Saturday, February 9, 2013

Pertama: Gila (Penghalang Samawiyah)



Menurut sebagian ulama ushul, gila adalah menyusutnya akal sehat sehingga menghalangi seseorang berbuat dan berkata sesuai logika, kecuali hanya dalam keadaan tertentu yang jarang.(1)

Gila ada dua macam: asli dan baru. Gila asli adalah dari baligh sudah gila. Sedangkan gila baru adalah baligh-nya sehat kemudian menjadi gila. Kedua macam gila ini masing-masing ada yang sementara dan ada yang terus-menerus.

Kedua macam gila ini tidak berpengaruh pada keberlakuan ahliyah al-wujub karena dasar ketetapan ahliyah al-wujub adalah dzimmah. Gila tidak bisa menggugurkan dzimmah karena dasar ketetapan dzimmah adalah kehidupan manusia. Akan tetapi gila bisa mempengaruhi ahliyah al-ada’ bahkan menggugurkannya, karena dasar ketetapan ahliyah al-ada’ adalah akal dan tamyiz. Gila merusak akal dan menghilangkan tamyiz. Oleh karena itu orang gila sama hukumnya dengan anak kecil yang belum mumayyiz dalam perkataan dan perbuatannya. 


Dalam masalah ibadah, jika gilanya terus-menerus(2) maka kewajibannya gugur. Semua kewajibannya terhalangi oleh hilangnya kemampuan untuk melaksanakan (ada’) di saat dia gila dan kesulitan menggantinya (qadla’) ketika sudah sembuh. Maka jika pelaksanaan memang tidak bisa dilakukan baik secara kenyataan (tahqiq) atau anggapan (taqdir) akibat kesulitan, maka kewajibannya terhapus, sebab penetapan kewajiban tidak ada artinya jika tidak ada pelaksanaan. Akan tetapi jika gilanya tidak terus-menerus maka pelaksanaan (ada’) kewajiban masih tetap, sekalipun hal itu tidak mungkin dilakukan ketika dia gila, dia wajib menggantinya (qadla’) ketika sudah sembuh jika hal itu tidak dirasa berat. Ada’ masih ada secara anggapan (taqdir) sehingga kewajiban masih berlaku.(3)


Pembekuan atas Orang Gila dan Kapan Pembekuan Itu Dicabut 

Gila adalah salah satu penyebab pembekuan (al-man’). Menurut syara’, pembekuan adalah pencegahan atas transaksi verbal (qouliy), tetapi tidak atas transaksi fi’liy (perbuatan), artinya transaksi itu tidak pernah terjadi dan tidak berkonsekuensi. Orang gila dibekukan akadnya sekalipun hal itu murni menguntungkan baginya, sebagaimana halnya anak kecil yang belum mumayyiz, karena akal dan tamyiz adalah ukuran agar perkataan menjadi sah dan dianggap. Tanpa kedua hal itu maka mustahil kesahan terjadi meskipun ada izin wali, karena perkataan itu dihukumi batal dan izin wali tidak bisa menjadikan yang batal menjadi sah.(4)


Orang gila terbekukan dengan sendirinya (lidzatihi). Artinya saat gila menjangkit seseorang maka statusnya langsung dibekukan tanpa harus menunggu dia melakukan sesuatu, perkataannya tidak dianggap sejak dia mulai gila. Akan tetapi jika gilanya terputus-putus, dalam artian terkadang dia gila dan terkadang dia sehat, maka transaksi yang dia lakukan ketika sehat sama dengan transaksi orang berakal pada umumnya. 


Undang-undang perdata Iraq juga tidak jauh berbeda dengan ketentuan Fiqh Islam. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa orang gila sama hukumnya dengan anak kecil yang belum mumayyiz, terbekukan dengan sendirinya, dan perbuatan yang dilakukannya saat dia sehat dianggap sah seperti halnya orang yang berakal, jika gilanya tidak terus-menerus.(5)


Sedangkan undang-undang perdata Mesir sedikit berbeda dengan ketentuan dalam Fiqh Islam. Undang-undang tersebut mengatur bahwa orang gila tidak mempunyai ahliyah sebagaimana anak kecil yang belum mumayyiz, akan tetapi dia tidak dibekukan kecuali setelah adanya putusan pengadilan dan pencabutan pembekuannya juga dengan putusan pengadilan. Perbuatan orang gila sah hukumnya sebelum diberlakukannya keputusan pembekuan dari pengadilan, kecuali jika kegilaannya sudah diketahui umum atau orang yang diajak bertransaksi mengetahui kegilaannya. Jika pembekuan dari pengadilan sudah diberlakukan maka perbuatan yang dilakukannya batal secara mutlak, baik hal itu dilakukannya ketika sehat –jika gilanya terputus-putus/kadang gila kadang tidak— atau ketika gila, bahkan ketika dia benar-benar telah sembuh dari gila selama tidak ada putusan pengadilan mengenai pencabutannya.(6)

Bersambung...

________________
(1) Al-Taudlih, Juz. 2 Hal. 168. 
(2) Gila terus-menerus yang tak terbatas waktu berlakau berbeda tergantung ibadahnya. Dalam ibadah puasa Ramadhan misalnya, bisa disebut gila terus-menerus jika berlangsung satu bulan penuh, jika tidak maka tidak bisa dikatan terus-menerus. 
(3) Hal ini berlaku jika gila yang tidak terus-menerus itu baru, jika gilanya asli maka kewajiban ada‘-nya gugur menurut sebagian ulama ushul seperti Abu Yusuf, sedangkan menurut ulama ushul yang lain seperti Imam Ahmad hal itu tidak menggugurkan kewajiban ada‘. Al-Talwih 'ala al-Taudlih, Juz. 2, Hal. 167. 
(4) Syarh Muraqat al-Ushul, Juz. 2 Hal. 439. 
(5) Pasal 94: anak kecil, orang gila, dan orang yang dungu terbebukan dengan sendirinya. Pasal 108: orang gila yang terus-menerus sama hukumnya dengan anak kecil yang belum mumayyiz, jika gilanya tidak terus-menerus, maka perbuatan yang dilakukannya sewaktu sehat sama dengan orang yang berakal. 
(6) Pasal 45 Undang-undang perdata Mesir: orang yang tidak tamyiz karena masih di bawah umur, dungu, atau gila tidak mempunyai hak secara langsung sebagai warga kota. Pasal 113: orang gila, dungu, sering lupa, kurang akal pembekuannya diserahkan kepada pengadilan dan juga pencabutan pembekuannya. 

Pasal 114 – pertama, transaksi yang dilakukan oleh orang gila dan dungu batal apabila transaksi itu dilakukan setelah pemberlakuan putusan pembekuan. 

Kedua, jika transaksi dilakukan sebelum pemberlakuan putusan pembekuan, maka transaksinya tidak batal kecuali pada waktu melakukan akad kegilaannya sudah diketahui umum atau orang yang diajak bertransaksi mengetahui kegilaannya.

No comments:

Post a Comment