Sunday, March 25, 2012

MAKRUH - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (8 Habis)


Makruh: perbuatan yang lebih utama ditinggalkan daripada dilakukan,[1] atau perbuatan yang dituntut syari’ untuk ditinggalkan mukallaf, tanpa paksaan dan bukan merupakan keharusan. Yang menunjukkan makruh: pertama, bentuk kata (sighat) yang dengan sendirinya menunjukkan makna karahah. Kedua, bentuk kata nahi (larangan) yang disertai indikasi yang memalingkan makna tahrim ke makna karahah.

Contoh yang pertama: hadits Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah memakruhkan kamu berpraduga dan berprasangka, banyak bertanya dan boros.” Dan hadits lain, “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah thalak.”


Contoh yang kedua, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu” (Al-Maidah: 101), indikasi yang memalingkan makna tahrim ke makna karahah terdapat pada kalimat selanjutnya dalam ayat yang sama, “…dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan kamu tentang hal-hal itu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang. 


Hukum makruh: pelakunya hanya mendapat celaan, bukan dosa, dan yang meninggalkan mendapat pahala jika dilakukan karena Allah.


Penjelasan makruh di atas adalah menurut pendapat dan istilah jumhur ulama, menurut mereka makruh hanya satu macam, yakni apa yang sudah kami jelaskan.


Sedangkan menurut Hanafiyah, makruh ada dua macam:


Pertama, makruh tahrim: perbuatan yang dituntut paksa oleh syari’ untuk ditinggalkan mukallaf berdasarkan dalil dhanni, bukan berdasarkan dalil qath’i. Seperti melamar perempuan yang masih dalam lamaran orang lain dan jual beli barang yang masih dalam transaksi orang lain. Dalil kedua hal itu adalah hadits ahad yang merupakan dalil dhanni.


Menurut Hanafiyah, makruh tahrim setingkat dengan wajib.


Hukum makruh tahrim adalah sama dengan hukum muharram menurut jumhur, artinya pelakunya mendapat dosa tetapi tidak dianggap kafir, karena dalil yang mendasari adalah dalil dhanni.


Kedua, makruh tanzih: perbuatan yang dituntut syari’ untuk ditinggalkan mukallaf, tetapi bukan keharusan. Seperti makan daging kuda dalam peperangan demi memenuhi kebutuhan dan wudlu’ dengan air dalam bejana yang sudah diminum burung pemangsa.


Hukum makruh tanzih: pelakunya tidak berdosa dan tidak mendapat siksa, tetapi hanya dianggap meninggalkan yang utama (khilaf al-aula) dan meninggalkan yang lebih baik.


Perbedaan ini adalah perbedaan antara Hanafiyah dan jumhur sebagaimana dalam masalah fardhu dan wajib. Hanafiyah melihat pada dalil yang mendasari tuntutan yang bersifat harus dan memaksa untuk meninggalkan suatu perbuatan, jika berupa dalil qath’i maka dinamakan muharram, jika berupa dalil dhanni maka dinamakan makruh tahrim dan jika tuntutannya tidak bersifat harus maka dinamakan makruh tanzih.


Sedangkan jumhur ulama tidak melihat pada ke-qath’i-an atau ke-dhanni-an dalil, mereka hanya melihat sifat tuntutan, jika bersifat harus maka dinamakan muharram, baik dalil yang mendasari adalah dalil qath’I atau dhanni. Sedangkan jika tuntutan bersifat tidak memaksa maka dinamakan makruh. Makruh menurut jumhur ini setingkat dengan makruh tanzih menurut Hanafiyah.


_____________________________

[1] Al Mahlawi, hal. 250.

No comments:

Post a Comment