Saturday, April 6, 2013

Komunikasi dalam Keluarga

Ahmad Afandi, Muhammad Abduh, Ricy Fatkhurrahman
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi karena merupakan bagian integral dari sistem dan tatanan kehidupan sosial masyarakat. Aktivitas komunikasi dapat dilihat pada setiap aspek kehidupan sehari-hari manusia mulai dari bangun tidur sampai ia beranjak tidur kembali. Bisa dipastikan sebagian besar dari kegiatan dalam kehidupan kita bergantung pada komunikasi, baik komunikasi verbal maupun nonverbal. 


Orang yang menjalin hubungan dengan orang lain, baik sebagai partner/rekan, pasangan kekasih, suami-isteri, ayah-anak, karyawan-bos dan sebagainya, memerlukan komunikasi yang sesuai agar hubungan yang dijalin menjadi produktif, positif, dan menguntungkan. Bagi sepasang kekasih, komunikasi adalah salah satu elemen penting yang bisa menentukan apakah hubungan yang sedang mereka jalani bisa berlanjut ke tahap perkawinan atau putus di tengah jalan dan menyisakan puing-puing kenangan yang harus dibuang. 

Tahap peralihan dari dua orang yang mencintai pada saat pacaran menjadi sebuah pasangan suami-isteri, terkadang membuat cinta yang terajut sebelumnya menjadi sebuah pertengkaran dan konflik. Bagian sulit dari peralihan ini kemungkinan adalah harapan kita yang berlebihan terhadap perkawinan. Kita perlu mengkomunikasikan hubungan kita dan belajar mengelola konflik dengan pasangan. Terkadang ada sesuatu yang terpendam tapi harus dikatakan, dan terkadang ada sesuatu yang tampak tapi tidak perlu dibicarakan. Di sini lah komunikasi mengambil perannya. 

Hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi dan hubungan perkawinan yang kami bahas dalam makalah ini adalah: pengertian komunikasi, unsur-unsur dasar dalam komunikasi, komunikasi produktif dan nonproduktif, mitos-mitos tentang perkawinan, cara sistematis mengelola konflik, ciri-ciri orang yang memiliki komunikasi yang baik dengan pasangannya. Dengan pembahasan ini, diharapkan kita sebagai mahasiswa jurusan Hukum Keluarga dapat mengetahui dan memetakan semua hal yang berkaitan dengan komunikasi khususnya dalam hubungan perkawinan. 


Pengertian Komunikasi 
Pawito dan C Sardjono mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses yang di dalamnya suatu pesan dipindahkan atau dioperkan dari suatu sumber kepada penerima dengan maksud mengubah perilaku, perubahan dalam pengetahuan, sikap dan atau perilaku overt lainnya. Sekurang-kurangnya didapati empat unsur utama dalam model komunikasi yaitu sumber (the source), pesan (the message), saluran (the channel) dan penerima (the receiver).[1]

Wilbur Schramm menyatakan komunikasi sebagai suatu proses berbagi (sharing process). Schramm menguraikannya sebagai berikut : 

“Komunikasi berasal dari kata-kata (bahasa) Latin communis yang berarti umum (common) atau bersama. Apabila kita berkomunikasi, sebenarnya kita sedang berusaha menumbuhkan suatu kebersamaan (commonnes) dengan seseorang. Yaitu kita berusaha berbagai informasi, ide atau sikap. Seperti dalam uraian ini, misalnya saya sedang berusaha berkomunikasi dengan para pembaca untuk menyampaikan ide bahwa hakikat sebuah komunikasi sebenarnya adalah usaha membuat penerima atau pemberi komunikasi memiliki pengertian (pemahaman) yang sama terhadap pesan tertentu”[2]

Pakar komunikasi lain, Joseph A Devito mengemukakan bahwa komunikasi adalah transaksi. Komunikasi merupakan suatu proses di mana komponen-komponennya saling terkait dan para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Dalam setiap proses transaksi, setiap elemen berkaitan secara integral dengan elemen lain.[3]

Sebagai proses, menurut Smith, komunikasi sekaligus bersifat khas dan umum, sempit dan luas dalam ruang lingkupnya. Ia menguraikan: 

“Komunikasi antarmanusia adalah suatu rangkaian proses yang halus dan sederhana. Selalu dipenuhi dengan berbagai unsur-sinyal, sandi, arti tak peduli bagaimana sederhananya sebuah pesan atau kegiatan itu. Komunikasi antarmanusia juga merupakan rangkaian proses yang beraneka ragam. Ia dapat menggunakan beratus-ratus alat yang berbeda, baik kata maupun isyarat ataupun kartu berlubang baik berupa percakapan pribadi maupun melalui media massa dengan audience di seluruh dunia…ketika manusia berinteraksi saat itulah mereka berkomunikasi…saat orang mengawasi orang lain, mereka melakukannya melalui komunikasi”[4]

Sedangkan Larry A Samovar, Richard E Porter dan Nemi C Janin dalam bukunya Understanding Intercultural Communication mendefinisikan komunikasi sebagai berikut: 

Communication is defined as a two way on going, berhaviour affecting process in which one person (a source) intentionally encodes and transmits a message throught a channel to an intended audience (receiver) in order to induce a particular attitude or behaviour.”[5]

Dari uraian tersebut, definisi komunikasi menurut Schramm lebih cenderung mengarah pada efektifitas proses berbagi perilaku komunikasi. Schramm melihat bahwa komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang berhasil melahirkan kebersamaan (commonness), kesepahaman antara sumber (source) dengan penerima (audience)-nya. Menurutnya, sebuah komunikasi akan benar-benar efektif apabila audience menerima pesan, pengertian dan lain-lain persis sama seperti apa yang dikehendaki oleh penyampai. Devito lebih cenderung pada transaksi yang merupakan gabungan aksi dan reaksi. Smith lebih cenderung pada interaksi, sedangkan Samovar dkk lebih cenderung pada proses pembentukan tingkah laku. 


Unsur-unsur Dasar dalam Komunikasi 

Komunikasi adalah salah satu aspek terpenting untuk memperoleh kebahagiaan perkawinan. Keluhan yang paling sering didengar terapis perkawinan dari pasangan suami-isteri adalah “Tidak bisa menjalin komunikasi yang baik”. Kita harus mengetahui unsur atau elemen dasar dalam komunikasi agar komunikasi yang kita jalin bersama pasangan bisa disebut komunikasi yang baik. Komunikasi mencakup enam (6) unsur dasar, yakni: 

1. Simbolis 
Komunikasi adalah sesuatu yang simbolis, menggunakan simbol-simbol (kata) untuk menyampaikan pesan. Ketika berbicara atau menulis surat, kita menggunakan simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh lawan bicara atau penerima surat. Karena kita menggantungkan ide dan perasaan kita pada kata-kata, maka penting bagi kita untuk menggunakan kata-kata yang tidak ambigu dan tidak menyebabkan salah arti bagi pendengar dan pembaca.[6]

2. Interaktif[7]
Komunikasi adalah sesuatu yang interaktif. Simbol atau kata-kata saja tidak cukup untuk terjalin komunikasi. Harus ada orang lain yang terlibat di dalamnya. Komukasi adalah interaksi, menyampaikan pendapat, pikiran, perasaan, dan reaksi yang timbul dari adanya interaksi. 

Sifat alami komunikasi interaktif adalah dinamis. Perubahan kondisi fisik (sehat, lapar, capek, sakit) pada masing-masing pasangan, juga bisa mempengaruhi pola komunikasi. Contohnya seperti yang disampaikan oleh seorang isteri pada seorang psikolog,“Aku terserang flu, tapi Martin ingin membicarakan hubungan kami. Aku sudah bilang padanya kalau ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu, tunggulah pada saat aku merasa baikan. Dia pikir aku hanya menunda-nunda, lalu kami berbicara dan akhirnya bubar/cerai. Kalau perasaanku baik saat membicarakan hubungan kami, pasti kami masih bersama.” 

Kondisi psikologis dan fisik bisa berubah. Hal ini bisa jadi lebih penting dan lebih sensitif untuk dipertimbangkan sebelum membicarakan isu-isu sulit dengan pasangan, seperti mood (suasana hati) dan kesehatan. Seperti pengalaman yang telah diceritakan di atas, hasil pembicaraan pada saat A mungkin sangat berbeda jika dibicarakan pada saat B. 

3. Komunikasi Berdampak pada Perasaan dan Tingkah Laku[8]
“Kayu dan batu bisa mematahkan tulangku, tapi kata-kata tidak pernah bisa melukaiku” mungkin adalah nyanyian anak kecil yang kerap terdengar. Tetapi kata-kata bisa dan sangat bisa melukai kita, seperti halnya kata-kata juga bisa membuat kita gembira. Coba ingat pada saat seseorang mengucapkan selamat atau seseorang mengucapkan cinta padamu, atau pada saat kamu mengucapkan hal itu pada seseorang. Pada saat-saat itu biasanya terjadi pada saat perasaan sedang baik. 

Pada masa perkenalan, pasangan yang sedang kencan pergi bersama, memuji satu sama lain, dan berbagi pengalaman positif. Waktu dan energi mereka sepenuhnya untuk satu sama lain, tidak untuk hal-hal lain. Dalam perkawinan, sangat mudah untuk merubah pola ini, tidak menghabiskan waktu bersama, tidak saling memuji, atau tidak saling berbagi pengalaman. Jika tujuan anda adalah untuk mempertahankan perasaan senang tentang pasangan anda atau agar pasangan anda merasa senang tentang anda, maka penting bagi anda untuk meluangkan waktu memelihara hubungan anda seperti pada saat masa perkenalan. 

Kata-kata juga bisa mempengaruhi tingkah laku. Kekerasan fisik dalam hubungan antar individu sering kali gara-gara ‘menyebut nama’ atau ‘mengkritik’. “Aku bilang padanya kalau dia itu pelacur tak berguna, lalu yang terjadi selanjutnya, dia memukulku dengan lampu,” seorang suami bercerita. 

Kata-kata juga bisa mempengaruhi tingkah laku di masa selanjutnya. Banyak ramalan tentang diri yang mengatakan bahwa kita terkadang bersikap seolah ingin mewujudkan keinginan orang lain. Jika pasangan anda mengatakan kalau dia tidak percaya pada anda dan mengetahui bahwa anda pasti akan selingkuh, maka kesempatan anda untuk mewujudkan perkataan anda bertambah. 

4. Komunikasi Terjadi pada Konteks Tertentu[9]
Semua komunikasi terjadi dalam konteks yang sudah diketahui sebelumnya. Saat anda berdiri di depan lift yang pintunya baru saja terbuka, orang di dalamnya (bisa orang asing, kekasih, teman, profesor, atau pasangan) menyediakan konteks komunikasi untuk diikuti. Interaksi dengan masing-masing mereka akan berbeda. 

Ada yang berupa ‘konteks cermin sosial’ di mana masing-masing orang akan mempertahankan itu pada anda, mencerminkan persepsi dan perasaannya tentang anda. Jika anda merasa bahwa orang itu mempunyai kesan positif pada anda, maka gaya interaksi anda dengannya menjadi sangat berbeda dibandingkan jika anda merasa bahwa orang itu mempunyai kesan negatif. Masing-masing orang adalah stimulus (pendorong/rangsangan) atas respon tertentu pada orang lain, begitu seterusnya. Ketika berinteraksi, orang yang menjalin sebuah hubungan juga cenderung mempunyai anggapan/ide yang lebih baik tentang apa yang disampikan oleh pasangannya. 

5. Komunikasi Terjadi pada Dua Tingkat/Level[10]
Semua komunikasi terjadi pada dua level –verbal dan nonverbal- (Albert, 1986). Komunikasi verbal adalah pesan yang bermuatan harfiah (contoh: “Aku akan menemuimu”). Komunikasi nonverbal, terkadang disebut metakomunikasi, adalah pesan tentang pesan. Yakni menyampaikan pesan ‘yang sesingguhnya’ melalui sikap, ekspresi wajah, nada bicara, perubahan suara, atua bahasa tubuh. Contohnya: “Aku akan menemuimu” bisa diucapkan untuk menyampaikan kegembiraan, untuk menunggu pertemuan selanjutnya, atau untuk menyampaikan ketidakinginan atau kekurangtertarikan bertemu dia lagi. 

Contoh ungkapan lain yang memiliki beda arti: 
a. Sambil marah berkata, “Aku baik-baik saja.” 
b. Memalingkan pandangan saat mengatakan, “Aku tidak mungkin bohong padamu.” 
c. Mengatakan, “Akan kutulis segera” tapi kemudian tidak segera menulis sampai enam bulan lamanya. 
d. Mengatakan, “Aku sangat ingin bersamamu” tapi tidak pernah meluangkan waktu untuk itu. 
e. Mengatakan, “Tadi itu hebat” tapi kelihatan tidak semangat/murung. 

Konsisten dalam komunikasi verbal dan nonverbal adalah sesuatu yang penting. Menyampaikan pesan yang membingungkan hanya akan membuat penerima pesan bingung tentang apa yang kita maksudkan. 

6. Komunikasi Perkawinan Adalah Hal yang Intens (Kuat/Sangat Berpengaruh)[11]
Filosof Jerman Schopenhauer mengisahkan, ada dua ekor landak yang berjalan bersama pada sebuah malam yang dingin. Saat temperatur turun, mereka bergerak bersama secara berdekatan. Tetapi kehangatan yang mereka peroleh dari berdekatan itu membuat mereka ‘terjebak’ dalam bulu masing-masing. Saat malam mulai menyelimuti, mereka merangkak berganti posisi untuk memperoleh kehangatan maksimal dengan risiko minimal. 

Dalam hal tertentu, perkawinan melambangkan sebuah usaha dua orang untuk mencapai kehangatan emosi maksimal dengan ketidaknyamanan minimal. Bersinggungan dengan konflik adalah salah satu sumber ketidaknyamanan yang menyertai perkawinan. Alford (1982) mengindentifikasi enam model dalam mengatasi konflik: 

a. Menjauh/menghindar: saling menjauh atau mengabaikan subjek konflik 
b. Diskusi: mendiskusikan konflik tanpa mengekspresikan kemarahan atau menaikkan volume suara 
c. Argumen/menjelaskan alasan: mendiskusikan konflik dengan lebih intens, tanpa berteriak atau mengejek 
d. Bertengkar 1: nada tinggi, terlihat marah, sedikit ejekan/kata-kata hinaan 
e. Bertengkar 2: berteriak, menjerit, mengeluarkan ejekan yang bersifat pribadi 
f. Bertengkar 3: berteriak, menjerit, mendorong, memukul, melempar benda, mengumbar banyak kata ejekan 

Saat peneliti yang sama menanyakan pada 455 responden untuk mengetahui model mana yang mereka alami dalam hubungan, maka hasilnya adalah semakin dekat sebuah hubungan maka model yang digunakan semakin keras/kasar. Contoh: seorang yang mengabaikan konflik dengan tetangga tapi berdebat dengan pasangannya. Perkawinan –yang merupakan hubungan paling intim- menyebabkan interaksi intens antar pasangan. 

7. Ada Perbedaan Gender dalam Pola Komunikasi[12]
Isteri biasanya lebih menonjolkan emosi dalam komunikasi dengan suaminya daripada sebaliknya. Ada sebuah penelitian yang merekam diskusi isu-isu penting dalam hubungan isteri dan suami. Rekaman-rekaman itu kemudian dilihat dan diberi kode masing-masing untuk beberapa aspek positif komunikasi (kehangatan, kelembutan, kasih sayang, kegembiraan) dan aspek negatif (dingin/cuek, tidak sabar, ketus, menyalahkan). Isteri lebih suka menonjolkan emosi (positif atau negatif) daripada suami (Notarius & Johnsonm 1982). Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa pria lebih sedikit dalam mengekpresikan rasa cinta, kebahagiaan, dan kesedihan dibandingkan dengan wanita (Balswick, 1980). Ketika pria menunjukkan emosinya, mereka seringkali melakukannya dengan lebih ‘tegas’, ‘dominan’, dan ‘otoriter’ daripada yang ditunjukkan wanita (Kramarae, 1981). 

Studi lainnya terhadap 166 wanita dan 110 pria menghasilkan corak komunikasi gender tertentu yang sama. Wanita menginginkan empati, sedangkan pria menginginkan fakta-fakta yang bisa mereka gunakan ketika berbicara dengan seseorang. Wanita juga lebih suka memanggil wanita lain ‘cuma pengen ngobrol’ daripada pria ketika memanggil pria lain (Sherman & Haas, 1984). 

Coba kita pikirkan hal berikut ini: pria yang awalnya lebih sering melakukan percakapan dengan sesama pria, kemudian menikah dengan wanita yang juga percakapannya lebih sering dilakukan dengan sesama wanita, keadaannya sama. Sebelum menjalani kehidupan dalam perkawinan, pria itu telah terbiasa melakukan percakapan yang di luarnya tampak menghargai emosi, menerima atau memberikan informasi praktis, dan biasanya tujuannya bersenang-senang. Bagi pria, dua variable dalam percakapan ini (praktis, fun) merupakan sumber utama memperoleh dukungan emosi, mengerti diri sendiri dan orang lain. Wanita yang menjalin hubungan dekat dengan pria, pada akhirnya akan mengungkapkan perhatiannya pada pria itu seperti yang dia ungkapkan pada teman dekatnya. Tetapi dia akan kaget karena semua respon yang diterima tidak sesuai dengan angannya. Alih-alih perasaannya menjadi lebih baik, malah dia merasa lebih buruk. Masalahnya adalah: pria cenderung lebih langsung (to the point) dan praktis, sementara yang diinginkan wanita lebih dari apapun adalah pendengar yang empati. (Sherman & Haas, hal. 73) 

Jika masing-masing gender menikmati ketika berbincang satu sama lain, pria mungkin bisa lebih empatik dan reflektif, sementara wanita mungkin bisa lebih langsung. 


Komunikasi Produktif dan Nonproduktif 
Di samping fungsi memberi tahu, fungsi memperoleh, dan fungsi berbagi, komunikasi juga penting dalam menyelesaikan kesulitan yang dialami dalam sebuah hubungan. Ada komunikasi produktif dan nonproduktif menghadapi konflik. Mengetahui mana yang yang harus dipakai dan mana yang harus dihindari adalah kemampuan yang paling bermakna bagi pasangan. Penelitian terhadap 500 pasangan menunjukkan bahwa perkawinan yang sukses lebih banyak peran komunikasinya daripada factor lain seperti usia dan masalah ekonomi.[13]

1. Komunikasi Produktif 
Komunikasi produktif dapat mempererat kedekatan emosi dan menjadikan harapan dan realisasi harapan masing-masing menjadi seimbang. Andaikan salah seorang ingin agar pasangannya tepat waktu, maka mereka mendiskusikannya. Komunikasi ini disebut produktif karena menghasilkan tingkat kedekatan perasaan antara pasangan, mereka kemudian setuju untuk lebih tepat waktu dan tidak mengecewakan keputusan yang sudah dihasilkan. [14]

2. Komunikasi Nonproduktif[15]
Komunikasi nonproduktif dapat membuat kerenggangan emosi antara pasangan dan meninggalkan kesenjangan antara harapan dan realisasi. Orang yang ingin agar pasangannya tepat waktu, tetapi menyalahkan satu sama lain dan membalas bahwa dia juga tidak tepat waktu. Hal ini akan menimbulkan kerenggangan antara mereka. Sehingga komunikasi yang seharusnya berdampak baik bagi hubungan, tetapi malah berdampak buruk. 

Dalam studi terhadap 40 pasangan yang menikah, peneliti ingin mencaritahu model komunikasi yang seperti apa yang berkaitan dengan kebahagiaan perkawinan. Pasangan yang santai, ramah, dan empati kepada pasangannya lebih bahagia daripada pasangan yang kaku, dingin, dan cuek. 

Pasangan yang mementingkan hubungannya juga membuat peraturan-peraturan tidak tertulis sebagai parameter komunikasi dan konflik dalam hubungan mereka. Beberapa peraturan tersebut antara lain: 

a. Tidak boleh beranjak tidur dalam keadaan marah 
b. Tidak boleh memukul satu sama lain 
c. Tidak boleh bertengkar di depan publik 
d. Tidak mencoba mencari-cari alasan percekcokan 
e. Percekcokan tidak boleh mempengaruhi kehidupan seksual 
f. Tidak boleh pergi sebelum pertengkaran usai 
g. Tidak berhubungan sex ketika pasangan marah 
h. Marah atau tidak, harus tidur berdua, diskusi yang baik akan terjadi ketika berbaring di tempat tidur. 

Corak komunikasi yang baik juga membuat masing-masing pasangan menjadi terlibat untuk menghentikan interaksi negatif, lebih fokus pada permasalahan daripada kepribadian/sifat, saling merespon dengan komentar positif, dan membuat lingkungan positif dalam pasangan. 

Saling mendengarkan juga merupakan salah satu aspek penting dalam komunikasi efektif. Saling mendengarkan adalah teknik menguraikan bagaimana pasanganmu merasakan sebuah masalah ketimbang mempertahankan posisi diri sendiri. 


Mitos Perkawinan 

Salah satu alasan keterkejutan kita terhadap perkawinan adalah kita tidak cukup tahu bagaimana rasanya hidup bersama dengan pasangan hari demi hari dalam perkawinan. Anggapan kita sering kali tidak sesuai dengan realita. Beberapa kepercayaan turun-temurun (mitos) masyarakat kita yang tidak realistis tentang perkawinan akan didiskusikan di sini.[16]

Mitos 1: Perkawinan Kita akan Berbeda dari Orang Lain[17]
Kita semua tahu bahwa orang yang menikah itu membosankan, tidak bahagia, dan penuh konflik. Akan tetapi kita beranggapan bahwa perkawinan kita akan berbeda. Anggapan kita sebelum menikah bahwa “hal itu tidak akan terjadi pada perkawinan kita” adalah tipuan alami masa perkenalan. Jika kita yakin bahwa perkawinan kita akan berbeda, langkah apa yang akan kita ambil untuk memastikannya? Pertanyaan ini relevan karena banyak dari kita yang memasuki perkawinan berkeyakinan bahwa pernikahan kita akan berbeda lalu meniru model perkawinan orang secara membabibuta, tanpa membuat langkah nyata untuk mengelola hubungan kita agar sesuai dengan ekspektasi yang kita inginkan. 

Mitos 2: Kita akan saling membahagiakan[18]
Kita cenderung yakin bisa menjamin kebahagiaan pasangan. Sekalipun anda dan pasangan sangat berperan dalam mempengaruhi kebahagiaan masing-masing, tapi masing-masing anda mempunyai peran (sebagai karyawan, pelajar, saudara kandung, teman, anak, orang tua dan sebagainya) selain peran sebagai pasangan. Hubungan peran-peran itu akan mewarnai interaksi anda dengan pasangan. Jika anda kehilangan pekerjaan (PHK), dikeluarkan dari sekolah (DO), ayah anda terkena kanker, teman dekat anda pindah, atau ibu anda tidak bisa mengurus dirinya sendiri tetapi menolak ditempatkan di panti jompo, maka hal itu bisa membuat pasangannya anda sulit ‘membuat anda bahagia’. Sekalipun anda berusaha sekuat tenaga untuk mematikan kebahagiaan pasangan, tetapi lingkungan/keadaan bisa mengalahkan anda. 

Mitos 3: Ketidaksepahaman Tidak Akan Berdampak Serius[19]
Banyak pasangan yang menyadari bahwa mereka akan mengalami ketidaksepahaman, tetapi mereka menganggapnya sepele dan hanya bagian dari sebuah perkawinan. Akan tetapi, konflik sepele yang tidak terselesaikan bisa membahayakan perkawinan. “Yang aku mau darinya cuma meluangkan waktu lebih banyak bersamaku,” sebut seorang wanita yang bercerai. “Tapi dia bilang harus menjalankan bisnis karena dia tidak ada orang lain yang dia percaya. Aku lelah menghabiskan malam sendirian dan terlibat dengan orang lain.” 

Mitos 4: Pasanganku adalah Semua yang Aku Butuhkan (segalanya)[20]
Kita semua mempunyai kebutuhan yang harus ditunjang oleh orang lain, mulai dari butuh seseorang untuk nonton film bareng sampai kebutuhan curhat masalah pribadi dan ekspresi fisik atas cinta dari pasangan. Sekalipun kita percaya bahwa pasangan kita bisa memenuhi kebutuhan intelektual, fisik, dan emosi, tapi semua itu tidak realistis. 


Kebahagiaan dalam Perkawinan 
Dengan atau tanpa kepercayaan terhadap berbagai mitos, kebanyakan dari kita memasuki perkawinan dengan harapan akan berbahagia. Tapi apa arti ‘berbahagia’? Mari kita menguji sifat subjektif dan dinamis kebahagiaan perkawinan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.[21]

1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Tentang Kebahagiaan[22]
Kebahagiaan adalah hal yang subjektif. Sifat dasar kebahagiaan tergantung pada bagaimana seseorang melihatnya. Ada suami yang merasa bahwa dia memiliki hubungan yang luar biasa dengan isterinya karena masing-masing boleh berhubungan sex dengan orang lain. Tapi ada pasangan lain yang merasa bahwa hubungannya sedang berada di puncak-puncaknya karena dia dan isterinya saling setia. Data: dari 27.000 isteri, 78% mengatakan mereka bahagia menikah (Greer, 1986). 

Selain subjektif, kebahagiaan perkawinan dapat berubah sewaktu-waktu. Perkawinan adalah proses, bukan suatu yang pasti. Saat sebuah pasangan ditanya, “Sejauh mana kebahagiaan anda dalam perkawinan?”, dia menjawab: 

“Itu tergantung kapan anda menanyakannya. Jika anda menanyakannya pada saat anak-anak membuat gaduh di ruang tamu atau 10 hari setelah aku dan isteriku enak berbincang dan berhubungan badan, maka aku jawab “tidak terlalu bahagia”. Tapi jika anda bertanya pada saat anak-anak tenang atau aku dan isteriku menikmati makan malam bersama, maka aku jawab “luar biasa”. “Aku tidak selalu merasa bahagia atau sedih, tergantung apa yang terjadi di hari itu. Menurutku kebanyakan pasangan mengalami berbagai perasaan dalam hubungan mereka.” 

Kebanyakan pasangan menemukan bahwa resep utama sebuah kebahagiaan hubungan adalah dengan menghabiskan waktu bersama berbagi aktifitas yang menyenangkan seperti makan malam atau nonton film. Pasangan yang tidak menghabiskan waktu bersama akan menjauh secara bertahap. 

Faktor lain yang mempengaruhi pasangan mengukur perkawinannya antara lain hubungan mereka dengan orang lain, khayalan mereka tentang kebahagiaan perkawinan orang lain, dan perbandingan mereka terhadap perkawinan yang sekarang dengan perkawinan mereka di waktu sebelumnya. 

Sekalipun tidak ada alternatif hubungan lain (seperti mempunyai hubungan pertemanan), membayangkan bahwa pasangan lain lebih bahagia dapat menurunkan kadar kebahagiaan perkawinan. “Aku merasa kalau aku terjebak dalam api perkawinan,” kata salah satu pasangan. “Perkawinan seperti teman baikku dan isterinya adalah yang aku inginkan. Mereka berdua profesional, seperti kembar, dan mereka terlihat menikmati waktu bersama. Mereka membuatnya berarti.“ 

Membandingkan perkawinan mereka yang sekarang dengan perkawinan mereka di waktu sebelumnya juga tidak lebih menghancurkan. “Sebelum si kembar lahir,” kata satu pasangan, “Roger dan aku bisa menghabiskan waktu bersama. Sekarang kami tidak pernah jalan makan malam, nonton film, atau pergi berlibur. Aku suntuk, dan hidup tidak menyenangkan lagi.“ 

Pada akhirnya, kepuasan perkawinan berkaitan dengan memahami apa yang diinginkan pasangan untuk membuatnya nyaman. Studi terhadap 152 pasangan yang memahami kebutuhan pasangannya, mereka tampak lebih merasa puas dengan perkawinannya daripada pasangan yang tidak memahami harapan pasangannya. (Tiggle et al., 1982) 

2. Mengukur Kepuasan Perkawinan[23]
Konsep kepuasan atau kebahagiaan dalam perkawinan adalah sesuatu yang sulit dipahami. Satu cara untuk mengukurnya adalah dengan melengkapi Skala Kepuasan Perkawinan di Kansas pada penilaian pribadi berikut ini. Satu kendala yang dialami dalam mengukur kepuasan perkawinan adalah bahwa masyarakat cenderung menjawab berdasarkan apa yang mereka inginkan daripada mengatakan yang sebenarnya mereka alami (Schuum, Paff-Bergen et al., 1986). Kecenderungan memberikan jawaban yang seperti ini (konvensionalisasi) membuat pengalaman perkawinan tetap tidak diketahui dan menjadi sulit untuk menentukan tingkat kepuasan perkawinan yang dialami pasangan sebenarnya. 

Dengan tetap mempertimbangkan hal di atas, beberapa ciri pasangan yang cenderung memiliki skor tinggi dalam skala kepuasan dan kebahagiaan perkawinan adalah: 

a. Berpendidikan tinggi 
b. Memiliki pekerjaan mapan 
c. Berpenghasilan tinggi 
d. Putih 
e. Menghabiskan waktu bersama 
f. Tidak punya anak 
g. Fleksibel/luwes 
h. Berkepribadian positif 
i. Komunikasi yang baik/kemampuan bernegosiasi 
j. Sering menghadiri tempat peribadatan 

Sekalipun hal-hal konvensional mungkin yang berlaku, tapi agama menjadi salah satu faktor terkuat berkaitan dengan kepuasan perkawinan (Wilson & Filsinger, 1986). Orang yang sering menghadiri tempat peribadatan, memberi uang pada gereja, dan membuat pengakuan seperti, “Aku tahu rasanya seperti bertobat dan mendapat pengampunan dosa” memiliki skor yang lebih tinggi dalam skala kecocokan perkawinan daripada orang yang tidak menunjukkan kelakuan dan perasaannya. Kepercayaan tinggi terhadap agama, khususnya penganut Yahudi, juga berhubungan erat dengan tingkat perceraian yang rendah (Nrodbar-Nemzer, 1986). Tingkat perceraian yang rendah adalah hasil dari nilai-nilai yang dimiliki penganut agama Yahudi demi stabilitas keluarga dan integrasi sosial yang timbul akibat meningkatnya pengaruh agama. 

Kemampuan berkomunikasi yang baik juga sangat berperan terhadap kebahagiaan perkawinan. Penelitian terhadap 33 pasangan yang telah menikah 2-46 tahun diketahui bahwa ‘menjadi seorang pembicara yang baik’ berkaitan erat dengan tingkat kepuasan perkawinan (Moffitt et al., 1986). “Jika anda tidak bisa berkomunikasi dengan pasangan, maka hubungan anda tidak akan lama,” ujar satu pasangan. Pada penelitian lain, kemampuan menyelesaikan ketidaksepahaman adalah indikasi terbaik keselarasan dalam perkawinan (Meeks et al., 1986). 

3. Kebahagiaan Perkawinan Menurut Perbedaan Gender[24]
Penelitian menunjukkan hasil yang tidak sama tentang apakah wanita atau pria yang lebih bahagia dalam perkawinan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pria dan wanita sama jumlahnya mengenai kepuasan perkawinan. (Schumm et al., 1986); pada penelitian lain, suami lebih bahagia (Rao & Rao, 1986). Sebuah penjelasan mengenai ketidakbahagiaan yang disampaikan para isteri adalah karena minimnya kontrol yang mereka rasakan dalam kehidupannya. Salah seorang isteri mengatakan : 

“Bagaimana dia (suami) tidak lebih bahagia? Dia mempunyai pekerjaan yang dia sukai dan penghasilan yang bagus. Sedangkan aku punya pekerjaan yang tidak aku sukai dan penghasilanku juga memalukan. Dia juga bisa beralasan mengapa dia tidak bisa merawat anak-anak, yaitu karena dia harus pergi ke kantor. Akibatnya aku terpaku pada urusan anak-anak dan tidak bisa lepas dari mereka.” 

Dua peneliti (Rao & Rao, 1986) menyimpulkan bahwa sebagai dampak dari gerakan wanita, para isteri berpikir bahwa mereka harus menuntut keuntungan baik di tempat kerja atau di rumah (sama sebagai tenaga kerja/buruh) yang belum diwujudkan secara sepihak. Rata-rata wanita yang bekerja dibayar 2/3 dari bayaran yang diperoleh pria, dan isteri masih lebih banyak mengurusi urusan rumah tangga dan merawat anak dalam kebanyakan perkawinan. Jarak perbedaan antara apa yang diinginkan wanita dan apa yang sebenarnya telah wanita lakukan telah menyebabkan sedikitnya wanita yang merasakan kebahagiaan dalam perkawinan. 


Konflik dalam Perkawinan 
Salah satu fungsi utama komunikasi adalah untuk mengurangi (reduksi) konflik. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang professor bidang perkawinan dan kelas jurusan keluarga, “Jika kamu bersalahpaham dengan rekanmu, berarti kamu tidak mengenalnya cukup lama.” Pada bab ini, kami akan menjelaskan tentang sifat yang tidak bisa dielakkan (inevitabilitas), keinginan, sumber, macam-macam konflik.[25]

1. Sifat-sifat Konflik[26]
Jika anda malam minggu ini sendiri mulai pukul 6 sampai tengah malam, maka anda terhindar dari konflik selama enam jam. Tapi jika anda merencanakan bersama rekan, teman sekamar, atau pasangan pada jam itu, maka ada potensi konflik. Bagaimana cuaca di luar, makan di mana, pergi ke mana setelah makan malam, berapa lama perginya, semua itu harus dibicarakan. Mungkin hal itu relatif mudah bagi anda dan teman anda untuk bersepakat tentang agenda satu malam, lalu bagaimana dengan perkawinan yang di dalamnya mengharuskan pembicaraan dan kesepakatan berbagai isu dan keinginan selama lebih 60 tahun. 

Sekalipun kebanyakan pria dan wanita bersepakat dalam banyak hal sebelum menikah, tetapi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan baru akan muncul selama perkawinan. Perubahan lingkungan kadangkala mengharuskan penyesuaian sikap. 

Anda dan pasangan bisa saja tidak bersepakat tentang siapa, berapa, dan untuk apa, tapi nol kemungkinan jika anda akan terus sepakat selama perkawinan tentang isu-isu yang berkaitan dengan sex, keluarga besar, hiburan, agama, dan anak. Konflik dalam perkawinan adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan. 

2. Konflik yang Menguntungkan[27]
Tidak semua konflik itu buruk (Altschuler &Krueger, 1986). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa menghadapi sebuah persoalan bisa menyehatkan perkawinan. Ketika 138 orang yang sudah bercerai ditanya mengenai model komunikasi dalam perkawinan mereka sebelumnya, hampir setengah dari mereka menjawab bahwa mereka jarang bertengkar, dan hanya 2 dari 10 yang mengatakan sering bertengkar. Para peneliti menyimpulkan bahwa ‘konflik bukan variable penting karena seringkali tidak ada kamunikasi antar pasangan, jadi bagaimana konflik terjadi tanpa komunikasi.” (Hayes et al., 1981, hal. 23). 

Penelitian lain tentang bagaimana pasangan mengatasi tekanan dalam perkawinan, dengan mengabaikan problem salah seorang pasangan yang sebenarnya menaikkan tingkat kesulitan yang dialami pasangan. Menegosiasikan perbedaan tidak bisa menurunkan tekanan/stress secara langsung (seringkali menjengkelkan dan tidak nyaman membicarakan konflik dalam hubungan). Diskusi (pembicaraan) yang demikian berdampak pada sedikitnya problem di masa depan, menurut 785 pasangan yang dimintai wawancara (Menaghan, 1982). 

Saat anda dan pasangan galau tentang sebuah isu (masalah) dalam hubungan anda, mendiskusikannya bisa menciptakan lebih banyak konsekuensi positif ketimbang mengbaikannya. Mungkin anda tidak senang dengan apa yang dikatakan tentang arasan mengapa anda jengkel (dan sebaliknya), tapi dengan itu menyelesaikan konflik menjadi mungkin. Memendam isu yang tidak terpecahkan bisa menimbulkan konflik di masa depan. 

Dengan mengungkapkan ketidakpuasan anda, anda telah memperingatkan satu sama lain dalam hubungan anda untuk berubah agar tingkat kepuasan terjaga. Seorang isteri yang bekerja full-time mengungkapkan bahwa dia sakit dan lelah membawa pakaian dan handuk suaminya dari kamar mandi.” Di sisi lain, dia marah karena isterinya berbicara di telepon pada waktu makan. Setelah mendiskusikan masalah ini, si suami setuju untuk mengurus pakaiannya sendiri, sebagai gantinya si isteri setuju untuk tidak mengangkat telepon pada waktu makan. Imbalan yang dihasilkan dari mengungkapkan perasaan negatif tentang masing-masing pasangan adalah dengan menghentikan kebiasaan yang menjadi masalah itu, dan menghadapi permasalahan mungkin baik bagi kesehatan anda. Dalam sebuah studi, orang dengan tekanan darah tinggi yang menyembunyikan rasa marahnya kepada suami/isteri dua kali berisiko mati lebih dini daripada pasangan yang membicarakan tentang apa yang membuatnya jengkel (Julius, 1986). 

3. Sumber-sumber Konflik[28]
Ada banyak sumber konflik. Ada yang bisa dikenali dengan mudah, dan ada yang tersembunyi dalam jaring interaksi perkawinan. Berikut beberapa di antaranya: 

a. Tingkah Laku 
Contoh pada bab sebelumnya tentang pasangan yang meninggalkan pakaian kering di kamar mandi sementara yang lain berbicara di telepon pada jam makan menggambarkan tentang bagaimana tingkah laku pasangan terkadang menimbulkan perasaan negatif dan potensi konflik. Dalam hubungan yang anda jalin, anda mungkin menjadi jengkel saat pasangan anda melakukan sesuatu yang tidak anda sukai (seperti terlambat atau berkata bohong). Di sisi lain, saat pasangan anda sering melakukan hal yang membuat anda senang (tepat waktu, bisa dipercaya), anda cenderung merasa baik terhadapnya dan terhadap hubungan anda. 

b. Persepsi 
Di samping tingkah laku pasangan, persepsi anda tentang tingkah laku juga bisa menjadi sumber kepuasan atau ketidakpuasan. Seorang suami protes tentang fakta bahwa isterinya kacau dan membuat seisi rumah menjadi kacau. Isterinya senang mengumpulkan kupon untuk mendapatkan diskon makanan dan mulai menyusun bermacam kotak ‘bukti pembelian/nota’ di seisi rumah. Akibatnya, rumah menjadi lebih kacau. Akan tetapi karena isterinya bisa menghemat uang lebih dari $100 dari hal itu setiap bulan, maka suaminya seolah melihat uang ketika dia melihat tumpukan kotak di ruang tamu mereka. Tingkah laku negatif isteri terus menjadi, tapi persepsi suami tentang tingkah laku isterinya menjadi positif, sehingga tidak menjadi masalah lagi. 

Saat ketidakpuasan dengan pasangan muncul karena ada tingkah lakunya yang tidak anda suka, maka pertimbangkan bahwa mungkin lebih mudah untuk merubah persepsi anda tentang tingkah lakunya daripada meminta pasangan anda untuk merubah tingkah lakunya. 

c. Perbedaan Nilai 
Sebelum kita bertemu dengan pasangan yang menjadi isteri/suami kita, kita telah bersosialisasi dalam lingkungan yang berbeda, sehingga sebagian nilai yang kita yakini berbeda dengan pasangan. Wanita yang ibunya seorang psikiater, dia tumbuh besar tanpa didampingi ibu di rumah, dia berangan-angan jika kelak mempunyai anak dia akan berada di rumah dan merawat anaknya. Lalu dia menikah dengan pria yang ingin agar isterinya berkarir dan membantu keuangan keluarga, jelas nilai antara keduanya berbeda. Perbedaan nilai yang penting lainnya adalah tentang agama (salah satu menganggapnya central, sedangkan yang lain tidak), uang (salah satu menganggap hutang itu biasa, sedangkan yang lain lebih suka tunai), dan keluarga besar (salah satu menganggap bahwa ia bertanggungjawab atas perawatan orang tua, sementara yang lain tidak demikian). 

d. Peraturan yang Tidak Dijalankan Secara Konsisten 
Dalam semua hubungan, orang akan membuat peraturan agar fungsi hubungan berjalan normal. Peraturan-peraturan itu tidak tertulis tapi dimengerti oleh masing-masing pihak. Konflik bisa terjadi apabila salah seorang pasangan tidak mematuhi aturan atau tidak konsisten menjalankan aturan. Contoh: sang isteri ingin agar suaminya mencari pekerjaan tambahan sehingga bisa membeli mobil baru, tapi dia juga ingin agar suaminya menemani dia pesta setelah selesai bekerja jam 10 malam. 

e. Ambiguitas Kepemimpinan 
Kecuali jika sepasang suami-isteri telah mempunyai kesepahaman siapa yang membuat keputusan (misalnya suami yang mengambil keputusan masalah anak-anak, sedangkan isteri yang berwenang mengambil keputusan tentang keuangan), maka masing-masing pasangan akan mencoba ‘memenangkan’ sebuah ketidaksepakatan, sehingga konflik terlihat seperti ‘aku menang dan kau kalah’ karena masing-masing ingin menjadi lebih dominan. Dalam konflik tingkat rendah, peran kepemimpinan bervariasi dan fleksibel, tapi pasti. Masing-masing pasangan acapkali tahu siapa yang akan mengambil keputusan. 

f. Stress Karena Pekerjaan 
Saat anda dituntut deadline atas sebuah pekerjaan, maka mau tidak mau anda harus menyelesaikannya. Tuntutan ini bisa menyebabkan anda tidak bisa berinteraksi dengan baik bersama pasangan, sehingga konflik tidak jarang timbul dalam keadaan seperti ini. 


4. Model Konflik[29]
Ada tiga model konflik yang selama ini dialami oleh pasangan, sebagaimana dijelaskan dalam buku The Marriage Dialogue (Scoresby, 1977): 

a. Konflik Komplementer (Saling Mengimbangi/Mengisi) 
Isteri dan suami cenderung bersimpangan jalan: dominan-patuh, cerewet-diam, aktif-pasif. Salah satu pasangan mengajari pasangannya apa yang harus dan tidak harus terjadi, sedangkan pasangannnya itu tidak banyak bicara bahkan tidak bicara sama sekali dan mulai tidak responsif. Contohnya: suami marah karena isterinya tidak mematikan lampu luar rumah sepanjang malam. Sang isteri hanya diam saja, tidak peduli. Masing-masing pasangan harus harus mengatakan apa yang diinginkan agar dilakukan oleh pasangannya. 

b. Konflik Simetris 
Masing-masing pasangan bereaksi sejalan. Jika suaminya berteriak, isterinya teriak balik. Jika salah satu menyerang, satunya menyerang balik. Pasangan ini mencoba memenangkan kedudukannya masing-masing tanpa mendengarkan poin masalahnya. Jika suaminya menyalahkannya, dia menyalahkan balik. Alternatif yang mungkin adalah memutuskan siapa yang bertanggungjawab atas masing-masing pekerjaan/tugas. Kemudian apabila terjadi ketidaksepahaman, diskusi lembut harus dilakukan. 

c. Konflik Paralel 
Keduanya sama-sama menunda, mengabaikan, atau membatalkan penyelesaian masalah. “Jangan dibahas, akan hilang sendiri kok”, model konfliknya seperti ini. Kerenggangan mulai terjadi, masing-masing bebas mengatakan jika pasangannya sudah salah paham. Keduanya lebih suka mengerjakan aktifitas masing-masing daripada mengerjakannya bersama. Tentang lampu di luar yang menyala misalnya, masing-masing menyalahkan. Solusinya adalah dengan membicarakan apa yang masing-masing inginkan agar dilakukan pasangannya. 

Setiap perkawinan mungkin pernah mengalami ketiga model ini dalam tingkat tertentu. Dengan mengetahui model mana yang dialami oleh pasangan, maka hal tersebut menjadi permulaan adanya komunikasi yang lebih efektif. 


Kesimpulan 
Komunikasi adalah gabungan dari efektifitas proses, transaksi, dan interaksi. Untuk mengetahui komunikasi, harus diketahui beberapa elemen atau unsur dasar dalam komunikasi. Yakni bahwa komunikasi adalah sesuatu yang simbolis, interaktif, berdampak pada perasaan dan tingkah laku, terjadi dalam konteks tertentu, terjadi dalam dua level yakni verbal dan non verbal, intens, dan komunikasi terpengaruh oleh perbedaan gender. 

Komunikasi dianggap efektif, baik, dan positif apabila komunikasinya dipakai produktif, yakni membuat jarak antara harapan dan realisasi dari harapan itu semakin dekat. Sebaliknya, komunikasi dianggap tidak efekstif, buruk, dan negatif apabila komunikasi yang dipakai tidak produktif, yakni membuat jarak antara harapan dan realisasi dalam perkawinan semakin merenggang. 

Ada banyak mitos dan anggapan yang tidak benar dari pasangan yang akan memasuki gerbang perkawinan. Di antaranya: pasangan ini menganggap bahwa perkawinannya akan berbeda dengan kebanyakan orang, konflik yang akan terjadi tidak akan berdampak serius, bahwa pasangan ini pasti akan selalu saling membahagiakan dan menganggap bahwa pasangannya adalah segalanya. Hal ini mempengaruhi kadar/tingkat kebahagiaan dalam perkawinan. Kebahagiaan sangat subjektif dan dinamis. Ada banyak persepsi kebahagiaan dan hal-hal yang memperngaruhi persepsi, terutama keadaan dan suasana hati. 

Mengatasi konflik adalah tugas utama komunikasi dalam perkawinan. Konflik memiliki karakteristiknya tersendiri sebagai sesuatu yang pasti terjadi dalam perkawinan dan berlaku dinamis. Sumber-sumber konflik di antaranya: tingkah laku, persepsi, perbedaan nilai, peraturan yang tidak dijalankan secara konsisten, dan ambiguitas kepemimpinan, dan stress karena pekerjaan. Konflik juga mempunyai tiga model, yakni komplementer, simetris, dan paralel. 

Komunikasi mengambil peranan yang sangat penting dalam perkawinan. Setiap pasangan yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui komunikasi seperti apa yang paling baik dan produktif buat mereka, maka mereka telah mempunyai modal yang sangat berharga dalam menjalani kehidupan berumah tangga. 




DAFTAR PUSTAKA 

Blake, Reed H., and Haroldsen, Edwin O. Taksonomi Konsep Komunikasi. Cetakan Ke-1. Terj. Hasan Bahanan, Surabaya: Papyrus, 2003. 
Knock, David.Choices in Relationships: an Introduction to Marriage and the Family. Second Edition. New York: West Publishing Company. 1988. 
Pawito, dan C Sardjono. Teori-Teori Komunikasi. Buku Pegangan Kuliah Fisipol Komunikasi Massa S1 Semester IV. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1994. 
Purwasito, Andrik. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003. 
Suprapto, Tommy. Pengantar Teori Komunikasi. Yogyakarta: Media Pressindo, 2006. 




Footnotes:
[1] Pawito dan C Sardjono, Teori-Teori Komunikasi, Buku Pegangan Kuliah Fisipol Komunikasi Massa S1 Semester IV, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1994), hal. 12. 
[2] Tommy Suprapto, Pengantar Teori Komunikasi, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006), hlm. 2-3. 
[3] Ibid, hlm. 5. 
[4] Reed H and Haroldsen, Edwin O Blake, Taksonomi Konsep Komunikasi,Terj. Hasan Bahanan (Surabaya : Papyrus, 2003), hlm. 2-3. 
[5] Andrik Purwasito, Komunikasi Multikultural (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), hal. 198. 
[6] David Knock, Choices in Relationships: an Introduction to Marriage and the Family, second edition, (New York: West Publishing Company, 1988), hlm. 353. 
[7] Ibid, hlm. 353-354. Hal ini sama dengan yang diungkapkan Smith. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat Reed H and Haroldsen, Edwin O Blake, Taksonomi Konsep Komunikasi,Terj. Hasan Bahanan (Surabaya : Papyrus, 2003), hlm. 2-3. 
[8] Ibid, hlm. 354. 
[9] Ibid, hlm. 354-355. 
[10] Ibid, hlm. 355. 
[11] Ibid, hlm. 355-356. 
[12] Ibid, hlm. 356-357. 
[13] Ibid, hlm. 363. 
[14] Ibid 
[15] Ibid, hlm. 363-364. 
[16] Ibid, hlm. 346-347. 
[17] Ibid, hlm. 347. 
[18] Ibid 
[19] Ibid 
[20] Ibid 
[21] Ibid, hlm. 348. 
[22] Ibid, hlm. 348-349. 
[23] Ibid, hlm. 349-350. 
[24] ibid, hlm. 352-353. 
[25] Ibid, hlm. 357. 
[26] Ibid, hlm. 357-358. 
[27] Ibid, hlm. 358. 
[28] Ibid, hlm. 359-360. 
[29] Ibid, hlm. 361.

No comments:

Post a Comment