Wednesday, January 8, 2014

Metode Munasabah dalam Penemuan Hukum Syar'i

Oleh Silva Rizki Amalia*
A. Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran keagamaan Islam apa yang disebut dengan ajaran Islam tidak lain adalah hasil interpretasi kaum muslim terhadap teks suci al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kompilasi “firman Tuhan” yang diyakini oleh umat Islam sebagai petunjuk bagi seluruh manusia.[1] Ini membuktikan bahwa al-Qur’an menempati posisi penting dalam pemikiran dan peradaban umat Islam.[2]

Dengan posisinya yang signifikan tidak berarti al-Qur’an secara mandiri (otonom) membangun peradaban. Sebab teks apapun tak terkecuali al-Qur’an tidak dapat membangun dan menegakkan pemikiran dan peradaban. Yang membangun dan menegakkan peradaban adalah dialektika antara manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain.[3] Al-Qur'an membutuhkan ‘alat bantu’ mengkaji dan menyingkap hikmah yang terkandung di dalamnya. Salah satu ‘alat bantu' disini ialah ilmu ushul al-fiqh.


Ushul fiqh atau dasar-dasar Hukum Islam merupakan ilmu tentang sumber-sumber dan metodologi hukum. Dalam arti, ushul fiqh bersumber dari wahyu al-Qur'an dan sunnah; dan merupakan sasaran penerapan metodologi ushul fiqh yang bertautan dengan metode penalaran melalui pemikiran seperti, preferensi juristik (istihsan), kaidah-kaidah interpretasi dan deduksi serta analogi (qiyas).[4]


Qiyas merupakan salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam al-Qur'an dan sunnah, yang dilakukan oleh mujtahid dengan meneliti alasan logis (‘illat).[5] ‘Illat merupakan satu faktor penentu dalam berijtihad menggunakan metode qiyas. ‘illat secara bahasa berarti sesuatu yang merubah keadaan.[6] Secara istilah menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Satria Effendi, ‘illat adalah “suatu sifat yang konkret dan dapat dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum yaitu kemaslahatan dengan meraih kemanfaatan dan menolak kemudharatan”


Sifat yang konkret yang menyertai ‘illat harus diidentifikasi kesesuaiannya dengan tujuannya pembentukan hukum atau kemaslahatan. Salah satu metode identifikasi ‘illat yaitu seperti, teori yang diusung oleh al-Ghazali yaitu metode munasabah.


Dari uraian yang telah penulis kemukakan di atas, untuk mendapatkan suatu gambaran dan batasan, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah: Bagaimana Menemukan hukum dengan menggunakan metode munasabah?


B. Latar belakang metode munasabah
Teori konformitas al-Ghazali bukanlah teori yang benar-benar baru, meskipun tidak dapat dilacak dengan jelas linatasan sejarah awal mulanya metode munasabah ini dikaji. Al-Juwaini mengidentifikasikan Abu Ishaq al-Isfara’ini (w. 418/1027) yang berpendapat mengenai cara-cara identifikasi ‘illat kasus pokok, yaitu dengan menyelidiki munasabahnya (konformitasnya) terhadap hukum serta memperhatikan keselarasan berdasarkan prinsip pokok syari’ah dan terhindar dari kontradiksi. Teorinya ini diistilahkan dengan konstansi (al-ittirad) meski pada esensi teorinya merupakan teori munasabah.[7]


Selain itu, al-Juwaini sendiri menjelaskan mengenai ikhalah atau munasabah yang mana bahwa ‘illat itu ditemukan dengan menggunakan pikiran rasional dan apabila ditemukan alasannya yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah, maka alsan tersebut diterima sebagai ‘illat. Meski kedua teori tersebut berbicara mengenai munasabah, namun belum terdapat konsep yang jelas sehingga mengundang dugaan bahwa teori tersebut merupakan teori yang subyektif dan jauh dari campur tangan wahyu.[8]


Dalam hal ini teoritisi dari mazhab hanafi yang diwakili oleh Abu Zaid ad-Dabusi (w. 430/1039) menolak teori munasabah dan tampil mengusung serta mempertahankan konsep keefektifan (at-ta’sir) berdasarkan nas dan ijmak yang dinilai lebih obyektif. Dan ia juga membatasi qiyas pada dan hanya yang efektif saja. Menurut al-Ghazali, penolakan ini terjadi karena adanya miskonsepsi tentang pemahaman mengenai munasabah. Pada situasi inilah al-Ghazali hadir dan mengembangkan konsep konformitas (munasabah) yang tidak semata-mata subyektif tetapi berdasarkan kriteria-kriteria obyektif seperti kemaslahatan dan keselarasan dengan tindakan pembuat hukum syar’i di tempat lain. Konsep ini terbilang lebih substansial dengan menggali tujuan hukum dan menghubungkan munasabah kepadanya.[9]


C. Kedudukan Metode munasabah dalam metode penemuan hukum
Sekilas tentang metode penemuan hukum yang telah di jelaskan pada pemakalah sebelumnya secara lebih rinci. Metode penemuan hukum secara garis besar menurut para ahli hukum Islam terbagi tiga kategori, yaitu metode interpretasi linguistik {الطروق البيانية}, metode kausasi {التعليل}, dan metode penyelarasan (sinkronisasi, {التوفيق}.[10]


Metode interpretasi linguistik {الطروق البيانية} merupakan metode penemuan hukum dengan cara melakukan interpretasi terhadap nas-nas al-Qur'an dan hadis. Metode ini berlaku ketika suatu kasus yang diselesaikan telah mempunyai teks hukumnya, namun masih kabur atau belum jelas. Dalam metode ini terdapat pernyataan hukum dalam teks yang diklasifikasi pada empat segi: dari segi kejelasan pernyataan, dari segi kejelasannya, pernyataan hukum dibedakan menjadi pernyataan hukum yang jelas[11] yaitu ظاهر,نص , مفسر, dan محكم; sedangkan pernyataan hukum yang tidak jelas[12] meliputi khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih; dari segi pola penunjukan kepada makna (signifikasi,الدلالة ), yang dimaksud adalah empat kategori[13] yaitu penunjukan secara langsung ( دلالة الإبارة), penunjukan secara implisit ( دلالة الإشارة ), penunjukan secara analog ( دلالة الدلالة ) dan penunjukan secara serapan ( دلالة الإقتضاء ); dari segi luas-sempit cakupan makna suatu pernyataan hukum terdiri dari pernyataan umum ( لفظ العام) pernyataan khusus ( لفظ الخاص), pernyataan bermakna ganda, pernyataan bermakna sebenarnya (hakiki) pernyataan metaforis ( مجازى) dan seterusnya; yang terakhir dari segi bentuk-bentuk formula taklif terbagi dua yaitu kategori perintah dan larangan[14].


Metode kausasi{التعليل} kausasi adalah perluasan berlakunya hukum suatu kasus yang ditegaskan di dalam nas kepada kasus baru berdasarkan ‘illat (causa legis) yang digali dari kasus nas dan kemudian diterapkan kepada kasus baru tersebut. Aplikasinya dalam ushul fiqh adalah penerapan qiyas sebagai metode menemukan hukum syar’i yang belum ada dalam nas.[15] Dengan kata lain metode kausasi merupakan bagian penting dalam usaha penemuan hukum terutama bagi kasus yang belum ada hukumnya dalam nas.


Untuk melakukan perluasan hukum yang ada, dilakukanlah penyelidikan terhadap atribut ‘illat yang melandasi ketentuan hukum yang sudah ada. Dengan diketemukannya atribut itu, hukum yang sudah ada diperluas hingga mencakup kasus lain yang sejenis dan belum ada pernyataan hukum dalam nas. Disini teks hukum yang ada diperluas cakupannya sehingga bisa mencakup kasus-kasus yang tidak terdapat teks hukumnya (nasnya).


Para teoretisi Hukum Islam telah melahirkan metode mengidentifikasi atribut[16] yang menjadi ‘illat suatu hukum. Atribut disini maksudnya adalah kualitas (al-wasf) yang terdapat pada suatu kasus yang menjadi alasan penetapan hukum kasus tersebut, atribut itu jelas artinya konkret dan dapat diamati dengan jelas. Sebagai contoh dalam kasus diharamkannya meminum khamar atribut yang terkandung didalamnya adalah memabukkan.[17] Beberapa metode mengidentifikasi atribut tersebut adalah: melalui pernyataan teks hukum sendiri, melalui ijmak, dan melalui ijtihad (penalaran).[18]


Dari ketiga metode identifikasi ini ketika dihadapkan pada suatu permasalahan maka terutama akan menyelidiki apakah ada pernyataan teks hukumnya, jika tidak ditemukan maka beranjak menggunakan pendekatan ijmak, karena kemungkinan para ahli Hukum Islam telah sepakat atas illat permasalahan tersebut. Namun jika tak diketemukan juga maka tehnik ketiga yaitu melakukan penalaran. Dua cara yang diikuti dalam penalaran untuk mengidentifikasi ‘illat, yaitu, pertama klasifikasi dan eliminasi (As-Sabru wa at-taqsiim)[19], yaitu pengujian terhadap ‘illat dengan cara mengidentifikasi semua atribut yang diperkirakan mungkin menjadi ‘illat hukum kemudian satu-persatu ‘illat yang diperkirakan itu diuji untuk menemukan satu ‘illat yang paling mungkin, kemudian ‘illat-‘illat lainnya dieliminasi. Metode kasifikasi dan eliminasi ini sepertinya relatif sama dengan metode tanqih al manat (memisahkan ‘illat) yang biasanya dilakukan secara berurutan yang diawali dengan takhrij al manat (mengeluarkan ‘illat) kemudian tanqih al manat (memisahkan ‘illat) selanjutnya tahqiq al manat (memastikan ‘illat)[20]. Kedua, dengan cara pengujian kesesuaian atribut yang dinyatakan sebagai ‘illat dengan hukum, dan inilah yang disebut konformitas.[21] Secara lebih rinci akan dipaparkan pada sub-bab selanjutnya.


Metode penyelarasan {التوفيق} metode ini berusaha menyelaraskan berbagai dalil hukum yang mungkin secara zahir bertentangan satu sama lain. Teori yang dikembangkan didalamnya adalah teori nasakh, tarjih dan jamak[22].


D. Metode Munasabah (Konformitas)
Munasabah (Konformitas) secara etimologis berarti sesuai atau kesesuaian. Sedangkan secara terminologi dalam teori ini yaitu kesesuaian antara hukum yang ditetapkan dengan atribut yang menjadi alasan ( إلة ) suatu hukum ditetapkan. Teori ini didasarkan pada suatu asumsi dasar bahwa hukum syar’i itu tedas makna (معقول المعنى) dan berlandaskan rasionalitas, bukan semena-mena (arbitrary) berlandas kepada wahyu ilahi. Tujuan teori ini yaitu berupaya meleburkan antara wahyu dan ra’yu secara seimbang.[23]


Fazlur Rahman menyebutkan bahwa prosedur yang biasa terjadi di dalam pembentukan hukum yang berdasarkan al Qur‟an adalah, setiap pernyataan yang legal atau quasi legal disertai oleh sebuah ratio legis yang menjelaskan mengapa sebuah hukum dinyatakan.[24]


Konformitas adalah kesesuaian antara hukum dengan ‘illatnya, maka kesesuaian ini disebut atribut yang sesuai ( الوسف المناسب ) atau disebut munasib. Maksud kesesuaian (munasabah) disini ialah bahwa antara ‘illat (alasan) dan hukum berhubungan logis yang tedas makna. Sedangkan takaran atas kesesuaian (munasabah) didasarkan pada kemaslahatan. Dan tujuan menyelidiki munasabahnya yaitu guna mengetahui ‘illatnya. [25] Contoh, ‘illat ditetapkannya perwalian atas harta anak dibawah umur adalah keadaan di bawah umur (as-sigar). Hukumnya disini adalah ditetapkannya perwalian atas harta; ‘illat hukum tersebut adalah keadaan sang anak yang masih dibawah umur. Keadaan dibawah umur ini disebut al-wasf al-munasib karena menurut pikiran sehat memang sesuai atau pantas bahwa anak dibawah umur itu ditempatkan dibawah perwalian dalam hal pengurusan hartanya sebab anak tersebut belum mampu mengurus sendiri segala kepentingannya.


Munasabah suatu ‘illat terbagi menjadi tiga[26], jika dilihat dari segi keefektifannya dan dari tingkat probabilitas yang dihasilkannya. Ketiganya adalah munasib efektif ( مؤثر), munasib selaras ( ملاعم), dan munasib ganjil ( غرب). Selanjutnya dibahas lebih rinci pada alinea berikut. [27]


1. Munasib Efektif ( مؤثر)
Munasib efektif adalah atribut yang dijadikan ‘illat hukum bersumber dari nas atau ijmak. Misalnya, ‘illat haramnya mengkonsumsi khamar adalah memabukkan. Atribut yang menjadi ‘illat adalah kualitas memabukkan, dan hukumnya adalah haram. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Umar bahwa nabi Saw. Bersabda:

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَ كُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ (أخرجه مسلم و أبوا داود )

Artinya: setiap minuman yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar adalah haram. (HR. Muslim dan Abu dawud)


Diketahuinya efek haramnya disebabkan dari sifat yang memabukkan pada khamar yang didasarkan pernyataan nas dalam al-Qur'an dan hadits. Sifat memabukkan itu munasib karena dapat dinalar oleh akal, karena perilaku mabuk akan berdampak negatif pada hubungan kepada Tuhan, sesama dan diri sendiri. Sedangkan atribut ini disebut efektif karena pengetahuan atas ke’illatannya berdasarkan penegasan nas, sehingga tidak perlu menyelidiki munasabahnya. Contoh lain yaitu kasus perwalian atas harta anak dibawah umur diatas. Dalam nash telah dinyatakan dalam QS. An- Nisa’ ayat 6:

Artinya: dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.... (QS. An-Nisa’: 6)


Jadi keadaan ‘kecil’ atau dibawah umur merupakan sifat yang telah ditetapkan oleh ijma’ dari dalam nash tersebut sebagai ‘illatnya. Sifat inilah sifat yang munasib dan mu’tsir yang merupakan sifat tertinggi munasib.[28]


2. Munasib Selaras ( ملاعم )
Munasib selaras adalah atribut yang diketahui dapat menjadi ‘illat karena konformitasnya dengan hukum, artinya bahwa atribut itu secara rasional menghendaki penetapan hukum tersebut karena dengan penetapan itu diharapkan akan terwujud kemaslahatan; dan karena keselarasannya dengan ketentuan-ketentuan syari’ah di tempat lain. Misalnya, kasus minum khamar dalam kadar sedikit dan tidak memabukkan, maka seharusnya dibolehkan, karena ‘illat haramya mengkonsumsi khamar adalah memabukkan. Tetapi para ahli hukum Islam menyatakan tidak boleh. ‘Illat (alasan) ketidak bolehannya adalah bahwa yang sedikit akan membawa kepada yang banyak. Maka berdasarkan ‘illat ini minum bir atau khamar meski hanya sedikit dan tidak memabukkan tetap tidak diperbolehkan. Tindakan melarang yang sedikit karena dianggap bisa membawa kepada yang banyak ini selaras (mula’im) dengan tindakan pembuat hukum syar’i di tempat lain. Yaitu tindakan berduaan antara laki-laki dan perempuan di tempat tersembunyi, dilarang karena akan membawa kepada perbuatan yang lebih berat, yaitu zina.[29]


Al-Ghazali mendefinisikan munasib selaras sebagai “atribut yang tidak tampak efek speciesnya terhadap species hukum, akan tetapi tampak efek genusnya terhadap genus hukum”. Contohnya seperti, kesukaran mengganti (qada’) salat yang banyak dan berulang (masyaqqah at-tikrar) bagi wanita haid sehingga kemudian diberi keringanan dihapuskan kewajiban tersebut, keringanan memendekkan dan menjamakkan shalat karena kesulitan perjalanan bagi orang yang sedang berpergian. Dari kedua contoh diatas, alasan kesukaran mengganti dan kesukaran perjalanan disebut species, sedangkan kesukaran secara umum disebut genus. Sedangkan pemberian keringanan untuk memendekkan dan menjamak shalat, serta keringanan dihapuskannya qada’ salat merupakan species hukum, dan secara umum pemberian keringanan sendiri merupakan genus hukum. Dalam permisalan diatas, tidak nampak adanya efek ‘illat terhadap species hukum, artinya kesukaran mengulangi yang merupakan ‘illat penghapusan penggantian salat dalam kasus wanita haid (species munasib) tidak berdampak kepada hukum bolehnya pekerja berat dipabrik tidak puasa (species hukum), sedangkan efeknya hanya nampak pada genus atribut yaitu faktor kesukaran, selanjutnya yang menjadi ‘illat terhadap genus hukum yaitu, adanya keringanan.[30]


Dari definisi dan contoh diatas, al-Ghazali setidaknya telah menyebutkan dua efek munasib yaitu efek species munasib terhadap species hukum, dan efek genus munasib terhadap genus hukum. Para ahli ushul fiqih setelah al-ghazali setidaknya membagi atas empat kemungkinan efek munasib terhadap hukum, yang meliputi efek species munasib terhadap species hukum, efek genus munasib terhadap species hukum, efek genus munasib terhadap genus hukum, dan efek species munasib terhadap genus hukum.

efek species munasib terhadap species hukum, contoh dari kemungkinan pertama ialah kasus efek atribut memabukkan terhadap ditetapkannya hukum minum khamar. Hukum yang sama, yaitu haram, dialihkan kepada kasus minum bir berdasarkan atribut yang sama, yaitu memabukkan.

efek genus munasib terhadap species hukum, contoh dari kemungkinan kedua adalah kasus pengharaman bir dalam kadar sedikit telah dibahas sebelumnya.

efek genus munasib terhadap genus hukum, dan contoh dari kemungkinan ketiga adalah kasus peniadaan kewajiban mengganti salat bagi wanita haid.

Efek species munasib terhadap genus hukum contoh dari kemungkinan keempat adalah kasus mendahulukan saudara kandung atas saudara seayah untuk menjadi wali nikah dengan mengqiyaskannya kepada mendahulukannya dalam hak kewarisan.[31]


3. Munasib Ganjil ( غرب مناسب )
Al-Ghazali mengartikan munasib ganjil atau munasib gharib sebagai munasib yang tidak selaras dengan genus tindakan pembuat hukum atau tidak ada contohnya yang sebanding ditempat lain. Munasib ganjil ini dibedakan menjadi dua yaitu, munasib yang didukung oleh suatu dalil khusus akan tetapi ganjil karena tidak ada contohnya di tempat lain dalam tindakan pembuat hukum; dan munasib yang tidak didukung oleh suatu dalil khusus dan tidak ada contohnya dalam tindakan pembuat hukum di tempat lain.


Munasib ganjil yang dimaksud disini adalah munasib yang didukung oleh suatu dalil khusus akan tetapi ganjil karena tidak ada contohnya di tempat lain dalam tindakan pembuat hukum. Hal ini karena munasib ini disimpulkan dari suatu nas khusus yang menerangkan suatu ketentuan hukum tanpa menjelaskan atribut yang menjadi alasan penetapan hukum tersebut. Namun tidak ada contoh tindakan pembuat hukum syar’i yang sejenis untuk membandingkan. Inilah yang membedakan antara munasib ganjil dengan munasib selaras yang mana telah dibahas sebelumnya yaitu munasib yang tidak diintisarikan dari nas khusus melainkan atas pertimbangan maslahat yang kemudian memiliki contoh tindakan pembuat hukum syar’i yang sebanding di tempat lain.


Contoh munasib ganjil adalah memperlakukan dengan kebalikan maksud dalam kasus pencabutan hak kewarisan seorang yang membunuh kerabat yang akan diwarisinya. Nas yang berkaitan dengan kasus ini meskipun tidak ada keterangan mengenai ‘illat pencabutan hak kewarisan, yaitu hadits nabi saw 

لَا يَرِثُ الْقَاتِلُ

Artinya: “Tidak ada bagian harta waris bagi sipembunuh”.


Para ahli hukum menyimpulkan alasan ini berdasarkan munasabah yaitu memperlakukan pembunuh dengan kebalikan maksudnya. Dalam arti kata bahwa pembunuh dianggap ingin segera mendapatkan warisan namun dengan cara melawan hukum. Sehingga sebagai hukumannya maka dicabutlah hak kewarisan atas pembunuh tersebut, sebagai bentuk tindak perlakukan berbalik atau kebalikan.[32]


Bentuk munasib ini didasarkan pada pikiran rasional yang bertolak pada kemaslahatan (konformitas) dari kasus nas. Jenis munasib ini yaitu munasib ganjil. Dikatakan ganjil karena tidak ditemukannya contoh yang sebanding mengenai genus tindakan pembuat hukum syar’i ditempat lain. Berdasar pada ‘illat ini, dapat diqiyaskan satu kasus mengenai suami yang menceraikan istrinya ketika ia sakit keras. Ketika suami yang sedang sakit keras lalu kemudian ia menceraikan istrinya, maka suami dianggap bermaksud agar sang istri tidak menjadi ahli warisnya karena telah terputusnya perkawinan. Maka, jika diperlakukan sanksi hukuman sebaliknya sebagai mana hukum pada ashal, maka si istri tetap menjadi ahli waris si suami.[33]


Alasannya adalah jika pembuat hukum syar’i menetapkan hukum ada tiga kemungkinan, yang pertama, penetapan itu sewenang-wenang tanpa alasan logis; kedua berdasar alasan logis tapi tidak bisa diketahui oleh selain pembuat hukum syar’i; dan yang ketiga berdasarkan suatu alasan rasional yang munasib. Maka kemungkinan terakhir inilah yang paling logis dan asasnya adalah bahwa penetapan hukum harus berdasarkan suatu alasan rasional. [34]


E. Stratifikasi Munasabah Berdasar Kekuatan dan Probabilitas 

stratifikasi Munasabah berdasar Kekuatan dan probabilitas yang dihasilkannya adalah munasib efektif, munasib yang paling kuat dan tingkat probabilitasnya paling tinggi, selanjutnya adalah munasib mula’im, kedua jenis munasib ini tak dapat diragukan lagi kedudukannya sebagai hujjah. Dan yang ketiga sekaligus tingkatan terendah adalah munasib ganjil. Meski munasib jenis ini tak dapat di abstraksikan[35] secara kategoris, namun suatu saat dapat digunakan sebagai hujjah karena pada dasarnya munasib ganjil tetap memiliki derajat probabilitas.[36]


F. Kesimpulan
Dilihat dari eksplorasi deskriptif di atas, maka dapat dipahami bahwa metode konformitas (muanasabah) dalam upaya penemuan hukum sangat urgen dan sepantasnya terus dikembangkan dalam kerangka pengembangan teori hukum Islam.


Yang sangat khas dari metode munasabah adalah melibatkan penggunaan daya nalar si mujtahid yang tidak hanya menggunakan semantik nas, tetapi juga dengan memahami tujuan-tujuan umum hukum. Jadi di sini terlihat relasi yang khas antara wahyu dan akal dalam pengembangan hukum Islam.


Meski banyak kritik yang menolak keabsahan konformitas (munasabah) sebagai metode penemuan hukum Islam karena dipandang terlalu subyektif dan tidak ada ukuran obyektif, maka pada dasarnya dapat dipahami bahwa krritik tersebut muncul lebih disebabkan adanya miskonsepsi, karena munasabah memiliki kriteria-kriteria obyektif seperti kemaslahatan dan kesesuaian atau keselarasan dengan tindakan pembuat hukum syar‟i di tempat lain serta pertimbangan yang secara keseluruhan dapat menimbulkan zann (asumsi kuat, keyakinan) mengenai masalahnya


Maka, munasabah atau konformitas yang merupakan bagian dari kerangka besar deduksi analogis sangat dibutuhkan dalam kerangka menjawab atau menawarkan langkah solutif terhadap kasus – kasus hukum yang dihadapi oleh ummat Islam yang belum dijelaskan dalam nas baik itu al Qur’an maupun al Hadis. Perluasan nilai syari’ah ini dilakukan sebagai konsekuensi dari pemahamn bahwa syari‟ah Islam adalah salih likulli zaman wa makan.



Daftar Pustaka
------------------------------
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushulul Fiqh), cetakan keenam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996).

Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: SUKA Press, 2000).

Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).

Fazlur Rahman, Tema Pokok al Qur’an, alih bahasa oleh Anas Mahyudin (Bandung: PUSTAKA, 1996).

Kamus Besar Bahasa Indonesia digital V1.1

Kuthbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).

Muhammad Hashim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an Kitik Terhadap Ulumul Qur’an, alih bahasa Khoirun Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2001).

Satria Effendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqh, cetakan ketiga (Jakarta: Kencana, 2009). Wahbah az-Zuhaili, 

Syamsul Anwar, M.A, “Epistemologi Hukum Islam Dalam Al-Mustasfa Min ‘Ilm Al-Usul Karya Al-Gazzali (450-505 H/ 1058-1111 M)” Disertasi, (Yogyakarta: perpustakaan pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2000)





Endnotes
-----------------------
[1] al-Baqarah (2) : 185 dalam ayat ini dikatakan bahwa al-Qur’an diturunkan (pertama kali) pada bulan Ramadhan, yang berisi petunjuk (hudan) bagi manusia, serta penjelasan tentang petunjuk tersebut (bayan). Di dalamnya terkandung pula kriteria atau tolak ukur yang membedakan segala sesuatu (furqan). 
[2] Peradaban Islam tidak lain adalah suatu hasil akumulasi perjalanan pergumulan penganut agama Islam ketika berhadapan dengan proses dialektis antara normatifitas ajaran wahyu yang permanen dan historisitas pengalaman kekhalifahan manusia di muka bumi yang selalu berubah-ubah. lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 3 
[3] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an Kitik Terhadap Ulumul Qur’an, alih bahasa Khoirun Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 1. 
[4] Muhammad Hashim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 1. 
[5] Satria effendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqh, cetakan ketiga (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 130 
[6] Satria effendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqh,..., hlm. 135 
[7] Syamsul Anwar, Teori Konformitas Dalam Metode Penemuan Hukum Islam Al-Ghazali, dalam Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, oleh Amin Abdullah dkk, (Yogyakarta: SUKA Press, 2000) hlm. 288. 
[8] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 289. 
[9] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 288-289. 
[10] beberapa ahli hukum Islam modern mengklasifikasi metode penemuan hukm Islam menjadi tiga yaitu, ijtihad bayani, ijtihad qiyasi, dan ijtihad istislahi. Lihat Kuthbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 32-34 
[11] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushulul Fiqh), cetakan keenam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 262-274 
[12] Lihat Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah..., hlm. 277-288 
[13] Lihat Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah..., hlm. 292 
[14] Lihat Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah..., hlm. 324-326 
[15] Syamsul Anwar, M.A, “Epistemologi Hukum Islam Dalam Al-Mustasfa Min ‘Ilm Al-Usul Karya Al-Gazzali (450-505 H/ 1058-1111 M)” Disertasi, (Yogyakarta: perpustakaan pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2000) hlm. 342 
[16] Atribut secara bahasa berarti tanda kelengkapan. Lihat KBBI digital 
[17] Syamsul Anwar, M.A, “Epistemologi Hukum..., hlm. 357 
[18] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 289. 
[19] As-Sabru wa at-taqsiim secara harfiah berarti memperhitungkan dan menyingkirkan. Maksudnya adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat pada ashal, kemudian meneliti dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak pantas menjadi ‘illat, dan yang tertinggal menjadi ‘illat ashal tersebut. Lihat Kuthbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 138 
[20] Lihat Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori Hukum Islam (Usul al Fiqh), terj. Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 276 
[21] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 277. 
[22] Lihat Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah..., hlm. 367-381 
[23] Syamsul Anwar, Teori Konformitas..., hlm. 277. 
[24] Fazlur Rahman, Tema Pokok al Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: PUSTAKA, 1996), hlm. 70 
[25] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 278. 
[26] Menurut Abdul Wahab Khalaf, munasib terbagi atas empat: (1) ‘illat munasib mu’atsir, (2) ‘illat munasib mula’im, (3) ‘illat munasib mursal, (4) ‘illat munasib mulgha. 
[27] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 278. 
[28] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushulul Fiqh), cetakan keenam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 107-108 
[29] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 279. 
[30] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 280 
[31] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 281 
[32] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 284 
[33] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 285 
[34] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 285 
[35] metode untuk mendapatkan kepastian hukum atau pengertian melalui penyaringan thd gejala atau peristiwa 
[36] Syamsul Anwar, Teori Konformitas....., hlm. 286


* Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Angkatan 2012

No comments:

Post a Comment