Wednesday, January 8, 2014

Kanunisasi Hukum Islam

Oleh Asyharul Mu'ala

A. Pendahuluan.Istilah hukum Islam di Indonesia memang terlalu rumit untuk di artikan, hal ini dikarenakan begitu banyaknya istilah yang dapat diartikan dengannya, seperti asy-syari’ah, al-fiqh, al-qanun, al-fatwa dan lain-lain. Akan tetapi menurut hemat penulis, istilah yang dekat dengan makna hukum Islam adalah seperti yang dijelaskan oleh Abuddin Nata yakni al-fiqh,[1] hal ini di dasarkan pada pemaknaan dan aplikasi fiqh sendiri yang lebih condong menggunakan segala kemampuan untuk menelurkan jawab hukum Islam dari dalil hukum syar’i yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.[2]
Melalui pemaknaan fiqh sebagai hukum Islam, maka dengan mudah pula dapat mengalirkan cara kerjanya melalui jalur ushul al-fiqh[3] sebagai alat ukur lahirnya fiqh, dan penggunaan ushul fiqh di dalam menghadirkan fiqh lebih dikenal dengan istilah ijtihad. Pada dasarnya, ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun sunnah Nabi saw. Hal ini sejalan dengan apa yang dapat ditangkap dari dialog antara Nabi Muhammad saw dengan Mu’adz bin Jabal yang menyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan jawaban dari al-Qur’an dan Sunnah.


Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan atau pokok-pokok kajian dalam ijtihad yang kemudian melahirkan fiqh adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunnah.


Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat difahami pula bahwa hasil dari ijtihad ini adalah fiqh, di mana fiqh hanyalah salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran hukum Islam. Dan karena sifatnya sebagai produk pemikiran, maka fiqh tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian.[4] Lalu bagaimana jika fiqh yang merupakan hukum Islam ini kemudian dikanunisasikan di Indonesia? Apakah layak fiqh yang merupakan hasil ijtihad kemudian dikanusisasikan oleh negara? Oleh karenanya, melalui makalah ini, penulis akan mencoba untuk mengkaji tentang kanusisasi hukum Islam dalam perspektif ushul fiqh, khususnya dalam lingkup ke-Indonesiaan.

B. Pengertian dan Sejarah Kanunisasi Hukum Islam.Kanunisasi hukum Islam dalam bahasa Arab disebut sebagai taqnin. Abu Zahroh merumuskan makna taqnin dengan penyusunan hukum-hukum syari’ah dalam bentuk undang-undang dan materi resmi oleh penguasa atau yang mewakilinya sehingga ia bersifat mengikat dan wajib dipatuhi.[5]

Sejarah menunjukkan bahwa pada periode formulasi fiqh, ia merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Ia tumbuh dan berkembang sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan masyarakat waktu itu. Ia merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi di mana ia tumbuh dan berkembang.[6] Kondisi yang demikian ini, ditandai dengan munculnya madzhab yang mempunyai corak sendiri-sendiri.[7] Berdasarkan kenyataan inilah, ulama’-ulama’ terdahulu menetapkan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu.[8]

Ide dan upaya kanunisasi pertama kali dikemukakan oleh Ibn al-Muqaffa’, seorang pemeluk Islam baru dari bangsa Persia, seorang sastrawan dan juga seorang negarawan pada masa kekhalifahan Abu Ja’far al-Mansur. Upaya tersebut dilatarbelakangi oleh kesemrawutan dan tidak adanya peraturan yang dijadikan sebagai pegangan para qadli dan muncullah putusan yang berbeda-beda.

Gagasan al-Muqaffa disampaikan kepada khalifah dan khalifah menerima usulan tersebut. Kemudian khalifah meminta Imam Malik untuk membukukan mazhabnya supaya bisa digunakan sebagai pijakan resmi pemerintah. Namun, Imam Malik menolak permintaan khalifah.

Pada masa Harun ar-Rasyid, Imam Malik bersedia menyusun kitab al-Muwatta. Namun kitab tersebut tidak dijadikan sebagai undang-undang karena beberapa hal, di antaranya: Abbasiyah beranggapan bahwa khalifah adalah abdi hukum bukan majikan hukum, dan pada masa itu terdapat dua kelompok ulama’ yakni ahl ar-ra’yi dan ahl hadis.[9]

Setelah itu, pada abad XVI usaha kodifikasi hukum di dunia Islam mulai berkembang lagi, yaitu pada masa Sulaiman I (1520-1566 M), dan ia pun diberi gelar Sulaiman al-Qanuni (Sulaiman The Legislator) karena banyaknya produk undang-undang yang diberlakukan oleh Sulaiman I. Pada tahun 1869 M mulai dirintis usaha kanunisasi di Turki, dan pada tahun 1877 M berhasil disusun kitab undang-undang perdata yang diberi nama Majallat al-Ahkam al-Adiyyah. Kitab yang terdiri dari 16 bab dan 1851 pasal ini diberlakukan di negeri-negeri yang tunduk pada kekuasaan Turki Usmani, seperti Mesir Irak, Suria, Libya dan Tunisia.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa perubahan dan perkembangan pemikiran hukum Islam bukan saja dibenarkan, tetapi merupakan suatu kebutuhan, khususnya bagi umat Islam yang mempunyai kondisi dan budaya yang berbeda dengan Timur Tengah. Hal ini di dasarkan pada pertimbangan: Pertama, banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang diterapkan di luar Timur Tengah merupakan produk ijtihad yang didasarkan pada kondisi dan kultur Timur Tengah. Padahal, apa yang cocok dan baik bagi umat Islam Timur Tengah, belum tentu cocok dan baik bagi umat Islam lainnya.

Kedua, kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini jauh lebih besar dan beragam dibandingkan dengan zaman sebelumnya, karena terjadi perubahan luar biasa dalam kehidupan sosial yang disebabkan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, dalam upaya mereaktualisasi hukum Islam agar mampu memberikan jawaban-jawaban atas kebutuhan dan permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat suatu bangsa, maka perlu dilakukan ijtihad yang didasarkan pada kepribadian dan karakter bangsa tersebut. Termasuk dimungkinkannya negara untuk melakukan kanunisasi hukum Islam di Indonesia ini.


C. Kanunisasi Hukum Islam di Indonesia.Terdapat tiga pemikiran tentang kanunisasi hukum Islam di Indonesia, yakni kelompok pertama yang mendukung secara penuh diterapkannya syari’at Islam, kelompok kedua yang tidak mendukung penerapan syari’at dan kelompok ketiga yang secara bertahap penerapannya. Bagi kelompok pertama, kanunisasi hukum Islam dengan bentuk syari’at merupakan kewajiban bagi umat Islam di Indonesia yang merupakan agama mayoritas, dan perbuatan tersebut merupakan bukti nyata ketaatan kepada Allah swt terhadap tiga ayat yang mengancam umat Islam jika tidak melaksanakannya. Ayat-ayat tersebut termaktub dalam QS. al-Ma`idah : 44, ayat 45 dan ayat 47.

Kelompok pertama yang menjadikan ketiga ayat di atas sebagai legitimasi hukum diwajibakannya penerapan syari’at secara “utuh” dan menyeluruh (kaffah) megakibatkan labelisasi fundamentalis-konservatif terhadap gerakan dan pemikiran yang sama dengan mereka. Di antara kelompok Islam yang terus menerus secara vokal, gigih, konsisten dan terbuka dalam memperjuangkan penegakan syari’at Islam adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI) di Sulawesi Utara.[10]

Kelompok pertama ini (sesuai dengan namanya yakni fundamentalis-konservatif), pola berpikirnya adalah murni penerapan al-Qur’an dan as-Sunnah melalui penjelasan para ulama salaf, namun ulama salaf bagi mereka hanya berada pada tataran sahabat. Oleh karenanya, kelompok pertama ini dalam perkembangannya sangat “anti” kebudayaan dan menolak segala bentuk “re dan de” dalam keilmuan Islam seperti reinterpretasi, rekontruksi dan dekonstruksi.[11]

Adapun kelompok kedua yakni mereka yang menolak penerapan hukum Islam di Indonesia adalah mereka yang berpikiran bahwa sesungguhnya yang dibutuhkan bukanlah kanunisasi syari’at akan tetapi “peresapan” nilai-nilai Islam pada diri setiap umat. Kelompok yang kedua ini kemudian dikenal dengan nama Liberal Islam, dan di antara penggagasnya adalah mereka yang tergabung di Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Bagi kelompok ini, penerapan terhadap tiga ayat di atas bukan dari segi skriptualisnya akan tetapi semangat dan substansinya. Mereka menginginkan umat Islam jangan terjebak pada simbol dan pengundangan hukum Islam semata, karena bagi mereka, dengan mengundangkan hukum Islam di Indonesia, berarti siap untuk menerapkan satu pemikiran saja dan pastinya dengan tega harus menegasi pemikiran lain yang berbeda dengannya.[12]

Sedangkan pemikiran kolompok yang ketiga yakni yang berpikiran untuk menerapkan hukum Islam sesuai dengan kepribadian umat Islam Indonesia dan tidak mengganggu umat selain Islam. Pendukung kelompok ini lahir dari pemikir-pemikir Islam yang berkecimpung di dunia akademisi dan birokrasi di bawah payung Departemen Agama (saat ini berubah menjadi Kementerian Agama). Hasil besar dari perjuangan mereka adalah dengan banyaknya lahir undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengakomodir praktik-praktik ke-Islaman dari segi mu’amalah (hubungan antar sesama manusia). Dalam hal perkawinan diatur di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam-nya. Pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang­-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Pengelolaan wakaf diatur di dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf. Dan pengelolaan haji diatur berdsarkan Undang-Undang 13 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No. 34 tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang. Selanjutnya adalah diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

D. Kanunisasi Hukum Islam ditinjau dari Ushul Fiqh.Dua pola berushul fiqh di dalam sejarah Islam keilmuan, yakni berushul fiqh dengan jalan yang disepakati yakni al-Qur’an, sunah, ijma’ dan qiyas sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam asy-Syafi’i,[13] dan pola kedua yakni yang tidak disepakati seperti pola yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Adapun untuk melihat permasalahan kanunisasi hukum Islam, maka alat ukur yang dapat digunakan menurut hemat penulis, adalah teori yang dibangun oleh Imam al-Ghazali dan kemudian mendapatkan penelaahan yang lebih serius oleh asy-Syathibi yakni teori Maqashid asy-Syari’ah.

Secara lughawi (bahasa), maqashid asy-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk plural dan maqashid yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.[14] Adapun asy-Syathibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan maqashid asy-syari’ah, seperti maqashid asy-syari’ah,[15] al-maqashid asy-syar’iyyah fi asy-syari’ah[16] dan maqashid min syar’i al-hukm.[17] Namun menurut hemat penulis, walau dengan kata-kata yang berbeda, kata-kata tersebut mengandung pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah Swt.

Kandungan maqashid asy-syari’ah atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia. Tidak ada satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan, karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tak dapat dilaksanakan. Fathi ad-Daraini menjelaskan bahwa hukum-hukum itu tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan lain yakni kemaslahatan.[18]

Muhammad Abu Zahrah dalam kaitan ini juga menegaskan, bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang disyariatkan baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.[19] Ajaran (doktrin) maqashid asy-syari’ah menurut Khalid Mas’ud adalah upaya memantapkan maslahat sebagai unsur penting dari tujuan-tujuan hukum.[20] Agaknya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa maqashid asy-syari’ah berupaya mengekspresikan penekanan terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi, namun dengan catatan bahwa cara mengaplikasikannya adalah melalui jalan ijtihad jama’i.

Sesungguhnya konsep kanunisasi hukum Islam tidaklah bertentangan dengan semangat hukum Islam itu sendiri, asalkan tidak ada pemaksaan di dalamnya sesuai dengan ruh maksud hukum Tuhan yakni menciptakan kemaslahatan. Oleh karenanya, diperlukan sebuah formula yang baik dalam merangkai aturan-aturan hukum yang akan dikanunisasikan sesuai dengan semangat Islam Indonesia yang tidak condong ke-barat atau ke-timur (la syarqiyyah wa la gharbiyyah). Semangat seperti ini sesungguhnya sudah di bangun sejak awal pembangunan Negara Indonesia dengan mengangkat pemimpin Soekarno dengan bahasa agama yakni waliyyu al-amri adh-dharuri bi asy-syaukah (Penguasa Pemerintahan secara darurat sebab kekuasaannya),[21] artinya, ketika pemimpin sudah mendapat gelar seperti ini, maka apapun yang menjadi kebijakannya (yang tentunya menjadi aturan negara / undang-undang) harus diikuti.

Akan tetapi, undang-undang yang saat ini ada belum secara penuh menyentuh kebutuhan dan praktek ibadah yang sebenarnya. Seperti contoh dikotomi sah menurut agama dan negara pada kasus perkawinan, pengelolaan zakat tanpa aturan penarikannya, dan lain-lain, serta akibat hukum jika terjadi pelanggaran di dalamnya. Oleh karenanya, dibutuhkan semangat yang tinggi untuk merumuskan hukum yang responsif dengan kepribadian Islam Indonesia. Dalam hal ini, tidak bisa hanya dikerjakan oleh MUI dan ormas Islam lainnya, serta Kementerian Agama semata. Akan tetapi semangat kebersamaan yang dibutuhkan dari semua para pemikir Islam di Indonesia.[22]

Hal penting yang harus segera dilakukan oleh para pemikir hukum Islam, cendikiawan muslim beserta para ulama dan umara’ adalah duduk bersama dan memfokuskan pembicaraan dalam satu bingkai kebangsaan dengan mengedepankan nilai-nilai tasamuh di dalam menyelamatkan harga diri fatwa yang saat ini mulai diremehkan, bahkan oleh umat Islam itu sendiri. Oleh karenanya ijtihad jama’i jangan diterjemahkan hanya menjadi unit kerja kaum agamawan semata, akan tetapi semua lini pemikir Islam termasuk dukungan dan fasilitas kenegaraan, namun tanpa mengurangi kebebasan mereka (mujtahid). Harun Nasution menjelaskan, ijtihad individual tidak dapat berlaku lagi, bahkan ijtihad kelompok ulama agama pun tidak akan bisa menyelesaikan dengan baik masalah zaman ini dan zaman-zaman selanjutnya.[23]

Oleh karena itu, dapat dipahami begitu pentingnya revitalisasi Kementerian Agama sebagai rumah umat Islam Indonesia untuk berijtihad kolektif sehingga melahirkan produk-produk fiqh Indonesia yang tidak kebarat-baratan maupun ketimur-timuran. Mungkin inilah yang dicita-citakan oleh para pendahulu kita dalam mendirikan dan membesarkan Departemen Agama. Dengan demikian, pemerintah melalui Kementerian Agama saat ini harus membenahi tubuhnya untuk mengakomodir semua pihak dalam berijtihad, sehingga hasilnya dapat menjadi salah satu hukum di Indonesia, minimal seperti bentuk jurisprudensi (putusan pengadilan) yang juga mengikat masyarakat. Sehingga bagi umat Islam Indonesia tidak akan mudah begitu saja menghina produk ijtihad.

Adapun untuk mendapatkan hasil yang maksimal, proses ijtihad kolektif harus transparan sehingga dapat dilihat oleh seluruh masyarakat Indonesia, baik yang hadir langsung ke tempat berlangsungnya ijtihad jama’i, ataupun secara online di internet. Untuk itu, umat Islam juga harus care dan serius dalam mengikuti jalannya ijtihad, karena apapun hasilnya, umat Islam Indonesia yang tidak sependapat, pada akhirnya harus “legowo” untuk menjalankan hasil keputusan tersebut.

Untuk itu, jika hati kita yang berbicara, maka sesungguhnya teori kemaslahatan yang diambil dari maksud dan tujuan (maqashid asy-syari’ah) yang menuntut untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta,[24] akan menghasilkan dua teori negatif dan positif, atau dalam bahasa ushul fiqh-nya (jalbu al-mashalih wa dar`u al-mafasid yakni menjaga kemaslahatan dan mencegah kerusakan). Dan sudut pandang yang harus didudukkan adalah, maqashid asy-Syari’ (tujuan Allah) dan maqashid al-mukallaf (tujuan mukallaf).

Konsep di atas akan memecahkan apa yang dibicarakan Tuhan, bagaimana Tuhan bicara dengan makhluk-Nya, dan untuk apa Tuhan bicara demikian. Bukan saja hanya mengambil apa yang dibicaran tuhan kepada hamba-Nya dan menafikan dua pertanyaan yang lain. Oleh karena itu, sebagai manusia yang memiliki hati dan akal, maka tak pantas rasanya jika kita menonjolkan ego kelembagaan, dan menafikan yang lainnya. Kita adalah cipataan Allah yang sempurna dan Allah tidak pernah melihat apa pakaian kita, akantetapi takwa itulah yang Allah lihat, dan takwa bermuara di dalam hati, dicerna oleh akal dan menghasilkan kesalihan sosial. Dengan demikian, karena takwa tidak ada sama sekali alat ukurnya, alias bersifat relatif, maka dalam menempuh hukum Islam yang objektif adalah dengan menunjukkan keilmuan yang merupakan pencernaan dari akal dan produk kesalihan. Namun, bersifat kolektif dalam mengaplikasikannya. Kolektifitas yang dimaksud adalah menyangkut kehadiran individu-individu dan kelembagaan, serta diramu dalam bentuk syura (demokratis).

Inilah kolektifitas yang wajib ada di dalam ruang ijtihad. Kemaslahatan yang menggabungkan antara hati dan akal, serta setia untuk mengkontekskan teks-teks hukum dengan keadaan baru maka akan melahirkan kemaslahatan yang sempurna untuk masa dikeluarkannya hasil ijtihad, dan belum tentu untuk masa yang akan datang. Karena dengan pola seperti ini, benturan antara dalil akan mudah diminimalisir. Apalagi permasalahan saat ini lebih kompleks dibandingkan dengan masa lalu. Oleh karenanya, kompleksitas masalah dewasa ini, menuntut pula elastisitas dan fleksibilitas dalam memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi.

Inilah hati, yang tidak akan pernah berdusta kapanpun waktunya, dalam keadaan apapun dan di manapun berada. Sedangkan akal bisa menciptakan suatu perubahan, dan mungkin juga menciptakan kebohongan sesuai dengan perubahan waktu, keadaan dan tempat. Maka wajar rasanya, jika ada kaidah yang menyebutkan “tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu”,[25] hal ini terjadi karena memang perbedaan antara ulama saat itu selalu antara teks dan rasionalitas, tapi minim sekali membicarakan antara hati dan akal. Jika diperhatikan kaidah ini terkadang, sering dianggap membingungkan karena ada dua sisi yang berbeda. Pada sisi pertama, hukum dapat berubah karena perubahan perkembangan manusia, oleh karenanya hukum Islam bersifat dinamis (tidak anti perubahan). Pada sisi lain, hukum Islam menjadi jumud (statis)[26] karena kebanyakan ulama menyandarkan diri kepada aliran hukum tertentu sehingga mereka agak sulit menerima perubahan.[27]

Untuk itu, hati harus menjadi filter atas pembusukan akal, dan paling tidak, tulisan Imam al-Ghazali yang berjudul Ihya` ‘Ulum ad-Din dan al-Mustashfa yang kemudian dikembangkan oleh asy-Syatibi dengan judul al-Muwafaqat, menjadi salah satu bukti, adanya titik temu antara hati dan akal dalam menghasilkan maksud-maksud hukum, sehingga dapat menerima perubahan yang penuh dengan kedamaian, karena semuanya, benar-benar untuk memberikan pencerahan kepada seluruh umat Islam atas elastisitas dan fleksibelitasnya hukum Islam, sekaligus untuk memberikan kemaslahatan masyarakat dan mencegah kemafsadatan di dunia dan di akhirat. Sebagaimana di dalam kaidah fiqh telah disebutkan “Menolak kemafsadatan dan mendapat kemaslahatan”.[28]

Sejalan dengan kaidah di atas, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ramadhan al-Buthi yang menyatakan, bahwa meraih kemaslahatan dunia itu pada dasarnya juga untuk meraih kemaslahatan akhirat.[29] Dan perlu diingat bahwa, pengambil keputusan akhir ditangan pemimpin musyawarah bukan oleh individu-individu yang datang, peserta yang hadir hanya menyampaikan hasil pemikiran mereka yang ditemukan melalui jalan penelitian secara akademik, atau di dalam bahasa ushul fiqh-nya disebut dengan teori istiqra’.

Contoh kongkritnya adalah, seperti apa yang telah dilakukan oleh Amir al-Mu’minin Umar bin al-Khathab ra. terhadap pencuri, di mana ia ini tidak memotong tangan pencuri tersebut karena konteksnya saat itu adalah pada masa terjadinya kelaparan (‘am as-sannah/al-maja’ah). Padahal ketentuan hukum potong tangan pencuri telah terdapat dalam al-Qur’an (Qs. al-Ma’idah [5]: 38). Menurut Ma’ruf ad-Dawalibi, peristiwa ini menunjukkan adanya perubahan hukum pencurian yang telah ditetapkan al-Qur’an, disebabkan oleh perubahan kondisi yang menyebabkan timbulnya pencurian.[30] Bahkan, bukan saja perubahan keadaan yang menjadi landasan perubahan hukum, akan tetapi, hati sang khalifah telah melihat keadaan masyarakat secara mendalam, di mana keadaan telah memaksa warga untuk melakukan pencurian.

Begitu juga dengan kasus-kasus hukum lainnya yang diputuskan oleh Umar bin al-Khathab ra. seperti kegerahan Umar terhadap perilaku individual umat Islam dalam beribadah di malam bulan Ramadhan yang kemudian olehnya disatukan dalam satu shalat sunah berjama’ah dengan niat shalat tarawih dan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Contoh ini juga menunjukkan di mana hati dan akal telah bersatu padu sehingga memunculkan ke’arifan yang mendalam dan memutuskan suatu kebijakan dengan sangat bijak. Tidak ada tendensi apapun di dalamnya. Semuanya murni dari hati yang paling dalam (ikhlash mengharapkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala), karena apa yang disampaikan oleh isi hati yang paling dalam akan mudah diterima oleh hati yang paling dalam juga.


E. PenutupBerdasarkan pemaparan pembahasan di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulannya bahwa kanunisasi hukum Islam khususnya di Indonesia tidak dapat dibendung lagi, namun bentuknya berupa fiqh yang responsif dengan bangsa Indonesia. Pendekatan yang dilakukan dalam mengkanunkannya adalah dengan mengaktifkan Kementerian Agama secara maksimal dalam melakukan ijtihad jama’i yang merangkul semua golongan dan profesi dari para pemikir Islam di Indonesia dan menerapkan teori maqashid asy-syari’ah di dalamnya dengan mengedepankan teori-teori agama dan hati sanubari.



DAFTAR PUSTAKA-------------------------------
Al-Amidi, Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad., al-Ihkam fi Ushul al- Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 1996.

Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan., Dhawabith al-Mashlahah, t.t.: t.p., t.th.

Ad-Daraini, Fathi., al-Manahij al-Ushuliyah fi Ijtihad bi al-Ra’yi fi al-Tasyri’, Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadits, 1975.

As-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, Rembang: al-Ma’had ad-Dini al-Anwari, t.th.

Asy-Syafi’i, Abi Abdillah Muhammad bin Idris., Ar-Risalah, Beirut: Dar al-Kitab al-’Arobi, 2004.

Asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003.

Az-Zuhaili, Wahbah., Ushul Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’asyir, 2001.

Ash-Shiddieqy, Hasbi., Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1961

Fazlurrahman, Islam, Bandung: Pustaka, 1984

Ghazali, Abd Moqsith., Ijtihad Islam Liberal; Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis, Jakarta: JIL, 2005

Jaudat, Ahmad dkk., Majallah al-Ahkam al-‘Adaliyyah, t.tp.: t.p., t.th.

Mas’ud, Muhammad Khalid., Islamic Legal Philosophy, Islamabad: Islamic Research Institut, 1977.

Masyhuri, Abdul Aziz., Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d Ketigapuluh/2000, PPRMI dan QultumMedia, Depok, 2004.

Mudzhar, M. Atho., Membaca Gelombang Ijtihâd; Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.

Nasution, Harun., “Ijtihad, Sumber Ketiga Ajaran Islam”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (Editor), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1988.

Nata, Abuddin., Metodologi Studi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

Nashir, Haedar., Gerakan Islam Syariat; Reproduksi Slafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007.

Nasution, Khairuddin., Sejarah Pemikiran Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZAFFA, 2012.

Rahman, Asjmuni., Qawa’idul Fiqhiyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Rajafi, Ahmad., “Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dan Relevansinya dengan Pengembangan Hukum Bisnis Islam di Indonesia”, Tesis Megister dalam Ilmu Syari’ah, Lampung, IAIN Raden Intan, 2008.

Said, Busthami Muhammad., Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhum Tajdid al-Din), terjemahan oleh Ibnu Marjan dan Ibadurrahman, Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah, 1995.

Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya: Pustaka Pelajar, 1995

Sjadzali, Munawir., “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Iqbal Abdurrauf Sainima, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1988.

Taimiyah, Taqiy al-Din Ibn., al-Siyasah al-Syar’iyyat fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ri’ayat, Beirut: Dar al-Fikr al-Haditsah, t.th.

Wehr, Hans., A Dictionary of Modern Written Arabic, London: Mac Donald & Evan Ltd, 1980.

Zahrah, Muhammad Abu., Ushul al-Fiqh, Diterjemahkan oleh Saefullah Ma’shum dkk., Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.

Zaid, Farouq Abu., Hukum Islam Antara Tradisorialis dan Modernis, alih bahasa Husein Muhammad, Jakarta: P3M, 1986.


Endnotes
-------------------------
[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 250.
[2] Lihat Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Daar al-Fikr, 1996), IV: 309. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’asyir, 2001), II: 1066.
[3] Kata ushul adalah bentuk plural dari kata al-ashl yang berarti pokok atau akar. Dari segi redaksi, pokok atau akar fiqh itu banyak karena kata ushul adalah bentuk jamak dari al-ashl. Sedangkan kata fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang praktis yang diusahakan dari dalil-dalil yang rinci. Bagi al-Ghazali, pokok fiqh itu ada empat ; al-Qur’an, as-sunnah, ijma’, dan qiyas. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), II: 7, 96, 211, dan 246.
[4] M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihâd; Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 92-93.
[5] Muhammad Abu Zahroh, al-Islam wa at-Taqnin al-Ahkam (T.tp: Maktabah Malik Abd al-Azizi al-Ammah, 1977), hlm. 73.
[6] Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisorialis dan Modernis, alih bahasa Husein Muhammad, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 6.
[7] Mazhab Hanafi bercorak rasional, Maliki cenderung tradisional, Syafi’i yang moderat serta Hanbali yang fundemental, bukanlah pembawaan kepribdian masing-masing madzhab itu, tetapi merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi masyarakat di mana fiqh itu tumbuh. lihat Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengantar (Surabaya: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 63.
[8] As-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair (Rembang: al-Ma’had ad-Dini al-Anwar, t.th.), hlm. 63.
[9] Wahidudin adams, Pola Penyerapan Majlis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Peraturan Perundang-undangan 1975-1977 (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 60.
[10] Lihat Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat; Reproduksi Slafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007), hlm. 5.
[11] Khairuddin Nasution, Sejarah Pemikiran Islam (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZAFFA, 2012), hlm. 55-57.
[12] Untuk mengkampanyekan pemikiran dan menunjukkan eksistensi mereka, pemikiran yang memerdekakan setiap orang untuk berbeda dan terlepas dari kungkungan ortodoksi agama, mereka mengumpulkan tulisan-tulisan menjadi sebuah buku yang disunting oleh Abd Moqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal; Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis (Jakarta: JIL, 2005).
[13] Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Arobi, 2004), h. 18
[14] Fazlurrahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 140.
[15] Asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), I: 15.
[16] Ibid., hlm. 16.
[17] Ibid., II: 283.
[18] Fathi al-Daraini, al-Manahij al-Ushuliyah fi Ijtihad bi al-Ra’yi fi al-Tasyri’ (Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadits, 1975), hlm. 28.
[19] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Diterjemahkan oleh Saefullah Ma’shum dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 548.
[20] Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy (Islamabad: Islamic Research Institut, 1977), hlm. 223.
[21] Gelar ini diberikan oleh Nahdlatul Ulama berdasarkan Konferensi Nasional Alim Ulama NU di Cipanas yang kemudian dikukuhkan Muktamar NU ke-20 di Surabaya, pada tanggal 8-13 September 1954. Lihat Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d Ketigapuluh/2000 (Depok: PPRMI dan QultumMedia, 2004), Jilid. 1, hlm. 169.
[22] Contoh nyata ego kelembagaan Islam adalah, seperti yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan pernikahan di bawah tangan dan menafikan kepentingan negara dalam pencatatan perkawinan. Pengesahan ini dihasilkan dari “Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur. Lihat Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//hukumonline.com. akses tanggal 31 Desember 2013.
[23] Harun Nasution, Ijtihad, Sumber Ketiga Ajaran Islam (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 116.
[24] Taqiy ad-Din Ibn Taimiyah, as-Siyasah asy-Syar’iyyat fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ri’ayat (Beirut: Dar al-Fikr al-Haditsah, t.th.), II: 8.
[25] Muhammad Shidqi ibn Ahmad al-Barnu, al-Wajiz fi Idah al-Fiqh al-Kulliyyat (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), hlm. 182.
[26] Stagnasi umat Islam dalam bidang ilmu fiqh dijelaskan oleh banyak ulama’, salah satu penjelasan yang menarik dapat dilihat dalam Muhammad ibn al-Hasan al-Hujwi al-Tsa’labi al-Fasi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami (Madinah al-Munawwarah: t.p., 1977), II: 6.
[27] Ahmad Rajafi, “Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dan Relevansinya dengan Pengembangan Hukum Bisnis Islam di Indonesia”, Tesis Megister dalam Ilmu Syari’ah, (Lampung, IAIN Raden Intan, 2008), hlm. 115-116.
[28] Asjmuni Rahman, Qawa’idul Fiqhiyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 29.
[29] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Mashlahah (t.t.: t.p., t.h), hlm. 50.
[30] Busthami Muhammad Said, Pembaruan Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhum Tajdid al-Din), diterjemah oleh Ibnu Marjan dan Ibadurrahman, (Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah, 1995), hlm. 307.

* Mahasiswa Pascasarjana Prodi Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012

No comments:

Post a Comment