Saturday, April 6, 2013

Mazhab Positivisme Hukum Keluarga Islam


Ajaran tentang hukum (disiplin hukum) dikelompokkan ke dalam mazhab/aliran hukum yang membicarakan antara lain mengenai isi hukum dan bentuk hukum yang diungkapkan dalam teori-teori hukum. Kita sering mendengar istilah kodifikasi hukum yang didengungkan oleh para ahli hukum mazhab tertentu agar tercipta kesatuan dan kepastian hukum. Akan tetapi banyak yang menolak kodifikasi hukum karena memakan waktu dan seolah-seolah hukum yang dikodifikasi tidak akan berubah dan selalu sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Hal ini juga terjadi dalam hukum keluarga Islam yang kita kenal dengan adanya Kompilasi Hukum Islam.

Tujuan pokok hukum adalah terciptanya keadilan dan ketertiban dalam masyarakat. Salah satu bentuk keadilan itu adalah hukum berlaku tidak sama antara satu wilayah/negara dengan negara lain. Di India misalnya, pelaku kasus perkosaan dihukum mati karena benar-benar telah meresahkan. Sedangkan di Indonesia pelaku perkosaan hanya dihukum dengan beberapa tahun penjara. Jika suatu hukum dirasa tidak adil atau malah menyebabkan kegaduhan dan kekacauan dalam masyarakat, maka hukum itu perlu dipertanyakan kembali keberadaannya, demikian pula dengan hukum keluarga Islam. 

Kita mungkin pernah mendengar istilah mazhab Undip (Universitas Diponegoro) yang dipelopori oleh Prof. Satjipto Raharjo, atau mazhab bulak sumur, yakni mazhab hukum baru dari Universitas Gajah Mada di mana salah satu kasus yang paling heboh adalah gugatan yang dimenangkan oleh warga negara (citizen lawsuit) atas pemerintah (Negara) dalam kasus Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Tahun 2011, di mana hakim mengukum para tergugat untuk segera membuat UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hakim menilai para tergugat,yaitu Presiden RI, Ketua DPR, Wapres RI, Menko Kesra, Menko Perekonomian, Menkeu, Menkum HAM, Menkes, Mensos, Menakertrans dan Menhan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena lalai tidak membuat UU BPJS. Maka apa sebenarnya arti mazhab di sini? Apakah sama dengan mazhab dalam Islam seperti Mazhab Syafi’i dan Hanafi? Lalu jika kita menyebut ‘mazhab hukum keluarga Islam’, apa maksudnya dan masuk dalam mazhab apa? 

Dalam tulisan ini, penulis membahas pengertian mazhab hukum dan mazhab-mazhab hukum yang ada dalam sejarah ilmu hukum, yang dimulai dengan pembahasan tentang filsafat hukum dan filsafat hukum Islam sebagai dasar adanya mazhab hukum, kemudian membahas tentang posisi hukum keluarga dan wujudnya dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat, dan terakhir tentang mazhab hukum keluarga Islam. 


Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam 

Hukum sebagai salah satu sistem pengendalian dan perubahan sosial adalah gejala sosial yang universal. Gejala hukum berkaitan langsung dengan keadilan, ketertiban, kekuasaan, serta martabat dan nasib manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sudah lebih dari 2500 tahun gejala hukum mendapat perhatian dari para pemikir dan ilmuan. Pada permulaan, yang memikirkan dan menulis tentang hukum adalah para filsuf seperti Plato dan Aristoteles, kemudian kegiatan kefilsafatan itu melahirkan ilmu hukum yang objeknya adalah gejala-gejala hukum. 

Untuk sampai pada landasan berpikir tentang hukum sudah barang tentu harus diawali terlebih dahulu dengan studi tentang filsafat hukum. Dalam perkembangannya, filsafat hukum memunculkan beberapa aliran atau mazhab, di antaranya: mazhab hukum alam, mazhab hukum positif, mazhab utilitarianisme, mazhab sejarah, dan mazhab sociological jurisprudence.[1]

Dalam filsafat hukum, Scheltens mengemukakan bahwa ada ada tiga masalah esensial: pertama, masalah interpretasi, yakni interpretasi undang-undang yang tidak jelas atau memerlukan penjabaran. Interpretasi undang-undang sangat dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan, pola pikir dan pradisposisi tertentu yang disebut vorvertandnis. Kedua, legitimasi, yakni legitimasi sistem/tata hukum sebagai suatu keseluruhan. Inti legitimasi sistem hukum adalah legitimasi negara yang berlandaskan ideologi tertentu untuk melegitimasi kehadirannya. Ideologi di sini maksudnya adalah suatu kompleks pandangan yang mengabsahkan bentuk suatu negara sebagai yang terbaik. Ketiga, masalah pembentukan pengertian. Yakni pengertian dasar dari setiap tata hukum, misalnya ‘hukum’, ‘kejahatan’, ‘hukuman’ dan sebagainya. Ketiga masalah yang dikemukakan Scheltens di atas menunjukkan keterjalinan filsafat hukum dan keahlian hukum yang bertumpu pada rasionalitas.[2] Tiga masalah di atas berlaku a fortiori (lebih tajam) di Indonesia yang sedang membangun tata hukum. Pembangunan hukum ini sangat penting karena berfungsi memberikan bentuk yuridis hasil pembangunan, menjamin keamanan, melancarkan interaksi, memberi kepastian hukum, dan melancarkan jalannya pembangunan itu sendiri. 

Fungsi filsafat hukum di dalam masyarakat adalah untuk menguji keefektifan hukum positif. Menurut Roscoe Poun dalam Bukunya, Task of Law, fungsi filsafat hukum adalah untuk mengukur apakah kaidah-kaidah, doktrin-doktrin, dan lembaga-lembaga dapat bermanfaat bagi masyarakat, juga sebagai pemimpin dalam penerapan hukum dengan menunjukkan tujuan hukum. Dia menambahkan bahwa filsafat dapat digunakan sebagai alat untuk memahami persoalan-persoalan secara filosofis dan memberikan gambaran yang lengkap mengenai peta kesusilaan hukum dan politik sepanjang masa.[3]

Jika kita berbicara tentang fungsi filsafat hukum dalam masyarakat, maka harus dikembalikan pada pertanyaan dasar: apakah tujuan hukum itu? Menurut Roscoe Poun, tujuan hukum adalah untuk ketertiban guna mencapai keadilan dan sebagai alat perubaha/pembaruan sosial (law as a tool of social engineering). Hal ini sama dengan apa yang diungkapkan Mochtar Kusumaatmaja. Menurutnya, analisis akhir mengenai tujuan pokok hukum bila direduksi hanya terdapat satu hal saja: ketertiban. Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.[4]

Sedangkan Filsafat hukum Islam, menurut Azhar Basyir, adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum Islam. Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia dan tujuan hukum Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya”, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan dan memelihara hukum Islam sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini, hukum Islam akan benar-benar “cocok sepanjang masa di semesta alam (salihun likulli zaman wa makan).[5]

Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie mengatakn bahwa falsafat syari’ah meliputi: (1) Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam), (2) Khasa’is al-ahkam (ciri-ciri khas hukum Islam), (3) Mahasin al-ahkam atau Mazaya al-ahkam (keutamaan-keutamaan hukum Islam, (4) Thawabi’ al-ahkam (karakteristik hukum Islam).[6] Filsafat hukum Islam tidak berbeda dengan filsafat hukum, namun filsafat hukum Islam mempunyai perbedaan ontologism dan sumber hukum. 


Mazhab Hukum 
Sebelum berbicara tentang mazhab hukum dan mazhab hukum keluarga Islam, terlebih dahulu perlu diangkat tentang konsepsi dan definisi tentang mazhab. Hal ini penting agar terjadi kesamaan persepsi sehingga tidak menghadirkan multitafsir. 

1. Pengertian Mazhab Hukum 
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), mazhab mengandung dua pengetian: pertama, haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal dengan empat, yakni mazhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafii. Kedua, golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian dan sebagainya, dan yang berusaha memajukan hal itu. Bermazhab berarti mempunyai mazhab atau mengikuti mazhab.[7] Dari dua pengertian di atas, di sini hukum mengambil pengertian mazhab yang kedua. Yakni haluan, ajaran, atau aliran yang mempunyai perbedaan tertentu dengan ajaran umum, tetapi belum keluar dari ajaran umum tersebut. 

Mazhab mempunyai ciri-ciri tertentu, yakni: (1) merupakan pandangan hukum sekelompok orang (ahli hukum), (2) terdapat pemimpin (pelopor) atau sekelompok pemimpin, (3) dianut dalam jangka waktu cukup lama (berabad atau ratusan tahun), (4) membentuk tradisi dalam berfikir/mengkaji dan tradisi dalam bertindak, dan (5) adanya perbedaan. Jadi berbicara mazhab berarti berbicara tentang pandangan mengenai hukum, termasuk situasi/budaya pada masa pandangan hukum tersebut muncul.[8]

2. Mazhab-mazhab Hukum (Schools of Jurisprudence
Perkembangan mazhab hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan filsafat ilmu. Oleh karena itu dalam setiap mazhab hukum yang berkembang akan ditemukan aliran filsafat ilmu yang menjadi landasan atau batu pijak perkembangannya. Sebagai contoh teori Hans Kelsen tentang teori hukum murni berinduk pada Neokantianisme; Positivisme hukum dari H.L.A Hart berkaitan dengan ajaran Rasionalisme Kritis dari Karl Popper yang juga menjadi inspirasi bagi Hans Albert dalam mengembangkan hukum empiris. 

Ada banyak aliran atau mazhab dalam ilmu hukum seiring dengan berkembangnya pemikiran filsafat. Di antaranya: mazhab hukum murni, mazhab hukum ekonomi, mazhab hukum sosiologis, realisme modern,[9] pragmatic realism, hukum murni, dan sebagainya. Di sini, kami hanya akan membahas lima aliran/mazhab karena beberapa pertimbangan; pertama, mazhab-mazhab ini banyak dianut dan berlaku a fortiori di negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Kedua, kelima mazhab ini adalah arus utama dalam pemikiran filsafat hukum. Ketiga, melihat relevansi dengan pembahasan pokok, yakni pembahasan tentang mazhab hukum keluarga Islam. Berikut penjelasan lima mazhab yang kami maksud: 

a. Mazhab Hukum Alam[10]
Mazhab hukum alam adalah suatu aliran yang menelaah hukum dengan bertitik tolak dari keadilan yang mutlak, artinya bahwa keadilan tidak boleh digangggu. Sifat hukum alam adalah: (1) Terlepas dari kehendak manusia, atau tidak bergantung pada pandangan manusia. (2) Berlaku tidak mengenal batas waktu, artinya berlaku kapan saja. (3) Bersifat universal artinya berlaku bagi semua orang. (4) Berlaku di semua tempat atau berlaku dimana saja tidak mengenal batas tempat. (5) Bersifat jelas bagi manusia. 

Adapun ajaran hukum alam ini meliputi: 
i. Ajaran hukum alam Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa ada dua macam hukum, yakni hukum yang berlaku karena penetapan penguasa negara dan Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia. Hukum yang kedua ini adalah hukum alam, yaitu hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia akan tetapi berlaku untuk semua manusia, kapan saja dan di manapun dia berada. 

ii. Ajaran hukum alam Thomas Aquino. Thomas Aquino berpandangan bahwa alam itu ada, yaitu dalam hukum abadi yang merupakan rasio Ketuhanan (Lex Aeterna) yang menguasai seluruh dunia sebagai dasar atau landasan bagi timbulnya segala undang-undang atau berbagai peraturan hukum lainnya dan memberikan kekuatan mengikat pada masing-masing peraturan hukum tersebut. 

iii. Ajaran hukum alam Hugo de Groot (Grotius). Hugo de Groot berpendapat bahwa hukum alam bersumber dari akal manusia. Hukum kodrat adalah pembawaan dari setiap manusia dan merupakan hasil perimbangan dari akal manusia itu sendiri, karena dengan menggunakan akalnya manusia dapat memahami apa yang adil dan apa yang tidak adil, mana yang jujur dan mana yang tidak jujur. 

b. Mazhab Hukum Positif[11]
Mazhab hukum positif lahir sebagai penolakan terhadap ajaran hukum alam. Penolakan mazhab hukum positif terhadap mazhab hukum alam diimplementasikan dengan menonjolkan rasio. Dengan dasar rasio, mazhab hukum positif menilai bahwa ajaran hukum alam terlalu idealis, tidak memilki dasar dan merupakan bentuk dari penalaran palsu. 

H.L.A Hart pernah mengemukakan bahwa ciri dari dari mazhab hukum positif adalah: (1) Hukum adalah perintah penguasa. (2) Tidak ada hubungan mutlak antara hukum, moral dan etika. (3) Analisa tentang konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologi. (4) Sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral, maupun etika. Firman Muntaqo menambahkan satu ciri khas dari mazhab ini yaitu; (5) Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya dengan demikian harus dipisahkan dengan bentuk materialnya. 

Dengan dalih teoretis di atas, mazhab hukum positif sukses diterapkan di beberapa negara di Eropa pada abad 19. Terutama oleh negeri-negeri monarki ataupun tiran. Karena mazhab ini memberi ruang pada penguasa untuk mengatur warga negara secara terpusat dengan sah dan legal karena memilki landasan hukum. 

Kondisi ini menimbulkan banyak penolakan dari banyak pemikir, di antaranya Friedrich Carl Von Savigny ahli hukum asal Jerman, Henry Summer Mine seorang pemikir asal Inggris. Mereka berpendapat bahwa hukum tidak hanya dikeluarkan oleh penguasa publik dalam bentuk undang-undang namun hukum adalah jiwa bangsa yang isinya berupa aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Meskipun mendapat penolakan banyak ahli hukum, aliran ini tetap berkembang dan diterapkan di banyak negara, hingga sampai di Indonesia. 

c. Mazhab Hukum Murni (Pure Science of Law)[12]
Pengusung mazhab ini adalah Hans Kelsen. Ia ingin memisahkan suatu ilmu pengetahuan hukum yang murni, menghilangkan semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu pengetahuan sosial sebagaimana dilakukan oleh kaum analis. Dengan tegas Kelsen ingin ilmu pengetahuan hukum benar-benar obyektif, tidak dicampuradukan dengan hal-hal yang bersifat subyektif. Hukum yang diinginkan adalah hukum yang bersifat mandiri/netral. 

Keadilan menurut Kelsen merupakan konsep yang bersifat ideologis dan irasional. Keadilan tidak dapat diberi definisi berdasarkan akal dengan jelas. Ilmu hukum menurut Kelsen tidak lain mengenai pengetahuan tentang norma. Kekuatan yang berlaku setiap norma, tergantung pada diletakkannya dalam hubungan yang paling tinggi hingga pada hubungan yang paling rendah (Stufen Theory). Ketika suatu peraturan mencapai puncak yang paling tinggi, maka peraturan itu bersifat grund law (metanorma/metayuridis), dan di bawahnya bersifat norma-norma, sedangkan yang paling rendah yaitu subnorma. Satu-satunya obyek penyelidikan jurisprudence adalah sifat-sifat dari norma-norma yang dibentuk oleh hukum. 

d. Mazhab Sejarah[13]
Mazhab sejarah timbul dan tumbuh sebagai reaksi terhadap rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional. Juga sebagai reaksi ata semangat revolusi Prancis yang menentang wacana tradisi, reaksi atas pendapat yang melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap sudah memecahkan masalah, serta reaksi atas masalah kodifikasi hukum Jerman. 

Bagi von Savigny, pengusung mazhab sejarah, pembaruan hukum tidak bisa dilakukan tanpa adanya studi mendalam tentang sejarah. Baginya, konsep hukum adalah ‘semangat suatu bangsa’ (the spirit of the people) yang prinsip-prinsipnya adalah: (1) hukum asal mulanya dibentuk oleh hukum adat (custom) dan perasaan rakyat, yaitu kekuatan yang bekerja secara diam-diam. (2) hukum adalah produk dari bangsa yang jenius. Sebagaimana bahasa, ia terbentuk secara perlahan dan menjelma menjadi karakteristik suatu bangsa. Ia berkembang dengan tumbuhnya suatu bangsa dan mati dengan terhapusnya kepribadian suatu bangsa. (3) hukum tidak bisa berlaku umum. Ia hanya bisa diterapkan bagi bangsa tempat ia dibuat. (4) hukum tidak statis, ia merupakan subjek pada setiap kemajuan dan perkembangan. (5) hukum berasal dari naluri suatu bangsa tentang apa yang dianggap benar. Karena sesungguhnya hukum itu ditemukan bukan dibuat. (6) hukum adalah ekspresi dari jiwa suatu bangsa. 

e. Mazhab Sociological Jurisprudence[14](Mazhab Hukum Sosiologis) 
Mazhab sociological Jurisprudence yang dipelopori oleh Eugen Ehrlich berpangkal pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan cerminan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Kemudian ajaran mazhab ini dipopulerkan di Amerika Serikat oleh Rescoe Pound, menurutnya, hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan social, dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang dapat memenuhi kebutuhan social secara maksimal. 

Dari ajaran Rescoe ini di Indonesia timbul suatu konsepsi yang diilhami oleh teori law as a tool of social engineering. Tokoh utama di Indonesia adalah Mochtar Kusumaatmaja yang mengusung ‘hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat’. Pemikiran ini meninggalkan paham ‘hukum mengikuti perkembangan masyarakat’. Oleh karena itu, hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah. 


Hukum Keluarga Islam 
Untuk membahas mazhab hukum keluarga Islam yang dihubungkan dengan mazhab-mazhab hukum yang ada dalam sejarah, maka terlebih dahulu hukum keluarga Islam harus dipetakan, di mana posisinya, apa saja yang sudah terjadi dalam hukum keluarga Islam baik di Indonesia maupun di negara-negara Islam lain, dan bagaimana corak pendidikan hukum keluarga Islam di Indonesia. 

a. Posisi Hukum Keluarga di Antara Hukum Islam 
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan keluarga; antara bapak, ibu, dan anak. Untuk melihat posisi hukum keluarga dalam hukum Islam, maka harus dilihat pengelompokan hukum Islam. Mustafa Ahmad al-Zarqa mengelompokkan hukum Islam menjadi tujuh, yakni: (1) Ibadah. Yakni hukum yang mengatur hubungan Allah dengan manusia seperti shalat dan puasa. (2) hukum keluarga (ahwal syakhsiyyah), yakni hukum perkawinan, perceraian, nasab, nafkah, wasiat, dan waris. (3) mu’amalat, yakni hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia berkaitan dengan harta, hak, pengelolaan harta, dan akad/transaksi. (4) hukum kenegaraan (ahkam sulthaniyah). Yakni hukum yang mengatur hubungan pemimpin dengan rakyat, kewajiban dan hak rakyat/pemimpin. (5) uqubah. Hukum yang mengatur pemberian sanksi dan tindak pidana. (6) hukum yang mengatur hubungan bilateral dan multilateral (huquq dualiyah). (7) fiqh akhlak. Yakni hukum yang mengatur etika pergaulan sesama manusia.[15]

Dari pengertian ini, maka dapat diambil pengertian bahwa hukum keluarga Islam adalah bagian dari hukum perdata Islam, dan hukum perdata Islam adalah bagian dari hukum Islam secara umum. Hukum keluarga Islam adalah hukum privat yang merupakan hasil dari pemahaman hukum Islam. Jika dilihat dari filsafat hukum mazhab hukum murni, hukum keluarga Islam adalah subnorma, di bawah norma dan metanorma. 

b. Wujud Hukum Keluarga Islam Kontemporer 
Dalam perkembangannya, hukum keluarga Islam telah mengalami banyak perubahan. Di antaranya ada yang dikodifikasikan, dibuat menjadi undang-undang, atau diunifikasi dengan hukum perdata lain tanpa meninggalkan ciri keislamannya. Hukum keluarga Islam terwujud dalam produk-produk pemikiran hukum yang dikelompokkan menjadi empat, yakni: 

i. Fiqh 
Fiqh adalah produk pemikiran hukum Islam sebagai hasil pemahaman terhadap nash. Ciri dan sifat fiqh adalah: praktis, rinci, dan hasil pemahaman perorangan. Jika terjadi kesamaan dalam pemahaman atau hasil ijtihad dari para ahli fiqh (fuqaha) maka hal itu terjadi karena kebetulan, tidak didesain.[16] Di dalam fiqh ini dikenal mazhab-mazhab yang masih berlaku di negara-negara Islam, di antaranya mazhab Syafiiyah yang dianut oleh mayoritas penduduk muslim Indonesia, mazhab Hanafiyah yang dianut oleh negara Asia bagian Selatan, dan Iraq, mazhab Hanabilah di Arab Saudi dan mazhab Malikiyah di Afrika bagian Barat. 

ii. Fatwa 
Fatwa adalah pendapat ulama tentang masalah tertentu yang proses lahirnya diawali dengan pertanyaan. Fatwa dikelompokkan menjadi fatwa individu dan fatwa kelompok. Fatwa individu adalah fatwa yang dikeluarkan oleh ulama tertentu seperti fatwa Ibnu Taimiyah, fatwa Ibnul Qayyim dan sebagainya. Sedangkan fatwa kelompok adalah fatwa yang dikeluarkan oleh organisasi keagamaan yang sudah diakui atua mempunyai pengikut, di Indonesia seperti Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, Keputusan Bahtsul Masala NU, dan keputusan Komisi Fatwa MUI.[17]

iii. Yurisprudensi 
Yurisprudensi adalah kumpulan keputusan hakim di pengadilan yang dapat digunakan oleh para hakim sebagai dasar putusan, khususnya terhadap kasus-kasus yang hukumnya belum ditemukan secara tertulis dalam kitab-kitab hukum.[18] Putusan-putusan tentang hukum keluarga banyak ditemui di pengadilan agama dan menjadi dasar hukum bagi hakim lain dalam memberi putusan, banyak pula mahasiswa hukum keluarga yang menjadikan putusan-putusan dalam bidang keluarga tersebut sebagai objek penelitian sebagai karya akhir (Skripsi/Tesis). 

iv. Kompilasi, Kodifikasi, Undang-undang 
Kompilasi jika dikaitkan dengan hukum Islam berari rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari beberapa kitab ulama fiqh yang biasanya digunakan sebagai referensi untuk diolah, dikembangkan dan dihimpun dalam suatu kumpulan. Kodifikasi adalah pembukuan suatu jenis hukum tertentu secara lengkap dan sistematis dalam suatu buku hukum. Di sini tampak kesamaan antara kompilasi dan kodifikasi. Sedangkan undang-undang adalah kesepakatan antara para ahli di berbagai bidang dan pimpinan masyarakat atau perwakilannya.[19]

Di Indonesia, ketiganya terwujud dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan kompilasi, yakni: UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 10 tahun 1983 tentang Izin perkawinan dan perceraian bagi PNS, UU No. 1 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.[20]


Madzhab Hukum Keluarga Islam 
Dari definisi dan ciri-ciri mazhab di atas, maka mazhab hukum keluarga Islam berarti ajaran tentang hukum keluarga Islam yang berbeda dengan hukum keluarga barat (anglo saxon-continental europe, dalam kasus Indonesia berarti berbeda dengan yang ada dalam Burgerlijk Wetboek-BW), diusung oleh ahli-ahli hukum Islam dan sudah berlangsung lama, kemudian diterapkan dalam negara-negara yang mempunyai penduduk Islam (mayoritas atau minoritas) dan diajarkan kepada mereka (terutama mahasiswa hukum) untuk dikembangkan agar peka terhadap perkembangan masyarakat dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah. 

Dilihat dari landasan berpikir, yakni filsafat hukum Islam, mazhab hukum keluarga Islam adalah mazhab hukum keluarga yang mengusung nilai-nilai ajaran hukum Islam yang berlandaskan pada dua sumber utama: Al-Qur’an dan Sunnah. Perbedaannya dengan hukum keluarga di BW yang berlandaskan filsafat hukum, adalah adanya nilai-nilai keislaman, ketaatan pemeluknya, dan sumber hukumnya yang dianggap sakral. 

Dilihat dari fungsi hukum dan kemudian diuji oleh filsafat hukum, mazhab hukum keluarga Islam sudah berhasil menjalankan fungsinya. Dalam sejarah perkembangannya, hukum keluarga Islam telah mewujudkan ketertiban di kalangan umat Islam. Kaidah, doktrin, dan lembaga-lembaga hukum keluarga islam dapat bermanfaat bagi masyarakat. 

Dilihat dari berbagai mazhab hukum yang ada, dari posisi hukum keluarga dalam hukum islam dan dari beberapa wujud hukum keluarga Islam, hukum keluarga Islam tidak cenderung pada salah satu mazhab. Artinya, dalam hukum keluarga Islam terdapat unsur mazhab hukum alam (berasal dari hukum Tuhan dan bersifat jelas bagi manusia), terdapat unsur mazhab hukum positif (logis dan ada bentuk formilnya seperti dalam UU No. 1 Tahun 1974), terdapat unsur mazhab hukum murni (obyektif, mandiri, netral), terdapat unsur mazhab sejarah (mengakui hukum adat, tidak statis, dan merupakan subjek pada setiap kemajuan dan perkembangan), dan terdapat unsur mazhab sociological jurisprudence (sejalan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat-living law). Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa mazhab hukum keluarga Islam cenderung positivistik atau mengikuti mazhab hukum murni dengan melihat materi dan wujud hukum keluarga Islam yang ada. 

Para tokoh filsafat hukum Islam mulai dari Imam al-Ghazali, At-Thufi, sampai Fazlurrahman, tidak menelurkan suatu mazhab hukum baru yang diambil dari landasan filsafat Islam. Mereka cenderung mengikuti mazhab hukum yang sudah ada, sekalipun pada waktu itu -seperti zaman Al-Ghazali- beberapa mazhab yang dirumuskan sekarang belum ada. Al-Ghazali misalnya lebih cenderung pada mazhab hukum alam atau tuhan dan At-Thufi yang cenderung pada mazhab sejarah. Sekalipun hukum keluarga Islam lebih mengarah pada mazhab hukum positif --yakni bermula dari hukum perdata Belanda serta diusung untuk diterapkan pada masyarakat jajahan--, akan tetapi tidak bisa langsung dikatakan bahwa hukum keluarga Islam Indonesia menganut mazhab hukum posotif karena beberapa alasan: pertama, corak pendidikan hukum keluarga Islam di universitas/institut/sekolah tinggi Islam belum diketahui. Kedua, tidak ada konsensus ahli hukum keluarga Islam yang mengatakan bahwa hukum keluarga Islam adalah positivistik. Ketiga, dalam hukum keluarga Islam, minimal ada satu ciri yang masing-masing ada dalam setiap mazhab hukum.

Satu-satunya cara untuk melihat corak mazhab hukum keluarga Islam adalah dengan melihat pendidikan hukum seperti apa yang berlaku dalam proses pengajaran dan penelitian hukum keluarga Islam. Kita ambil contoh, sebut saja Fakultas Hukum UGM cenderung lebih positivistik, Fakultas Hukum UNAIR lebih legalistik, Fakultas Hukum Undip lebih mempertimbangkan aspek sosiologis, dan Fakultas Hukum UI cenderung praktis-pragmatik. 


Ciri Pendidikan Hukum Keluarga Islam: Kasus UIN Sunan Kalijaga 

Selama empat tahun studi di Jurusan Ahwal Syakhsyiyyah (AS) Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga dan beberapa bulan di Konsentrasi Hukum Keluarga Prodi Hukum Islam PPS UIN Sunan Kalijaga, saya melihat ada dua ciri pendidikan hukum keluarga Islam di sini: pertama, lebih bersifat positivistik. Mahasiswa, terutama jenjang S1, dituntut untuk memahami persoalan-persoalan hukum keluarga yang ada dalam kitab-kitab fiqh, hukum keluarga menurut beberapa ulama mazhab besar, dan hukum keluarga yang sudah dikodifikasi atau dalam bentuk undang-undang. Sedangkan di jenjang S2 lebih cenderung mempertimbangkan aspek sosiologis, mahasiswa dituntut untuk mampu menilai apakah hukum keluarga yang ada sekarang patut dipertahankan dengan beberapa perubahan, atau diubah sama sekali karena tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. 

Kedua, integratif-interkonektif. Ini adalah yang didengung-dengungkan oleh pihak Universitas sehingga harus diterapkan di semua jurusan yang ada di lingkungan UIN Sunan Kalijaga, tidak hanya jurusan Ahwal Syakhsyiyyah. Dengan ini, mahasiswa dituntut untuk mempelajari dan menguasai pengetahuan non-islamic studies dalam memahami hukum keluarga Islam, seperti sosiologi, filsafat, psikologi, sejarah, dan sebagainya. Dengan demikian dapat saya simpulkan bahwa mazhab hukum keluarga Islam di lingkungan UIN Sunan Kalijaga lebih cenderung positivistik, tetapi akan diubah kecenderungannya lebih pada aspek sosiologis-filosofis. 


Footnotes:
[1] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat hukum, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 27. 
[2] Lili Rasjidi, B. Arif Sidharta, Filsafat Hukum; Mazhab dan Refleksinya, Cet. II (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 2-5. 
[3] Ibid., hlm. 100. 
[4] Mochtar Kusumaatmaja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: Binacipta, 1970), hlm. 2-3. 
[5] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan UNISBA, 1995), hlm. 21. 
[6] Ibid., hlm. 23. 
[7] http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ 
[8] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cet. IV, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), Hal. 79. 
[9] Lili Rasjidi, B. Arif Sidharta, Filsafat Hukum;…hlm. 128-129. 
[10] Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 80-85. 
[11] Ibid., hlm. 94-99. 
[12] Ibid., hlm. 86-93. 
[13] Lili Rasjidi, B. Arif Sidharta, Filsafat Hukum;…hlm. 32-34. 
[14] Ibid., hlm. 91-92. 
[15] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: Academia&Tazzafa, 2007), hlm. 60-62. 
[16] Ibid., hlm. 65-67. 
[17] Ibid., hlm. 69. 
[18] Ibid., hlm. 70-71. 
[19] Ibid., hlm. 72-76. 
[20] Ibid., hlm. 40-41.



DAFTAR PUSTAKA 
http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ 
Kusumaatmaja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Binacipta. 1970 
Nasution, Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia. Yogyakarta: Academia&Tazzafa. 2007 
Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan UNISBA. 1995 
Prasetyo, Teguh, Abdul Halim Barkatullah, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007 
Purbacaraka, Purnadi dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum. Cet. IV. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1990 
Rasjidi, Lili, Dasar-dasar Filsafat hukum. Bandung: Alumni. 1985 

__________, B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum; Mazhab dan Refleksinya. Cet. II. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1994 

No comments:

Post a Comment