Monday, March 26, 2012

SAH DAN BATAL - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (14 Habis)

Pengertian Sah dan Batal

Jika perbuatan mukallaf memenuhi syarat dan rukunnya maka syari’ menghukuminya sah, sebaliknya jika tidak terpenuhi maka syari’ menghukuminya tidak sah atau batal.


Sah memiliki arti bahwa perbuatan itu berkonsekuensi syar’i, jika perbuatan itu berupa ibadah maka mukallaf tidak mempunyai tanggungan lagi setelah melakukannya. Contoh: melakukan shalat sesuai rukun dan syaratnya (maka dia terbebas dari kewajiban shalat itu, tetapi hanya satu shalat itu saja dan pada waktu itu saja). Jika perbuatan itu berupa mu’amalah seperti jual beli, ijarah, dan perkawinan maka konsekuensi yang timbul dari perbuatan tersebut menjadi tetap secara syar’i.


Batal memiliki arti tidak ada konsekuensi hukum yang timbul akibat perbuatan itu, karena konsekuensi hukum hanya terjadi jika telah memenuhi rukun (dan syarat). Jika perbuatan itu berupa ibadah maka mukallaf belum terbebas dari tanggungan sekalipun telah melaksanakannya, begitu pula jika perbuatan itu berupa mu’amalah maka tidak ada konsekuensi hukumnya.[1]


Sah dan Batal Termasuk dalam Pembagian Hukum Wadl’i

Mengenai hal ini, ulama Ushul berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa sah dan batal termasuk dalam pembagian hukum taklifi. Mereka beralasan bahwa “sah” merujuk pada pembolehan (ibahah) syari’ pada mukallaf untuk memanfaatkan sesuatu, sedangkan “batal” merujuk pada larangan (hurmah) mengambil manfaat. Contohnya dalam jual beli, jika jual belinya sah maka pembeli boleh memanfaatkan barang yang dibeli, begitu pula sebaliknya jika jual belinya batal.


Alasan di atas ditolak oleh sebagian ulama, karena sebenarnya di dalam jual beli ada syarat khiyar bagi penjual, sah dalam jual beli adalah sah karena ijma’, dan pemanfaatan barang pembelian hukumnya bukan mubah.[2]


Ulama ushul yang lain berpendapat bahwa sah dan batal termasuk dalam pembagian hukum wadl’i. Karena syari’ menghukumi ‘sah’ jika perbuatan itu memenuhi rukun dan syarat, dan menghukumi ‘batal’ jika perbuatan itu tidak memenuhi rukun dan syaratnya.[3]


Kami lebih memilih pendapat yang kedua, karena sah dan batal tidak berkaitan dengan mengerjakan, meninggalkan, atau memilih antara keduanya, akan tetapi berkaitan dengan label yang diberikan syari’ atas suatu perbuatan. Label ‘sah’ diberikan pada perbuatan yang memenuhi syarat dan rukunnya berikut segala konsekuensi yang ditimbulkan kemudian, sedangkan label ‘batal’ diberikan pada perbuatan yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya berikut segala konsekuensinya. Semua pengertian di atas masuk dalam khithab wadl’i karena termasuk dalam makna sebab, dan sebab termasuk dalam hukum wadl’i.


Batal (buthlan) dan Rusak (fasad)

Jumhur ulama menganggap batal dan rusak adalah satu makna. Dengan demikian, setiap ibadah, akad atau transaksi yang terlewat salah satu rukun atau syaratnya disebut “batal” atau “rusak” dan tidak memiliki konsekuensi apapun.


Jual beli yang dilakukan oleh orang gila dihukumi batal (bathil) karena terdapat cacat pada rukunnya yakni “orang yang berakad”, dan jual beli barang yang tidak ada dan jual beli bangkai juga batal karena terdapat cacat pada rukunnya yakni “barang yang diperjualbelikan”.


Selain disebut “batal”, jual beli yang dilakukan orang gila dan jual beli bangkai tersebut juga bisa disebut “rusak” (fasid), begitu pula jual beli barang yang tidak ditentukan harganya dan jual beli kredit yang tidak ditentukan harganya.


Tetap disebut batal atau rusak sekalipun cacat/kekurangan hanya terdapat pada sebagian syarat-syarat atau sifat/ciri jual beli, bukan pada rukunnya. Sedangkan madzhab Hanafiyah membedakan hal tersebut dengan rincian seperti contoh berikut:


a. IBADAH: jika salah satu rukunnya kurang, seperti sholat tanpa ruku’, atau salah satu syaratnya terlewat seperti shalat tanpa wudlu, maka keduanya disebut “bathil” dan “fasid” dan tidak ada konsekuensi syara’nya. Menurut mereka, bathil dan fasid dalam ibadah adalah satu makna.


b. MUAMALAT: muamalat adalah perjanjian dan transaksi, jika salah satu rukunnya tidak ada maka disebut “bathil” dan tidak ada konsekuensi syar’i-nya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila, jual beli bangkai, atau pernikahan dengan orang yang haram dinikahi (mahram) dalam keadaan mengetahui keharaman tersebut. Jika rukun-rukunnya terpenuhi sementara sebagian syaratnya atau sifatnya yang di luar rukun tidak terpenuhi maka dinamakan ‘bathil’, sebagian konsekuensinya bisa terjadi apabila transaksi/akad sudah terjadi, seperti konsekuensi yang ada pada jual beli yang harganya tidak ditentukan, atau ditentukan tetapi tidak dibayar tunai (kredit) sampai waktu yang tidak diketahui, atau ada syarat yang rusak, atau menikah tanpa saksi. Maka konsekuensi yang terjadi dalam kasus jual beli di atas adalah hak kepemilikan barang berpindah pada pembeli jika barang sudah dalam penguasaannya dan dengan seijin penjual. Dalam kasus nikah tanpa saksi maka konsekuensinya adalah kewajiban mahar apabila sudah terjadi dukhul (hubungan suami-isteri), sang wanita wajib menjalani iddah setelah perceraian, dan nasab anak mengikuti kedua orang tuanya demi menjaga haknya.


Dengan uraian contoh di atas, maka jelaslah bahwa transaksi/akad yang fasid tidak memiliki konsekuensi syara’ dengan sendirinya, konsekuensi itu terjadi akibat terlanjur terjadi akad. Keterlanjuran inilah yang menjadi pertimbangan syari’ karena ketidakjelasan yang terjadi akibat akad yang rusak.


Jadi menurut Hanafiyah, suatu akad disebut bathil apabila terdapat cela/kekurangan pada rukun akad, yakni sighat (bentuk) akad, dua orang yang melakukan akad, dan tempat akad. Selanjutnya suatu akad disebut fasid apabila cela/kekurangan terdapat pada sifat-sifat akad, bukan pada rukunnya. Rukun-rukunnya terpenuhi tetapi kemudian terdapat cela pada sifat akad seperti harga barang yang tidak ditentukan dan sebagainya. Kesimpulannya, fasid menurut Hanafiyah adalah karena kekurangan sesuatu yang disyari’atkan pada asalnya (rukunnya), bukan sifat yang menyelimutinya, sedangkan bathil adalah karena kekurangan sesuatu yang tidak disyariatkan baik asal maupun sifatnya.[4]


Pangkal Perbedaan antara Jumhur dan Hanafiyah Terletak pada Dua Hal:

Pertama, apakah larangan syari’ pada suatu akad (karena adanya cela) memiliki arti bahwa akad itu tidak dianggap dalam hukum dunia tetapi berakibat dosa di akhirat bagi yang melakukannya, atau akad itu masih dianggap dalam hukum dunia sekaligus berakibat dosa di akhirat?


Kedua, apakah larangan pada suatu akad yang disebabkan cela/cacat pada asalnya itu sama seperti larangan yang disebabkan cacat pada sifatnya dan bukan pada rukunnya? Dengan arti bahwa larangan antara keduanya sama saja dan tidak mengakibatkan konsekuensi apapun? Atau ada perbedaannya?


Mengenai hal pertama, jumhur ulama mengatakan bahwa larangan syari’ pada suatu akad berarti akad itu tidak dianggap jika sudah terjadi, tidak menimbulkan konsekuensi syariat apapun, dan pelakunya mendapat dosa di akhirat.


Mengenai hal kedua, mereka mengatakan bahwa larangan antara keduanya sama saja, baik larangan akibat cela yang berkaitan dengan asal atau rukun akad maupun yang berkaitan dengan sifatnya, keduanya sama-sama tidak dianggap ada dan tidak memiliki konsekuensi apapun.


Berbeda dengan Hanafiyah, tentang hal pertama mereka mengatakan bahwa larangan tersebut tetap berakibat dosa tetapi tidak selamanya akad dianggap batal.


Tentang hal kedua mereka berpendapat bahwa jika larangan itu disebabkan cela yang berkaitan dengan rukun akad maka artinya akad itu batal dan tidak dianggap jika sudah terjadi, seperti jual beli bangkai dan jual beli yang dilakukan oleh orang gila. Akan tetapi jika larangan itu berkaitan dengan sifat akad maka artinya akad itu fasid, tidak batal, dan masih ada sebagian konsekuensinya.[5]



_________________________________

[1] Untuk catatan, kata “Sah” juga mencakup perbuatan yang dijanjikan pahala di akhirat nanti, sedangkan kata “Batal” mencakup juga perbuatan yang mengakibatkan dosa di akhirat kelak, baik perbuatan itu berupa ibadah maupun muamalah. Apakah mukallaf mendapatkan pahala atau tidak tergantung pada maksud dan niatnya dalam melakukan perbuatan itu. Jika niatnya karena mematuhi perintah syari’ maka dia mendapatkan pahala, begitupula jika dia harus memilih antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, jika dia memilih sesuai pilihan syari’ maka dia juga mendapatkan pahala : Al-Syathibi, Juz 1 Hal 291-299.

[2] Al-Amidi, Juz 1 Hal. 186-187.

[3] Al-Talwih, Juz 2, Hal. 123.

[4] Taisir al-Tahrir, Juz 2 Hal. 391 dst, Al-Amidi, Juz 1 Hal. 187. Lihat juga Kasysyaf al-Qana’, Juz. 2 Hal 5 dst, Syarh al-Kabir, Al-Dardir, Juz 3 Hal. 60. Badai’ al-Shana’i’ Al-Kasani Juz 5 hal 299 dst. Hasiyah al-Bujairimi Juz 2 Hal 222 dst. Al-Kanz Juz 4 Hal. 60-61 Muqaddimat Ibn Rusyd Juz 2 Hal 213 dst.

[5] Lihat Al-Mustasyfa, Al-Ghazali Juz 1 Hal 60-61 dan Juz 2 Hal 9 dst.

No comments:

Post a Comment