Sunday, March 25, 2012

MANDUB - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (6 Habis)


Nadb: ajakan pada sesuatu yang penting. Mandub: orang yang diajak. Seperti dalam sebuah syair:


“Saat dia mengajaknya menemui wanita-wanita pengganti, mereka tidak bertanya lagi pada saudaranya itu, itu adalah bukti bahwa perkataannya benar.”


Menurut istilah, mandub adalah: perbuatan yang dituntut oleh syari’ untuk dikerjakan, tanpa paksaan dan bukan merupakan keharusan, yang melaksanakan mendapat pujian dan pahala dan yang meninggalkan tidak dicela dan tidak disiksa[1], tetapi dalam beberapa perkara mandub, mukallaf mendapat kerugian dan celaan.


Yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan dihukumi mandub adalah bentuk kata thalab (amar), jika terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa kata thalab itu tidak menunjukkan wajib, tetapi menunjukkan anjuran/ajakan, baik indikasinya berada di dalam atau di luar nash.


Ayat, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu tertentu, maka tulislah…” (Al Baqarah: 282), sekalipun di dalamnya terdapat kata thalab, tetapi tidak menunjukkan wajib, berdasarkan indikasi dalam ayat setelahnya, yakni “Tetapi jika kamu mempercayakan pada yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)” (Al Baqarah: 283). Nash ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk mencatat hutang adalah anjuran, bukan keharusan. Nash ini termasuk dalam kategori irsyad (bimbingan) pada manusia agar mereka dapat melidungi haknya dari kesia-kesiaan. Jika mereka tidak melaksanakan bimbingan itu, maka kemungkinan mereka akan terjerumus dalam kesia-siaan.


Ayat, “Maka buatlah perjanjian dengan mereka (budak-budakmu), jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka…” (An Nur: 33) tidak menunjukkan wajibnya mengadakan perjanjian, berdasarkan indikasi berupa kaidah, “Inna al malik hurrun fi at tasharruf fi mulkihi” (Pemilik bebas melakukan transaksi terhadap barang miliknya).


Hadits Nabi SAW, “Hai para pemuda, siapa di antara kamu yang mampu menikah (al ba’ah), menikahlah!”[2], tidak menunjukkan wajibnya menikah bagi mukallaf, karena ada indikasi berupa riwayat mutawatir dari Nabi SAW bahwa menikah tidak wajib bagi mukallaf, sekalipun dia memiliki kemampuan.


Mandub juga disebut dengan sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadhilah. Semua kata itu bersinonim arti dengan mandub, yakni anjuran untuk mengerjakan sesuatu.[3]


Mandub mempunyai beberapa tingkatan:


Tingkatan yang paling tinggi adalah perbuatan yang ditekuni oleh Nabi dan jarang sekali beliau tinggalkan, seperti shalat dua raka’at sebelum shalat subuh dan menikah bagi mukallaf yang mampu dalam kesederhanaan. Perbuatan ini disebut dengan sunnah mu’akkad, yang meninggalkan dicela tetapi tidak berdosa. Termasuk dalam sunnah mu’akkad adalah adzan yang merupakan syi’ar Islam yang berhubungan dengan kemaslahatan agama secara umum, oleh karena itu tidak boleh menganggap remeh adzan, jika dalam sebuah desa tidak ada yang adzan maka mereka harus dipaksa melakukannya.


Tingkatan di bawahnya adalah sunnah ghairu mu’akkad, yakni perbuatan yang tidak selalu dilaksanakan oleh Nabi SAW seperti shalat empat raka’at sebelum dhuhur dan shadaqah tathawwu’ bagi yang mampu di saat tidak ada orang yang bershadaqah dan dalam keadaan mendesak dan sangat membutuhkan.


Tingkatan di bawahnya lagi adalah fadhilah, disebut juga dengan adab atau sunah zawaid, contohnya: mengikuti sifat dan kebiasaan Nabi SAW sebagai manusia biasa seperti tata cara makan, minum, dan tidur. Mengikuti Nabi SAW seperti dalam hal-hal tersebut adalah mustahab dan menunjukkan hubungannya dengan Nabi, sedangkan yang meninggalkan tidak mendapat celaan atau kerugian karena hal-hal itu bukanlah perkara agama dan peribadatan, hanya kebiasaan.


Dua hal yang perlu diperhatikan:

Pertama, secara keseluruhan mandub adalah muqaddimah wajib (permulaan wajib). Karena dengan mengerjakan perbuatan mandub/sunnah, mukallaf dapat ingat dan mudah mengerjakan perbuatan wajib dan jika mukallaf dapat selalu menjalankan mandub maka dia dapat dengan mudah menetapi perbuatan wajib. Dalam hal ini, Imam Syathibi mengatakan, “Jika dilihat secara menyeluruh, mandub dapat menjadi pelayan, permulaan atau pengingat pada perbuatan wajib, baik dalam perbuatan itu ada dua hukum (mandub dan wajib seperti shalat) atau tidak.”[4]


Kedua, sekalipun secara parsial mandub bukanlah keharusan, namun secara umum mandub adalah keharusan. Artinya: mukallaf tidak boleh meninggalkan perbuatan mandub sekaligus karena hal itu tidak patut dan dia harus diberi arahan dan teguran. Karena itulah, Nabi SAW pernah memerintahkan untuk membakar rumah orang yang selalu meninggalkan shalat jama’ah.


Dengan demikian, adzan, shalat jama’ah, shadaqah tathawwu’, dan shalat sunah fajar adalah mandub jika dilihat secara parsial, dan wajib jika dilihat secara universal dan tidak boleh ditinggalkan sekaligus.


Demikian pula dengan menikah, masyarakat tidak boleh meninggalkannya sekaligus, karena dengan tidak menikah mereka akan musnah. Menikah adalah mandub jika dilihat secara parsial dan wajib jika dilihat secara universal. Oleh karena itu, mandub seperti halnya fardhu kiyafah. “Meninggalkan semua perbuatan mandub dapat melemahkan agama jika dilakukan secara terus menerus, tetapi jika hanya kadang-kadang, maka hal itu tidak berpengaruh.[5]



____________________________________

[1] Al Musawwadah, Hal. 576 dan Ibnu Hazm, Al Ihkam, Juz. 1 hal. 40 dan Juz. 3 Hal. 321.

[2] Al ba’ah: kemampuan memenuhi kewajiban nikah. 

[3] Dinamakan mandub: karena syari’ mengajak mukallaf untuk melakukannya, mustahab: karena syari’ menyukai perbuatan itu, nafilah/nafl: karena merupakan tambahan fardhu dan menambah pahala, tathawwu’: karena mukallaf melakukannya dengan sukarela, fadhilah: karena melaksanakannya lebih baik dari pada meninggalkannya. Ibnu ‘Abidin, Rad al Muhtar: Juz. 1, Hal. 91-seterusnya. 

[4] Imam Syathibi, Al Muwafaqat: Juz. 1 Hal. 151.

[5] Imam Syathibi, Al Muwafaqat: Juz. 1, Hal. 133.

No comments:

Post a Comment