Saturday, February 9, 2013

Sakit dan Mati (Penghalang Samawi)



Yang dimaksud sakit di sini bukan gila dan bukan pula pingsan. Sakit tidak bisa menggugurkan ahliyah al-wujub dan ahliyah al-ada’. Orang sakit memiliki ahliyah sempurna dan semua konsekuensinya, dia berhak menerima dan menunaikan hak. Hanya saja sakit bisa mempengaruhi beberapa hukum yang berkaitan dengan masih tetapnya ahliyah sempurna bagi orang yang sakit. Di antaranya: sebagian transaksi yang dilakukannya tidak berlaku/sah. Penjelasan: perpindahan hak milik harta dari pewaris kepada ahli waris terjadi jika pewaris mati, berdasarkan hukum Islam. Kasus lain yang mempunyai ketetapan akibat kematian: keterikatan antara kreditor (pihak yang mempunyai piutang/da’in) dan debitor (pihak yang mempunyai hutang/madin) yang mati dalam hak atas hutang. Jika sakit itu menjadi sebab kematian maka keterikatan hak ahli waris dan kreditor terjadi sejak sakit menjangkit, karena hukum didasarkan pada awal sebab.(1)


Untuk melindungi hak ahli waris dan kreditor, maka ditetapkan pembekuan atas orang sakit sekiranya perlindungan hak itu terealisasi, yakni kira-kira 2/3 harta bagi ahli waris dan semua harta jika hak kreditor mencakup semua harta peninggalan, jika tidak mencakup semua maka hanya sesuai dengan hutang saja.(2)


Ketetapan pembekuan berlaku pada awal dia sakit yang berujung kematian, karena ‘illat pembekuan adalah: sakit yang mematikan. Jika berujung kematian, maka sakitnya mulai dari awal mengharuskan hartanya harus dilindungi. Akan tetapi jika tidak diketahui apakah sakit yang dideritanya berujung pada kematian atau tidak maka tidak ada pembekuan, karena pembekuan tidak boleh berdasarkan keragu-raguan, dengan demikian pembekuan sebelum dia mati tidak ada pengaruhnya. Transaksi orang yang sakit mard al-maut hukumnya sah.(3) Ahli waris dan kreditor tidak memiliki hak protes atas transaksi yang dilakukannya ketika masih hidup. Hak protes ini bisa dilakukan setelah orang itu mati, jika transaksi yang dia lakukan sebelum kematiannya membahayakan hak mereka, seperti dalam kasus hibah dan jual beli yang memihak.(4)


Perkawinan Orang Sakit 

Perkawinan yang dilakukan oleh orang yang sakit mardl al-maut sah menurut jumhur ulama, karena dia memiliki ahliyah. Ada hak saling mewarisi antara suami-isteri, dan menurut sebagian ulama seperti Imam Ahmad dan Madzhab Dhahiriyah, wajib ada mahar musamma (mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam akad). Akan tetapi menurut ulama lain seperti Syafi’i, wajib ada mahar mitsl (mahar yang sepadan dengan ukuran pada umumnya di daerahnya) demi menjaga hak ahli waris dan kreditor, hal ini terjadi apabila mahar musamma lebih dari 1/3 dan tidak diperbolehkan oleh ahli waris dan kreditor. 

Menurut Imam Auza’i: nikahnya sah tapi tidak ada hak saling mewarisi antara suami-isteri. 

Menurut Imam Malik: nikahnya fasid (rusak) dan tidak ada hak saling mewarisi. Akan tetapi sebagian pengikut Madzhab Malikiyah, fasid hukumnya menikahi wanita ahl al-dzimmah (perempuan non muslim yang memiliki perjanjian/perlindungan dari pemerintah Islam), karena khawatir dia masuk Islam dan menjadi salah satu ahli waris sehingga membahayakan ahli waris lainnya. 


Menurut Imam Malik, perempuan yang dinikahi orang sakit itu tidak mendapatkan apa-apa jika bercerai sebelum dukhul (hubungan suami-isteri), jika terjadi setelah dukhul maka perempuan itu mendapatkan mahar mitsl dari sepertiga harta. Argumentasi Imam Malik: dalam pernikahan itu ada kecurigaan bahwa dia bermaksud membahayakan hak ahli waris dengan memasukkan perempuan yang dinikahinya menjadi salah satu ahli waris.(5)


Pendapat yang kami pilih adalah perkawinannya sah, terjadi hak saling mewarisi antara suami-isteri, wajib mahar musamma jika lebih sedikit dari mahar mitsl, jika mahar musamma lebih dari mahar mitsl dan mengusik hak ahli waris dan kreditor maka menunggu keputusan mereka. 


Pendapat yang mengatakan perkawinannya fasid adalah pendapat yang lemah, karena perkawinan adalah kebutuhan naluriah manusia. Tidak ada pembekuan atau larangan atas orang sakit untuk memenuhi kebutuhan naluriahnya, seperti halnya nikah dengan mahar mitsl. Apabila diketahui bahwa tujuannya menikah adalah untuk membahayakan ahli waris, maka pendapat yang paling sesuai adalah tidak ada hak saling mewarisi antara suami-isteri sebagai penolak atas niat buruknya. 


Talak Orang Sakit 

Apabila orang yang sakit maradl al-maut menjatuhkan talak pada isterinya yang sudah di-dukhul dengan talak ba’in (talak tiga) dan isterinya tidak rela, maka menurut ulama fiqh talaknya tetap jatuh, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai kewarisannya. 


Jumhur ulama: dia tetap menerima waris, sebagai penolak atas maksud buruk suami yang ingin menghilangkan hak waris dengan menceraikannya. 


Menurut Imam Syafi’i dan ahl al-dhahir (ulama yang memandang masalah lahiriyah tanpa memandang masalah hati/batiniyah): tidak menerima waris, karena talak ba’in menggugurkan hak waris, maksud hati tidak bisa dijadikan alas an, karena hukum dibangun berdasarkan yang tampak, masalah yang tidak tampak adalah urusan Allah. 


Jumhur memang berpendapat bahwa isteri yang ditalak ba’in menerima waris, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas waktu ketetapan hak waris isteri. Menurut Hanafiyah, hak waris itu ada selama dalam masa iddah-nya. Menurut Hanabilah, hak waris tetap ada sekalipun masa ‘iddah sudah lewat, selama dia (isteri yang dicerai) tidak menikah lagi. Menurut Imam Malik, hak waris tetap ada sekalipun masa ‘iddah sudah lewat dan dia sudah menikah lagi. Sedangan menurut Ja’fariyah, hak warisnya berlaku selama satu tahun sejak diceraikan, selama dia tidak menikah lagi. 


Jika talak ba’in terjadi sebelum dukhul maka menurut Imam Malik dia tetap mempunyai hak waris, sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah tidak, Ja’fariyah memilih sama dengan Hanabilah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Thusi dalam Kitabnya Al-Khilaf.(6)


Talak Orang Sakit dalam Undang-Undang Perdata Iraq 

Undang-undang No. 188 Tahun 1959 tentang Hukum Keluarga Iraq menetapkan bahwa perempuan yang ditalak suaminya yang sedang sakit mardl al-maut tetap menerima waris. Undang-undang ini memberikan hukum yang tidak biasa, yakni talaknya orang yang sakit mardl al-maut tidak jatuh.(7) Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan yang selama ini dikenal dalam fiqh Islam bahwa talaknya jatuh selama talak itu diucapkannya sendiri, perempuan bisa dijatuhi talak, dan kepantasan (ahliyah) menjatuhkan talak tidak dibedakan menurut sehat atau sakitnya. Tidak ada seorang fuqaha’ pun yang mengatakan talaknya tidak jatuh, mereka hanya berbeda pendapat mengenai hak waris isteri yang ditalak suaminya yang sakit mardl al-maut dengan talak ba’in sebagaimana yang kami jelaskan dan ringkaskan dalam masalah ini. 


Sedangkan Undang-undang Mesir menetapkan bahwa isteri yang ditalak ba’in oleh suaminya yang sakit mardl al-maut sama hukumnya dengan isteri yang ditalak tanpa kerelaan. Jika berujung pada kematian, maka isterinya memiliki hak waris selama dia dalam masa iddah.(8) Undang-undang ini sama dengan pendapat Hanafiyah. 



Keenam: Mati 

Mati adalah penghalang samawi yang terakhir. Dengan datangnya kematian, semua kemampuan seseorang hilang sehingga ahliyah al-ada’-nya juga hilang. Semua taklif syara’ padanya gugur, karena tujuan taklif adalah ada’, sedangkan ada’ adalah dengan kemampuan yang dimiliki, dengan kematian seseorang tidak mempunyai kemampuan lagi. 


Oleh karena itu, sebagian ulama seperti Hanafiyah berpendapat: dalam hukum duniawi, zakat orang yang mati gugur. Zakatnya tidak wajib dibayarkan dari harta waris jika dia belum membayarnya pada masa hidupnya. Karena tujuan hak Allah adalah perbuatan mukallaf, sedangkan perbuatan itu gugur dengan kematiannya. 


Menurut ulama lain seperti Syafi’i : zakat tidak gugur akibat kematian. Karena tujuan zakat adalah harta, bukan perbuatan mukallaf. Membayar zakat dari harta waris juga memungkinkan, jadi ada’ tetap wajib. 


Mengenai ahliyah al-wujub, seperti yang sudah kami jelaskan, ketetapannya adalah berdasarkan dzimmah. Fuqaha’ sepakat bahwa dzimmah rusak akibat kematian. Mengenai apakah dzimmah seseorang langsung rusak sesaat setelah dia mati, fuqaha’ berbeda pendapat: 

Pendapat pertama: dzimmah langsung rusak sesaat setelah kematian. Karena asas dzimmah adalah melekatnya nyawa, maka setelah nyawanya hilang dengan kematian maka dzimmah-nya juga hilang, begitupula ahliyah al-wujub-nya, baik ahliyah yang sempurna ata yang tidak sempurna. 


Mengenai hutangnya, jika dia tidak meninggalkan harta maka hutangnya gugur, akan tetapi jika dia meninggalkan harta maka hutangnya tidak gugur karena masih mengikatnya, oleh karena itu hutangnya wajib dibayarkan, ini adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah. 


Pendapat kedua: dzimmah tidak rusak, tapi hanya melemah atau berkurang saja. Karena dzimmah-nya melemah maka secara keseluruhan dia masih memiliki ahliyah al-wujub. Akan tetapi dzimmah yang melemah akibat kematian ini tidak mampu menanggung hutang yang harus ditunaikan kecuali ada sesuatu yang menguatkannya, yakni harta peninggalan si mati atau orang yang menanggung hutang (kafil) si mati saat dia hidup. Tanpa adanya penguat maka kewajiban membayar hutang menjadi hilang. 


Konsekuensi pendapat ini adalah: orang yang mati dalam keadaan bangkrut tidak boleh ditanggung hutangnya (kafalah). Dalam masalah ini, gugurnya kewajiban hutang ditunjukkan dengan tidak adanya tuntutan pembayaran. Dengan ini, hutang didefinisikan sebagai hal yang bersifat syar’i yang jejaknya ditandai dengan adanya tuntutan. Tuntutan gugur akibat kematian sehingga hutang juga ikut gugur. 


Kafalah adalah masalah lain, tidak sah dilakukan pada orang mati yang bangkrut. Karena kafalah disyariatkan untuk mempertanggungjawaban tuntutan atas si mati, bukan mengambil alih hutang, hal ini ditunjukkan dengan tidak hilangnya hutang atas si mati setelah kafalah. Oleh karena tuntutan hutang atas si mati gugur akibat kematian, maka pertanggungjawaban tuntutan tidak sah, dengan demikian tidak mungkin makna kafalah yang merupakan istilah untuk penanggungan dzimmah diterapkan pada dzimmah dalam penuntutan, sehingga kafalah tidak dibolehkan. 


Apabila hutang si mati belum dibayarkan sedangkan harta peninggalannya tidak ada maka dzimmah-nya rusak dan luntur, karena dzimmah ada untuk kepentingan membayar hak dan likuidasi harta peninggalan. Kepentingan pembayaran dihitung sesuai kadarnya. Jika kepentingan pembayaran sudah hilang maka dzimmah harus dianggap hilang seluruhnya. 


Pendapat ketiga: dzimmah-nya si mati masih tetap, tidak hilang. Hutang tetap mengikatnya dan wajib dibayarkan dari harta peninggalannya. 


Konsekuensi pendapat ini adalah: orang yang mati dalam keadaan bangkrut boleh ditanggung (kafalah) hutangnya. Hutang tidak gugur sekalipun tidak ada seorang pun yang maju sebagai penanggung hutangnya. Argumentasinya : sedekah/derma untuk orang mati dengan membayarkan hutangnya adalah sah. Hak pembayaran hutang kepada kreditor menjadi milik penderma. Kedudukan hak ini lebih tinggi daripada hak penuntutan yang menandakan tetapnya hutang. Selain itu, sah menanggung hutang orang bangkrut yang masih hidup yang tidak bisa membayar hutangnya, oleh karena itu sah pula menanggung hutang orang bangkrut yang sudah mati. Hal ini dikuatkan oleh Nabi SAW yang membolehkan kafalah hutang seseorang yang sudah mati. 


Jika hutang si mati normal sedangkan harta peninggalannya tidak ada, maka dzimmah-nya rusak dan ahliyah al-wujub-nya tidak bisa diotak-atik lagi. 


____________________
(1) Syarh al-Manar, Hal. 691-692. 
(2) Syarh al-Manar, Hal. 692. Syarh Muraqat al-wushul, Juz. 2 Hal. 446. Orang sakit tidak dibekukan atas hartanya jika itu menyangkut kebutuhan dlaruriyah dan hajiyah-nya, seperti nafkah kesehariannya dan obat penyakitnya. 
(3) Mardl al-maut: adalah sakit yang menyebabkan seseorang tidak mampu melaksanakan urusannya di luar rumah, dna biasanya berujung pada kematian. 
(4) Syarh Murawat al-Wushul, Juz. 2 Hal. 446-447, dan Al-Talwih ‘ala al-Taudlih, Juz. 2 Hal. 17. 
(5) Al-Um, Imam Syafi’i, Juz. 3, Hal. 31-32. Al-Mughni, Ibn Qudamah, Juz. 1 Hal. 326. Al-Mudawwanah al-Kubro, Imam Malik, Juz 1, Hal. 133, dan Al-Mahalli, Juz 1, Hal. 25-26. 
(6) Al-Khilaf, Al-Thusi, Juz. 2, Hal. 456. Al-Um, Al-Syafi’i, Juz. 5, Hal. 329-332. Al-Hidayah dan Fath al-Qadir, Juz. 3, Hal. 150-153. Al-Mughni, Juz. 3, Hal. 329-332. Al-Qawa’id, Ibn Rahb, Hal. 230. Al-Mudawwanah al-Kubra, Juz. 2, Hal. 132. 
(7) Pasal 35: talaknya orang-orang yang telah terbukti…sakit mardl al-maut…jika berujung pada kematian dan isterinya berhak menerima waris. 
(8) Pasal 11 dalam Undang-undang Mesir No. 77 Tahun 1943 tentang Mawaris menganggap isteri yang ditalak ba’in oleh suaminya yang sakit mardl al-maut sama hukumnya dengan isteri yang dicerai tanpa kerelaannya, kemudian yang menjatuhkan talak mati dan dia dalam masa iddah.

No comments:

Post a Comment