Monday, March 26, 2012

MANI' - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (13 Habis)


Mani’ adalah sesuatu yang oleh syari’ diposisikan sebagai pencegah/penghalang, jika mani’ ada maka hukum menjadi tidak ada dan sabab menjadi hilang atau batal. Mani’ ada dua macam: mani’ al-hukm dan mani’ al-sabab (penghalang adanya sebab).[1]

Pertama, mani’ al-hukm: yakni sesuatu yang menjadi pencegah adanya hukum, akan tetapi sebab dari adanya hukum itu ada dan tidak terhalang.


Mani’ membuat suatu hukum terhalangi untuk diterapkan sepenuhnya, karena mani’ tersebut menyimpan makna yang kabur dan menyimpan hikmah hukum, artinya tujuan hukum tidak bisa diraba. Contohnya: “status sebagai ayah” menjadi penghalang seseorang dihukum qishash sekalipun dia telah membunuh anak kandungnya secara sengaja dan sadar, dia hanya dikenakan hukum yang lebih rendah dari qishash, yakni diyat. Hikmah dari hukum qishash adalah mencegah dan menghalangi tindak pembunuhan, sedangkan sifat seorang ayah yang penyayang, welas asih, dan simpatik terhadap anaknya secara tidak langsung telah menghalangi seorang ayah untuk membunuh anaknya, oleh karena itu jika dia tetap dijatuhi hukuman qishash karena membunuh anaknya maka hal itu bertentangan dengan tujuan dan hikmah diberlakukannya qishash. Seseorang tidak akan membunuh anak kandungnya sendiri dengan sengaja dan sadar kecuali pada keadaan tertentu yang bisa menjadi alasan tidak diberlakukannya qishash, oleh karena itu hal ini menjadi pengecualian.[2] Ayah adalah sebab adanya kehidupan anak, oleh karena itu anak tidak bisa menjadi sebab matinya ayahnya.[3]


Kedua: mani’ al-sabab: sesuatu yang mempengaruhi sabab; membuat sabab tidak berlaku dan menghalangi sabab untuk sampai pada musabbab karena mani’ tersebut mengandung pengertian yang bertentangan dengan hikmah sabab, contoh: hutang yang mengurangi kadar nishab harta pada masalah zakat. Nishab adalah sabab wajibnya zakat, karena orang yang memiliki harta dan sudah mencapai nishab dianggap sebagai orang yang berkecukupan/kaya dan mampu menolong orang lain yang membutuhkan. Akan tetapi adanya hutang meniadakan makna ‘berkecukupan/kaya’ yang menjadi sabab wajib zakat, karena orang yang memiliki harta yang mencapai nishab zakat, tetapi dia memiliki hutang, maka pada hakikatnya harta itu bukan miliknya, dia tidak dianggap berkecukupan/kaya. Makna nishab menjadi hilang sehingga tidak bisa menjadi sabab wajibnya zakat, dengan demikian nishab tidak menjadi sabab yang sampai pada musabbab-nya, yakni kewajiban zakat.


Contoh lain adalah: ahli waris membunuh pewarisnya. Sekalipun dia adalah ahli warisnya (karena kekerabatan atau lainnya), dia terhalang menjadi ahli waris karena telah membunuh pewarisnya, sehingga sabab (menjadi ahli waris) tidak sampai pada musabbab-nya (mendapat harta waris), hal ini karena mani’ (membunuh) mengandung pengertian yang bertentangan dengan asas kewarisan: bahwa ahli waris adalah pengganti dari pewarisnya, dan antara ahli waris dan pewaris ada ikatan perbantuan dan perwakilan yang abadi, pengertian ini menjadi hilang jika terjadi pidana pembunuhan.


Contoh lainnya adalah perbedaan agama dan negara, keduanya adalah penghalang (mani’) sabab (kewarisan).[4]


Mani’ jika dilihat dari fungsinya sebagai penghalang, maka tidak termasuk dalam khitab pembebanan hukum terhadap mukallaf. Syari’ tidak bermaksud mengadakan atau meniadakan mani’, syari’ hanya menjelaskan bahwa jika ada mani’ maka suatu hukum bisa terhalang dan batal, begitupula sabab. Sehingga dalam kasus zakat di atas, syari’ tidak menuntut pemilik harta membayar hutang agar hartanya mencapai satu nishab dan wajib membayar zakat, demikian pula dia tidak dilarang berhutang sehingga kewajiban zakatnya gugur.


Mukallaf tidak boleh sengaja membuat mani’ agar terhindar dari hukum syar’i karena termasuk dalam hail (mencari-cari alasan untuk menghindari hukum), syari’at Islam telah melarang hail dan pelaku hail berdosa. Misalnya: seseorang menghibahkan sebagian harta kepada isterinya agar pada saat haul hartanya tidak mencapai nishab zakat, kemudian setelah haul dia meminta isterinya untuk mengembalikannya agar terhindar dari kewajiban zakat.[5]


______________________________________

[1] Al-Amidi, Juz 1 Hal. 185.

[2] Pendapat ini adalah menurut jumhur, hujjahnya adalah sabda Nabi SAW, “Seorang ayah tidak bisa dibunuh sebab anaknya.”

[3] Alasan ini bertentangan dengan alasan sebelumnya, karena sabab matinya seseorang adalah dengan membunuhnya, oleh karena itu yang diambil adalah alasan sebelumnya.

[4] Sebagaimana ahli waris membunuh pewarisnya. Menurut sebagian ulama, perbedaan agama dan negara termasuk dalam mani’ li al-sabab, sedangkan ulama lain mengatakan bahwa perbedaan tersebut adalah mani’ li al-hukm, akan tetapi menurut kami lebih utama jika perbedaan tersebut menjadi mani’ li al-sabab, bukan mani’ li al-hukm.

[5] Al-Syathibi, Juz 1 Hal. 289.

No comments:

Post a Comment