Friday, August 31, 2012

UU Pengadaan Tanah Berorientasi Penggusuran

UU Pengadaan Tanah Menelantarkan Masyarakat, Memihak Kepentingan Bisnis
Demo Tolak RUU Pengadaan Tanah
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum dinilai mengusung semangat penggusuran. Alasannya, undang-undang ini bertolak belakang dengan semangat pembangunan yang berkeadilan bagi masyarakat sebagaimana diamanatkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

“UU Pengadaan Tanah ini lemah karena bertolak belakang dengan semangat UUPA, hanya ada semangat menggusur. UU ini juga berpotensi bersifat diskriminatif bagi masyarakat,” kata Peneliti Agraria dari Agraria Resources Center, Dianto Bachriadi saat menjadi ahli dari pemohon dalam sidang pleno lanjutan di gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (30/8).

Keterlibatan pihak swasta ini, kata Dianto, selalu berujung pada orientasi mencari keuntungan. Dengan orientasi ini, kepentingan masyarakat secara sosial terdiskriminasi akibat investasi yang ditanamkan pihak swasta hanya sekadar memenuhi kepentingan korporasi. “Padahal UU Pengadaan Tanah ini tidak dijelaskan dengan tegas ada tidaknya keterlibatan pihak swasta,” katanya.

Menurutnya, UU No. 2 Tahun 2012 juga berpotensi menimbulkan persoalan hukum baru terutama terkait perampasan tanah berskala besar kepada masyarakat yang menimbulkan konflik agraria. “Dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengadaan tanah, warga ditempatkan dalam posisi tidak terhormat karena berpotensi hanya selalu kebagian dampak dari pengadaan tanah itu,” ujarnya.

Selain itu, ia menilai UU Pengadaan Tanah juga berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Ia menyebutkan, hanya sekitar 30 persen persil tanah yang dimiliki warga berstatus sertifikat, sisanya tidak. “Meski diganti rugi, tetapi justru mendapat kerugian karena tanah tidak bersertifikat nilai ganti ruginya kecil,” bebernya.

Sementara salah satu saksi yang juga dihadirkan pemohon, Lazarus, merasa pemberlakuan UU Pengadaan Tanah berdampak menelantarkan masyarakat. Sebab, banyak masyarakat yang menjadi korban penggusuran sehingga tidak memiliki tempat tinggal dan kehilangan lapangan pekerjaan. “Sampai saat ini banyak anak dari keluarga yang digusur itu yang menjadi pengamen,” kata Ketua Forum Masyarakat Nelayan Jakarta Utara ini.

Ia mengungkapkan sebanyak 62 Kepala Keluarga (KK) menjadi korban gusuran atas pembangunan jalan tol di Pantai Karnaval Ancol pada tahun 2010. Akibat dari penggusuran ini, kata Lazarus, banyak kepala keluarga yang kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan.

Lazarus menilai, keberadaan Undang-Undang Pengadaan Tanah ini nyatanya merugikan masyarakat. Selain tidak ada sosialisasi dari pemerintah, ganti rugi yang didapat seringkali tidak sebanding. “Setiap KK hanya mendapat ganti rugi Rp1 juta per KK,” ujar Lazarus.

Pengujian sejumlah pasal dalam UU Pengadaan Tanah ini dimohonkan oleh Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang beranggotakan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi, Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA), Perserikatan Solidaritas Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia for Global Justice, dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI).

Mereka meminta MK membatalkan Pasal 2 huruf g, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 14, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 40, dan Pasal 42 UU Pengadaan Tanah karena bertentangan dengan UUD 1945. Kedelapan pasal itu dinilai melegalkan perampasan tanah dengan dalih kepentingan umum. Faktanya, lebih berorientasi pada kepentingan bisnis seperti membangun usaha perkebunan, pertambangan, cagar alam, pariwisata, jalan tol, dan pelabuhan yang bukan ditujukan untuk kemakmuran rakyat.

Menurut pemohon pembangunan jenis usaha itu tidak tepat dikategorikan sebagai kepentingan umum karena UU Pengadaan Tanah tidak ditemukan definisi kepentingan umum dan kepentingan pembangunan. Padahal, Pasal 9 UU tersebut menyebutkan pengadaan tanah harus memperhatikan atau menyeimbangkan kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat atau umum.


No comments:

Post a Comment