Tuesday, January 7, 2014

Metode Penemuan Hukum Islam

Oleh Shahibul Arifin*
A. Pendahuluan

Ijtihad adalah suatu jalan untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum dalil-dalil sebagai suatu cara untuk memberikan ketentuan hukum yang timbul karena tuntutan kepentingan dalam muamalah ijtihad disini mempunyai objek dan metode-metode tertentu.Objek utama yang akan di bahas dalam ushul fiqih adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks atau sumber berbahasa, para ulama akan menyusun semacam semantic yang akan digunakan praktik penalaran fiqih, hal ini adalah metode dari Istinbath. Oleh karena itu di dalam makalah ini akan dijelaskan metode-metode istibath atau metode penemuan hukum dalam Islam.

Penemuan hukum dimaksudkan sebagai suatu proses individualisasi dan konkretisasi peraturan-peraturan umum dengan mengaitkannya kepada peristiwa/kasus k husus. Penemuan hukum berbeda dengan penelitian hokum yang lebih luas sifatnya. Penemuan hukum bersifat klinis yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan apa hukum suatu kasus konkret tertentu. Penelitian hukum menyelidiki hukum sebagai sebuah fenomena sosial dengan mempelajari hubungannya dengan fenomena sosial lainnya. Juga melakukan penyelidikan normatif terhadap hukum untuk melakukan inventarisasi peraturan hukum, menemukan asas/doktrin hukum, meneliti taraf sinkronisasi dan sistematik hukum serta menemukan hukum untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian sesungguhnya penemuan hukum hanyalah sebagian dari penelitian hokum.[1]


B. Metode Penemuan Hukum

Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh metode penemuan hukum dipakai dengan istilah istinbath. Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.[2] Imam Al-Ghazali dalam kitabnya "Al-Mustashfa, memasukkan dalam bab III dengan judul "Thuruqul Istitsmar". Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul Fiqh maka tujuan yang paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat mengetahui dan mempraktekkan kaidah-kaidah atau cara mengeluarkan hukum dari dalilnya. Dalam hal ini, metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.[3]


Oleh karena itu, istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Usaha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.[4]


C. Bentuk Metode Penemuan Hukum

1. Bayani
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin: yakni proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar); upaya memahami (al- fahm) dan komunikasi pemahaman (al-fham); perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).[5] Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak- tidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna, mengartikan, menafsirkan atau menerjemah dan juga bertindak sebagai penafsir.[6]


Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas / konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir / muffasir. 


Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah "ilmu tafsir" (ilm ta‟wil dan ilm al-bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah “ilmu tafisir” ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi “hermeneutika Al Quran” sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adalah “tafsir”. Kata tafsir berasal dari bahasa Arab ; fassara atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian penafsiran teks di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.[7]


Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun). Urgensi kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis[8] tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan / atau para pencari keadilan. 


Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus. Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.


2. Ta’lili
Metode kausasi (at-ta’lil) merupakan bagian penting dalam penemuan hukum syar’i karena metode ini merupakan upaya penemuan hukum untuk kasus yang tidak ada teks hukumnya. Di sini teks hukum yang ada diperluas cakupannya sehingga bisa mencakup kasus-kasus yang tidak terdapat teks hukumnya (nasnya). [9]


Adapun yang dimaksud dengan metode ta’lili adalah mengambil kesimpulan hukum dari nas dengan pertimbangan ‘illat al-hukm (pangkal sebab/alasan) ditetapkannya suatu hukum. Kemudian diambil sebagai bahan perbandingan (miqyas) bagi peristiwa hukum yang di luar nas yang dimaksud dengan jalan analogi.[10]


Ulama Ushul Fiqh membicarakan masalah illat ketika membahas qiyas (analogy). Illat merupakan rukun qiyas dan qiyas tidak dapat dilakukan bila tidak dapat ditentukan illahnya. Setiap hukum ada illat yang melatarbelakanginya. Illat sebagian ulama mendefenisikan sebagai suatu sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum. Defenisi lain dikemukakan oleh sebagaian ulama Ushul Fiqh bahwa illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar dalam penetapan hukum.[11] Orang yang mengakui adanya illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. 


Semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan meningkatnya tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam. Maka banyak ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatarbelakanginya, jiwa itu tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu, ketentuan hukum yang disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Adapun yang dimaksud dengan jiwa yang melatarbelakangi sesuatu ketentuan hukuim ialah illat hukum atau kausa hukum.[12] illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika illat hukum tidak tampak, ketentuan hukum pun tidak berlaku.


Illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum dalam kasus baru sangat bergantung pada ada atau tidak adanya illat pada kasus tersebut. Sehingga illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara obyektif (zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan sesuai dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. Illat merupakan “tujuan yang dekat” dan dapat dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmat merupakan “tujuan yang jauh” dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum. 


Sedangkan menurut al-Syatibi bahwa yang dimaksud dengan ‘illat adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan dengan ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau tidak, mundhabith atau tidak.[13] Jadi baginya illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan illat. Sebenarnya hikmat dengan illat mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penemuan hukum.



3. Istislahi
Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat al-mursalat. 


Sedangkan menurut Al Ghazali istislahi menurut pandangannya adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara’, tetapi ia tidak keluar dari nash syara’. Menurut pandangannya, ia merupakan hujjah qath’iyyat selama mengandung arti pemeliharaan maskud syara’, walaupun dalam penetapannya zhani.[14]


Menurut Muhammad Salam Madkur metode Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam) dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.[15]


Sebagaimana halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat al-mursalah juga merupakan metode penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam Al Quran dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga macam maslahat, yakni maslahat mu‟tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat. Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al Quran maupun dalam Hadis. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.[16]


Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun as -Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara‟ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang al-Quran. [17]


D. Kesimpulan

Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.


Adapun metode penemuan hukum diantaranya adalah Bayani. Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus. Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. 


Adapun metode Ta’lili adalah Adapun yang dimaksud dengan metode ta’lili adalah mengambil kesimpulan hukum dari nas dengan pertimbangan ‘illat al-hukm (pangkal sebab/alasan) ditetapkannya suatu hukum. Kemudian diambil sebagai bahan perbandingan (miqyas) bagi peristiwa hukum yang di luar nas yang dimaksud dengan jalan analogi.


Sedangkan Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istislahi. Istislah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahat al-mursalat.



Endnotes
------------------------
[1] Syamsul Anwar, “Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Gazzali” dalam M. Amin Abdullah, dkk., Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta : DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga, 2000), hlm. 273. 
[2] Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2004), hlm. 1. 
[3] A. Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. Ke-5 (Jakarta: Prebada Media, 2005), hlm. 17. 
[4] Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam (Yogyakarta: UII Pres, 1984), hlm. 32. 
[5] Jazim Hamidi, Hermeneutika; Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 23. 
[6] Ibid., hlm. 20. 
[7] Ibid., hlm. 22. 
[8] Ibid., hlm. 45. 
[9] Mushtafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam (Beirut : Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1981), hlm. 14-34. Seperti dikutip Chairul Fahmi, Metode Ta’lili, http://fahmi170592islam.blogspot.com, diakses pada tanggal 23 November 2013. 
[10] Ibid. 
[11] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, cet. Ke-6 alih bahasa Saefullah Ma’shum (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 364. 
[12] Ahmad Azhar Basyi, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 1984), hlm. 20. 
[13] Al-Syatiby, al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, Jilid ke-1 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 185. 
[14] Al-Ghazali, al-Mustahasfa min ‘Ilmi al-Ushul, Jilid II (Kairo: Sayyid al-Husein, tt), hlm. 310. 
[15] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih (Pekalongan : STAIN Press, 2005) , hlm. 206. 
[16] Abdul Aziz Ibnu Abdurrahman Ibnu Ali al-Rabi’ah, Adillat al-Tayri’ al-Mukhathalaf fi al-IhtijajBiha (Beirut: Muassasat al Risalah, 1979), hlm. 221. 
[17] Ibid., hlm. 222.


* Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2012

No comments:

Post a Comment