Friday, August 31, 2012

Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa(UU No. 30/1999), ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku lagi.
UU No. 30/1999 berusaha mengatur semua aspek baik hukum acara maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan internasional.

Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat sejak diundangkannya UU No. 30/1999. Perkembangan ini sejalan dengan arah globalisasi, di mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain karakteristik dari arbitrase yang cepat, efisien dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya lebih cepat. Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding), selain sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal balik putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri.

Akan tetapi seiring perkembangannya, penyelenggaraan arbitrase di Indonesia tidak terlepas dari permasalahan, baik dalam skala nasional ataupun internasional. Dalam skala internasional, masalah utama yang sering dipersoalkan adalah mengenai eksekusi putusan arbitrase asing (internasional) di Indonesia. Pengadilan Indonesia seringkali “dicap” enggan untuk melaksanakan atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dengan alasan bahwa putusan yang bersangkutan bertentangan dengan ketertiban umum (public policy).

Sedangkan dalam ruang lingkup nasional, permasalahan yang kerap muncul adalah komplain atas kemampuan arbiter dalam menjalankan praktek arbitrase oleh para pihak yang bersengketa. Kurangnya keterampilan dan pengetahuan dari seorang arbiter dapat berakibat pada penundaan atau bahkan tidak dilaksanakannya putusan arbitrase. Terkait kondisi tersebut, maka arbitrase yang merupakansalah satualternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah memberikan kemudahan dan keuntungan bagi para pihak.


No comments:

Post a Comment