Wednesday, January 8, 2014

Al-Ghazzali dan Sekilas Kitab Al-Mustasfa Min Ilm Al-Ushul

Oleh M. Royan Utsani*
A. Pendahuluan
Dalam mukaddimahnya Ibnu Khaldun menuliskan 4 kitab terbaik dalam Ushul fikih, dua diantaranya dimiliki oleh ulama mutakallimin yaitu al-Burhan karya Imam al haramain al-juwaini, kitab Al-Mustasfa karya Imam Al-Ghozali, sedangkan karya dari dua ulama mu'tazilah adalah al-Ahdu milik Abdul Jabbar dan Mu'tamad milik Abu Husain al-Basri.[1] Sebelum membahas kitab Mustasfa min Ilmi al-Ushul karya Ghozali, pemakalah akan menuliskan profil singkat Imam al-Ghozali.

Beliau adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Bin Ahmad Attusi Al-Ghozali lahir di Thussi.[2] Seorang yang dijuluki sebagai Hujjatul Islam dan salah seorang murid dari Imam besar Imam Al-Haramain Al-Juwaini[3] ayahnya adalah seorang penenun wol yang tidak kaya akan tetapi sangat relijius dalam keseharianya. Ayahnya adalah seorang yang haus akan ilmu pengetahuan, sehingga kerap kali mendatangi diskusi-diskusi ilmiah para ahli hukum Islam dan mendengarkan ceramah-ceramah dari pemuka agama. Sebelum meninggal dunia, ayah al-Ghozali mewasiatkan sejumlah harta kepada seseorang untuk kedua anaknya, al-Ghozali dan Ahmad saudaranya.[4] Ketika memasuki usia dewasa, uang wakaf (wasiat) tersebut sudah habis untuk menghidupi al-Ghozali dan saudaranya, sehingga orang tersebut menasehati keduanya untuk tetap melanjutkan sekolah dan menuntut ilmu.


B. Perjalanan Menuntut Ilmu
Imam al-Ghozali masuk di Madrasah Fikih Madzhab Syafi'i, salah satu gurunya bernama Ahmad Bin Muhammad Radhakani, kemudian Dia pergi ke Jurjan untuk belajar pada Imam Abi Nasr Al-Ismaili, ketika belajar bersama Imam Al-Ismaili Al-Ghozali sudah membuat catatan-catatan pelajaran mengenai fikih yang disebut dengan at-Ta'liqah.[5] setelah beberapa waktu kemudian al-Ghozali kembali ke Thus yang notabenenya adalah kota kelahiranya, dalam perjalananya ia dan rombongan dirampok dan seluruh bawaanya dirampas. Diantara barang-barang berharga adalah tas yang berisi seluruh catatan pelajaran yang dibuat di Jurjan[6] Al-Ghozali memberanikan diri untuk meminta kepada perampok itu agar tas tersebut dikembalikan, karena tas tersebut sangat berharga bagi al-Ghozali, setelah berunding dengan perampok, perampok itu tertawa dan akhirnya mengembalikan buku catatan milik Al-Ghozali.[7] Tiga tahun kemudian Al-Ghozali pergi ke Naisabur untuk belajar di perguruan Nizamiyah tempat Imam Haramain Al-Juwaini mengajar. Di Naisabur al-Ghozali mempelajari ilmi-ilmu seperti Mantiq, Ushuluddin, Jadal (debat) filsafat dll. Al-Ghozali adalah Seorang yang cerdas, kuat hafalanya, tajam analisanya. Imam Al-Haramain sang guru sangat terpukau dengan ketajaman analisanya sehingga ia menyebut al-Ghozali dengan sebutan Bahru al-mughaddiq (lautan yang dalam)[8]. Kepiawaian menulis Al-Ghozali sudah tampak ketika Ia menulis karya pertamanya yang berjudul Al-mankhul Min Ta'liqat al-ushul,[9] buku tersebut adalah ihtisar-ihtisar dari pelajaran yang diterima dari sang guru Imam Haramain Al-Juwaini. Tahun 484/1091 al-Ghozali berangkat ke Bagdad dan di Bagdad mengajar di perguruan Nizamiyah. Murid al-Ghozali ketika itu mencapai tiga ratus orang, disela sela mengajar al-Gozali juga menulis buku.

Ketika berada di Bagdad, al-Ghozali mulai bersentuhan dengan filsafat, Ia tidak membatasi dirinya pada kajian yang menjadi tugas pokoknya sebagai pengajar, pertentangan klaim kebenaran antara aliran dan madzhab ketika itu membawa al-Ghozali menghadapi problem epistemologis serius mengenai pengetahuan yang benar dan bagaimana cara yang shahih untuk mendapatkannya.[10] Hasil perenungan al-Ghozali meyimpulkan setidaknya ada dua kemungkinan sumber pengetahuan yang pasti, yaitu pengalaman dan Rasio,[11] Akan tetapi Ia masih juga meragukan pengetahuan aksiomatik yang bersumber pada rasio dan pengalaman yang bersumber pada persepsi inderawi ataukah masih ada sumber pengetahuan yang belum terungkap. dari situ al-Ghozali menghadapi krisis epistemologi selama dua bulan atau dikenal dengan sebutan as-safsatah.[12] Akhirnya al-Gozali mampu mengatasi keraguan tersebut. Ketika di bagdad al-Ghozali menulis kitab Maqasid al-Falasifah disusul Tahafut al-falasifah.


Tahun 488 bulan Dzulkaidah al-Ghozali meninggalkan Bagdad, kemudian pergi ke Mekah dengan niatan untuk bisa pergi ke Syam,[13] di Syam al-Ghozali menjalani kehidupan Sufi seperti beruzlah, berklawat, Tazkiyatu al-nafs, al-Ghozali kerapkali beri'tikaf di atas menara Masjid Damaskus sepanjang hari[14]. Kemudian ia pergi ke Jerussalem dan tidak lama setelah itu ia pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji tahun 489.[15] Selama pengembaraanya menjalani kehidupan sufi, al-Ghozali menulis kitab Ihya ulumiddin[16]. Setelah sebelas tahun menjalani kehidupan sufinya al-Ghozali kembali lagi ke kampung halaman untuk mengajarkan ilmu kepada masyarakat[17] di Thuslah sang Imam wafat pada tahun 505 H pada hari senin jumadil akhir[18].


C. Al-Ghozali dan Kitab Mustasfa 
Tidak dapat dipungkiri lagi, kitab Mustasfa adalah salah satu kitab terbaik dalam ushul fikih sebagaimana disebutkan di awal, keistimewaan Mustasfa adalah keruntutan dan kesistematisan kitab tersebut[19] dalam al-Mustasfa min ilmi ushul, al-Ghozali sangat memperhatikan kesistematisan kitab tersebut, ia berkeyakinan bahwa sistematika yang baik akan memudahkan pembaca ataupun penuntut ilmu.


Sistematika al-Mustasfa memang berbeda dengan para penulis ushul fikih sebelum maupun sesudahnya[20], pada umumnya para ahli ushul fikih memulai karya mereka dengan kajian mengenai bahasa hukum dan premis-premis kebahasaan dalam penalaran hukum, kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil hukum baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan. Kemudian dibahas mengenai mujtahid, ijtihad serta konsep-konsep seperti Istifta dan taklid,[21] dan diakhiri dengan kajian tentang tarjih. Menurut al-Gozali, tujuan utama kajian ushul fikih adalah untuk menemukan hukum dan pengetahuan tentang hukum dari ushul fikih, oleh sebab itu kajian ushul fikih haruslah dimulai dengan pembahasan tentang hukum.[22] Kajian tentang toeri hukum Islam dalam beberapa bagian sebenarnya untuk menjawab empat pertanyaan pokok.[23] Lataran ushul fikih bertujuan untuk menjelaskan cara-cara menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya dan penemuan hukum adalah tujuan akhir dari ushul fikih, maka pertanyaan-pertanyaan seperti; apakah hukum Syar'i, setelah mengetahui hukum Syar'i kemudian muncullah pertanyaan, dimana hukum itu ditemukan? Bagaimana cara menemukan hukum di dalam sumber hukum itu? Kemudian bagaimana metode penemuan hukum tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya dapat ditemukan jawabanya dalam al-Mustasfa.


D. Sistem-Sistem Pengetahuan Dalam Islam Menurut Al-Ghazzali
Menurut Abid al-Jabiri[24] salah seorang pemikir kontemporer asal Maroko ada tiga sistem pengetahuan dalam Islam, yaitu: (1) sistem pengetahuan Burhani (2) sistem pengetahuan Irfani (3) Sitem Pengetahuan Bayani. Sistem pertama diwakili oleh kefilsafatan Islam, sistem kedua diwakili oleh tasawuf dan ajaran-ajaran ta'limiyah yang diajukan oleh Syiah dan sistem ketiga diwakili oleh ilmu-ilmu syariah seperti Fikih, Ushul fikih, Kalam, ilmu-ilmu al-Qur'an dll[25]. 


Al-Ghazzali dalam kitab Mustasfa mengatakan bahwa ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang memadukan antara ra'yu dan wahyu[26]. Ilmu hukum Islam sendiri menurut beliau termasuk ke dalam sistem bayani[27] beserta cabang-cabang pengetahuan keagamaan Islam lainya seperti teologi, al-Qur'an, hadis dan sebagainya. Dalam sistem pengetahuan bayani tersebut imam al-Ghazzali membuat strukturisasi dan klasifikasi ilmu agama Islam dan memperlihatkan kedudukan di dalamnya. Al-Ghazzali mengklasifikasikan ilmu secara umum dalam kategori ilmu-ilmu rasional[28] seperti matematika, kedokteran, geometri, astronomi dll. Ia juga mengkelompokkan ilmu-ilmu keagamaan seperti kalam, fikih, ushul fikih. Kemudian ia menjelaskan ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang membedakan antara keduanya.


E. Otentikasi Teks Sebagai Sumber Hukum Islam
Secara umum, otentikasi teks yang disimpulkan para teoritisi hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua aliran[29], yaitu tradisionalis dan rasionalis. Aliran tradisionalis sangat menekankan arti penting sanad, hingga Ibnu Mubarak mengatakan sanad adalah bagian dari agama, seandainya tanpa sanad, maka orang akan berkata semaunya.[30] Kebenaran teori sanad juga didasarkan pada otoritas para rawi yang membentuk sanad tersebut.[31] Sebagai counterpart dari aliran tradisionalis adalah aliran rasionalis, tidak cukup otentikasi sanad, namun juga kritik matan apabila memungkinkan. Harus terdapat sejumlah kriteria 
tidak bertentangan dengan teks al-Qur'an 
tidak bertentangan dengan hadis Masyhur 
tidak bertentangan dengan qiyas jika diriwayatkan bukan dari ahli hukum 
tidak diabaikan oleh para sahabat dalam perdebatan mereka mengenai kasus yang berkaitan dengan hadist tersebut 
tidak ganjil dalam kasus yang banyak kejadianya. 


Konsekwensi dari dari metode kritik matan berdasarkan kriteria tersebut, banyak hadist yang disahihkan oleh kalangan tradisionalis[32]. Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar dalam desertasinya, al-Ghozali termasuk aliran Tradisionalis, namun dalam beberapa hal ia menerima kriteria aliran rasionalis contohnya adalah jika suatu sanad ahad, ia dapat mencapai tingkat mutawatir jika didukung oleh bukti-bukti surkumstansial yang memadai[33]. Laporan ahad memang menghasilkan pengetahuan tentatif, namun karena pertimbangan laporan tersebut dapat diterima.


F. Penutup
Kitab Mustasfa adalah salah satu kitab terbaik dalam Hukum islam Khususnya Ushul fikih, semangat al-Ghazzali dalam mengintegrasikan akal dan wahyu tampak dalam kitab tersebut, kitab tersebut juga menjadi rujukan para ulama dan penuntut ilmu di seantero dunia. Dalam kitab tersebut meskipun al-Ghazzali menganut madzhab Syafi'iyah, Ia tidak fanatis terhadap madhab syafi'i.



Endnotes
---------------------------
[1] Ibnu Khaldun al-Mukaddimah hal 455 
[2] Sholeh Ahmad Syami, Al-Imam Al-Ghozali, Hujjatu Al-Islam Wa Mujaddid Miah Al-Khomisah, (Dar-Al-Qalam, Damaskus, 2002) hlm.,28. 
[3] As-Subki, Tabaqat Al-Syafi'iyah Al-Kubra, Darul Ihya Lil kutu Al-Arabiyah, TT) hlm 88. 
[4] Sholeh Syami, (Al-Imam Al-Ghozali.......) 
[5] Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam Dalam Al-Mustasfa Min Ilm Al-Usul Karya Al-Ghazzali PPs UIN Sunan Kali Jaga, hlm., 67 desertasi tidak diterbitkan 
[6] Ibid hlm., 67. 
[7] Al-Ghazzali, Al-Mustasfa Min Ilm Al-Ushul TP, TT Tahqiq: Hamazah Ibnu Zuhair Al-Hafid 
[8]Sholeh Ahmad Syami, Al-Imam Al-Ghozali, Hujjatu Al-Islam Wa Mujaddid Miah Al-Khomisah, (Dar-Al-Qalam, Damaskus, 2002) hlm., 21 
[9] Al-Ghazzali, Al-Munqiz Min Al-Dalal (darul Al-Andalus, Beirut, 1967).,hlm., 36 
[10] Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam Dalam Al-Mustasfa Min Ilm Al-Usul Karya Al-Ghazzali PPs UIN Sunan Kali Jaga, hlm.,71 desertasi tidak diterbitkan 
[11] Ibid.,hlm., 71 
[12] Ibid hlm., 72 
[13] di dalam kitab al-Munqidz, Ghazzali menceritakan kepergianya ke mekah adalah untuk berpura-pura agar ia bisa ke Suriah, dengan niatan tidak kembali lagi ke Bagdad, sikap pura-pura ini dilakukan karena tidak ingin diketahui oleh Khalifah dan beberapa sahabatnya, jika mereka mengetahui maka tentu saja akan terjadi penentangan 
[14] Sholeh Ahmad Syami, Al-Imam Al-Ghozali, Hujjatu Al-Islam Wa Mujaddid Miah Al-Khomisah, (Dar-Al-Qalam, Damaskus, 2002) hlm., 25 
[15] Al-Ghazzali, Al-Munqiz Min Al-Dalal (darul Al-Andalus, Beirut, 1967) 
[16] Sholeh Ahmad Syami, Al-Imam Al-Ghozali, Hujjatu Al-Islam Wa Mujaddid Miah Al-Khomisah, (Dar-Al-Qalam, Damaskus, 2002) 
[17] Alasan al-Ghozali untuk kembali ke kampung halamanya adalah 1. Berkembangnya ajaran filsafat yang terlalu bebas 2. Berkembangnya praktik dan ajaran tasawuf yang menyimpang 3. Adanya ajaran bathiniyah 4. Para pemimpin Agama yang tidak mengindahkan ajaran agamanya seperti minum khomr, memakan harta anak yatim dll. Al-munqiz halaman ....... 
[18] Sholeh Ahmad Syami, Al-Imam Al-Ghozali, Hujjatu Al-Islam Wa Mujaddid Miah Al-Khomisah, (Dar-Al-Qalam, Damaskus, 2002) hlm., 28 
[19] Mukaddimah Mustasfa hal 62 
[20] pak syam hal 103 
[21] Ibid 
[22] Ibid 104 
[23] Dalam seminar di kelas Hukum Islam A pada tanggal 30/10/2013, Prof. Dr. Syamsul Anwar mengatakan bahwa Ushul fikih membahas 4 pertanyaan pokok apa itu hukum? Dimana hukum itu ditemukan? Bagaimana cara mengeluarkan hukum? Dan siapa yang berwenang? 
[24] Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi. Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Li Nuzum al-Ma'rifah Fi as-Saqafah al-Islamiyah (Beirut: Casablanca: al-Markaz as-Saqafi al-arabi, 1993) hlm, 9. 
[25] Syamsul Anwar hlm 139 
[26] Al-Ghazzali, Mustasfa 
[27] syamsul anwar hal 153 
[28] al-Ghazzali, Mustasfa hal 83 
[29] Syamsul Anwar halaman 409 
[30] http://www.saltaweel.com/articles/75 diakses 2/1/2014 
[31] Syamsul Anwar 
[32] Syamsul Anwar 
[33] Seminar Ushul Fikih yang disampaikanoleh Prof. Dr. Syamsul Anwar di kelas HK A pada 29/12/2013

* Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga 2012

No comments:

Post a Comment