Sunday, March 25, 2012

MUBAH - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (9 Habis)


Mubah: perbuatan yang diperbolehkan syari’ untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan dan tidak berakibat pahala atau dosa, disebut juga dengan halal.[1]

Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan diperbolehkan, diantaranya:


1. Nash yang di dalamnya terdapat kata ‘halal’, seperti ayat, “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka…” (Al Maidah: 5).


2. Nash yang di dalamnya terdapat kata yang bermakna ‘tidak berdosa’, seperti:

a. Kata ‘la itsma’, seperti ayat, “…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya…” (Al Baqarah: 173).

b. Kata ‘la junaha’, seperti ayat, “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu…” (Al Baqarah: 235).

c. Kata ‘laisa haraj’, seperti ayat, “Tidak ada dosa bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit, dan tidak pula bagi dirimu sendiri, untuk makan di rumahmu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu…” (An Nur: 61).


3. Kalimat yang mengandung kata amar dan disertai indikasi yang memalingkan makna wajib ke makna ibahah. Seperti ayat, “…Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berburulah…” (Al Maidah: 2), artinya: jika kamu telah bertahallul, maka kamu boleh berburu.


4. Istishab pada hal-hal yang pada asalnya dibolehkan, berdasarkan kaidah yang menyatakan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh. Hal ini insya Allah akan dijelaskan tersendiri secara rinci pada pembahasan istishhab yang merupakan salah satu dalil hukum.


Dengan demikian, maka hukum asal dari perbuatan seperti akad dan transaksi dan hal-hal seperti tanah, binatang dan tanaman adalah boleh berdasarkan istishab, selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya secara jelas.


Hukum mubah: tidak berakibat pahala atau dosa. Tetapi terkadang mendapat pahala jika dilakukan dengan niat atau maksud tertentu, seperti orang yang melakukan olahraga badan dengan niat memperkuat badan agar lebih kuat memerangi musuh.


Harus diperhatikan bahwa mubah yang kami jelaskan di atas adalah dilihat secara parsial, karena jika dilhat secara universal maka bisa menjadi diperintahkan atau dilarang. Kebolehan (ibahah) hanya tertentu pada sebagian dan kadar waktu tertentu, tidak semuanya dan tidak selamanya.


Misalnya makan hukumnya mubah, mukallaf boleh memilih bermacam-macam makanan, makan apapun dan kapanpun sesukanya, tetapi jika dilihat secara keseluruhan maka mukallaf dituntut untuk makan, karena makanan merupakan penopang bagi kelangsungan hidup, sedangkan menjaga jiwa adalah suatu keharusan.


Menikmati makanan dan minuman yang enak dan pakaian yang bagus hukumnya boleh jika dilihat secara parsial dan dalam kadar waktu tertentu, mukallaf boleh menikmati atau meninggalkan kenikmatan itu secara parsial, dia juga tidak berdosa jika tidak melakukannya dalam kadar waktu tertentu sekalipun dia memiliki kemampuan. Akan tetapi jika dia meninggalkannya secara keseluruhan, maka dia telah menyalahi kesunahan, dalam hadits disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah senang melihat hamba-Nya menikmati karunia-Nya.” Dalam hadits lain, “Jika Allah melapangkan (rizki-Nya) kepadamu, maka lapangkanlah untukmu.” Dengan demikian, maka meninggalkan hal-hal yang baik secara keseluruhan adalah makruh, melakukannya secara keseluruhan adalah sunah dan di tengah-tengah keduanya, yakni terkadang meninggalkan dan terkadang melaksanakan adalah mubah.


Hiburan seperti piknik di taman, permainan dan mendengarkan hal-hal yang boleh dan sebagainya adalah boleh jika dilihat secara parsial, artinya mukallaf boleh melakukannya kadang-kadang. Akan tetapi jika dia melakukannya terus-menerus dan menghabiskan waktunya untuk hiburan, maka dia menyalahi kebiasaan yang baik dan dihukumi makruh. Hukum makruh ini hanya terjadi jika dia melakukannya terus menerus dan menghabiskan waktunya untuk hiburan, tetapi jika dia melakukannya pada waktu tertentu saja, maka tidak dihukumi makruh.


Bersetubuh/bersenggama antara suami-isteri hukumnya mubah, tetapi jika suami-isteri tidak melakukannya secara keseluruhan dan terus-menerus maka hukumnya haram, karena mendatangkan bahaya bagi isteri dan mengabaikan tujuan pernikahan. Oleh karena itu, hukum mubahnya bersenggama adalah dilihat secara parsial, tidak dilihat secara universal.


____________________________________

[1] As-Syaukani, hal. 6, As-Syathibi, hal. 40.

1 comment:

  1. Assalam..saudara, sy berminat utk meminta tunjuk ajar saudara dlm membantu sy membaca kitab ini. Perkara yg sy ingin rujuk adalah berkaitan Sumpah laknat dan isu mubahalah..boleh saudara bantu saya di bab mana yg membincangkan isu ini ? Ada yg telah diterjemahkan ke bahasa melayu ? Moga saudara dirahmati Allah kerana membantu hamba yg jahil ini dalam mempelajari ilmu-Nya demi keredhaan-Nya.

    ReplyDelete