Sunday, March 25, 2012

WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (5 Habis)



Wajib menurut syara’[1]: perbuatan yang harus dilakukan oleh mukallaf berdasarkan tuntutan syari’. Konsekuensinya, yang meninggalkan mendapat celaan dan dosa, dan yang mengerjakan mendapat pujian dan pahala.[2]

Kepastian atau keharusan melakukan itu dapat diketahui dari bentuk kata yang menunjukkan tuntutan seperti bentuk kata amar yang menunjukkan wajib atau jika dalam kalimat itu disebutkan siksaan/dosa bagi yang meninggalkan. Mengerjakan shalat, berbuat baik pada orang tua, menepati janji dan sebagainya adalah perbuatan wajib yang diharuskan oleh syari’ untuk dikerjakan oleh mukallaf, dan dia berdosa jika meninggalkan perbuatan itu.


Menurut jumhur ulama, wajib adalah fardhu, keduanya sama baik hukum maupun maknanya, yakni berarti perbuatan yang harus dilakukan dan berakibat dosa bagi yang meninggalkan.[3]


Sedangkan Hanafiyah membedakan antara fardhu dan wajib dari segi dalil yang mendasari tetapnya keharusan melakukan perbuatan. Jika dalil yang mendasari adalah dhanni maka dinamakan wajib, seperti hadits ahad yang menetapkan wajibnya menyembelih binatang kurban. Tetapi jika dalil yang mendasari adalah qath’i maka dinamakan fardhu, seperti nash Al Quran yang menetapkan wajibnya shalat.


Hanafiyah melihat dalil yang mendasari tetapnya keharusan, karena itulah mereka membedakan antara fardhu dan wajib. Sedangkan mayoritas ulama melihat keharusan perbuatannya, tidak melihat apakah dalil yang mendasari adalah qath’I atau dhanni, karena itulah mereka tidak membedakan antara fardhu dan wajib dan menjadikan keduanya layaknya dua nama yang bermakna satu.


Karena Hanafiyah membedakan antara fardhu dan wajib, maka menurut mereka kadar keharusan melaksanakan fardhu berada di atas keharusan melaksanakan wajib, dosa meninggalkan fardhu lebih besar dari pada dosa meninggalkan wajib, dan orang yang mengingkari fardhu dianggap kufur sedangkan orang yang meninggalkan wajib tidak dianggap kufur.


Yang jelas perbedaan di atas hanya perbedaan penyebutan, bukan perbedaan pokok. Karena pada dasarnya Hanafiyah dan jumhur ulama sepakat bahwa fardhu sama seperti wajib, sama-sama tuntutan yang harus dikerjakan dan berakibat dosa dan siksa bagi yang meninggalkan.


Mereka juga sepakat bahwa dalil yang mendasari tuntutan yang bersifat harus itu bisa berupa dalil qath’I dan bisa berupa dalil dhanni, hanya saja orang yang meninggalkan perbuatan yang dituntut berdasarkan dalil qath’I dianggap kufur.


Jumhur ulama menyamakan fardhu dan wajib karena keduanya adalah keharusan dan berakibat dosa bagi mukallaf yang meninggalkan, hal ini sudah cukup dijadikan alasan untuk menggolongkan fardhu dan wajib sebagai satu entitas.


Sedangkan sudut pandang dalil, kadar keharusan, kadar dosa dan pengkufuran bagi yang mengingkari fardhu adalah hal-hal di luar hakikat perbuatan yang harus dilakukan mukallaf yang disebut dengan wajib itu, karena semua sepakat bahwa wajib adalah obyek khithab syari’ yang menunjukkan tuntutan yang harus dan pasti.


Kesimpulannya, perbedaan tersebut hanya perbedaan penyebutan, hanya merujuk pada dalil spesifik yang merupakan bahasan fiqh dan bukan kewenangan ushul fiqh, dan sebenarnya tidak ada perbedaan pokok di antara para ahli fiqh.


Macam-macam Wajib

Wajib ada bermacam-macam dilihat dari berbagai segi; dari segi waktu pelaksanaan, kadar, tertentu tidaknya, dan dari segi subyeknya.


1. Dilihat dari Waktu pelaksanaannya
Ada dua macam, wajib mutlak dan wajib muqoyyad.

Wajib mutlak: perbuatan yang harus dilaksanakan tanpa batas waktu tertentu. Seorang mukallaf boleh melaksanakan perbuatan wajib itu kapanpun dia mau dan dia tidak memiliki tanggungan lagi setelah melaksanakan kewajibannya. Dia tidak berdosa jika melaksanakan di akhir waktu, tetapi selayaknya dia segera melaksanakannya sesegera mungkin sebab waktu adalah hal yang abstrak dan manusia tidak mengetahui kapan kematian datang.


Wajib mutlak itu di antaranya: mengganti (qodlo’) puasa ramadhan bagi mukallaf yang tidak dapat melaksanakannya karena berhalangan. Menurut sebagian ulama fiqh seperti Hanafiyah, ia bebas menggantinya tanpa dibatasi tahun, tetapi ulama fiqh lain masih berbeda pendapat tentang ini.


Kafarat wajib bagi orang yang melanggar sumpah, dia wajib membayar kafarat segera setelah dia melakukan pelanggaran atau dapat dilaksanakan setelahnya.


Demikian pula ibadah haji, orang yang mampu boleh melaksanakannya di tahun kapan pun dia mau, karena ibadah haji adalah ibadah yang boleh tidak segera dilakukan (tarakhi).


Wajib muwayyad: perbuatan yang harus dilaksanakan dengan batas waktu tertentu yang telah ditentukan syari’, seperti shalat lima waktu dan puasa ramadhan, keduanya tidak boleh dilaksanakan sebelum atau setelah waktu yang telah ditentukan dan tidak boleh diakhirkan tanpa alasan yang dibolehkan syara’.


Dengan demikian, keharusan pada wajib muqayyad terletak pada pelaksanaan dan waktu pelaksanaannya, sedangkan keharusan pada wajib mutlak hanya terletak pada pelaksanaannya, bukan pada waktu pelaksanaannya.


Ada’: Jika seorang mukallaf melaksanakan perbuatan wajib secara sempurna pada waktunya.


I’adah: jika seorang mukallaf melaksanakan perbuatan wajib pada waktunya tetapi tidak sempurna kemudian disempurnakan lagi di waktu yang sama, penyempurnaan itulah yang dinamakan I’adah.


Qadla’: jika seorang mukallaf melaksanakan perbuatan wajib setelah waktunya lewat.[4]


2. Dilihat dari kadarnya

Ada dua macam: wajib muhaddad dan wajib ghairu muhaddad.

Wajib muhaddad: perbuatan wajib yang kadarnya telah ditentukan syari’, seperti zakat, harga pembelian dan penjualan, diyat dan sebagainya.


Wajib muhaddad berkaitan dengan tanggungan, kadar perbuatan wajib itu tidak ditentukan oleh putusan pengadilan atau kesepakatan karena sudah ditentukan oleh syari’, dan seorang mukallaf bisa dikatakan telah melaksanakan perbuatan wajib itu jika dia melaksanakannya sesuai dengan kadar yang telah ditentukan syari’.


Wajib ghairu muhaddad: perbuatan wajib yang kadarnya tidak ditentukan oleh syari’, seperti infaq di jalan Allah (selain zakat). Infaq ini tidak ditentukan kadarnya oleh syari’, tetapi tergantung pada tingkat kebutuhan orang yang membutuhkan dan kemampuan orang yang berinfaq. Maka jika seseorang ditunjuk untuk menutupi kebutuhan seorang fakir, maka dia memiliki tanggungan wajib ghairu muhaddad, dia wajib berinfaq sesuai kadar kebutuhan si fakir.


Tolong menolong dalam hal kebaikan juga termasuk wajib ghairu muhaddad, karena kadarnya tergantung pada kebaikan yang harus dibantu oleh mukallaf agar bisa terwujud itu.


Wajib muhaddad adalah wajib yang tidak menjadi hutang dalam tanggungan mukallaf, karena sesuatu yang menjadi tanggungan harus berupa sesuatu yang memiliki kadar. Karena itulah menurut sebagian ulama seperti Hanafiyah, nafkah istri tidak menjadi tanggungan suami sebelum ada keputusan pengadilan atau kesepakatan antara keduanya, karena tidak ada kadar tertentu atas nafkah sebelum adanya kedua hal itu. Dengan demikian, suami tidak bisa dituntut membayar wajib nafkah dari masa sebelumnya sejak dia tidak dapat _ember nafkah isteri berdasarkan keputusan hakim atau kesepakatan. Tetapi ulama lain seperti Syafi’iyah berpendapat bahwa nafkah termasuk dalam wajib muhaddad, kadarnya ditentukan berdasarkan keadaan suami, dengan demikian isteri dapat menuntut nafkah yang tidak diberikan padanya dari masa sebelumnya sejak suami tidak dapat _ember nafkah, berdasarkan keputusan hakim atau kesepakatan bersama. Pendapat ini juga dijadikan Undang-undang Hukum Keluarga Iraq No. 88 Tahun 1959.[5]


3. Dilihat dari Tertentu Tidaknya Perbuatan yang Dituntut
Ada dua macam: wajib mu’ayyan dan wajib ghairu mu’ayyan.


Wajib mu’ayyan: perbuatan wajib yang sudah ditentukan dan tidak diberi pilihan lain oleh syari’, seperti shalat, puasa dan mengembalikan barang ghashab bagi pelaku. Mukallaf tidak bisa lepas dari tanggungan kecuali dia melaksankan perbuatan itu.


Wajib ghairu mu’ayyan: perbuatan wajib yang tidak ditentukan pada satu pilihan, tetapi mukallaf boleh memilih salah satu dari beberapa pilihan yang telah ditetapkan oleh syari’.


Wajib ghairu mu’ayyan bisa berupa satu di antara dua pilihan dan mukallaf harus memilih satu di antara keduanya, seperti dalam firman Allah tentang tawanan perang, “…Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti…” (Muhammad: 4) Imam wajib memilih antara membebaskan mereka atau menerima tebusan.


Juga bisa berupa satu di antara tiga pilihan seperti dalam kafarat sumpah. Pelanggar sumpah harus memilih satu di antara tiga kafarat yang sudah ditentukan, yakni _ember makan sepuluh orang miskin, _ember mereka pakaian, atau membebaskan budak. Tetapi tiga pilihan tersebut berlaku bagi orang yang tidak mampu berpuasa tiga hari berturut-turut, jika dia mampu berpuasa, maka wajibnya menjadi wajib mu’ayyan, yakni hanya melakukan puasa tersebut.


Wajib ghairu mu’ayyan kadang juga disebut dengan wajib mukhayyar, karena di dalamnya terdapat pilihan bagi mukallaf.[6]


4. Dilihat dari Subyeknya
Ada dua macam: wajib (fardhu) ‘ain dan wajib (fardhu) kifayah.


Wajib ‘ain: perbuatan wajib yang tuntutannya ditujukan pada setiap orang mukallaf, dalam artian syari’ mengharuskan perbuatan itu dilakukan oleh setiap orang mukallaf, tidak cukup hanya dilaksanakan oleh seorang atau sebagian mukallaf saja, dan mukallaf masih memiliki tanggungan selama dia tidak melaksanakan perbuatan itu, sebab tujuan syari’ tidak akan tercapai kecuali jika semua mukallaf melaksanakan. Dengan demikian, orang yang meninggalkan mendapat dosa disertai siksa.


Titik tekan dari wajib ‘ain terletak pada perbuatan dan pelaku. Yang termasuk dalam wajib ‘ain adalah: shalat, puasa, menepati janji dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak.


Wajib kifayah atau wajib kifa’i: perbuatan wajib yang tuntutannya hanya ditujukan pada sebagian mukallaf, tidak semuanya. Sebab tujuan syari’ adalah agar perbuatan wajib itu dilaksanakan oleh sebagian mukallaf.[7] Jika sebagian mukallaf telah melaksanakan, maka gugur kewajiban yang lain.[8] Sebab perbuatan yang dilaksanakan oleh sebagian telah cukup mewakili yang lain, dengan demikian yang tidak melaksanakan juga dianggap melaksanakan, tetapi jika tidak ada seorang pun yang melaksanakan maka semua orang yang mampu berdosa.


Wajib kifayah menuntut dilaksanakannya perbuatan, tidak menuntut mukallaf tertentu. Berbeda dengan wajib ‘ain yang menuntut setiap orang mukallaf melaksanakan. Yang termasuk dalam wajib kifayah adalah: jihad, mengambil putusan hukum, mengeluarkan fatwa, memperdalam ilmu agama, menjadi saksi, amar ma’ruf, nahi munkar, menyediakan barang, lapangan pekerjaan dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat, menyediakan bahan makanan dan kebutuhan masyarakat yang lain, karena pada umumnya wajib kifayah berkaitan dengan kemaslahatan bersama.


Semua orang mukallaf berdosa jika di antara mereka tidak ada yang melaksanakan wajib kifayah. Mukallaf yang mampu harus melaksankan dan yang tidak mampu harus mendorong yang mampu untuk melaksanakan. Karena itulah, jika wajib kifayah tidak dilaksanakan maka dosa ditanggung oleh semua mukallaf, baik yang mampu maupun yang tidak. Yang mampu karena tidak melaksanakan dan yang tidak mampu karena tidak mendorong yang mampu untuk melaksanakan. Imam Syafi’I pernah berujar, “Seandainya semua orang mukallaf meninggalkan wajib kifayah, maka kemungkinan tidak ada seorang mukallaf pun yang mampu, dapat terhindar dari dosa.”[9]


Berdasarkan deskripsi di atas, maka bagi masyarakat wajib melakukan kontrol terhadap dan mendorong agar pemerintah memenuhi kewajiban yang berkaitan dengan wajib kifayah atau menyediakan sarana agar wajib kifayah dapat dilaksanakan, karena pemerintah adalah representasi masyarakat dalam mewujudkan kemaslahatan bersama dan merupakan lembaga yang mampu memenuhi hal-hal yang berhubungan dengan wajib kifayah. Jika pemerintah tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka semuanya berdosa karena mereka masaing-masing memiliki peran yang mampu dilakukan; masyakat berdosa karena tidak dapat mendorong pemerintah untuk memenuhi sarana yang dapat menunjang wajib kifayah sedangkan pemerintah berdosa karena tidak memenuhi, padahal pemerintah memiliki kemampuan untuk itu.


Wajib kifayah terkadang dapat berubah menjadi wajib ‘ain seperti masalah jihad: jika tujuan jihad tidak tercapai, maka jihad menjadi wajib ‘ain bagi setiap mukallaf yang mampu untuk berperang di setiap medan perang.


Demikian pula jika seorang mukallaf melihat perbuatan tercela dan tidak ada mukallaf lain yang mengetahui selain dirinya, maka wajib ‘ain baginya untuk berbuat sesuatu sesuai kemampuannya.


Seperti juga seorang dokter di sebuah desa, jika tidak ada dokter lain selain dirinya di desa itu, maka wajib ‘ain baginya untuk mengobati orang sakit, dan sebagainya.


__________________________________________

[1] (catatan dari penerjemah; perbedaan antara menurut syara’ dan menurut istilah: jika ditulis menurut syara’, berarti definisi itu disarikan dari nash Al Quran atau Sunah dan jika ditulis menurut istilah, berarti definisi itu berdasarkan rumusan ulama).

[2] Ibnu Hazm, Al Ihkam, Juz. 3 hal. 321.

[3] Al Musawwadah fi Ushul al Fiqh, hal. 5. Ibnu ‘Aqil al Hanbali meriwayatkan dari Imam Ahmad, “Fardhu ditetapkan berdasarkan Al Quran dan wajib ditetapkan berdasarkan Sunah.” Berdasarkan riwayat ini, madzhab Hanabilah juga membedakan antara fardhu dengan wajib seperti halnya Hanafiyah, hanya saja perbedaan yang diutarakan masing-masing berbeda.

[4] Al Hulli, Tanqih al Ushul ila ‘ilmi al Ushul dan Syaikh Muhammad Abdurrahman al Mahlawi, Tashil al Wushul ila ‘ilmi al Ushul, hal. 276.

[5] Paragraf keempat dari materi 24: nafkah isteri selama masa suami tidak dapat memenuhi dianggap sebagai hutang yang harus ditanggung suami, kecuali karena si isteri nusyuz.

[6] Fawatih al Ruhmut syarh muslam al Tsubut, juz. 1, hal. 66.

[7] Taisir at Tahrir, Juz. 2 Hal. 363-364.

[8] Al Musawwadah, Hal. 31.

[9] Imam Syafi’i, Ar Risalah, hal. 366.

No comments:

Post a Comment