Sunday, March 25, 2012

HARAM - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (7 Habis)


Haram adalah perbuatan yang harus ditinggalkan mukallaf berdasarkan tuntutan syari’. Yang meninggalkan perbuatan itu mendapat pahala dan disebut taat, sedangkan yang melakukannya mendapat dosa dan telah berbuat maksiat.[1] Dalil yang mendasari keharaman itu bisa berupa dalil qath’i seperti dalil haramnya zina, atau berupa dalil dhanni seperti hal-hal yang dilarang berdasarkan sunnah ahad.


Menurut Hanafiyah, haram harus didasarkan pada dalil qath’I, jika didasarkan pada dalil dhanni maka disebut dengan makruh tanzih.


Tahrim dapat diketahui dari nash yang menggunakan kata tahrim seperti kata haramah dalam ayat, “Hurrimat ‘alaikum ummahatukum” (Diharamkan bagimu [menikahi] ibu-ibumu) (An-Nisa’: 32) atau kata halal yang didahului oleh huruf nafi seperti sabda Nabi SAW, “La yahillu maalumri’in muslimin illa bithibin min nafsihi” (Tidak halal makan harta seorang muslim kecuali atas kerelaannya).[2]


Atau dapat diketahui dari bentuk kata nahi (larangan) disertai dengan indikasi yang menunjukkan keharusan seperti ayat, “…maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.” (Al Hajj: 30) dan ayat, “…sesungguhnya khamar, judi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan berhala adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu…” (Al Maidah: 90). Atau bentuk kata nahi yang disertai ancaman siksa jika melakukannya, seperti ayat, “Dan orang-orang yang menuduh (berbuat zina) wanita-wanita yang baik dan mereka tidak mendatangkan empat saksi maka cambuklah mereka delapan puluh kali.” (An Nur: 4) dan ayat, “Sesungguhnya orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim, maka sesungguhnya mereka telah memasukkan api neraka dalam perut mereka dan mereka akan dimasukkan dalam neraka sa’ir.”


Macam-macam Haram:


Dari hasil penelitian hukum syara’, diketahui bahwa syari’ hanya mengharamkan sesuatu yang mengandung kerusakan (mafsadah) yang murni atau lumrah menurut masyarakat. Kerusakan itu terkadang berasal dari sesuatu yang diharamkan itu sendiri dan hal ini disebut dengan muharram lidzatihi atau muharram li’ainihi, dan terkadang berasal dari hal lain yang dihubungkan dengan sesuatu yang diharamkan itu dan hal ini disebut dengan muharram lighairihi.


Muharram lidzatihi: sesuatu yang sejak awal sudah diharamkan oleh syari’ karena mengandung bahaya dan kerusakan substansial yang tidak terpisahkan, seperti zina, menikahi mahram, makan dan jual beli bangkai, mencuri, membunuh tanpa hak, dan sebagainya.


Hukum muharram lidzatihi: tidak disyariatkan sama sekali, tidak boleh dilakukan oleh mukallaf dan berakibat dosa dan siksa jika tetap dilakukan, tidak mempunyai akibat hukum dan tidak dapat menjadi sebab syara’ dari sesuatu yang diakibatkan dan jika berada dalam akad maka akadnya batal.


Lebih jelasnya, makan bangkai dilarang, mencuri tidak dapat menjadi sebab kepemilikan, zina tidak dapat menjadi sebab nasab dan waris, jika terjadi jual beli bangkai maka akadnya batal dan tidak berakibat hukum apapun layaknya pada jual beli yang sah, dan jika akad nikah dilakukan dengan salah satu mahramnya dan dia mengetahui hal itu, maka akadnya batal dan tidak berakibat hukum apapun layaknya pada akad nikah yang sah: seperti ketetapan nasab, waris, hak suami-isteri dan berhubungan badan, bahkan hubungan badan yang dilakukan dianggap sebagai zina.


Akan tetapi, dharurah (keadaan terdesak) terkadang membolehkan muharram lidzatihi. Hal ini karena sebab diharamkannya muharram lidzatihi adalah untuk menjaga lima perkara pokok, yakni: menjaga agama, nyawa, akal, kehormatan dan harta. Oleh karena itu, makan bangkai dibolehkan dalam keadaan sekarat dan boleh minum khamr agar tidak mati, karena menjaga nyawa adalah perkara pokok sekalipun untuk mewujudkannya harus dengan menghalalkan sesuatu yang haram.


Muharram lighairihi: sesuatu yang pada awalnya disyariatkan karena tidak mengandung bahaya dan kerusakan serta jelas manfaatnya, tetapi kemudian ada hal lain yang menyebabkan sesuatu itu haram dilakukan: seperti shalat di tanah hasil ghasab, jual beli saat penggilan shalat jumat, nikah yang bertujuan untuk menghalalkan wanita yang ditalak tiga untuk dinikahi lagi oleh mantan suaminya (nikah muhallil), menikahi wanita yang sudah dilamar orang lain, talak bid’i (talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan al Quran atau sunah), jual beli tempo atau kredit yang bertujuan riba, dan hal-hal lain yang haram sebab sesuatu di luar substansi perkara. Sebab kaharaman bukan berasal dari substansi perkara, karena perkara itu sendiri tidak mengandung bahaya dan kerusakan, tetapi kemudian ada hal lain yang mengandung bahaya dan kerusakan yang dihubungkan dengan perkara itu sehingga menjadi haram.


Lebih jelasnya, shalat pada mulanya disyariatkan dan wajib dilakukan, tetapi karena dilakukan di tempat haram yakni tanah hasil ghasab, maka shalat di tanah itu juga haram.


Jual beli pada mulanya boleh, tetapi karena dilakukan saat panggilan shalat jumat maka jual belinya dilarang karena dapat menghalanginya melaksanakan kewajiban shalat jumat, 


Nikah pada mulanya mubah atau mandub, tetapi karena wanita yang akan dinikahi sudah dilamar orang lain, maka nikahnya dilarang, karena hal itu berarti melanggar hak orang lain dan dapat menimbulkan permusuhan.


Nikah dengan tujuan menghalalkan wanita yang ditalak tiga, dilarang karena mengandung mafsadah, yakni mempermainkan sebab syara’ dan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.


Hukum muharram lighairihi adalah sebagaimana analisis kami di atas. Yakni disyariatkan jika dilihat dari substansi dan awal munculnya dan tidak disyariatkan jika dilihat dari perkara haram yang dihubungkan dengannya.


Sebagian ahli fiqh mengunggulkan ‘yang disyariatkan pada awalnya’ daripada ‘perkara haram yang dihubungkan dengannya’. Menurut mereka, muharram lighairihi dapat menjadi sebab syara’ dan mempunyai akibat hukum sekalipun dilarang jika dilihat dari perkara haram yang dihubungkan dengannya. Konsekuensinya, jika dihubungkan dengan perkara haram maka yang melakukan mendapat dosa, tetapi jika dihubungkan dengan perkara itu sendiri maka dia tidak berdosa.


Dengan demikian, shalat di tanah hasil ghasab dihukumi sah, mendapat pahala dan dianggap telah memenuhi kewajiban shalat, tetapi dia juga berdosa karena melakukannya di tanah ghasab. Juga sah jual beli pada saat panggilan shalat jumat, tapi juga berdosa karena melakukannya pada waktu yang dilarang.


Sebaliknya, ada sebagian ahli fiqh lain yang mengunggulkan ‘keharaman yang dihubungkan dengan perkara’ daripada ‘yang disyariatkan pada awalnya’. Menurut mereka perbuatan yang dilakukan batal, tidak mempunyai akibat hukum dan yang melakukan mendapat dosa, karena menurut mereka keharaman tetap berlangsung sekalipun yang dihubungkan adalah perkara yang sejak awal sudah disyariatkan.


Dengan demikian menurut mereka shalat di tanah hasil ghasab dihukumi batal, begitu pula nikahnya muhallil, thalak bid’i dan sebagainya.[3]


___________________________________

[1] Ibnu Hazm, Al Ihkam: Juz. 3 Hal. 321. 

[2] Penyebutan muslim pada hadits ini tidak bermaksud bahwa harta seorang kafir dzimmi (bukan muslim) halal dimakan tanpa seizinnya. Karena pada hakikatnya, haramnya makan dan mengambil harta tanpa seizin pemiliknya berlaku sama bagi kafir dzimmi dan muslim. Dalam sebuah kaidah, “Yang boleh bagi kita, boleh bagi kafir dzimmi dan yang tidak boleh, tidak boleh bagi kafir dzimmi.” Ali ra pernah mengatakan, “Tujuan mengapa digolongkan dengan dzimmi adalah agar darah dan harta mereka sama dengan kita.” Lihat Al Kasani, Bada’i’ as Shana’i’: Juz. 6, Hal. 111, Sunan ad Darqathni: Juz. 2, Hal. 350 dan Syarh as Sair al kabir: Juz. 3, Hal. 250.

[3] insyaallah akan dijelaskan lebih lanjut tentang hal ini dalam bab sah dan batal dan bab Nahi.

1 comment:

  1. Maaf, ada kesilapan pada perenggan kedua,

    "Menurut Hanafiyah, haram harus didasarkan pada dalil qath’I, jika didasarkan pada dalil dhanni maka disebut dengan makruh tanzih."

    *sepatutnya makruh tahrim.

    ReplyDelete