Wednesday, January 8, 2014

Induksi Tematis Metode Penemuan Hukum: Pandangan asy-Syatibi

Oleh M. Iqbal Ghazali*
A. Pendahuluan
Sebagai disiplin yang secara khusus mengkaji epistemologi hukum Islam, ushul fiqh dalam perkembangannya pasca al-Syafi’i (w. 204 H) mendapat pengaruh yang cukup signifikan dari ilmu kalam dan juga logika Yunani.[1] Salah satu bentuk pengaruh kalam dan logika terhadap pembahasan ushul fiqh adalah berkaitan dengan persoalan kepastian epistimologis dalil hukum atau ’ilm (qat’i) dan zhanni. Jika kita buka lembaran-lembaran awal karya-karya ushul fiqh pasca al- Syafi’i, maka akan tampak bahasan jenis atau tingkatan pengetahuan. Konsep-konsep yang dikaji mencakup ’ilm, yaqin, zhann, wahm, dan sebagainya. Bahasan ini secara jelas memperlihatkan kajian epistimologis dalam ushul fiqh khususnya menyangkut qat’i-zhanni. Konsep-konsep ini dijabarkan kususnya bertujuan untuk mencari landasan yang bisa dipercaya bagi bangunan syari’ah.[2] 

Bahasan qat’i- zhanni adalah benar-benar wilayah kajian yang khas ushul fiqh. Dalam ilmu tafsir, kajian ini tidak menjadi salah satu bahasannya karena dalam ilmu ini ditekankan bahwa al-Qur’an hammalah li al-wujuh (mengandung banyak interpretasi).[3] Adapun dalam ushul fiqh, seperti ditegaskan oleh M. Hashim Kamali berkaitan dengan karakteristik penafsiran al-Qur’an, pembagian kepada qat’i-zhanni merupakan hal yang paling penting dan mempunyai pengaruh yang luas karena keterkaitannya dengan hampir banyak aspek penafsiran al-Qur’an.[4]


Dalam literatur ushul fiqh, istilah qat’i-zhanni dikaitkan dengan status kepastian sumber periwayatan (subut/wurud) dan penunjukkan makna teks (dalalah). Hal yang tampaknya diterima secara taken for granted di lingkungan ulama ushul adalah bahwa kepastian makna dapat secara langsung ditemukan dalam teks.[5] Abu Ishaq asy-Syatibi adalah di antara ahli hukum yang sangat kritis dengan kesimpulan ini.


Mengenal Imam Asy-Syathibi
Abu Ishaq asy-Syatibi (w. 8 Sya‘bân 790 H/1388 M) dikenal dalam sejarah teori hukum Islam sebagai teoritisi besar yang meletakkan basis teoritis dan kerangka kerja bagi ahli hukum untuk secara jeli dan cerdas dapat menangani hukum-hukum substantif agar hukum-hukum tersebut otoritatif dan dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi sosial. Asy-Syatibi diakui sebagai seorang pembaharu dalam ushul fiqh karena upayanya dalam menerobos kekakuan metodologi yang dibangun al-Syafi‘i dengan mengenalkan spirit hukum (ruh al-syari‘ah) terhadap metode dalalah al-nusus. Metode yang terakhir ini cukup mengabaikan tujuan-tujuan dan maksud-maksud syari’ah.[6] Keunikan asy-Syatibi ini didukung pula oleh kenyataan bahwa periode berkaryanya merupakan masa di saat ushul fiqh telah mencapai tingkat kematangan yang demikian tinggi hingga disiplin ini telah tersusun secara utuh. Dengan begitu, teori asy-Syatibi boleh dikatakan merepresentasikan puncak perkembangan intelektual yang telah dimulai sejak empat abad sebelumnya.[7] 


Signifikansi ketokohan asy-Syatibi tampak pula dari penerimaannya di semua kecenderungan pemikiran modern dan kontemporer, mulai dari yang neo-tradisionalis, modernis, neo-modernis, sampai pasca-modernis, dan juga dari yang “fundamentalis” sampai yang liberal. Kalangan-kalangan ini sama-sama mengusung asy-Syatibi. Hal ini paling tidak membuktikan bagaimana posisi intelektualnya diakui.


Dalam sejarah pemikiran Islam, kecenderungan epistemologi tekstualis diperlihatkan oleh as-Syafi’i (150-204/767-820), sebagai guru arsitek ilmu usul fiqh dan al-Syafi’i inilah yang disebut-sebut sebagai peletak dasar epistemologi bayani.[8] Adapun kecenderungan yang kedua yaitu berpegang pada maksud umum teks (maqasid as-Syari’ah) yang berawal dari prakasa Abu Ishaq Asy-Syatibi yang berpendapat bahwa metode induktif tematik atau Istiqra’ al-ma’nawi adalah salah satu metode yang paling tepat untuk mengidentifikasikan maqasid asy-Syari’ah,[9] yaitu dengan model pengambilan kesimpulan premis umum dari sekumpulan dalil-dalil nas yang berserakan.[10]


Dalam istilah ilmu hukum Islam, istiqra’ (induksi) adalah sebuah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta khusus yang digunakan oleh ahli-ahli Fiqh untuk menetapkan suatu hukum,[11] metode ini tertuang dalam Ushul Fiqih[12] dan Qowaid Al-Fiqhiyyah[13] yang pernah diapliasikan oleh Imam Al-Syafi’i dalam menentukan waktu lamanya menstruasi bagi wanita.[14]


Istiqra’ secara etimologi berarti pengikutsertan, terus-menerus (at-tatabu’).[15] Dalam istilah populer, istiqra’ disebut juga dengan Induksi (kebalikan dari deduksi) yaitu sebuah metode pemikiran yang bertolak dari suatu kekhususan menuju pada yang umum, kadang-kadang juga bertolak dari yang kurang umum menuju pada yang lebih umum.[16]


Menurut ahli mantiq, istiqra’ adalah menarik kesimpulan umum berdasarkan karakterisik satuan-satuannya.[17] Definisi yang serupa dikemukakan oleh Ibnu Sina (w. 428 H/1037 M) dengan menambahkan, jika kesimpulan itu didasarkan atas kesamaan karakteristik semua satuannya disebut Istiqra’ tamm (induksi sempurna) dan jika didasarkan atas kesamaan karakteristik mayoritas satuannya disebut Istiqra’ Masyhur atau Istiqra’ Naqis (induksi tidak sempurna).[18]


Istiqra’ Tamm biasanya ditemukan dalam penelitian ilmu-ilmu kealamian yang karakteristik objek-objeknya yang diteliti bersifat konstan, sedangkan istiqra’ masyhur sering ditemukan dalam kajian ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu agama. Dalam ilmu agama, obyek kajiannya adalah al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama’ yang memiliki otoritas. Adanya istilah istiqra’ masyhur ini di dalam ilmu-ilmu sosial disebabkan karakteristik tingkah laku manusia dan pranata sosial tidak konstan, begitu pula makna (dalalah) ayat al-Qur’an dan hadis riwayat yang mendukung jarang disepakati kepastian maknanya. Karena itu, hanya dapat dilakukan dengan istiqra’ masyhur yang menghasilkan kesimpulan zanni (kemungkinan besar benar). 


Di kalangan ahli usul fiqh, metode induksi (manhaj istqra’iyah) digunakan antara lain, dalam menetapkan suatu kaedah umum untuk membahas persoalan-persoalan hukum atau menetapkan hukum fiqh ‘amaly (praktis) : apakah persoalan itu wajib, sunah, mubah, makruh, haram, halal, sah, batal atau fasid.[19] Hukum yang dihasilkan oleh istiqra’ tamm adalah qat’i (pasti, tidak bisa dibantah) dan hukum dari kesimpulan yang dihasilkan istiqra’ masyhur adalah zanni, sebagaimana hukum yang terdapat pada kitab-kitab fiqh pada umumnya.[20]


Pengetahuan-pengetahuan dalam hukum Islam meliputi pengetahuan tentang dalil (al-Qur’an, hadis dan sebagainya), perintah, larangan dan lain-lain. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu, misalnya asas tasyri’. Pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat diakumulasikan dan disusun dengan baik karena setiap pengetahuan satu sama lain terkait secara fungsional dalam suatu sistem tertentu. Untuk karakteristik selanjutnya dalam hukum Islam terdapat beberapa metode, yang metode-metode tersebut tertuang dalam usul fiqh dan qowaid al-fiqhiyah[21] yang dalam operasionalnya meliputi : 

1. Metode deduktif (Istinbati)yaitu metode penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil umum. Metode ini dipakai untuk menjabarkan atau untuk menginterpretasikan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis menjadi masalah-masalah usul fiqh.

2. Metode induktif (istiqra’i) adalah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum atas masalah-masalah yang tidak disebutkan secara jelas dan rinci atas ketentuannya dalam nas al-Qur’an dan hadis.

3. Metode genetika (takwini), adalah metode penelusuran atau cara berfikir untuk mencari kejelasan suatu masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah kemunculan masalah tersebut. Metode ini banyak digunakan oleh ulama’ ahli hadis dalam meneliti status hadis dari segi riwayah dan dirayahnya.

4. Metode dialektika (jadali) adalah suatu metode yang menggunakan penalaran melalui pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang bersifat tesa (tesis-tesis) dan anti tesis. Kedua pernyataan (tesa dan anti tesa) tersebut kemudian didiskusikan dengan prinsip-prinsip logika yang logis untuk memperoleh kesimpulan. Dasar-dasar metode ini banyak ditulis dalam kitab-kitab Adab al-Ba’ts wa al-Munazarah. 


Metode penggalian hukum induktif pada dasarnya sudah dilakukan oleh ilmuan Yunani dulu. Metode ini diadopsi oleh pemikir-pemikir Islam dari filsafat Aristoteles dengan mengedepankan rasional-filosofis.

Pemikiran filsafat Aristoteles berkembang di wilayah Islam bagian barat, yang kemudian dijadikan landasan epistemologi keilmuan, termasuk juga disiplin ilmu hukum Islam. Kerangka berfikir Aristoteles ini terkenal di dunia Islam dengan istilah nalar Burhani,[22] yaitu sebuah pemikiran dengan mengedepankan logika dalam artian berusaha untuk menganalisis ilmu sampai pada prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya yang terdalam. Adapun untuk mencapai itu terlebih dahulu harus memahami dan mendalami syllogisme.[23]Syllogisme pada dasarnya terdiri dari beberapa propinsi yang disebut dengan premis mayor, premis minor dan konklusi. Hal ini berarti bahwa penyimpulan yang bersifat konklusif tidak bisa terjadi apabila hanya terdiri dari satu premis. Disamping itu dua premis tersebut harus mengandung satu term yang sama.[24]


Premis-premis dalam syllogisme di atas menurut Aristoteles sebenarnya didapat dengan cara induktif (istiqra’i) dari realitas empiris yang ada, melalui proses abstraksi. Benda-benda dan peristiwa-peristiwa parsial dan empiris pada dasarnya masing-masing memiliki kandungan yang universal, yang dapat disatukan antara satu dengan yang lainnya yang sejenis. Proses abstraksi ini tidak lain merupakan hasil dari penalaran akal.


Cara induksi Aristoteles ini pada awalnya muncul berkaitan dengan hukum alam yaitu bertolak dari pengamatan induktif atas beberapa fenomena yang terdapat di alam, sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan umum yang mencakup segenap fenomena partikularitas lainnya. Hukum alam pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan hukum syari’ah, jadi dalam masalah syari’ahpun bisa dilakukan hal yang serupa yaitu dengan cara menjadikan nas-nas yang jelas (al-Qur’an dan hadis) seperti halnya fenomena-fenomena alam yang jelas, yang dinyatakan sebagai satu data dari sekian data-data agama yang tidak bisa diubah atau diganti. Bila tidak ada nas yang jelas maka kewajiban seorang muslim adalah mencari dan merumuskan satu “dalil” atau pembuktian rasional, yakni dengan cara meneliti secara induktif (istiqra’) terhadap teks-teks agama, lalu dijadikan premis-premis yang kemudian digunakan untuk menarik satu kesimpulan hukum.


Percaya pada validitas metode induksi ini untuk mewujudkan kepastian, asy-Syatibi mengenalkan istiqra ma’nawi, sebuah penyimpulan secara induktif dari sejumlah dalil-dalil yang zhanni yang mempunyai tujuan yang berbeda tetapi menunjuk kepada satu pengertian yang pasti baik melalui pengulangan, penguatan, maupun penyebaran dalil-dalil tersebut. Kekuatan yang dimiliki induksi ini adalah sama dengan yang dipunyai mutawatir lafzi dan mutawatir ma’nawi. Di sini al-Syatibi menyebutkan satu teori yang berbunyi, inna li al-ijtima’ min al-quwwah ma laysa fi al-iftiraq (akumulasi argumen akan mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki oleh argumen yang berdiri sendiri).[25] 


Bahkan menurut asy-Syatibi, istiqra` ma’nawi ini mirip dengan tawatur ma’nawi. Perbedaannya terletak pada sifat partikuar yang hendak diakumulasi oleh keduanya; dalam tawatur ma’nawi, partikular tersebut mengacu secara langsung kepada satu pengertian sedangkan dalam istiqra` ma’nawi pengertian diperoleh dari partikular secara tidak langsung.[26] 


Metode istiqra` ma’nawi oleh asy-Syatibi diaplikasikan sebagai dasar bagi teori-teorinya sehingga kita dapat melihat metode ini tampak mengakar kuat dalam struktur argumen asy-Syatibi. Metode induksi yang kualitasnya pasti ini ia maksudkan untuk memberikan dasar yang kuat dan pasti bagi prinsip-prinsip (ushul) dan kaedah-kaedah universal agama (kulliyyat).[27] Hal ini menjadikan metodologinya dinilai sebagian kalangan sebagai capaian yang baru bahkan unik dalam teori hukum atau ushul fiqh Sunni. Memang, seperti disinggung di atas, Ibn Taymiyyah sudah merancang bahkan mempertahankan validitas metode induksi, namun asy-Syatibi lah yang menggunakan metode ini secara ekstensif terutama dalam ushul fiqh.[28] Asy-Syatibi juga mengakui bahwa metodenya bukanlah murni ciptaannya. Menurutnya, metode ini pada dasarnya sudah digunakan oleh ulama “klasik” (mutaqaddimun), satu hal yang dilalaikan oleh ulama “kontemporer” (muta`akhkhirun), karena ulama yang terakhir ini lebih banyak berargumentasi dengan al-Qur`an dan hadis secara terisolir.[29] 


Asy-Syatibi menyebutkan dua jenis istiqra` ma’nawi, yaitu induksi sempurna (istiqra` tamm) dan induksi dengan mayoritas partikular (istiqra` bi al-ghalib al-aksari). Induksi sempurna menghasilkan pengetahuan yang pasti seperti dalam masalah sandaran pembebanan (taklif). Menurut asy-Syatibi, sandaran taklif adalah akal sehingga jika mukallaf kehilangan akalnya, maka taklif pun tidak ada. 


Kesimpulan ini, kata asy-Syatibi, bernilai pasti melalui induksi sempurna (sabit qat’an bi al-istiqra` al-tamm).[30] Sedangkan induksi dengan mayoritas partikular adalah induksi yang partikular-partikular aslinya tidak semuanya dimasukkan dalam proses penyimpulan karena yang dicakup adalah mayoritas partikularnya saja. Jenis induksi ini menurut asy-Syatibi juga bernilai pasti, dengan alasan bahwa partikular-partikular yang akan dibawa dalam proses induksi masih berada dalam jangkauan tiga tingkat prinsip-prinsip universal agama (al-maratib al-salas), yakni daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Partikular yang tercakup dalam proses induksi tadi dipercaya tidak akan keluar dari tiga tingkat tersebut. 


Artinya, jika mayoritas partikular yang diinduksikan berada dalam satu tingkat (martabah), maka partikular yang tidak tercakup tadi dipastikan menempati tingkat lain. Tidak tercakupnya partikular tadi bukan disebabkan ia pada dirinya bertentangan dengan mayoritas partikular yang terinduksikan tetapi karena adanya faktor luar (umur kharijah). Jenis induksi terakhir ini merupakan metode khas yang biasa digunakan untuk memperoleh prinsip-prinsip universal agama (kulliyyat).[31] 


Dalam metode istiqra’i, yang menjadi obyek kajian adalah teks dan konteks. Teks yang dimaksudkan di sini adalah mencermati dhahir nas, sedangkan konteks adalah ma’na substansi atau illat yang terkandung dalam sebuah teks. Makna substansi tidak boleh merusak arti zahir suatu nas, demikian pula sebaliknya. Sehingga syari’at Islam bisa berjalan secara harmonis, tanpa ada kontradiksi di dalamnya. 


Pemahaman secara teks konteks ini dianut oleh para ulama’ yang beraliran al-Rasikhun.[32] Aliran ini menurut asy-Syatibi adalah aliran yang pantas dijadikan rujukan dalam mengetahui maksud al-Qur’an dan hadits. Dalam hal ini asy-Syatibi menjelaskan pentingnya memperhatikan nas al-Qur’an dan hadits dari segi zahirnya, sekaligus mempertimbangkan makna tujuan syariat yang terkandung di dalamnya (makna substansial),[33] misalnya larangan memukul orang tua, larangan mengkonsumsi pil ekstasi, narkoba dan ganja. Larangan-larangan tersebut tidak disebutkan secara eksplisit baik lafadz ataupun ma’nanya, akan tetapi didapat dari pemahaman ma’na substansial yang terkandung dalam nas al-Qur’an dan hadis.

Contoh Metode Istiqra’i:
Cara kerja metode istiqra’i pada dasarnya merupakan bagian dari kerja epistemologi. Cara kerjanya harus melalui prosedur yang benar. Premis yang menyatakan karakteristik satuan-satuannya harus dibangun dengan pernyataan yang benar pula. Misalnya ada pernyataan : “Benda padat (seperti : besi, batu, kayu) memuai bila kena panas”, maka pernyataan itu harus benar-benar teruji kebenarannya. Dengan demikian apabila diambil kesimpulan : “Semua benda padat memuai bila kena panas”, adalah betul-betul merupakan kesimpulan yang meyakinkan[34]. 


Menurut asy-Syatibi, prosedur ideal yang harus dilalui dalam penerapan metode istiqra’i agar diperoleh pernyataan yang meyakinkan dan dapat ditarik kesimpulan yang falid harus memperhatikan 10 variabel (al-ihtimalat al-‘asyrah) yaitu : 

1. Pendapat yang berkenaan dengan kebahasaan; 
2. Pendapat yang berkenaan dengan gramatika (tata bahasa); 
3. Pendapat yang berkenaan dengan perubahan bentuk kata (tasrif); 
4. Redaksi yang dimaksud bukan kalimat yang bermakna ganda (ambigu, musytarak); 
5. Redaksi yang dimaksud bukan kata metaforis (majaz); 
6. Tidak mengandung sisipan makna; 
7. Penetapan sisipan (domir) yang tepat; 
8. Pendahuluan dan pengakhiran yang tepat (taqdim wa ta’khir); 
9. Penelitian tentang pembatalan hukum (nasakh) dan 
10. Tidak mengandung penolakan yang logis (‘adam al-muarrid al-aqly).


Kesimpulan
Dalam hal ini asy-Syatibi mengatakan bahwa jarang sekali bahkan boleh dikatakan tidak ada suatu pernyataan baik itu ayat ataupun hadits yang secara meyakinkan dinyatakan benar berdasarkan seluruh variabel di atas. Karena itu para ahli ushul fiqh hanya mampu mengambil kesimpulan dari istiqra’i berdasarkan dugaan yang cenderung ke arah kebenaran.


Sebagai contoh yang pernah dilakukan oleh para ahli ushul fiqh, yang mengambil kesimpulan berdasarkan penelitian istiqra’ bahwa “pada prinsipnya kalimat perintah yang terdapat pada teks (ayat atau hadis) menunjukkan wajib”[35]. Kesimpulan ini diambil berdasarkan pada satuan-satuan pernyataan (premis) berupa :

1. Pernyataan ayat yang menunjukkan bahwa Allah SWT mencela orang yang tidak mengindahkan apa yang diperintahkan
2. Pernyataan yang menunjukkan bahwa Allah mengancam orang yang tidak melaksanakan perintah
3. Pernyataan Rasulullah berupa perintah atau tindakan memberi contoh yang difahami para sahabatnya sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan dan anggapan mereka dibenarkan oleh Rasulullah sendiri
4. Pernyataan berupa riwayat kebahasaan menunjukkan bahwa fi’il ‘amr (kalimat perintah) itu menunjukkan wajib kecuali ada indikasi yang menunjukkan makna lain

Beberapa pernyataan (premis) di atas terlebih dahulu harus dilihat dengan perspektif 10 variabel di atas, setelah teruji kebenarannya dan kebanyakan dari premis di atas mengisyaratkan bahwa amr menunjukkan makna wajib maka dapat ditarik kesimpulan umum bahwa pada prinsipnya ‘amr dipergunakan untuk wajibnya sesuatu yang diperintahkan. Kesimpulan umum ini dihasilkan oleh istiqra’ masyhur karena tidak semua premis menunjukkan karakteristik makna yang sama.




Daftar Pustaka
--------------------------
Al-Ansari, Muhammad ibn Nizam al-Din. Fawatih al-Rahmut bi-Syarh Musallam al-Subut, cet. 2. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1983. 
Al-Awani, Taha Jabir. Metodologi Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: UII Press, 2001.
Al-Baji, Abu al-Walid Sulayman ibn Khalaf. Kitab al-Hudud fi al-Usul, tahqiq oleh Nazih Hammad. Beirut: Mu`assasah al-Za’bi, 1973. 
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mustasfa fi‘Ilm al-Usul, tahqiq oleh Muhammad ’Abd al-Salam ’Abd al-Syafi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000. 
Al-Jabin, Muhammad ‘Abid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arab Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Ma’rifah ti as-Saqofah al-‘Arabiyah. Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1990.
Al-Jabiri, Bunyat al-Aql al-Arabi. Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Lemudmi al-Ma’rifah fi as-Saqafah al-Arabiyah. Beirut: al-Markaz al-Saqafi’ al-Araby, 1993.
Al-Raysuni, Ahmad. Nazariyyah al-Maqasid ’ind al-Imam asy-Syatibi. Herndon, Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1995. 
Al-’Ubaydi, Hammadi. Asy-Syatibi wa Maqasid al-Syari’ah. Beirut: Dar Qutaybah, 1992. 
Ambary, Hasan Mu’arif. “Istiqra’, Suplemen Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan,, et.al, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Arifin, Zainul. Pendekatan dalam Memahami al-Qur’an dan al-Hadis Perspektif asy-Syatibi, AKADEMIKA, vol. 06, No. 6 (2 Maret 2000), 109.
Asy-syatibi, al-muwafaqat fi usul al-ahkam, (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, tt), vol II, 274 – 275.
Brown, Jonathan A. C. “Did the Prophet Say it or Not? The Literal, Historical and Effective Truth of Hadith in Early Sunnism”, Journal of the American Oriental Society, (2009) 129, 2. 
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theory: an Introduction to Sunnî Ushul al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
______. “On Inductive Corroboration, Probability, and Certainty in Sunni Legal Thaught”, dalam Islamic Law and Jurisprudence, ed. Nicholas Heer (London: University of Washington Press, 1990. 
Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Juriprudence. Cambridge: The Islamic Texts Society, 1991.
______. Shari’ah Law: an Introduction. Oxford: Oneworld, 2008.
Khallaf, ’Abd al-Wahhab. ’Ilm Usul al-Fiqh, cet. 12. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Mas’ud, Muhammad Khalid. Islamic Legal Philosophy: a Study of Abu Ishaq al-Shathibi’s Life and Thought. Delhi: International Islamic Publishers, 1989.
Mughits, Abdul. Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam, Hermenia, Vol. 2, No. 2, (Desember 2003).
Safi, Louay. The Foundation of Knowledge: a Comparative Study of Islamic and Western Methodology of Inquiry. Selangor: IIU Malaysia, 1996.
Shihab, M. Quraish Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. 2. Bandung: Mizan, 1992. 
Sumber dan Lingkungan Kitab Kuning, Pesantren on Line.Com. Situs Komunitas Muslim Indonesia, http://www.pesantren.com/id, 23 Desember 2013.
Tim Penyusun Pustaka Azet, “Istiqra’,Leksikan Islam, Jakarta: Pustaka Azet Perkasa, 1988.
Yahya, Mukhtar. Dasar- Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: Al- Ma’arif, 1986.



Endnotes
---------------------
[1] Lihat, misalnya, komentar Muhammad ibn Nizam al-Din al-Ansari, seorang ahli ushul fiqh dari mazhab Hanafi, dalam bukunya Fawatih al-Rahmut bi-Syarh Musallam al-Subut, cet. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1983), I: 22. 
[2] Bahasan tentang kepastian epistemologis ini dalam teori hukum Islam oleh beberapa sarjana dianggap mendapat banyak pengaruh dari pemikiran Aristotelian, Stoa dan Skeptisisme Platonik. Lihat, misalnya, Jonathan A. C. Brown, “Did the Prophet Say it or Not? The Literal, Historical and Effective Truth of Hadith in Early Sunnism”, Journal of the American Oriental Society, 129, 2, (2009), 261-262. 
[3] Ungkapan yang cukup populer dalam disiplin tafsir adalah bahwa seseorang tidak dinamakan mufassir kecuali jika ia mampu memberi interpretasi yang beragam terhadap ayat-ayat al-Qur`an. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. 2 (Bandung: Mizan, 1992), 137. 
[4] Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Juriprudence (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1991), 20-21. 
[5] Konsepsi ini telah diterima luas baik di kalangan ahli hukum klasik maupun modern. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa fi‘Ilm al-Usul, tahqiq oleh Muhammad ’Abd al-Salam ’Abd al-Syafi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 196-197; Abu al-Walid Sulayman ibn Khalaf al-Baji, Kitab al-Hudud fi al-Usul, tahqiq oleh Nazih Hammad (Beirut: Mu`assasah al-Za’bi, 1973), 30, 42-43; ’Abd al-Wahhab Khallaf, ’Ilm Usul al-Fiqh, cet. 12 (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 34-35; Mohammad Hashim Kamali, Shari’ah Law: an Introduction (Oxford: Oneworld, 2008), 22-23. 
[6] Tentang riwayat hidup dan posisi intelektual al-Syatibi, lihat Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: a Study of Abu Ishaq al-Shathibi’s Life and Thought (Delhi: International Islamic Publishers, 1989); Hammadi al-’Ubaydi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syari’ah, (Beirut: Dar Qutaybah, 1992); Ahmad al-Raysuni, Nazariyyah al-Maqasid ’ind al-Imam asy-Syatibi, (Herndon, Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1995). 
[7] Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theory: an Introduction to Sunnî Ushul al-Fiqh, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 162. 
[8] Epistimologi Bayani pada intinya mempunyai dua ciri 1) kecenderungan pada teks sebagai landasan pengetahuan dan 2) metode penalaran terhadap perluasan jangkauan teks. Lihat al-Jabiri, Bunyat al-Aql al-Arabi. Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Lemudmi al-Ma’rifah fi as-Saqafah al-Arabiyah (Beirut: al-Markaz al-Saqafi’ al-Araby, 1993), 116 – 119. 
[9] Tentang Maqasid asy-Syari’ah tertuang dalam karya as-Satibi al-muwafaqat fi usul al-ahkam. Jilid 11 
[10] Abdul Mughits, Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam, Hermenia, Vol. 2, No. 2, (Desember 2003), 186. 
[11] Salah satu karakteristik hukum Islam sebagai ilmu adalah adanya metode-metode dalam hukum Islam, metode-metode tersebut diantaranya metode deduktif (istinbat), metode induksi (istiqra’), metode genetika (takwini) dan metode dialektika (jadali). Taha Jabir al-Wani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2001). 
[12] Ushul al Fiqh adalah kaidah- kaidah hukum yang dipetik dari bahasa arab itu sendiri misalnya lafadz ditinjau dari segi makna ada lafadz yang mutlaq, muqayyad, umum, khusus dan lain- lain.Mukhtar Yahya , Dasar- Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al- Ma’arif,1986), 485. 
[13] Qawaid al Fiqhiyyah adalah kaidah- kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah- masalah fiqh yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum bagi setiap peristiwa fiqhiyyah baik yang telah di tunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Ibid. 
[14] Imam Syafi’i menetapkan hukum masa haid terpendek adalah sehari semalam, masa yang lumrah enam atau tujuh hari atau tujuh malam, dan masa haid yang terpanjang adalah lima belas hari atau lima belas malam. Penetapan hukum semacam ini dilakukan oleh Imam Syafi’i berdasarkan penelitian atas beberapa wanita di Mesir yang kemudian ia tetapkan sebagai ketentuan hukum fiqh bagi semua wanita di dunia, …, Sumber dan Lingkungan Kitab Kuning, Pesantren on Line.Com. Situs Komunitas Muslim Indonesia, http://www.pesantren.com/id, 23 Desember 2013. 
[15] Hasan Mu’arif Ambary, “Istiqra’, Suplemen Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan,, et.al, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), 256. 
[16] Tim Penyusun Pustaka Azet, “Istiqra’,Leksikan Islam, (Jakarta: Pustaka Azet Perkasa, 1988), 269. 
[17] Hasan Mu’arif Ambary, “Istiqra’, Suplemen Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan,, et.al, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), 257. 
[18] Ibid. 
[19] Ibid. 
[20] Fiqh disebut secara umum zanni, karena tidak semuanya demikian. Dalam fiqh juga ada yang qat’i, terutama yang diistinbatkan dari dalil-dalil qat’i dan disepakati semua mazhab, seperti tentang wajibnya shalat lima waktu. 
[21] Taha Jabir Al- Awani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, terj. (Yogyakarta: UII Press, 2001), Muqaddimah 
[22] Nalar Burhani adalah metode penalaran Aristoteles beserta seluruh pandangan-pandangan ilmiah filsafatnya. Dalam keilmuan Islam (klasik) pada dasarnya ada tiga nalar yang menjadi landasan berpijak yaitu nalar bayani, yaitu menjadikan teks al-Qur’an dan hadits sebagai rujukan utama yang otoritatif sebagai landasan membangun pengetahuan. Nalar irfani yaitu menjadi metode kasyf (intuisi batin) untuk mendapatkan pengetahuan. Nalar burhani yaitu berpegang pada kekuatan natural manusia yang berupa indera dan otoritas akal dalam memperoleh pengetahuan. Lihat Muhammad ‘Abid al-Jabin, Bunyah al-‘Aql al-‘Arab Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Ma’rifah ti as-Saqofah al-‘Arabiyah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1990), 383 – 384. 
[23] Syllogisme merupakan proses penalaran untuk mencapai kesimpulan yang benar. 
[24] Term yang sama disebut juga dengan term tengah, misalnya : setiap manusia mati (premis mayor), Aristoteles adalah manusia (premis minor), maka – dengan term tengah kata “manusia” – konklusinya adalah Aristoteles akan mati. 
[25] Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat, I: 36; II: 51; III: 307. 
[26] Lihat catatan editor (’Abd Allah Darraz) dalam ibid., I: 36. 
[27] Ibid., I: 30, 39; IV: 328. 
[28] Lihat penilaian dari Wael B. Hallaq, “On Inductive Corroboration, Probability, and Certainty in Sunni Legal Thaught”, dalam Islamic Law and Jurisprudence, ed. Nicholas Heer (London: University of Washington Press, 1990), 25, 29-30; Louay Safi, The Foundation of Knowledge: a Comparative Study of Islamic and Western Methodology of Inquiry (Selangor: IIU Malaysia, 1996), 92. 
[29] Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, I: 37. 
[30] Ibid., III: 27. Lihat juga ibid., II: 375; III: 10, 105; IV: 196. 
[31] Ibid., II: 53; III: 13. Ibn Rusyd dalam Talhis Mantiq Arista, seperti disebutkan oleh Hallaq, “On Inductive Corroboration”, 29, menyebutkan dua pembedaan induksi yang mirip dengan pembagian al-Syatibi di atas, yaitu induksi demonstratif (istiqra’ bayani) dan induksi dialektik (istiqra’ jadali). Induksi demonstratif, jika hendak diakui sebagai metode yang benar, maka kesimpulannya harus mencakup semua partikular yang ada. Adapun induksi dialektik tidak mensyaratkan hal itu, karena ia cukup dengan menentukan penerimaan sebagian besar partikularnya. 
[32] Aliran-aliran yang diikuti para ulama’ dalam usaha menyingkap maqasid asy-syari’ah disebutkan oleh asy-syatibi di antaranya adalah aliran al-zahiriyun (tekstualis), aliran al-batiniyyun dan al-muta’ammiqun fi al-qiyas serta al-rasikhun yaitu aliran yang menggabungkan teks dan substansi. Lihat : asy-syatibi, al-muwafaqat fi usul al-ahkam, (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, tt), vol II, 274 – 275. 
[33]Zainul Arifin, Pendekatan dalam Memahami al-Qur’an dan al-Hadis Perspektif asy-Syatibi, AKADEMIKA, vol. 06, No. 6 (2 Maret 2000), 109. 
[34] Hasan Mu’arif Ambari,Istiqra’,Ensiklopedi Islam, Ibid, 257. 
[35] Hasan Mu’arif Ambari,Istiqra’,Ensiklopedi Islam, Ibid, 257


* Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012

No comments:

Post a Comment