Monday, February 11, 2013

Penghalang Muktasabah



Pertama: Bodoh/ Tidak Tahu 

Bodoh tidak bisa menghapus ahliyah. Hanya saja dalam keadaan tertentu bisa menjadi penghalang (‘udzr). Masalah ketidaktahuan adakalanya terjadi di Negara Islam dan di Negara non-Islam atau Negara konflik (daar al-harb).


Bodoh di Negara Islam 

Kaidah yang berlaku: bodoh di Negara Islam tidak dianggap sebagai penghalang. ‘Tahu’ diwajibkan di Negara Islam. Ketidaktahuan seorang muslim akan hukum yang sudah umum dan jelas tidak bisa menjadi alasan, sehingga tidak ada keringanan (rukhshah) bagi orang seperti ini. Hukum-hukum yang dimaksud adalah hukum yang berdasarkan pada al-Kitab, Sunnah mutawatir atau masyhur, atau ijma’, seperti kewajiban shalat dan puasa, keharaman khamr, zina, membunuh tanpa hak, menyerobot harta orang lain dan sebagainya. Tidak terkecuali bagi orang kafir dzimmi, dia tidak bisa beralasan tidak tahu hukum Islam seperti qishash, had zina dan had mencuri karena dia tinggal di Negara Islam, dan ‘tahu’ di Negara Islam adalah kewajiban untuk semua. Oleh karena itu jika dia masuk Islam tapi minum khamr maka dia harus mendapatkan hukuman, karena keharaman minum khamr telah umum berlaku dan diketahui di Negara Islam sehingga ‘tidak tahu’ tidak bisa menjadi alasan penghalang. 


Contoh lain adalah orang yang tidak tahu bahwa ijtihad yang dilakukannya menyalahi hukum yang jelas dari al-Kitab dan Sunnah masyhurah. Ijtihad pertama: berpendapat bahwa menyembelih hewan tanpa menyebut nama Allah dengan sengaja adalah halal, dianalogikan (qiyas) dengan orang yang lupa tidak menyebut nama Allah. Ijtihad seperti ini bertentangan dengan firman Allah, “Dan janganlah kamu makan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An’am: 121). Ijtihad kedua: halal menikahi perempuan yang telah ditalak ba’in yang telah menikah dengan pria lain sekalipun belum melakukan wathi’ (hubungan suami-isteri), hal ini bertentangan dengan Sunnah masyhurah.(1)


Hanya saja apabila ijtihad-nya shahih dan tidak menyalahi al-Kitab, Sunnah masyhurah, dan ijma’, maka ketidaktahuannya bisa menjadi alasan (‘udzr) baginya. Contoh: salah satu wali dari korban memaafkan si pembunuh dari hukuman qishash.(2) Contoh lain: nikah tanpa saksi, cukup dengan pengumuman/perayaan saja.(3)


Yang perlu dicatat: jika pemimpin (waliy al-amr) memilih salah satu pendapat ijtihadi (yang dihasilkan melalui ijtihad) kemudian memerintahkan kepada penduduk untuk mengikutinya lalu menyebarluaskannya, maka pendapat ijtihadi yang dia pilih itu sama dengan hukum yang ketetapannya berlaku umum. Oleh karena itu, tidak boleh seorang pun yang beralasan tidak mengetahuinya, pendapat ijtihadi lain yang bertentangan tidak lagi dianggap. 


Demikian juga ada beberapa peristiwa yang bisa dimaafkan karena pelakunya tidak mengetahui yang sebenarnya. Contoh: seseorang tidak tahu bahwa dia menikahi perempuan yang haram dinikahi sebab persusuan (radla’ah). Atau seseorang minum air perasan anggur tapi tidak mengetahui bahwa air perasan itu sudah difermentasi. Orang dalam dua kasus ini tidak bisa dikenai jarimah dan sanksi. 


Contoh lain: (dalam masalah syuf’ah/perkongsian) ketidaktahuan syafi’ (orang yang mempunyai hak syuf’ah) atas penjualan bagian hak kepemilikan rumah yang dilakukan partner-nya, bisa menjadi alasan bagi syafi’ untuk mendapatkan kembali hak syuf’ah, jika akhirnya dia mengetahui adanya penjualan. 


Contoh lain: (dalam masalah wakalah) ketidaktahuan wakil bahwa dia sudah dipecat oleh muwakkil, hal itu dapat dimaklumi dan transaksi yang dilakukan wakil tetap menjadi hak muwakkil sebelum wakil tahu akan pemecatannya sebagai wakil.(4)


Kaidah dalam Hukum Positif 

Kaidah yang ada dalam hukum positif: selama hukum-hukum disebarluaskan melalui cara-cara yang berlaku seperti melalui surat kabar resmi, maka semua penduduk diwajibkan untuk mengetahuinya, ketidaktahuan tidak bisa dijadikan alasan. Oleh karena itu, kaidah yang berlaku adalah: “Tidak bisa diterima, orang yang beralasan tidak mengetahui hukum.” Kaidah ini berlaku dalam hukum positif, baik perdata maupun pidana. Tidak ada yang bertentangan dengan kaidah ini, kecuali beberapa pengecualian saja, di antaranya: ketentuan dalam undang-undang pidana Mesir bahwa perbuatan pejabat publik yang melanggar undang-undang tidak mengakibatkannya dijatuhi hukuman, selama perbuatannya termasuk dalam deskripsi jabatannya, pejabat itu mendapatkan legitimasi atas perbuatannya.(5)


Hampir semua ahli hukum pidana sepakat bahwa: tidak mengetahui undang-undang bisa menjadi alasan apabila secara jasmani mustahil untuk mengetahui undang-undang, misalnya andaikan undang-undang disahkan pada saat blokade perang di salah satu daerah. Sedangkan apabila tidak mengetahui akan suatu kejadian, maka hal itu bisa menjadi pembelaan atas dakwaan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pidana --sebagaimana kaidah—seperti orang yang menggunakan dokumen palsu, padahal dia yakin bahwa dokumen itu asli.(6)


Bodoh di Negara Non Islam (daar al-harb

Kaidahnya: mengetahui hukum tidak wajib di dalam Negara non Islam. Karena daar al-harb bukan Negara yang mengenal hukum syariah, akan tetapi negara yang tidak mengenalnya. Oleh karena itu, jika ada orang yang masuk Islam di Negara tersebut lalu dia tidak mengetahui kewajiban ibadah seperti shalat dan semacamnya, maka dia tidak wajib melaksanakannya, dia juga tidak wajib menggantinya (qadla’) ketika sudah tahu. Demikian pula jika dia minum khamr tanpa mengetahui keharamannya, maka dia tidak berdosa dan tidak mendapat sanksi, karena adanya tanggungjawab dan ketetapan taklif terjadi jika khithab sudah sampai kepadanya secara hakiki, atau secara taqdir (anggapan) bahwa hukum syariah telah tersebar luas di tempat tinggalnya, sedangkan daar al-harb bukan Negara yang demikian.(7)


Kedua: Salah/Keliru 

Yang dimaksud dengan ‘salah’ (khatha’) adalah antonim dari ‘benar’ (shawab), dan tidak disengaja. Termasuk dalam arti ini adalah sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku yang salah, lupa, dan terpaksa.” makna ini lah yang dimaksud pembahasan penghalang-penghalang kepantasan. Kemungkinan definisinya: perkataan atau perbuatan manusia yang diucapkan atau dilakukan tanpa dia kehendaki. Salah tidak dapat menghilangkan ahliyah, karena pada saat salah dia masih memiliki akal. Hanya saja ‘salah’ bisa menjadi alasan gugurnya hak-hak Allah, seperti salahnya seorang mufti, salah dalam ijtihad, atau salah dalam memilih perkara syubhat tentang keputusan hukuman yang menjadi hak Allah, seperti masalah hudud dalam had zina. 


Mengenai hak hamba, jika hak itu berupa hukuman seperti qishash maka hukuman itu tidak wajib karena perbuatan pidana dilakukan dalam keadaan salah. Qishash adalah hukuman maksimal sehingga tidak dapat dijatuhkan kepada orang yang berbuat salah karena perbuatannya ditolerir. Orang yang membunuh karena salah diwajibkan diyat sebagai pengganti posisi pembunuh (yang seharusnya dijatuhi qishash). Diyat sebaiknya dibayarkan dalam jangka waktu tiga tahun, karena ‘salah’ yang merupakan perantara, mengharuskan adanya keringanan. Diyat logisnya dimasukkan dalam kategori perantara karena tidak mengharuskan adanya ganti harta. 


Jika hak hamba berkaitan dengan harta benda seperti merusak harta orang lain karena salah, maka dia wajib dlaman (menanggung harta), salah tidak bisa menjadi alasan menghapus dlaman, karena dlaman adalah pengganti harta akibat perbuatan merusak, oleh karena itu posisi harta harus dilindungi. Merusak harta karena salah tidak bisa menjadi alasan untuk meniadakan perlindungan terhadap harta. 


Dalam masalah muamalat: salah tidak bisa menjadi alasan untuk menghalangi terjadinya akad dan menghilangkan konsekuensi akad, ini adalah pendapat sebagian ulama madzhab Hanafiyah, bahkan seandainya dia manjatuhkan talak karena salah maka talaknya tetap jatuh. Jual beli yang dilakukan karena salah juga sah, sebab dalam jual beli itu ada ikhtiyar (kehendak sendiri, tanpa paksaan), akan tetapi jual beli menjadi fasid jika tidak ada kerelaan.(8)


Menurut jumhur ulama seperti Syafi’iyah, Ja’fariyah dan lainnya: orang yang menjatuhkan talak karena salah maka talaknya tidak jatuh, semua transaksi verbalnya tidak mempunyai konsekuensi hukum.(9) Alasan jumhur: perkataan bisa dianggap apabila bermaksud mengatakannya, orang yang berkata salah tidak bermaksud mengatakan demikian, oleh karena itu perkataannya yang salah tidak dianggap. Dengan demikian, perkataan orang tidur dan pingsan tidak berlaku karena mereka tidak bermaksud mengatakannya, demikian pula dengan orang yang keliru. Yang jelas bahwa perkataan bisa dianggap apabila orang yang mengatakan (mutakallim) memang bermaksud mengatakan demikian. Jika tidak ada maksud dalam sebuah perkataan maka perkataannya dianggap main-main dan tidak mempunyai pengaruh. Hal ini diperkuat dengan hadits, “Diampuni dari umatku keliru, lupa, dan terpaksa.”(10)


Hanafiyah menolak pendapat jumhur. Menurut mereka, ‘maksud’ dari orang yang keliru mengucapkan talak adalah persoalan yang tidak jelas sehingga tidak bisa dijadikan landasan, oleh karena itu baligh-berakal menjadi ukuran ada atau tidak adanya ‘maksud’. ‘Sebab yang tampak’ mengganti posisinya ‘sebab yang tidak tampak’ yang sulit dijadikan pijakan. Jika kekeliruan yang dibuatnya tampak jelas, maka posisinya tidak bisa digeser, oleh karena itu baligh-berakal tidak bisa mengganti posisinya ‘maksud’ dan ‘kerelaan’-nya orang tidur dan orang pingsan, karena sudah jelas bahwa tidak ada maksud dan kerelaan atas perkataan yang keluar dari kedua orang tersebut.(11)


Menurut kami, yang paling benar adalah pendapat jumhur ulama. Sudah sepantasnya jika semua perkataan yang keluar dari orang yang keliru tidak dianggap, baik itu talak atau transaksi verbal apapun, selama kelirunya tidak terus-menerus. 

Bersambung...


_____________________
(1) Isteri yang ditalak tiga tidak halal bagi yang mentalaknya (suami pertama) kecuali jika dia sudah menikah dengan laki-laki lain (suami kedua) dan sudah dukhul, kemudian cerai baik sebab talak atau yang lain. Jika iddah-nya sudah selesai setelah cerai dengan suami kedua, maka ketika itu dia halal dinikahi oleh suami pertama dengan akad nikah baru. Syarat halal (tahlil) adalah suami kedua sudah menggaulinya (wathi’ atau dukhul), ini adalah ketetapan dari Sunnah masyhurah dan telah disepakati oleh ulama fiqh (ijma’), kecuali pendapat yang dikutip dari Sa’id bin al-Musayyib yang berbeda dengan ketetapan di atas. Pendapat yang mengatakan bahwa akad dari suami kedua saja tanpa dukhul sudah memenuhi syarat halalnya suami pertama untuk menikahinya lagi adalah pendapat yang tidak sah. Oleh karena itu, orang yang tidak tahu bahwa pendapat yang diikutinya menyalahi hukum yang benar tidak bisa menjadi alasan pembenar, sebagaimana yang sudah kami jelaskan. 

(2) Jika salah satu wali dari korban pembunuhan memaafkan pembunuh dari hukuman qishash, kemudian wali yang lain menghendaki qishash dengan menganggap bahwa hak qishash dimiliki oleh dua orang wali itu, maka tidak ada hukuman qishash karena hal itu masuk dalam ijtihad mereka. Syarh Muraqat al-wushul, Juz. 2, Hal. 452. 

(3) Saksi adalah syarat sah perkawinan, berdasarkan hadits, “Tidak ada nikah tanpa saksi.” Jika seseorang menikah tanpa saksi, tapi cukup dengan pengumuman/perayaan pernikahan maka ketidatahuannya diperbolehkan dan perkawinannya sah, berdasarkan atsar (hadits marfu’): “Umumkanlah (rayakanlah) perkawinan sekalipun dengan rebana.” Yang perlu dicatat: Imam al-Thusi dari madzhab Ja’fariyah berpendapat, “Untukdapat dikatan sah, perkawinan tidak membutuhkan saksi, menurut Syi’ah.” Lihat Al-Khilaf, Al-Thusi, Juz. 2, Hal. 363. 

(4) Syarh Murawat al-Wushul, Kuz. 2, Hal. 452. 
(5) Pasal 63 Undang-Undang Pidana Mesir No. 58 Tahun 1937. 
(6) Penjelasan Undang-Undang Pidana Iraq –Bagian Umum—Dr. Mustafa Kemal, Hal. 195-196. 
(6) Al-Talwih, hal. 184-185. 
(7) Syarh Muraqat al-Wushul, Juz. 2, Hal. 460. 
(8) Minhaj al-Shalihin
(9) I’lam al-Muwaqqi’in, Ibn Qayyim, Juz. 3 Hal, 55, dan Juz. 4, Hal. 72. Al-Taudlih, Juz. 2, Hal. 195. 
(10) Subul al-Salam, Juz. 3, Hal. 238. 
(11) Al-Talwih, Juz. 2, Hal. 195.

No comments:

Post a Comment