Wednesday, January 8, 2014

Good Governance dalam Perspektif Hukum Islam (Tinjauan Usul Fikih)

Oleh Ari Azhari dan Ricy Fatkhurrohman*
Pendahuluan
Pemerintahan yang baik (good governance) adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga, mensinergikan interaksi yang konstruktif anatara negara, sektor swasta, dan masyarakat yang menjunjung tinggi keinginan (kehendak rakyat) dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan berkeadilan sosial.

Tata laksana pemerintahan yang baik adalah seperangkat proses yang diberlakukan organisasi baik dalam swasta maupun dalam negeri untuk menentukan keputusan. Tata laksana pemerintahan yang baik walaupun tidak dijalankan dengan sempurna tapi paling tidak apabila dipatuhi dapat mengurangi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.

Terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan kunci keberhasilan bangsa dalam mengatasi berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi, untuk itu diperlukan aparatur negara yang berkualitas yang mampu mengayami terciptanya pemerintahan yang bertanggungjawab demi terwujudnya nilai-nilai serta prinsip-prinsip Kepemerintahan yang baik (Good Governance).


1. Pengertian Good Governance
Sebenarnya istilah good governance tidak hanya berkonotasi pengelolaan birokrasi pemerintah saja, tetapi lebih luas dari itu, bisa mencakup seluruh pengelolaan baik pengelolaan pemerintah maupun pengelolaan instansi atau organisasi swasta khususnya yang berkaitan dengan pelayanan umum. Bahkan istilah ini pun juga digunakan untuk menyebut pengelolaan organisasi perusahaan bisnis yang berorientasi pencapaian profit dan untuk ini biasanya secara lengkap disebut good corporate governance. Dengan demikian sesungguhnya istilah governance lebih tepat diterjemahkan sebagai tata kelola. Namun harus diakui bahwa istilah good governance ini dalam pemakaian oleh para pengkaji lebih banyak digunakan dalam pembicaraan tata kelola pemerintahan yang baik. Hal ini juga disebabkan oleh karena diskusi tentang peran institusi dalam pembangunan didominasi oleh analisis mengenai peran negara.[1]


Good governance secara sekilas bisa diartikan sebagai pemerintahan yang baik, atau juga dapat dikaitkan dengan tuntutan akan pengelolaan pemerintah yang pofesional, akuntabel, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).[2] Dilain pihak definisi governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk tujuan pembangunan, sehingga good governance dapat diartikan mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang substansial dan penerapannya untuk menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat utama efisien dan (relative) merata.[3] Secara umum good governance dapat diartikan sebagai perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat. Atau juga pemerintah yang bersih dari KKN adalah bagian penting dari pembangunan demokrasi, HAM, dan masyarakat madani, akan tetapi wujudnya bagaimana dan bagaimana hal itu dapat dicapai masih membutuhkan pemahaman yang lebih dalam lagi.


Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa good governance sebagai pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Maksudnya baik yaitu pemerintahan negara yang berkaitan dengan sumber sosial, budaya, politik, serta ekonomi diatur sesuai dengan kekuasaan yangdilaksanakan masyarakat. sedangkan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang efektif, efesien, transparan, jujur, dan bertnggung jawab. Hal ini sejalan dengan substansi UU No. 28 tahun 1999, Pasal 3 tentang asas-asas umum penyelenggaraan Negara.[4] Dengan menginternalisasikan secara efektif asas-asas umum pemerintahan yang baik yang digunakan sebagai hukum tidak tertulis dengan melalui pelaksanaan hukum dan penerapan hukum serta pembentukan hukum.


Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), sangat dipengaruhi oleh sikap dan keinginan para pemegang kekuasan atau lembaga pemerintah (ambt) atau alat perlengkapan negara untuk mewujudkan suatu konsep pemerintahan yang baik (good governance) tersebut. Karena tugas dan wewenang pejabat administrasi tersebut walaupun secara teoritik bersifat netral, akan tetapi dalam pelaksanaanya sangat potensial untuk disalah gunakan (detournement du pouvoir), digunakan dengan sewenang-wenang (abus de droit) dan bahkan digunakan bertentangan dengan hukum (onrechtmatige overheidsdaad).


2. Karakteristik Good Governance
Dalam penerapan prinsip-prinsip good governance karena pejabat publik atau adaminsitrasi negara mempunyai kecenderungan untuk menyalah gunakan kekuasaan, apalagi tidak dibatasi secara tegas oleh peraturan perundang-undangan atau tanpa pengawasan yang bersifat fungsional. Oleh karena itu permasalahan dalam suatu pemerintahan tetap menjadi suatu perdebatan, karena adanya dinamika yang menuntut adanya perubahan-perubahan, baik pada sisi pemerintahan maupun warga masyarakat serta kemungkinan menyalahgunakan kekuasaan. 


Lebih lanjut lembaga-lembaga bantuan internasional khususnya United Nations Development Programme (UNDP)[5] merumuskan karakteristik pemerintahan yang baik (good governance) sebagaimana dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN), yang meliputi : partisipasi/participation, penegakan hukum/rule of law, transparansi/transparency, daya tanggap/responsivness, consensus orientation, keadilan/equity, effectiveness and efficiency, akuntabilitas/accountability, visi strategis/strategicvision. Karakteristik tersebut sejalan dengan pendapat Robert Hass.[6]


Ciri-ciri pemerintahan yang baik menurut PP nomor 101 tahun 2000, adalah sebagai berikut :
a. Profesionalitas
b. Akuntabilitas
c. Transparansi
d. Pelayanan prima
e. Demokrasi
f. Efisiensi
g. Efektifitas
h. Supremasi hukum

Sementara dalam UU No. 28 tahun 1999 Pasal 3 dinyatakan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri dari : 1) asas kepastian hukum; 2) asas tertib penyelenggaran negara; 3) asas kepentiangan umum; 4) asas keterbukaan; 5) asas proporsionalitas; 6) asas profesionalitas; 7) asas akuntabilitas. Lebih jauh di dalam Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Pemerintah, mencantumkan beberapa sasaran terkait good governance meliputi : 1) menjadikan instansi pemerintah yang akuntabel, dapat beroperasi secara efisien, efektif dan responsive terhadap aspirasi masyarakat dan lingkuannya. 2) terwujudnya transparansi di instansi pemerintah; 3) terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan; 4) terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.


Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang professional dan aturan hukum. Di lain pihak Asian Development Bank sendiri menegaskan adanya konsensus umum bahwa good governance di landasi oleh empat pilar diantaranya:

1. Accountability;
2. Transparency;
3. Predictability;
4. Participation

Jelas bahwa jumlah komponen atau pun prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance yaitu 1) akuntabilitas; 2) transparansi; 3) partisipasi masyarakat.


Miriam Budiardjo, mendefinisikan akuntabilitas sebagai ‘pertanggung jawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang di beri mandat itu’, akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan mencipatkan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintahan sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances system). Di lain pihak Guy Peter menyebutkan ada tiga tipe akuntabilitas diantaranya : 1) Akuntabilitas keuangan; 2) Akuntabilitas adminsitratif; 3) Akuntabilitas kebijakan publik.[7]


3. Kriteria Good Governance dalam Pespektif Syariah
Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw dapat ditemukan setidaknya ada beberapa nilai dasar yang dapat dijabarkan menjadi asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu syura, meninggalkan yang tidak bernilai guna, keadilan, tanggung jawab, dan amanah, orientasi ke hari kedepan.

a. Syura
Ditegaskan di dalam (Q. 3:159):
Artinya: ... dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (Q. 3:159)

Dari nilai dasar syura ini dapat diturunkan asas hukum mengenai penyelenggaraan pemerintah berupa asas partisipasi masyarakat. Adanya pastisipasi masyarakat luas dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan adalah salah satu prinsip penting good governance. Masyarakat tidak hanya dijadikan sebagai objek belaka dari suatu keputusan atau kebijakan, tetapi juga merupakan pelaku signifikan di dalam proses tersebut. Hal ini diharapkan dapat memberikan legitimasi lebih besar dan dukungan kuat terhadap keputusan dan kebijakan yang diambil. Dalam kaitan dengan kepemimpinan, menjadi suatu ukuran keidealan pemimpin apabila ia dapat melibatkan seluas mungkin partisipasi warga masyarakat dalam berbagi keputusan.[8]

b. Meninggalkan segala yang tidak bernilai guna
Hal ini berkaitan dengan sabda Nabi saw:
"Sebaik-baik Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna" (HR at-Tirmizi, Ahmad)[9]

Dari hadis ini dapat diturunkan asas efisiensi dalam menyelenggaraan kepentingan publik (bahkan kepentingan diri sendiri juga). Efisiensi merupakan kesesuain hasil dari suatu proses dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang ada sebaik mungkin. Dengan kata lain efisiensi adalah keselarasan antara masukan dan keluaran. Seorang pemimpin secara normatif dituntut untuk dapat menegakkan efisiensi dalam manajemennya sehingga hasil-hasil pembangunan yang dibuat benar-benar berkualitas dan sesuai dengan dana masyarakat yang dikeluarkan.

c. Keadilan
Penegasan mengenai keadilan di dalam sumber-sumber Islam banyak sekali dijumpai, salah satunya di dalam QS. al-Maidah: 8
"Berbuat adilalah kamu, (karena) berbuat adil itu lebih dekat kepada takwa" (QS. al-Maidah: 8)

Masalah keadilan secara umum dan masalah kekepastian hukum merupakan jeritan seluruh masyarakat Indonesia saat ini. Tata kelola pemerintahan yang baik menghendaki adanya jaminan kesamaan akses seluruh warga masyarakat terhadap sumber daya politik, ekonomi dan administratif. Pemimpin yang membiarkan perlakuan diskriminatif terhadap warganya dalam akses ini berarti tidak menjalankan prinsip kepemerintahan yang baik.k menjalankan prinsip kepemerintahan yang baik. Konsentrasi sumber daya ekonomi pada orang atau kelompok tertentu karena kolusi dan nepotisme adalah tanda dari kepemimpinan yang buruk. Uuntuk mengaskes jabatan publik seperti ingin menjadi pegawai misalnya orang harus mengeluarkan sejumlah uang dan yang tidak mampu mengeluarkan uang tidak akan memperolehnya, meskipun ia memiliki keunggulan dan sangat potensial.[10]


Dalam hukum Islam, dari keadilan diturunkan asas perlakuan yang sama (al-mu’amalah bi al-misl). Perlakuan yang sama dalam hukum Islam menjadi landasan hubungan antara manusia termasuk dalam pemberian pelayanan. Dalam sejarah Islam, dari Khalifah Umar diriwayatkan bahwa suatu ketika Bilal dan Ab-Sufyan hendak menghadap Umar. Penjaga pintu segera memberitahukan kepadanya mengenai hal tersebut dan mengatakan, “Di pintu ada Ab-Sufyan dan Bilal.” Mendengar ucapan itu Umar menjadi marah kepada penjaga pintunya karena ia mendahulukan nama Ab-Sufyan, mentang-mentang ia adalah pemuka Quraisy sementara Bilal hanyalah seorang budak. Umar berkata kepada penjaga pintunya “Katakan: Bilal dan Ab-Sufyan” Riwayat ini mengilustrasikan tiada perbedaan dalam pemberiaan pelayanan antara orang penting dan orang biasa.


d. Tanggung jawab
Dari konsep tanggung jawab sebagai nilai dasar syariah dapat diturunkan asas responsivitas dalam pemberian pelayaran. Secara khusus asas ini dapat pula disimpulkan dari firman Allah yang menggambarkan pribadi Rasullulah saw yang sensitif atas penderitaan umatnya,
"Telah datang kepadamu seorang utusan (rasul) dari kalanganmu sendiri, berat dirasakannya apa yang kamu derita, sangat memperhatikan kamu dan amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin" (QS. at-Taubat: 128)

Responsivitasi adalah kemampuan untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta merencanakan program-program pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Responsivitas terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat adalah ciri lain dari good governance. Seorang pemimpin dengan biokrasinya harus merupakan sosok yang tanggap terhadap berbagai aspiri dan tuntutan masyarat.

e. Amanah
Di dalam konsep amanah itu terdapat suatu asas akuntabilitas. Di sisi lain al-Qur’an menegaskan,
" ... dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran, pada hal kamu mengetahui (QS. al-Baqarah:42)

Salah satu pengertian yang dapat ditarik dari keumuman pernyataan ayat di atas ini adalah adanya asas transparasi termasuk di dalamnya transparasi dalam penyelenggaraan birokrasi untuk pelayanan publik.

Di sisi lain akuntabilitas dan transparasi adalah kriteria yang penting dalam suatu good governance. Kebijakan publik harus bersifat transparan dan diambil dengan mengacu kepada kepentingan masyarakat secara luas, sehingga dengan demikian ia memiliki akuntabilitas yang tinggi. Kurangnya transparasi dalam penentuan kebijakan publik dan tidak dijadikannya kepentingan masyarakat luas sebagai acuanya menjadi sumber maraknya praktik KKN dalam penyelenggaraan pemerintah di Indonesia sekarang ini.

f. Orientasi ke hari depan
Nilai dasar lainya dalam ajaran dan hukum Islam adalah orientasi ke hari depan. Islam sangat menekankan kepada umatnya agar mereka memperhatikan hari esok dan membuat perencanaan dan persiapan untuk menghadapi dari depan. Di dalam al-Qur’an ditegaskan, 

Artinya: Dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang dipersiapkannya untuk hari esok. (QS. al-Hasyr: 18)


Dalam Islam diajarkan dua macam hari depan, yaitu hari depan yang jauh yang disebut akhirat (al-akhirah) dan hari depan yang dekat disebut hari esok (al-gad). Diajarkan pula dalam Islam bahwa hari depan itu harus selalu lebih baik dari hari ini.

Selanjutnya dari ayat di atas dapat kita jelaskan bahwa harus adanya visi yang jelas dalam hidup setiap orang. Dari ajaran ini dapat diturunkan suatu asas kepemerintahan yang baik, yaitu adanya visi strategi. Visi adalah gambaran mengenai masa depan yang dikonseptualisasikan dan yang hendak diwujudkan. Seorang pemimpin tidak hanya harus mampu merumuskan gambaran masa depan yang hendak diwujudkan tetapi juga harus mampu meyakikan, mengelolah dan menyatukan potensi masyarakat untuk bersama-sama melakukan upaya guna mewujudkan visi tersebut.[11]


Kesimpulan
Sebagai warna Negara yang baik kita harus mendukung sistem pemerintahan yang ada di Negara kita dan semua kebijakan-kebijakan yang dianggap positif agar proses pembentukan pemerintahan yang baik atau ideal dapat perjalan dengan lancar. Kita juga dapat memberikan Aspirasi kita agar kiranya dapat dijadikan tolak ukur atau masukan buat pemerintah. Jadi, untuk membentuk sistem pemerintahan yang baik Negara kita ini membutuhkan struktur pemerintahan yang komplit, tegas dan disiplin. 



Daftar Pustaka
--------------------------------
Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, cet. 1. (Jakarta: RM Books, 2007)

Razak, Abdul dan A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education); Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Edisi Ketiga, (Jakarta: diterbitkan kerjasama ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prenada Media Group, 2010)

T. Subarsyah Sumadikara, Kejahatan Politik (Kajian Dalam Perspektif Kejahatan Sempurna, (Bandung: Kencana Utama, 2009)

At-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Lmiyyah, 2003)

UU No. 28 Tahun 1999



Endnotes
--------------------------
[1] Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, cet. 1. (Jakarta: RM Books, 2007), hlm. 40-41 
[2] A. Ubaedillah dan Abdul Razak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education); Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Edisi Ketiga, (Jakarta: diterbitkan kerjasama ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prenada Media Group, 2010), hlm. 159. 
[3] T. Subarsyah Sumadikara, Kejahatan Politik (Kajian Dalam Perspektif Kejahatan Sempurna, (Bandung: Kencana Utama, 2009), hlm. 151. 
[4] UU No. 28 Tahun 1999, Pasal 3 “ 1) Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara; 2) Asas tertib penylenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara; 3) Asas kepentingan umum, yaitu yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif; 4) Asas keterbukaan, asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, yang tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara; 5) Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan anatara hak dan kewajiban penyelenggara Negara; 6) Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 7) Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Negara, harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat, sehingga pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
[5] UNDP di lain pihak merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan bersosialisasi dan berapresiasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), management sector public yang efisien, kebebasan informasi dan ekpresi, sistem yudisial yang adil sekaligus dapat dipercaya. 
[6] Robert Hass, memberi indikator tentang karakteristik good governanace anatara lain: 1) melaksanakan hak asasi manusia; 2) masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik; 3) melaksanakan hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat; 4) mengembangkan ekonomi pasar atas dasar tanggung jawab kepada masyarakat; 5) orientasi politik pemerintah menuju pembangunan. 
[7] T. Subarsyah Sumadikara, Kejahatan Politik (Kajian Dalam Perspektif Kejahatan Sempurna, hlm. 152 
[8] Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, hlm. 45 
[9] At-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Lmiyyah, 2003) hlm. 555 
[10] Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, hlm. 49 
[11] Ibid. Hlm 54


* Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Angkatan 2012

No comments:

Post a Comment