Monday, January 13, 2014

Keempat: Safh (Idiot)

Pendahuluan:
Menurut bahasa, safh adalah khiffah (lemah). Sedangkan menurut ulama fiqh, safh adalah istilah dalam transaksi harta yang tidak sesuai menurut syara' dan akal, tetapi orang yang bertransaksi masih berakal.[1]

Idiot dianggap sebagai salah satu penghalang muktasabah karena orang idiot berbuat atas kehendak dan kerelaannya hanya saja tidak sesuai menurut akal pada umumnya.[2] Idiot tidak menghilanghkan kecakapan (ahliyah). Orang yang dungu ahliyahnya sempurna dan semua taklif melekat padanya, hanya saja idiot dapat berdampak pada sebagian hukum. Dampak yang cukup jelas adalah seperti: anak kecil dicegah menggunakan hartanya jika tampak tanda-tanda keidiotannya, dan orang baligh tapi idiot dilarang membelanjakan hartanya. Oleh karena itu, sangat penting untuk membahas -secara tingkas- dua hal ini dan hukum-hukum yang terkait, serta bagaimana masalah hukum safh yang terdapat dalam undang-undang sipil Iraq dan Mesir.

Pertama, tentang mencegah anak kecil menggunakan hartanya jika tampak tanda-tanda keidiotannya.

Ulama fiqh -selain mazhab Dhohiriyah- sepakat bahwa harta anak kecil yang baligh tapi idiot, tidak boleh diserahkan kepadanya. Berdasarkan firman Allah, "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik." (An-Nisa: 5)
Hartanya baru boleh diserahkan kepadanya setelah dia baligh dan cakap, artinya dia mengerti apa yang dia lakukan. Berdasarkan firman Allah, "Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya." (An-Nisa: 6)
Menurut ayat ini, syarat agar hartanya bisa diserahkan adalah baligh dan cakap.

Menurut pendapat mazhab Dhohiriyah, harta baru bisa diserahkan jika sudah baligh dan berakal. Karena cakap menurut mereka adalah jika seseorang sudah baligh dan berakal, sedangkan idiot menurut mereka adalah tidak berakal. Oleh karena itu, orang yang baligh dan berkal berarti dia cakap dan wajib hartanya diserahkan kepadanya.[3]

Menurut jumhur ulama, cakap (rusyd) berarti akalnya sehat dan mampu memelihara harta.[4] Oleh karenanya, tikak semua yang berakal berarti cakap, tetapi orang yang cakap sudah pasti berakal.

Menurut mazhab Ja'fariyah, orang yang cakap adalah orang yang baligh, berakal, dan bisa mengurus hartanya, serta adil da;am urusan agama.[5] Orang yang cakap tidak hanya harus mampu mengurus hartanya saja, tetapi juga harus adil dalam urusan agama. Akan tetapi, tidak semua ulama Ja'fariyah sepakat dengan syarat yang kedua. Beberapa ulama kontemporer mazhab ja'fariyah berpendapat bahwa orang yang cakap adalah orang yang bisa mengurus hartanya, dia tidak harus adil dalam urusan agamanya.[6]

Yang Dimaksud dengan Cakap
Dalam pembahasan ini, apakah cakap yang dimaksud adalah benar-benar cakap atau dianggap cakap saja? Ada dua pendapat ulama fiqh: Pertama, benar-benar cakap (haqiqi). Kecakapan harus benar-benar dimiliki dan ketahui, tidak boleh ada tolok ukur lain yang menggantikannya, seperti umur misalnya dan sebagainya. Menurut pendapat ini, harta tidak boleh diberikan kepada anak kecil yang memasuki baligh, sampai dia cakap seiring dengan bertambahnya umur, sekalipun sampai dia tua. Ini adalah pendapat mazhab Syafi'iyah, Malikiyah, Hanabilah, Ja'fariyah, Abu Yusuf dan Muhammad (dua sahabat Abu Hanifah)[7]

Argumentasi pendapat ini adalah: Pertama, memberikan harta setelah anak kecil baligh tergantung ada tidaknya kecakapan (rusyd). Jika rusyd tidak ada, maka hartanya tidak boleh diberikan, sehingga 'memberikan harta' tidak ada sebelum adanya rusyd; Kedua, idiot sebagai penghalang diberikannya harta sama kedudukannya dengan gila dan kurang akal, yang keduanya sama-sama menjadi penghalang diberikannya harta, baik dia masih kecil, atau sudah berumur dua puluh lima tahun atau lebih, demikian pula halnya dengan idiot.

Kedua, pendapat Abu Hanifah. Menurutnya, yang dimaksud dengan rusyd adalah benar-benar cakap sebelum berusia 25 tahun, dan cukup dianggap cakap setelah berusia 25 tahun. Oleh karena itu, seseorang yang sudah baligh dan kecakapannya tampak, maka hartanya boleh diberikan kepadanya sekalipun dia belum berusia 25 tahun. Jika dia baligh tapi tidak cakap, atau tidak diketahui apakah dia cakap atau tidak, maka harus ditunggu sampai ia berusia 25 tahun. Jika sudah mencapai usia 25 tahun, maka dia dihukumi cakap, harta miliknya boleh diserahkan kepadanya sekalipun tidak diketahui apakah dia cakap atau tidak. Pada usia ini, anggapan cakap sudah melekat, jarang sekali meleset, karena hukum mengikuti yang biasa terjadi, bukan yang jarang.[8]

Abu Hanifah ra mengungkapkan beberapa argumentasi sebagai berikut:

1. Harta tidak boleh diberikan kepada orang baligh yang belum cakap karena terkadang tidak bisa membedakan kecakapan pada seseorang yang baru memasuki usia baligh. Akan tetapi jika sudah lama baligh hingga usia 25 tahun

----------------------------------------------------
[1] Syarh al-Manar, hlm. 988.
[2] Syarh Muraqat al-Wushul, Juz. 2, hlm. 458.
[3] Al-Mahalli, Ibn Hazm, Juz. 8, hlm. 286-287.
[4] Al-Talwih, Juz. 2, hlm. 191.
[5] Al-Khilaf, Al-Thusi, Juz. 2, hlm. 121.
[6] Minhaj al-Shalihin, Mujtahid Sayyid Muhsin al-Hakim, Juz. 2, hlm. 113.
[7] Al-Mughni, Juz. 4, hlm. 457. Al-Thusi, Juz. 2 hlm. 121. Muhsan al-Hakim, Juz. 2, hlm. 113.
[8] Al-Talwih wa al-Taudhih, Juz 2, hlm. 1911. Al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, Juz. 1, Hlm. 490.

No comments:

Post a Comment