Sunday, March 25, 2012

‘AZIMAH DAN RUKHSHOH - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (10 Habis)


‘Azimah dan rukhshoh termasuk dalam pembagian hukum taklifi. Hal ini karena ‘azimah adalah sebutan bagi perbuatan yang dituntut atau dibolehkan oleh syari’ secara umum dan rukhshoh adalah sebutan bagi perbuatan yang dibolehkan oleh syari’ di saat mendesak sebagai keringanan bagi mukallaf dan agar dia tidak merasa berat. Sedangkan tuntutan dan pembolehan adalah bagian dari hukum taklifi.


Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘azimah dan rukhshoh termasuk dalam pembagian hukum wadl’i. Karena ‘azimah pada dasarnya adalah syari’ membuat kondisi biasa para mukallaf sebagai sebab bagi eksistensi dan konsistensi hukum asal. Sedangkan rukhshah pada dasarnya adalah syari’ membuat keadaan yang baru muncul di luar kebiasaan sebagai sebab adanya dispensasi bagi mukallaf, dan sabab adalah bagian dari hukum wadl’i.


Tetapi yang lebih kuat dan yang kami ambil adalah pendapat ulama golongan pertama; yakni ‘azimah dan rukhshah adalah bagian dari hukum taklifi.


Secara etimologi, ‘azimah adalah: keinginan yang kuat. Termasuk dalam arti ini adalah firman Allah, “…maka ia (Adam) lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya keinginan yang kuat.” (Thaha: 115). Maksudnya: Nabi Adam tidak berkeinginan kuat melupakan perintah Tuhannya.


Sedangkan secara terminologi adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.


Sebagian ulama memberikan definisi bahwa ‘azimah adalah istilah untuk menyebut hukum asal yang tidak berhubungan dengan hal-hal yang datang kemudian.[1] Maksudnya adalah: ‘azimah mencakup hukum-hukum syariah yang berlaku bagi mukallaf pada umumnya, terlepas dari hubungannya dengan halangan-halangan yang baru muncul kemudian. ‘azimah adalah hukum-hukum asal yang disyariatkan pertama kali sebagai hukum umum bagi mukallaf dalam kondisi biasa, bukan dalam kondisi darurat atau berhalangan seperti dalam perkara shalat (qashar) dan ibadah lainnya. Bentuk ‘azimah ini terbagi dalam beberapa macam hukum taklifi; dalam wujub, nadb, karahah, dan ibahah, dan menurut para ahli hukum, ‘azimah tidak mencakup perkara tersebut kecuali jika ada rukhshah.


Rukhshah secara etimologi adalah kemudahan dan keringanan. Sedangkan secara terminologi adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.


Sebagian ulama memberikan definisi: “rukhshah adalah kelonggaran bagi mukallaf dalam melaksanakan pekerjaannya karena uzdur (berhalangan) atau tidak mampu dengan disertai sebab-sebab yang membolehkan.”[2] Atau, “Rukhshah adalah perbuatan yang disyariatkan Allah karena udzur yang membolehkan, andaikan udzur itu tidak ada maka hukum tetap tidak membolehkan.[3]


Maksudnya adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, yakni rukhshah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah bagi mukallaf yang didasarkan pada udzur-udzur tertentu. Andaikan udzur-udzur itu tidak ada maka hukum tetap sebagaimana asalnya. Rukhshah adalah pengecualian dari hukum asal yang umum, dan sebab pengecualian itu didasarkan pada dlarurah dan udzur sebagai solusi atas kesulitan yang dialami mukallaf. Pada umumnya, rukhshah dapat mengubah status hukum asal dari sebuah keharusan menjadi sebuah kebolehan, dan terkadang menjadi sunah atau wajib.


Macam-macam Rukhshah

Pertama, membolehkan sesuatu yang diharamkan karena darurat. Seperti dibolehkannya mengucapkan kata-kata kufur saat dipaksa mengucapkannya dengan ancaman bunuh, namun hatinya tetap beriman. Allah berfirman, “Kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tenang dengan iman.” (An-Nahl: 106). Contoh lain: dibolehkannya makan bangkai dan minum minuman keras dikarenakan kondisi darurat untuk mempertahankan hidup. Syari’ membolehkan makan bangkai dalam kondisi benar-benar kelaparan dan ditakutkan akan menyebabkan kematian, juga minum minuman keras dalam keadaan benar-benar dingin dan ditakutkan menyebabkan kematian. Juga seperti dibolehkannya merusak harta orang lain dalam keadaan dipaksa di bawah ancaman bunuh atau penghilangan anggota badan.


Kedua, membolehkan meninggalkan perkara wajib. Seperti dibolehkannya tidak berpuasa ramadhan bagi musafir dan orang sakit sebagai solusi atas kesulitan yang mereka alami. Juga seperti dibolehkannya meninggalkan amar bil ma’ruf wa nahy ‘anil munkar dalam wilayah yang penguasanya dhalim dan akan membunuh siapapun yang menyerunya.


Ketiga, membolehkan beberapa akad yang dibutuhkan oleh manusia, yang dalam kaidah umum tidak ada. Seperti jual beli model salam. Syari’ membolehkan akad salam yang termasuk dalam jual beli ma’dum (jual beli yang barangnya tidak ada di hadapan penjual-pembeli ketika akad). Sekalipun jual beli ma’dum adalah jual beli yang batal, tetapi syari’ membolehkan akad salam sebagi pengecualian dari kaidah umum dalam jual beli, sebagai keringanan dan kemudahan bagi mukallaf. Juga seperti akad istishna’. Syari’ membolehkannya untuk kebutuhan manusia sekalipun akad istishna’ termasuk dalam jual beli ma’dum, karena jika dilarang maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan.


Hukum Rukhshah

Hukum asal rukhshah: ibahah (membolehkan), yakni mengubah hukum asal dari ‘harus’ menjadi ‘boleh memilih’ antara mengerjakan atau meninggalkan. Karena dasar pijakan rukhshah adalah udzur dan untuk menghilangkan kesulitan mukallaf. Tujuan tersebut hanya akan tercapai jika perbuatan yang dilarang dibolehkan untuk dikerjakan dan perbuatan yang diperintahkan dibolehkan untuk ditinggalkan. Contohnya adalah bolehnya tidak berpuasa ramadhan bagi musafir dan orang sakit, keduanya boleh meninggalkan kewajiban puasa ramadhan dengan mengamalkan rukhshah, atau tetap melaksanakan puasa dengan mengamalkan ‘azimah jika hal tersebut tidak membahayakan. Inilah yang disebut dengan rukhshah tarfiyah (dispensasi untuk meringankan) menurut istilah ulama Hanafiyah. Karena hukum asal tetap ada dan bisa berlaku, hanya saja mukallaf boleh mengambil rukhshah sebagai keringanan dan kemudahan.


Terkadang mengamalkan ‘azimah lebih utama daripada mengamalkan rukhshah, hal ini seperti terlihat dalam kasus bolehnya mengucapkan kata-kata kufur secara lisan tetapi tidak dalam hati ketika dipaksa mengucapkannya di bawah ancaman bunuh atau penghilangan anggota badan, akan tetapi yang lebih utama adalah mengamalkan ‘azimah. Karena hal itu menunjukkan kesungguhan dalam beragama, keteguhan memegang kebenaran, menghinakan orang-orang kafir dan melemahkan jiwa mereka serta menguatkan apa arti menjadi seorang mukmin. Hal ini seperti terlihat dalam peristiwa kelompok Musailamah al-Kadzab yang menculik dua orang sahabat, mereka membawanya, lalu Musailamah bertanya kepada salah satu dari keduanya, “Menurutmu, siapa Muhammad?”, dia menjawab, “Dia Rasulullah”, “Bagaimana denganku?”, “Engkau juga Rasulullah.” Musailamah membiarkannya dan tidak menyakitinya. Lalu dia bertanya kepada yang satunya lagi dengan pertanyaan yang sama, dia kemudian menjawab, “Dia Rasulullah.” “Bagaimana denganku?”, “Saya tidak tahu.” Musailamah mengulangi pertanyaan yang sama sampai tiga kali, tetapi dia tetap menjawab tidak tahu, Musalimah lalu membunuhnya. Ketika kabar tersebut sampai pada Rasulullah, beliau berkata, “Sahabat yang pertama, dia telah mengambil rukhshah yang telah diberikan Allah kepadanya, sedangkan yang kedua, dia telah memegang teguh kebenaran dan dia akan mendapat kenikmatan.”


Ammar bin Yasir juga pernah mengatakan kalimat kufur, mengatakan berpaling dari Rasulullah SAW dan memuji tuhan-tuhan kaum musyrikin saat diancam siksa yang berat. Maka ketika Ammar memberitahu apa yang terjadi padanya kepada Rasulullah, beliau lalu bertanya pada Ammar, “Bagimana dengan hatimu?”, “Hatiku tetap memegang teguh keimanan.” Lalu Rasulullah menanggapi, “Jika mereka berbuat demikian lagi, maka katakanlah hal yang sama.”


Hadits tersebut menunjukkan bolehnya mengucapkan kata-kata kufur dalam keadaan darurat atau dipaksa, sedangkan hadits yang pertama menunjukkan bahwa mengamalkan ‘azimah adalah lebih utama.


Juga seperti mengamalkan ‘azimah dalam menjalanakan amr bil ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar sekalipun dapat membuatnya terbunuh, hal tersebut lebih utama berdasarkan pada hadits Nabi SAW, “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib serta orang yang terbunuh karena berkata benar di hadapan pemimpin lalim.”


Maka beramar makruf dan nahi munkar pada pemimpin dhalim yang berpotensi menggunakan kekerasan adalah lebih utama daripada membiarkannya, karena Nabi SAW memosisikan hal tersebut sebagai bukti tingginya derajat ke-syahid-an Hamzah bin Abdul Muthalib yang.


Yang menjadi perhatian di sini adalah bahwa meninggalkan amar makruf dan nahi munkar di saat keadaan darurat --seperti kepada pemimpin dhalim yang akan membunuh setiap orang yang beramar makruf dan nahi munkar kepadanya-- adalah rukhshah, tetapi melaksanakan ‘azimah adalah lebih utama. Hanya saja hukum ini berlaku parsial, tidak universal. Artinya, hukum ini khusus berlaku untuk sebagian umat saja, tidak seluruhnya. Tidak boleh semua umat melakukan amar makruf dan nahi munkar kepada pemimpin tersebut karena dikhawatirkan kelalimannya. Karena melaksanakan amar makruf dan nahi munkar adalah fardhu kifayah, maka sebagian umat wajib melaksanakannya, sekalipun hal tersebut dapat mengantarkan pada kematian. Hukum jihad adalah fardhu kifayah, sebagian umat harus menegakkannya sekalipun dapat menyebabkan kehilangan anggota badan dan kematian. Dalam hal ini, amar makruf dan nahi munkar merupakan satu dari bermacam bentuk jihad, maka umat tidak boleh meninggalkannya sama sekali, sekalipun resikonya adalah terbunuhnya sebagian umat.


Terkadang melaksanakan rukhshah adalah wajib. Seperti makan bangkai di saat darurat, jika dia tidak makan bangkai tersebut maka dia akan mati karena kelaparan. Jika demikian, maka dia berdosa karena menyebabkan kematian dirinya. Allah SWT berfirman, “…dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri…” (An-Nisa: 29), “Dan janganlah kamu (Al-Baqarah: 195).

Alasannya adalah: bangkai dan semacamnya adalah haram seperti halnya minuman keras, sebab keharamannya adalah karena dapat merusak jiwa dan akal. Akan tetapi jika hal itu menjadi jalan bagi terselamatkannya jiwa dan dapat menjauhkannya dari kematian maka memakan bangkai adalah wajib, karena menghilangkan jiwa bukanlah hak seorang manusia, tetapi merupakan hak penciptanya: Allah SWT yang telah menitipkannya di dalam diri manusia. Seorang yang dititipi tidak berhak mentransaksikan barang yang dititipkan kecuali atas seizin pemiliknya. Hal ini termasuk rukhshah yang wajib dilaksanakan. Ulama Hanafiyah menamakan hal tersebut dengan rukhshah isqath (dispensasi yang menggugurkan), karena dalam hal ini, hukum asal gugur dan hanya menyisakan satu hukum, yakni melaksanakan rukhshah. 


________________________________

[1] At-Talwih, Juz. 2, hal. 127.

[2] Al-Mustasyfa, Juz. 1 hal. 98, Al-Amidi, Juz. 1, hal. 188.

[3] At-Talwih, Juz. 2 hal. 127, Al-Amidi Juz. 1 hal. 188.

No comments:

Post a Comment