Saturday, February 9, 2013

Ahliyah (Kepantasan) dan 'awarid (Penghalang Kepantasan)



Pada bab sebelumnya kami sudah menyebutkan bahwa syarat sah taklif adalah mukallaf pantas dengan hal yang di-taklif-kan padanya. Seseorang bisa disematkan ‘kepantasan’ apabila sudah baligh dan berakal. Ulama ushul fiqh membahas ahliyah dan ‘awarid (penghalang kepantasan) dalam cakupan yang lebih luas. Dalam bab ini kami akan membahas ahliyah terlebih dahulu, kemudian penghalang-penghalang (‘awarid) ahliyah.


Pengertian Ahliyah 

Secara bahasa ahliyah berarti ‘kepantasan’ (shalahiyah). Ada ungkapan, “Si Fulan ahli (ahl) dalam bidang ini. Si Fulan bisa dikatakan ahli jika dia memang pantas melakukan bidang itu. 

Dalam istilah ulama ushul, ahliyah dibagi menjadi dua macam: 

(1) ahliyah al-wujub 

(2) ahliyah al-ada‘


Ahliyah al-Wujub 

Ahliyah al-wujub adalah kepantasan seseorang atas ketetapan hak yang disyariatkan kepadanya.(1) Artinya, kelayakannya atas penetapan hak-hak yang menimbulkan kewajiban-kewajiban atas hak-hak itu. Ahliyah al-wujub adalah berupa dzimmah, dengan kata lain bahwa kepantasan ditetapkan atas dasar tetapnya dzimmah kepada seseorang. 


Menurut bahasa, dzimmah adalah perjanjian (‘ahd). Firman Allah, “Mereka tidak memelihara hubungan kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian…” Orang-orang non muslim yang bermukim di negara Islam secara permanen berdasarkan perjanjian dibuat dengan umat muslim disebut dengan ahl al-dzimmah atau ahl al-‘ahd (orang yang telah mengadakan perjanjian dengan umat muslim). 


Menurut istilah, dzimmah adalah istilah syara’ yang membuat seseorang pantas/layak atas ketetapan yang dia lakukan dan ketetapan yang melekat padanya.(2) Atas dasar pengetian istilah ini, dzimmah melekat pada diri tiap manusia, karena tidak ada seorang pun yang lahir ke dunia yang tidak memiliki dzimmah, sehingga ahliyah al-wujub melekat pada tiap orang.(3)


Berdasarkan penjelasan ini, maka bisa dikatakan bahwa dasar penetapan ahliyah al-wujub pada manusia adalah ‘hidup’. Selama dia hidup, manusia menerima dzimmah sebagai dasar ahliyah al-wujub. Berdasarkan hak ini maka janin juga mempunyai ahliyah –sekalipun tidak penuh-- karena dia hidup. Karena hidup adalah dasar tetapnya ahliyah, maka ahliyah selalu melekat seseorang sampai dia mati.(4)


Pengertian Ahliyah al-wujub menurut istilah ulama ushul dikenal oleh ahli hukum sebagai syakhshiyyah qanuniyah (kepribadian hukum) yang melekat pada setiap orang, artinya kelayakan seseorang menerima hak dan kewajiban.(5) Pengertian ahli hukum tentang syakhshiyyah qanuniyah sama dengan pengertian ulama ushul tentang ahliyah al-wujub. 


Ahliyah al-Ada’ 

Ahliyah al-ada’ adalah kepantasan seseorang untuk melaksanakan (ada’) apa yang dituntut. Dengan ahliyah al-ada’, perkataan dan perbuatannya serta akibat yang ditimbulkannya diperhitungkan oleh syara’. Jika dia melakukan suatu perbuatan, perbuatannya diperhitungkan oleh syara’. Jika dia melakukan ibadah, ibadahnya dihitung oleh syara’ dan menggugurkan kewajibannya. Jika dia melakukan tindak pidana, dia bisa dikenai hukuman sepenuhnya, baik menyangkut anggota badan maupun hartanya.(6) Prinsip dasar ahliyah al-ada’ adalah: tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk). 


Ahliyah Sempurna/Penuh (kamilah) dan Ahliyah Tidak Sempurna (naqishah

Masing-masing ahliyah (wujub dan ada’) ada yang sempurna dan ada yang tidak sempurna. Dilihat dari fase kehidupan manusia mulai dari lahir, berakal sempurna, hingga mati. Fase kehidupan manusia adalah sebagai berikut: 

Pertama: masa janin 
Kedua: masa menuju tamyiz 
Ketiga: masa tamyiz sampai menjadi baligh 
Keempat: masa setelah baligh 

Selanjutnya kami akan menjelaskan masing-masing fase dalam kehidupan manusia ini. 


Fase Pertama: Janin 

Janin dalam kandungan ibu terkadang dianggap sebagai bagian dari ibunya dan ada tidaknya tergantung pada ibunya. Dengan alasan ini maka ditetapkan bahwa janin tidak memiliki dzimmah sehingga tidak ada ahliyah al-wujub bagi janin. 


Di sisi lain terkadang janin dianggap sebagai seorang yang hidup mandiri terpisah dari ibunya, karena setelah lahir dia akan menjadi manusia seutuhnya. Dengan alasan ini maka ditetapkan bahwa bahwa janin memiliki dzimmah sehingga memiliki ahliyah al-wujub pula. 


Dari kedua penjelasan di atas, bias disimpulkan bahwa janin tidak memiliki dzimmah yang sempurna dan tidak pula terlepas sama sekali dari dzimmmah. Dzimmah yang tidak sempurna ini mempunyai konsekuensi tetapnya sebagian hak saja. Oleh karena itu janin disebut memiliki ahliyah al-wujub yang tidak sempurna, sehingga dia menerima hak tetapi tidak mempunyai kewajiban. Dia memperoleh hak yang tidak mengharuskan adanya syarat qabul (tanda terima, bagian dari ijab) seperti hak waris, wasiat, dan wakaf. Sedangkan hak yang mengharuskan syarat qabul seperti hibah, dia tidak berhak menerimanya, sekalipun itu murni untuk kepentingan janin, karena dia tidak mempunyai perkataan, wali, atau pelaksana yang bisa mewakilinya dalam qabul.(7) Janin tidak menanggung kewajiban apapun karena ahliyah-nya tidak sempurna. Yang wajib dipertimbangkan di sini adalah bahwa syarat tetapnya ahliyah al-wujub atas janin adalah janin itu harus dilahirkan dalam keadaan hidup. 


Tentang ahliyah al-ada’, janin tidak memilikinya sama sekali, sebab janin tidak mungkin melakukan transaksi apapun karena hal janin memang tidak mampu sama sekali. Alasan lain adalah karena ahliyah al-ada’ berlaku ketika seseorang sudah tamyiz dan berakal, sedangkan janin tidak mengindikasikan pada hal itu sama sekali. 


Fase Kedua: Lahir sampai Tamyiz(8)

Saat janin lahir dalam keadaan hidup, maka dzimmah sempurna langsung melekat padanya, begitu pula ahliyah al-wujub sempurna dan hak serta kewajiban. Secara garis besar, hak dan kewajiban itu layak ditetapkan kepadanya, sebagaimana orang yang sudah baligh layak mendapatkan dzimmah sempurna dan ketetapan ahliyah. Akan tetapi, jika melekatnya hak manusia tidak bertujuan untuk hak itu sendiri, tetapi untuk hukumnya: yakni ada’, maka setiap hak yang mungkin dilaksanakan oleh anak-anak maka hak itu melekat padanya, sebaliknya jika tidak mungkin dilaksanakan maka hak itu tidak melekat padanya. Rinciannya adalah sebagai berikut: 


Pertama, hak individu/hamba: di antaranya hak-hak yang berkaitan dengan harta benda seperti asuransi, upah buruh, nafkah isteri dan kerabat dan sebagainya. Semua itu melekat pada anak-anak, karena tujuan dari hak itu adalah harta. Pelaksanaannya bisa diwakilkan, wali anak-anak itu bisa menggantikan perannya. Hak hamba lainnya adalah: hukuman qishash. Hukuman qishash tidak bisa dikenakan pada anak-anak, dia tidak layak menerima hukuman qishash, karena perbuatannya tidak dianggap sempurna dan tidak bisa dianggap murni tindak kriminal sehingga tidak bisa menjadi sebab hukuman qishash. Pelaksanaan hak seperti ini juga tidak bisa diwakilkan, sehingga wali tidak bisa mewakili anak tersebut dalam menerima hukuman. Berbeda halnya dengan masalah diyat yang harus diwakilkan untuk menghindari penipuan, karena anak-anak sangat rentan penipuan. Tujuan tetapnya diyat adalah harta dan pelaksanaannya bisa diwakilkan. 


Kedua, hak Allah. Antara lain iman yang menjadi pondasi ibadah dan ibadah-ibadah murni (mahdlah), baik yang murni perbuatan seperti shalat, murni harta benda seperti zakat, atau mencakup keduanya seperti haji. Semua ibadah itu tidak wajib bagi anak-anak meskipun dia pantas akan dzimmah yang menjadi sebab penetapan hak-hak tersebut. Alasannya adalah karena keharusan dalam hak-hak itu adalah pelaksanaan (ada’) dari orang yang berwenang atas hak-hak itu, secara sadar tanpa paksaan, sehingga akibat yang ditimbulkan serta balasan atas pelaksanaan itu dapat terjadi.(9) Hak Allah yang lain seperti sanksi hudud tidak bisa diterapkan pada anak-anak, sebagaimana hukuman qishash yang tergolong sebagai hak hamba. Alasannya adalah karena anak-anak tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya dan tidak ada kemungkinan untuk diwakili.(10)


Dalam fase ini, anak-anak tidak memiliki ahliyah al-ada’ sama sekali karena tidak tamyiz. Seperti yang kami katakana di atas, tamyiz (dapat memedakan baik dan buruk) dengan akal adalah dasar tetapnya ahliyah al-ada’. Oleh karena itu anak-anak tidak dituntut untuk melaksanakan apapun dengan dirinya sendiri. Adapun hak-hak yang melekat akibat ahliyah al-wujub dan bisa diwakilkan maka dilaksanakan oleh walinya. 


Karena ahliyah al-ada’ tidak melekat pada kecil, maka perkataan dan perbuatannya tidak berdampak syar’i. Akad dan transaksi verbalnya batal dan tidak dianggap. Hal ini seperti yang tercantum dalam undang-undang perdata Iraq dan Mesir.(11)


Fase Ketiga: Masa Tamyiz sampai Baligh 

Fase ini dimulai dari anak kecil berusia tujuh tahun sampai baligh. Dalam fase ini, dia mendapat ahliyah al-wujub yang sempurna. Karena jika anak kecil yang belum mumayyiz saja sudah mendapatkan ahliyah al-wujub, maka dia lebih pantas mendapatkannya karena sudah mumayyiz. Dia memiliki hak dan kewajiban seperti contoh yang sudah kami jelaskan dalam fase kedua: fase lahir sampai tamyiz


Dalam fase ini, ahliyah al-ada‘ sudah menjadi ketetapan bagi anak kecil, sekalipun ahliyah al-ada‘ yang tidak sempurna karena akalnya yang belum sempurna. Konsekuensinya, ada‘ (pelaksanaan hak atau kewajiban) yang dilakukannya sah, tidak terkecuali iman dan semua ibadah badaniyah (ibadah yang melibatkan anggota tubuh), karena ada manfaat murni bagi anak kecil yang terkandung dalam ibadah itu. 


Mengenai perbuatannya yang berkaitan dengan harta benda, maka dirinci dalam beberapa contoh berikut: 

1. Perbuatan yang keuntungannya murni untuk anak kecil itu. Seperti menerima hibah, sedekah dan wasiat. Transaksi yang dilakukannya sah tanpa harus menunggu izin wali atau wakil. Pengesahan transaksi yang dilakukan langsung oleh anak kecil adalah mungkin terjadi karena dia memiliki ahliyah yang terbatas serta ada maslahat yang jelas baginya. Di sini kami memilih untuk melindungi kemaslahatannya selama hal itu memungkinkan. 

2. Perbuatan yang kerugiannya murni atas anak kecil itu, yakni yang menyebabkan hilangnya sesuatu dari kepemilikan anak kecil itu tanpa pemberitahuan, seperti hibah, wakaf dan semacamnya. Transaksi-transaksi itu tidak sah dilakukan oleh anak kecil dan tidak dianggap sama sekali. Walinya atau orang yang diberi wasiat tidak mempunyai hak untuk mengesahkannya, karena mereka berdua tidak memiliki hak anak kecil itu secara langsung. Prinsip kewalian adalah: mengawasi dan melindungi anak kecil, sesuatu yang merugikannya secara langsung atau memberikannya izin untuk kerugiannya tidak masuk dalam kategori melindungi. 

3. Perbuatan yang diragukan apakah menguntungkan atau merugikan, tergantung bagaimana hal itu dilakukan, seperti jual beli, ijarah, dan semua transaksi yang menyangkut harta benda.(12) Semua transaksi itu bisa menguntungkan atau merugikan. Jika yang melakukan adalah anak kecil itu secara langsung, maka transaksi itu sah karena dia dianggap menikmati ahliyah al-ada‘-nya. Berbeda halnya jika dia harus menunggu izin walinya sehingga ahliyah al-ada‘-nya menjadi tidak sempurna. Jika walinya sudah memberikannya izin, maka ahliyah al-ada‘-nya menjadi sempurna dan transaksinya dianggap telah dilakukan oleh orang yang memiliki ahliyah al-ada‘ sempurna. 


Hukum-hukum yang telah kami sebutkan berkaitan dengan perbuatan anak kecil yang sah dan yang tidak sah, sudah menjadi ketetapan dalam undang-undang perdata Iraq(13) dan Mesir, yakni mengenai perbuatan yang jelas keuntungan dan kerugiannya. Mengenai perbuatan atau transaksi yang belum jelas keuntungan atau kerugiannya, maka undang-undang membatalkannya demi kebaikan anak kecil itu. Hak menahan pembatalan masih ada jika walinya memberikannya izin atau anak kecil yang sudah mencapai umur cakap memberikan izin pada walinya.(14)


Anak Kecil yang Diberi Izin 

Wali boleh memberikan izin kepada anak kecil dalam urusan perdagangan saat dia dirasa mampu melakukannya. Jika sudah dizinkan, maka transaksi perdagangan yang dilakukannya sah, begitupula semua transaksi dagang dan semua hal di dalamnya. Izin transaksi yang sudah diberikan menjadi ‘surat jalan’ yang berlaku seterusnya. Hal ini juga menjadi ketentuan dalam undang-undang perdata Iraq dan perdata Mesir.(15)


Fase Keempat: Masa Setelah Baligh 

Ketika seseorang sudah baligh dan berakal maka dia memiliki ahliyah al-ada‘ sempurna, pantas menerima khithab, bisa dibebani seluruh ­taklif syar’i, dan semua akad serta transaksi yang dilakukannya sah tanpa harus menunggu izin seseorang, selama dia tidak dungu, mengenai kedunguan kami akan menjelaskannya nanti. 



___________________________
(1) Syarh al-Manar, Ibnu Malik dan Hasyiah al-Rahawi, hal. 976. 
(2) Al-Taudlih, Juz. 1 Hal. 161. 
(3) Ushul al-Bazwadi, Juz 2 Hal. 1357, dan syarahnya hal. 938. 
(4) Sebagian ulama fiqh mengatakan bahwa dzimmah manusia masih melekat bahkan setelah dia mati, contohnya akan kami jelaskan setelah ini. 
(5) Al-Madkhal li al-Qanun al-Khash, Dr. Badrawi, hal. 58 
(6) Syarh Muraqaat al-Ushul, Juz. 2, Hal. 434. Dan Ushul al-Fiqh Syaikh Abd al-Wahab Khalaf, Hal. 150. 
(7) Pendapat jumhur ulama fiqh: janin tidak mempunyai wali atau pelaksana. Hanya orang terpercaya yang boleh menjaga harta si janin. Di Mesir, hukum yang berlaku adalah: janin memiliki pelaksana yang mempunyai hak sebagaimana pelaksana bagi anak kecil. Hal ini tercantum dalam undang-undang penguasaan atas harta No. 119 tahun 1952 sebagai berikut: 

Pasal 28: seorang ayah boleh menjadi pelaksana yang terpilih bagi anaknya yang belum sempurna, atau bagi janin yang dikandung isterinya. 

Pasal 29: apabila tidak ada pelaksana terpilih bagi anak kecil yang belum sempurna dan anak dalam kandungan, maka pelaksananya adalah pengadilan... 

(8) Menurut ulama, usia tamyiz adalah tujuh tahun, hal ini untuk kepastian hukum. Ulama fiqh masa awal tidak menentukan usia tertentu untuk ukuran tamyiz, akan tetapi ulama fiqh kontemporer melakukannya. Kemungkinan dasar yang digunakan adalah hadits tentang perintah shalat pada anak kecil, “Suruh mereka (mengerjakan shalat) pada usia tujuh tahun, dan pukullah (jika meninggalkan shalat) pada usia sepuluh tahun.” Undang-undang Iraq dan Mesir juga menentukan bahwa usia tamyiz adalah tujuh tahun. 

(9) Al-Talwih ‘ala al-Taudlih, Juz. 2 Hal. 163. Mengenai kewajiban zakat bagi anak-anak, ulama fiqh berbeda pendapat. Ulama yang mewajibkan zakat bagi anak-anak beranggapan bahwa zakat adalah hak orang fakir atas harta orang kaya, baik dia masih anak kecil atau sudah baligh. Sedangkan ulama yang tidak mewajibkan beranggapan bahwa zakat adalah ibadah sebagaimana shalat dan puasa, sedangkan syarat wajib ibadah adalah baligh, dan ibadah mempunyai konsekuensi hukum yang tidak bisa diperoleh oleh anak kecil. Lihat Bidayah al-Mujtahid, Juz. 1 Hal. 220. 

(10) Kasyf al-Asrar, Juz. 4 Hal. 1362. 

(11) Pasal 96 No. 40 Tahun 1951: “Perbuatan anak kecil yang belum mumayyiz batal sekalipun walinya memberikan izin." Pasal 110 No. 131 Tahun 1948: “Anak kecil yang belum mumayyiz tidak memiliki hak membelanjakan hartanya dan transaksi-transaksi yang dilakukannya batal.” 

(12) Catatan: yang menjadi pertimbangan dalam menilai transaksi yang diragukan kemanfaatan atau kerugiannya adalah jenis dan ciri khas transaksi itu, tidak perlu melihat apakah transaksi yang dilakukan langsung oleh anak kecil itu substansinya bermanfaat atau tidak. Seandainya anak kecil itu membeli sesuatu di atas harga asalnya maka transaksi yang dia lakukan harus menunggu izin wali, jual beli yang merugikannya itu tidak dianggap karena jual beli mempunyai ciri khas ‘diragukan kemanfaatan atau kerugiannya’. 

(13) Lihat pasal 97 UU Perdata Iraq. 
(14) Lihat Pasal 111 Undang-undang perdata Mesir. 
(15) Lihat Pasal 91-101 Undang-undang perdata Iraq dan Pasal 54, 55, 56 dan 112 Undang-undang Kota Mesir.

No comments:

Post a Comment