga memberi pemasukan secara finansial. 

4. Konsekuensi Bagi Anak 
Anak adalah salah satu pihak yang terkena dampak dari pilihan isteri yang memilih bekerja di luar rumah. Anak yang kedua orang tuanya bekerja, akan lebih banyak melakukan pekerjaan domestik sebagai pengganti ibunya, daripada anak yang ibunya menjadi ibu rumah tangga saja.[19] Selain itu, anak yang ditinggal ibunya bekerja, akan lebih mudah terjerumus ke hal-hal negatif karena tidak ada yang mengawasi. Terlebih, dalam masa kanak-kanak adalah tahap di mana perhatian orang tua, utamanya ibu merupakan kebutuhan yang fundamental. Namun demikian, bagi anak perempuan yang ibunya bekerja, mereka akan mempunyai banyak opsi dalam berkarir daripada anak perempuan yang ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga (Selkow, 1985).[20]


Kesimpulan 
Memang tidak bisa dipungkiri jika kemapanan ekonomi adalah salah satu pondasi utama dalam mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia, tentram, dan sejahtera. Kemapanan ekonomi adalah salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan sebuah keluarga. Sumber pendapatan dalam keluarga, baik yang berasal dari suami maupun kedua-keduanya (baca: suami-isteri), akan membawa kemaslahatan jika dikomunikasikan dengan baik. Suami yang bekerja maupun kedua-duanya yang bekerja hanyalah media untuk mendapatkan pemasukan ekonomi. 

Suami yang mempunyai isteri yang bekerja seharusnya turut senang karena beban ekonomi menjadi berkurang. Namun demikian, isteri yang bekerja juga tidak boleh menunjukkan “gede diri” atas partisipasinya dalam membantu perekonomian keluarga. yang terpenting dalam situasi ini adalah, baik suami maupun isteri harus saling memahami dan berkomunikasi. Dan, yang terpenting, antara kedua belah pihak tidak boleh ada yang merasa superior karena alasan telah memberi pemasukan yang melebihi salah satunya. 

Dalam pilihan isteri yang bekerja di luar rumah tangga tentu saja mempunyai konsekuensi yang harus diperhatikan. Karena dalam setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang harus ditanggung. Dalam konteks ini, konsekuensi yang ditimbulkan baik bagi dirinya sendiri, suami, kehidupan rumah tangga, dan anak-anak. Dan, sebelum mengambil keputusan untuk berkarir, isteri harus mengkomunikasikan terlebih dahulu kepada suami, dan melakukan berbagai pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Komunikasi adalah kunci dalam mempertahankan keharmonisan keluarga. Komunikasi dalam konteks ini adalah komunikasi yang tidak dilandasi rasa superioritas salah satu pihak atas pihak lainnya. Karena bagaimanapun, keluarga adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan seharusnya, apa yang menjadi kepunyaan suami, maka otomatis juga menjadi kepunyaan isteri, dan begitupun sebaliknya. 


Daftar Pustaka 

Jawad, Haifa A. Perlawanan Wanita, sebuah Pendekatan Otentik Relijius, terj. Moh.Salik. Malang: Cendekia Paramulya, 2003. 
Knock, David.Choices in Relationships: an Introduction to Marriage and the Family, second edition. New York: West Publishing Company, 1988. 
Mahmudah, Siti. Peran Wanita Karier dalam Menciptakan Keluarga Sakinah. file PDF diakses pada 08-03-2013 
Nasir,Ridlwan.Sensitivitas Gender Kendala Optimalisasi Peran Perempuan dalamMajalah Sophia, IAIN Sunan Ampel Surabaya, edisi4/th.III/2003 
Nugroho,Riant. Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, cet. ke-1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. 
Prianggoro,Hasto.Problema Istri Bekerja, dalam Tabloid Novaedisi jum’at, 19 Maret 2010, diakses via online melalui http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Problema-Istri-Bekerja pada 08-03-2013. 
Shihab,M. QuraishMembumikan Al-Qur`an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam 
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992. 



Footnotes:
[1]David Knock, Choices in Relationships: an Introduction to Marriage and the Family, second edition, (New York: West Publishing Company, 1988), hlm. 274-277 
[2]Haifa A Jawad, Perlawanan Wanita, sebuah Pendekatan Otentik Relijius, terj. Moh. Salik, (Malang: Cendekia Paramulya, 2003), hal.1. 
[3]Siti Mahmudah, Peran Wanita Karier dalam Menciptakan Keluarga Sakinah. file PDF diakses pada 08-03-2013. 
[4]Ridlwan Nasir, “Sensitivitas Gender Kendala Optimalisasi Peran Perempuan” dalam Majalah Sophia, IAIN Sunan Ampel Surabaya, edisi4/th.III/2003, hal.15. 
[5]Ibid 
[6]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hal.275. 
[7]Hasto Prianggoro, “Problema Istri Bekerja”,dalam Tabloid Novaedisi jum’at, 19 Maret 2010, diakses via online melalui http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Problema-Istri-Bekerja pada 08-03-2013 
[8]David Knock, Choices in Relationships: an Introduction to Marriage and the Family, hlm. 281-283. 
[9]Ibid, hlm 283-285. 
[10]Ibid, hlm. 285-288. 
[11]Ibid, hlm. 288-293. 
[12]Ada berbagai macam definisi kesejahteraan. Sementara itu, definisi keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kehidupan sprituil dan materil yang layak, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, memiliki hubungan yang sama, selaras, seimbang antar anggota keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Definisi ini penulis ambil dari slide “Konsep Keluarga Sejahtera”, ditulisa oleh salah satu dosen Universitas Indonesia (UI), Ns. Henny Permatasari, M. Kep. Sp. Kom, diupload April 2009. 
[13]Pandangan yang demikian biasanya disebut dengan pandangan yang bias gender. Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Lihat Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 2-3. 
[14] David Knoxx,........hlm. 294. 
[15] Ibid., hlm. 294-295. 
[16] Ibid., hlm. 294. 
[17] Ibid., hlm. 295. 
[18] Ibid., hlm. 295. 
[19] Ibid., hlm. 298. 
[20] Ibid., hlm. 299.


Penulis:
Diyan Wuryaningrum
Moh, Iqbal Ghazali
Saiful Bahri

No comments:

Post a Comment