Monday, March 26, 2012

HUKUM WADL'I: SABAB - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (11 Habis)


Secara etimologi: sesuatu yang dapat mengantarkan pada sebuah tujuan.

Secara terminologi: sesuatu yang oleh syara’ dijadikan penanda atas suatu hukum syariah, sekiranya jika ada sesuatu itu maka hukum ada dan jika sesuatu itu tidak ada maka hukum juga tidak ada.[1]


Dengan demikian, secara etimologi sabab bisa diartikan: setiap hal yang keberadaannya dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum, dan ketidakberadaannya sebagai tanda tidak adanya hukum. Seperti zina mewajibkan adanya had, gila mewajibkan adanya pengampuan, ghasab mewajibkan pengembalian barang yang dighasab jika barangnya masih utuh, atau mewajibkan membayar harganya jika barangnya sudah rusak.


Jika zina, gila, dan ghasab tidak ada maka tidak ada pula had, pengampuan, dan mengembalikan atau membayar harga barang.


Macam-macam Sabab

Dilihat dari apakah sabab itu adalah perbuatan atau bukan perbuatan mukallaf, terbagi dua macam:


Pertama, sabab yang bukan perbuatan mukallaf dan di luar kemampuannya. Hanya saja jika sabab ini ada, maka hukum juga ada. Karena syari’ telah menghubungkan hukum itu dengan ada atau tidak adanya sabab. Sabab ini menjadi tanda keberadaan dan kejelasan hukum. Seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat, masuk bulan Ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa, keterpaksaan sebagai sebab dibolehkannya makan bangkai, dan gila serta usia belia sebagai sebab diwajibkannya pengampuan.


Kedua, sabab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam kemampuannya. Seperti bepergian sebagai sebab dibolehkannya tidak berpuasa Ramadhan, membunuh dengan sengaja tanpa hak sebagai sebab adanya Qishash, bermacam-macam akad dan transaksi sebagai sebab bagi turunan-turunannya: seperti jual-beli sebagai sebab berpindahnya kepemilikan dan pemanfaatan barang.


Sabab macam yang kedua ini bisa dilihat dari dua sisi:


Pertama, perbuatannya merupakan perbuatan mukallaf, maka masuk dalam kategori hukum taklifi dan berlaku sebagaimana hukum taklifi: dituntut untuk mengerjakan, dituntut untuk meninggalkan atau boleh memilih antara keduanya.


Kedua, kedudukannya yang oleh syari’ dijadikan tanda ada tidaknya hukum lain, maka termasuk dalam kategori hukum wadl’i.[2]


Contoh: menikah menjadi wajib jika dikhawatirkan terjerumus dalam perzinahan sedangkan dia mampu secara materi, padahal wajib adalah bagian dari hukum taklifi. Menikah juga menjadi sebab dari semua akibat syar’i yang timbul karena adanya pernikahan, seperti kewajiban mahar, nafkah dan hak mewarisi, padahal sebab adalah bagian dari hukum wadl’i.


Membunuh dengan sengaja tanpa hak adalah haram yang merupakan hukum taklifi dan menjadi sebab wajibnya qishash yang merupakan hukum wadl’i.


Jual beli adalah mubah yang merupakan hukum taklifi dan menjadi sebab bertukarnya kepemilikan antara penjual dan pembeli yang merupakan hukum wadl’i.


Dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, sabab terbagi menjadi dua macam: Pertama, sebab dari adanya hukum taklifi. Seperti bepergian menjadi sebab adanya kebolehan berbuka dan memiliki harta yang mencapai nishab menjadi sebab adanya kewajiban zakat.


Kedua, sebab dari adanya hukum yang merupakan akibat dari perbuatan mukallaf. Seperti jual beli menjadi sebab beralihnya kepemilikan barang kepada pembeli, wakaf menjadi sebab hilangnya kepemilikan waqif atas barang yang diwakafkan, menikah menjadi sebab halalnya hubungan suami-isteri, dan talak menjadi sebab hilangnya kehalalan tersebut.



Hubungan Sebab dan Akibat


Akibat muncul menurut dan karena adanya sebab. Menurut syara’, akibat ada jika ada hukum yang ditimbulkannya. Kekerabatan misalnya, adalah sebab adanya hak mewarisi, syaratnya: muwarris (pewaris) sudah meninggal dan ahli waris masih hidup secara hakiki atau hukmi. Penghalangnya (mani’): membunuh dengan sengaja tanpa hak atau perbedaan agama. Jika sebab ada, syarat-syaratnya terpenuhi, dan tidak ada satu pun penghalang, maka muncullah akibatnya, yakni hak mewarisi. Akan tetapi jika syarat tidak terpenuhi atau ada penghalang maka sebab itu tidak menimbulkan akibat apa pun.


Akibat yang muncul karena adanya sebab syara’ tersebut adalah ketetapan syari’ dan tidak ada kaitannya dengan ada atau tidak adanya persetujuan mukallaf. Syari’ yang menjadikan sebab memunculkan akibat, baik mukallaf menginginkannya atau tidak dan dia setuju atau tidak. Anak misalnya, dia menjadi ahli waris ayahnya, karena status sebagai anak adalah sebab mewarisi berdasarkan hukum dan ketetapan syari’, sekalipun muwarris tidak menghendaki atau ahli waris menolak haknya. Atau pada saat menikah mengadakan kesepakatan untuk tidak membayar mahar dan tidak menafkahi isteri atau sepakat tidak ada hak saling mewarisi antara keduanya, maka kesepakatan itu sia-sia dan tidak berarti apa pun, karena syari’ telah menetapkan akibat-akibat yang muncul dengan adanya akad nikah, dengan demikian mahar wajib dibayarkan pada isteri, suami wajib menafkahi isteri dan berlaku hak saling mewarisi antara keduanya.


Demikian pula sebab-sebab yang lain, dapat memunculkan akibat-akibat yang telah ditetapkan oleh syara’ sekalipun mukallaf tidak menghendakinya.


Sebab dan ‘Illat


Sesuatu yang oleh syari’ dijadikan sebagai tanda dari ada-tidaknya hukum, adakalanya mempunyai hubungan yang jelas dengan hukum itu, dengan kata lain hubungan keduanya masuk akal, dan adakalanya hubungan keduanya samar dan tidak masuk akal. Menurut sebagian ulama ushul (ushulliyyun), yang pertama disebut dengan ‘illat sekaligus sabab, sedangkan yang kedua hanya bisa disebut sabab, bukan ‘illat.


Contoh dari yang pertama: bepergian membolehkan seseorang tidak berpuasa, memabukkan menjadikan minuman keras haram, status sebagai anak kecil membuatnya harus berada dalam pengampuan walinya. Hubungan sebab-musabab masalah-masalah di atas masuk akal. Bepergian: membuat seseorang kesulitan sehingga dia mendapat rukhshah. Memabukkan: dapat merusak akal sehingga minuman keras diharamkan untuk menjaga akal dari kerusakan. Anak kecil: dia belum bisa bertransaksi yang menguntungkan dirinya, maka dia harus berada dalam pengampuan walinya untuk menjaga kebaikannya dan menolak bahaya yang mungkin menimpanya.


Bepergian, memabukkan, dan anak kecil adalah sabab sekaligus‘illat atas hukum-hukum yang ditimbulkannya.


Contoh dari yang kedua: masuk bulan Ramadhan mewajibkan puasa. Akal tidak dapat menjangkau hubungan antara sebab (masuk bulan Ramadhan) dan hukum (kewajiban berpuasa). Demikian pula terbenamnya matahari yang mewajibkan seseorang melaksanakan shalat maghrib, akal tidak dapat menjangkau apa hubungan sebab (terbenamnya matahari) dengan hukum (wajib shalat maghrib).


Oleh karena itu, masuk bulan Ramadhan dan terbenamnya matahari hanya bisa disebut sabab, tidak bisa disebut ‘illat. Setiap ‘illat adalah sabab, tetapi tidak semua sabab adalah ‘illat. 


Sedangkan ulama ushul yang lain membatasi ‘illat hanya pada hal-hal yang memiliki hubungan logis dan sabab hanya pada hal-hal yang tidak memiliki hubungan logis. Dengan kata lain, ‘illat bukan sabab, begitu pula sebaliknya.


Sebenarnya perbedaan dua kelompok ulama ushul tersebut terletak di permukaan. Kelompok yang mengatakan bahwa ‘illat juga bisa dikatakan sabab, mereka menggabungkan keduanya dengan sebutan sabab karena keduanya sama-sama sebagai tanda ada-tidaknya hukum, dan mereka memisahkan keduanya karena melihat segi hubungan antara keduanya dan hukum yang ditimbulkan, sehingga yang tidak mempunyai hubungan logis tidak mereka sebut dengan ‘illat, sekalipun keduanya masih mengandung nama sabab.


_______________________________________

[1] Al-Mustasyfa, Al-Ghazali, Juz. 1 Hal. 93-94, Al-Amidi, Juz. 1, Hal. 11 dan seterusnya.

[2] Asy-Syathibi, Juz. 1 Hal. 188.

No comments:

Post a Comment