Friday, August 31, 2012

Regulasi Khusus Terkait Ongkos Politik

Ongkos Politik Selain Uang
ONGKOS-POLITIK.jpg
Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR menempatkan legislatif paling korup di antara lembaga lain. Hal itu diutarakan oleh Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko di sebuah seminar di Jakarta, Jumat (31/8). Menurutnya, dari tahun 2003 hingga 2010, partai politik dan parlemen mendominasi sebagai lembaga yang paling korup di antara lembaga lain.


Data ini dikutip Danang dari rilis yang dikeluarkan www.transparency.org. Ia mengatakan, ongkos politik yang besar menuntut anggota parlemen untuk mencari uang lebih banyak saat terpilih menjadi anggota legislatif. “Tetap, ujungnya duit-duit juga,” katanya.


Padahal, lanjut Danang, terdapat modal lain selain modal finansial yang bisa ditekan dalam pemilu, seperti modal sosial. Modal sosial yang dimaksud adalah memperkuat jaringan sebelum maupun saat pemilihan berlangsung. Biasanya, jaringan ini melekat pada sosok seseorang yang dikenal sebagai tokoh masyarakat.


Selain itu, modal simbolik juga dibutuhkan bagi calon anggota parlemen. Yang dimaksud modal simbolik adalah gelar para calon. Maka itu, tak jarang calon anggota legislatif berlomba-lomba memperoleh gelar honoris causa. Terakhir, modal kultural yang harus dimiliki para calon bahwa perbuatan korupsi larangan.


Hal senada juga diutarakan Peneliti Senior Habibie Center, Sumarno. Menurutnya, tindakan korupsi yang dilakukan anggota legislatif menjadikan fungsi budgeting, legislasi dan pengawasan berjalan tak maksimal. Selain itu, ongkos politik yang besar untuk menjadi anggota legislatif membuat calon terpilih harus berfikir keras dan menghalalkan segala cara agar ongkos keluar dapat kembali.


Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini mencontohkan, bahwa seorang calon anggota legislatif yang diusung dari sebuah partai harus memberikan uang ke elit partai agar memperoleh nomor urut teratas. Selain uang yang keluar untuk elit partai, calon legislatif tersebut juga harus mengeluarkan uang untuk ongkos politik, seperti spanduk dan pembayaran tim sukses.


Menurut dia, persoalan ongkos politik ini tak hanya berlaku bagi calon yang diusung partai. Calon dari jalur independen pun memiliki persoalan yang sama, namun lebih bersifat teknis saat pemilu. Untuk jalan keluarnya, ia setuju apabila ada regulasi khusus mengenai ongkos politik. “Perlu ada regulasi khusus mengenai hal ini,” kata Sumarno.


Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin setuju apabila persoalan ongkos politik ini diregulasikan. Namun sebelumnya, harus ada pembicaraan serius mengenai hal ini dengan KPU selaku lembaga yang concern di bidang pemilu. “Saya setuju ongkos politik ini diregulasikan, tapi harus ada pembicaraan dengan KPU,” ujarnya.


Selain pembenahan di regulasi, lanjut Didi, perlu ada reformasi kultural yang bersifat sistemis agar pencegahan korupsi berjalan efektif. Salah satunya adalah leadership. Yakni, orang-orang yang berada di posisi strategis harus memiliki integritas kokoh dan memiliki kemauan politik, keberanian untuk mendorong ke arah yang lebih baik. “Tiap pos yang ditempati harus ditentukan berdasarkan ukuran profesional dan memiliki kinerja yang bagus.”


Sejalan dengan itu, pengawasan internal dan eksternal termasuk dari DPR, kalangan lembaga swadaya masyarakat juga harus berjalan efektif. Seiring dengan itu juga harus terdapat sanksi tegas dan konkrit apabila terjadi perbuatan korupsi. Terakhir, dalam bekerja harus disertai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dan transparan.


Mantan Menteri Ekonomi Jerman, Michael Glos mengatakan, tiap anggota parlemen Jerman membekali dirinya dengan kejujuran saat menjalankan tiap tugasnya. Makanya, tiap keputusan atau kebijakan keluar dari parlemen dilandasi dari kejujuran. “Keputusan parlemen tidak bisa dipengaruhi oleh uang atau penyuapan,” kata Michael yang menjadi keynote speech dalam acara ini.


Menurut Michael yang pernah menjabat sebagai anggota parlemen Jerman ini, banyak aturan hukum di negaranya yang mengatur pencegahan korupsi. Seperti aturan bahwa tiap wakil parlemen Jerman harus mencegah korupsi dari aktivitas-aktivitas sampingan. Bukan hanya itu, dalam hukum pidana Jerman, juga terdapat UU pidana khusus tentang korupsi terhadap anggota parlemen.


Aturan ini, lanjut Michael, khususnya mengenai transparansi asal dana partai, bagaimana penggunaannya dan untuk siapa dipergunakan diatur secara rinci. Maka itu, dengan adanya aturan ini seluruh kebijakan yang dikeluarkan parlemen Jerman ditujukan untuk kesejahteraan masyarakatnya sendiri.




No comments:

Post a Comment