Wednesday, January 8, 2014

Maqasid al-Syari'ah: Sebuah Tinjauan Filsafat Hukum Islam

Oleh M. Lutfi Hakim*
A. Pendahaluan
Hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia, pasti memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia. Hal itu dikarenakan, hukum diciptakan bukan untuk Allah sebagai al-Syari’, akan tetapi hukum diciptakan untuk kehidupan manusia di dunia. Dengan demikian, hukum yang terkandung dalam ajaran agama Islam memiliki dinamika yang tinggi dan dibangun di atas karakteristik yang sangat mendasar. Dapat dikatakan bahwa hukum Islam berakar pada prinsip-prinsip universal dan dapat menampung perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan ummat manusia yang terus berkembang mengikuti perubahan, tanpa bertentangan dengan nilai-nilai yang digariskan oleh Allah SWT.


Dari kondisi tersebut, para ahli hukum Islam telah berhasil membentuk sistem hukum Islam dan membangun metode penemuan hukum, yaitu maqashid al-syari’ah. Pada mulanya, maqashid al-syari’ah hanyalah sebagaian kecil dari kajian ushul fiqh. Selanjutnya maqashid al-syari’ah semakin berkembang dan mulai menjadi bahasan sendiri pada abad ke-5 Hijriyah. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqashid al-syari’ah identik dengan istilah filsafat hukum Islam. 


Dalam makalah ini, penulis menjelaskan apa yang dimaksud dengan maqasid al-syari’ah ditinjau dari filsafat hukum Islam dan dilengkapi dengan analisis sebuah kasus. Kasus yang penulis maksud di sini, yaitu pencatatan perkawinan ditinjau dengan menggunakan teori maqasid al-syari’ah. Tulisan ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu menjelaskan seputar maqasid al-syari’ah perspektif filsafat hukum Islam dan mengaplikasikannya pada sebuah kasus, kemudian menganalisisnya. Selain itu, di sini juga menjelaskan perkembangan maqasid al-syari’ah dari klasik menjadi kontemporer.


B. Definisi Maqāsid Al-Syari’ah
Secara bahasa (lughawi), maqasid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jamak dari maqsid, yang berarti ‘kesengajaan’ atau ‘tujuan’.[1] Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kataقصد – يقصد - قصدا yang berarti ‘keinginan yang kuat’, ‘berpegang teguh’, dan ‘sengaja’,[2] atau dapat juga diartikan dengan ‘menyengaja atau bermaksud kepada’ (qashada ilaihi).[3] Sedangkan kata syari’ah berasal dari kata syara’a al-syai yang berarti ‘menjelaskan sesuatu’, atau diambil dari al-syar’ah dan al-syari’ah dengan arti ‘tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan alat’,[4] atau ‘berarti juga sumber air’. Selain itu al-syari’ah yang akar kata berasal dari kata شرع – يشرع - شرعا yang berarti ‘memulai pelaksanaan suatu pekerjaan’.[5]


Menurut Syamsul Anwar,[6] maqasid al-syari’ah dapat diartikan dengan illah (illah faailiyyah), hikmah, dan al-hadf atau al-ghayyah. Secara umum, para ulama mendefinisikan maqasid al-syari’ah dengan makna-makna yang terkandung di dalamnya seluruh atau sebagian besar hukum syari’ah (al-ma’ani allati tulaahzhu fi jami’in au muazzami al-ahkaami al-syariati).


Secara terminologi, maqasid al-syari’ah adalah tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah yang terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Dengan kata lain, tujuan Allah menurunkan syari’at menurut al-Syathibi adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.[7] Menurut Muhammad al-Tahir bin 'Asyur, maqasid al-syari’ah ialah makna dan hikmah yang menjadi perhatian syara’ dalam semua keadaan pensyari’atan atau dalam sebagian besar pensyari’atannya.[8]


Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan maqasid al-syari’ah, yaitu nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syari’ah, yang ditetapkan oleh al-Syari’ dalam setiap ketentuan hukum.[9] Selanjutnya, Yusuf al-Qardhawi mendefenisikan maqashid al-syari’ah sebagai tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah, ataupun untuk individu, keluarga, jama’ah, dan umat, atau disebut juga dengan hikmat-hikmat yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, baik yang diharuskan ataupun tidak. Karena dalam setiap hukum yang disyari’atkan Allah kepada hambanya, pasti terdapat hikmat, yaitu tujuan luhur yang ada dibalik hukum.[10]


Ulama Ushul Fiqih mendefinisikan maqashid al-syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemashlahatan umat manusia. Maqashid al-syari’ah di kalangan ulama ushul fiqih disebut juga asrar al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemashlahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai contoh, syara’ mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah SWT.[11] Jadi, yang dimaksud dengan maqashid al-syari’ah menurut penulis, yaitu hikmah-hikmah atau nilai-nilai yang terdapat dibalik sebuah hukum yang ditetapkan oleh syara’ bertujuan untuk kemashlahatan umat manusia.


C. Maqāsid Al-Syari’ah: Sejarah dan Kedudukannya
Kajian tentang tujuan diterapkannya hukum (maqasid al-syari’ah) dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang ushul fiqh. Selanjutnya, dalam perkembangannya kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam.[12] Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqasid al-syari’ah ini identik dengan istilah filsafat hukum Islam. Isilah yang disebut terakhir ini melibatkan pertayaan-pertayaan kritis tentang tujuan ditetapkannya suatu hukum.


Secara historis, maqashid al-syari’ah telah ada sejak masa Rasulullah SAW. Penelaahan terhadap maqashid al-syari’ah mulai mendapat perhatian yang intensif setelah Rasulullah wafat, di saat para sahabat[13] dihadapkan ke pada berbagai persoalan baru dan perubahan sosial yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah masih hidup. Perubahan sosial yang dimaksud adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya. Perubahan sosial seperti ini menuntut kreatifitas para sahabat untuk memecahkan persoalan-persoalan baru yang muncul akibat perubahan sosial itu.


Menurut Raisuni,[14] maqashid al-syari’ah telah dikembangkan oleh para mujtahid sebelum Al-Syathibi dan bahkan dikembangkan dan disempurnakan juga oleh para pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqashid sendiri pertama kali digunakan oleh Al-Turmudzi Al-Hakim dalam bukunya, al-Shalat wa Maqashiduhu, al-Hajj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan al-Furuq. Setelah al-Hakim, kemudian muncul Abu Mansur al-Maturidi dengan karyanya, Ma’khad al-Syara’. Kemudian disusul Abu Bakar Al-Qaffal Al-Syasyi dengan bukunya, Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah. Setelah Al-Qaffal muncul Abu Bakar Al-Abhari dan Al-Baqillany masing-masing dengan karyanya, diantaranya ialah Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al-‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad.


Pada masa berikutnya, Imam Haramain al-Juwaini (419-478 H) dalam kitabnya, al-Burhan fi Ushul Fiqh. Ia banyak menggunakan istilah qashdu (maksud) dan ghardh (tujuan). Dapat diperhatikan salah satu petikan dari tulisannya, yaitu “Siapa saja yang tidak pintar-pintar memahami aspek maqashid dalam setiap bentuk perintah dan larangan, berarti ia belum mampu mengidentifikasi penetapan syari’ah, sebab kaidah maqashid merupakan rahsia dibalik bentuk perintah dan larangan tersebut”.[15] Al-Juwaini inilah yang pertama kali menaruh perhatian maqashid al-syari’ah dalam kajian ushul fiqh. Sehingga, pada masa selanjutnya bertebaran pula para ulama ushul yang membahas maqashid al-syari’ah dalam kitabnya, seperti al-Ghozali,[16] Abu al-Khatab (432-510 H),[17] Ibnu al-Burhan (479-518 H),[18] Abu Bakar Muhammad as-Samarqandi (575 H),[19] Fakhruddin ar-Razi (544-606 H),[20] Ibnu Qudamah (541- 620 H),[21] Saifuddin al-Amidi (631 H),[22] dan Ibnu Hajib.


Selanjutnya muncullah ulama ushul fiqh yang lebih memfokuskan kajian maqashid dalam ushul fiqh. Diantaranya al-Izzu ibn Abdissalam (577-660 H)[23] dan muridnya al-Qarafi (684 H)[24] dengan kitabnya, Syarh al-Mahsul; an-Nafais dan Tanqih al-Fushul. Kemudian Ibn Taimiyah[25] serta dua muridnya yaitu Ibnu al-Qayyim (751 H)[26] dan ath-Thufi.[27] Terakhir, muncul juga ulama ushul fiqh maqashid yang penomenal, yakni Iman asy-Syatibi (720-790 H) dengan bukunya yang berjudul, al-Muwafaqat. Ia membawa konsep maqashid dengan model yang berbeda dengan para pendahulunya. Baginya, konsep maqashid yang telah ada selama ini terlalu ringan, sehingga perlu direkontruksi. Dari sini, ia sangat fenomenal dengan konsep baru tentang maqashid-nya. Ia membagi maqasid atas dua bagian: Maqashid asy-Syaari’ dan Maqashid al-Mukallafin.[28]


Namun, dalam perkembangan selanjutnya muncul ulama ushul yang secara ekplisit berani mengungkapkan dengan tegas istilah maqashid al-syari’ah sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri. Dengan kata lain, maqashid al-syari’ah adalah disiplin ilmu mandiri, independen, yang terpisah dari ilmu ushul fiqh. Walau pada prakteknya dalam ilmu ushul fiqh tidak bisa dilepaskan atau akan selalu bersentuhan dengan unsur maqashid al-syari’ah. Ialah ibnu ‘Asyur (1296-1393 H/ 1789-1973 M) dalam kitabnya, Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah.[29]


Di abad ke empat belas hijriyah ini, selain Ibnu ‘Asyur muncul juga ulama yang menguatkan teori maqashidnya sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri.[30] Seperti ‘Alal al-Fasi (1326-1394 H/ 1908-1974 M), Yusuf al-‘Alam (1356-1408 H/ 1937-1988 M),[31] dan Muhammad Hasan Abu Yahya (seorang guru besar Universitas King Saudi di Riyadh di fakultas Syari’ah).[32] Sampai saat ini pemikiran Ibnu ‘Asyur mengenai konsep maqashid al-syari’ah merupakan disiplin ilmu mandiri dan mulai ramai diperbincangkan.


Kemudian pada akhir abad ke-20, muncul ulama-ulama kontemporer yang memperkokoh pilar kajian maqashid al-syari’ah dan memperkaya dimensi pembahasannya, di antara mereka adalah; Syaikh Thahir bin ‘Asyur (w: 1973 M) yang menulis buku dengan judul, Maqasid Al-Syari’ah Al-Islamiyah, dan Syaikh Alal Al-Fasi (w: 1974 M) yang menyusun buku Maqasid Al-Syari’ah Al-Islamiyah wa Makarimuha. Terakhir, yaitu Jasser Auda dengan bukunya yang berjudul, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law. Dalam bukunya ini, Auda mencoba mengembangkan konsep maqashid al-syari’ah klasik ke pada konsep maqashid al-syari’ah kontemporer.


No. 

Teori Maqasid Klasik 

Teori Maqasid Kontemporer 


1. Menjaga Keturunan (al-Nasl) 
Menjadi:
Kepedulian yang lebih terhadap perlindungan institusi keluarga. 

2.Menjaga Akal (al-Aql) 
Menjadi:
Melipatgandakan pola pikir dan research ilmiah 

3. Menjaga Kehormatan; Menjaga Jiwa (al-‘Iradh) 
Menjadi:
Menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan dan HAM. 

4. Menjaga agama (al-Din) 
Menjadi:
Menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan beragama dan berkepercayaan. 

5. Menjaga Harta (al-Maal) 
Menjadi: 
Mengutamakan kepedulian sosial; menaruh perhatian pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia. 


Dari table di atas, dapat dijelaskan bahwa perubahan paradigma dari maqasid yang lama ke maqasid yang baru terletak pada titik tekan keduanya. Titik tekan maqasid yang lama lebih pada protection (perlindungan) dan perservation (penjagaan/pelestarian). Sedangkan maqasid baru lebih menekankan pada development (pengembangan) dan righ (hak).[33] Inilah yang membedakan konsep maqasid yang dicetuskan oleh Jasser Auda dengan para pemikir muslim lainnya. Pada pembahasan selanjutnya menjelaskan tentang teori maqasid al-syari’ah.


D. Pembagian Maqāsid Al-Syari’ah
Secara global, tujuan syara’ menetapkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia sekaligus untuk menghindari kemafsadatan, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini senada sebagaimana firman Allah:

“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya: 107)[34]

Ungkapan ‘rahmat bagi seluruh alam’ dalam ayat di atas diartikan dengan kemasalahatan umat. Dalam kaitan ini para ulama sepakat, bahwa memang hukum syara’ itu mengandung kemaslahatan untuk umat manusia.[35] Kemaslahatan itu oleh al-Syathibi dilihat pula dari dua sudut pandangan, yaitu maqasid al-syari’ (tujuan Tuhan) dan maqasid al-mukallaf (tujuan mukallaf). Maqasid al-syari’ah dalam arti maqasid al-Syari’, mengandung empat aspek:[36]

1. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah
Makna dari aspek pertama adalah maksud Tuhan dalam menetapkan syari’at). Dalam aspek ini, ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab, yaitu apakah sesungguhnya maksud Syari’ dengan menetapkan syari’at-Nya itu? Menurut imam al-Syathibi, Allah menurunkan syari’at (aturan hukum) adalah untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.[37]


Dalam aspek ini, Imam al-Syathibi membagi kepada tiga tingkat maqashid atau tujuan syari’ah. Pertama, Kebutuhan daruriyat, ialah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan esensial itu meliputi memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[38] Bila sendi ini tidak terpelihara, maka kehidupan manusia akan kacau, kemashlahatan tidak akan terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.[39] Para ulama telah menyatakan, bahwa kelima prinsip ini telah diterima secara universal.[40]


Kelima unsur pokok ini adalah din (agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan), mal (harta), dan aql (akal).[41] Pertama, hifdz al-dîn (memelihara agama). Agama adalah suatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk yang lain.[42] Kedua, hifdz al-nafs (memelihara jiwa). Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati keamanan dan keselamatan diri manusia. Diantaranya firman Allah dalam surat al-An’am: 151 dan al-Baqarah: 179. Ketiga, hifdz al-áql (memelihara akal). Akal merupakan menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling baik dari makhluk-makhluk yang lain. Perlindungan terhadap kerusakan pemikiran maupun fungsi aqliyah manusia merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat yang menginginkan kemajuan, sebab hal ini merupakan kebutuhan semua orang tanpa memandang suku, bangsa ataupun agama. Keempat, hifdz al nasl (memelihara keturunan). Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati system keluarga (keturunan), sehingga masing-masing orang mempunyai nisbah dan garis keluarga yang jelas demi kepentingan di dalam masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang tenteram dan tenang. Diantaranya firman Allah dalam surat al-Rum: 21. Kelima, Hifdz al mâl (Perlindungan terhadap harta). Pada hakikatnya harta benda adalah kepuyaan Tuhan, namun Islam mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena itu, Islam mengisyaratkan peraturan-peraturan mengenai muamalah.[43] Diantaranya firman Allah dalam surat al-Baqarah: 275 dan an-Nisa: 29.


Kedua adalah kebutuhan hajiyat, ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana bila tidak diiwujudkan tidak sampai mengancam keselamatan, namun manusia akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan ini. Adanya hukum rukhsah (keringanan) merupakan bukti kepedulian syari’at Islam terhadap kebutuhan hajiyat. Dalam lapangan ibadat, disyari’atkan berbagai rukhsah (keringanan) jika muncul kesulitan dalam melaksanakan perintah-perintah takhlif. Misalnya Islam membolehkan tidak berpuasa Ramadhan bagi yang bepergian (musafir) atau sakit namun harus diganti puasa di hari-hari lain di luar bulan Ramadan.[44]


Ketiga, kebutuhan tahsiniyat, ialah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan.[45] Kebutuhan tahsiniyat, merupakan tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari unsur pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini sebagai kebutuhan pelengkap, seperti hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan halhal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntunan norma dan akhlak.[46]

2. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah lil Ifham 
Maksud Syari’ dalam menetapkan hukum bertujuan agar dapat dipahami oleh mukallaf. Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, syari'ah ini diturunkan dalam bahasa arab.[47] Oleh kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu memahami seluk beluk dan uslub bahasa arab. Kedua, syari’at ini bersifat ummiyyah.[48] Maksudnya ialah syari’at berkaitan dengan mashalih orang-orang Arab yang ummiyyin, maka syari’at harus juga bersifat ummiyyah. Tidak mungkin Syari’ memberikan syari’at kepada orang yang tidak mampu untuk memahaminya dan melaksanakannya. Dapat diartikan juga bahwa syari’at diturunnkan dengan bahasa yang dipahami oleh masyarakat awam.

3. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah li al-Taklif bi Muqtadhaha
Bagian ini menyatakan bahwa maksud Syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan tuntunan-Nya. Dalama pembahasan ini, terdapat dua hal yang perlu dicermati. Pertama, taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq). Dalam hal ini, Imam al-Syathibi mengungkapkan, “Setiap taklif yang di luar batas kemampuan manusia, maka secara Syar‟i taklif itu tidak sah meskipun akal membolehkannya.”[49] Kedua, taklif yang di dalamnya terdapat masyaqqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi masyaqqah). Menurut Imam al-Syathibi, dengan adanya taklif, Syari’ tidak bermaksud menimbulkan masyaqqah bagi pelakunya (mukallaf). Namun sebaliknya, dibalik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf.[50]

4. Qashdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syari’ah
Aspek ini mengacu kepada sebuah pertanyaan, “Mengapa mukallaf melaksanakan hukum syari’ah? Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallaf dari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya, sehingga ia menjadi seorang hamba yang dalam istilah Imam al-Syathibi disebut: hamba Allah yang ikhtiyaran bukan yang idthiraran.[51] Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia batal dan tidak ada manfa’atnya. Sebaliknya, setiap perbuatan harus senantiasa mengikuti petunjuk Syari’ dan bukan mengikuti hawa nafsu.


Dari penjelasan di atas, aspek kedua, ketiga dan keempat pada dasarnya lebih sebagai penunjang aspek pertama sebagai aspek inti, namun memiliki keterkaitan dan menjadi rincian dari aspek pertama. Aspek pertama sebagai inti dapat terwujud melalui pelaksanaan taklif (pembebanan hukum kepada para hamba) sebagai aspek ketiga. Taklif tidak dapat dilakukan tanpa memiliki pemahaman, baik dimensi lafal maupun maknawi sebagaimana aspek kedua. Pemahaman dan pelaksanaan taklif dapat membawa manusia berada di bawah lindungan hukum Tuhan, lepas dari kekangan hawa nafsu, sebagai aspek keempat. Dalam keterkaitan itulah tujuan diciptakannya syari’at, yaitu kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, sebagai aspek inti, dapat diwujudkan.[52]


E. Jasser Auda: Maqāsid Al-Syari’ah
Karya monumental Jasser Auda yang berjudul, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: Syistems Approch banyak diilhami oleh para pemikir Islam, diantaranya adalah Ibn Qayyim dan al-Syathibi. Dengan menggunakan pendekatan sistem, Auda untuk merumuskan kembali dan membangun epistemologi hukum Islam di era global. Menurutnya, sebuah pembaharuan dalil dan bukti kesempurnaan kreasi Tuhan melalui ciptaan-Nya harus bergantung pada sebuah pendekatan sistem daripada hukum kausalitas berbasis argumen.[53] Di sini, penulis menjelaskan problem tersebut yang dibahas secara singkat.

1) Sifat Kognitif (Cognitive Nature) Sistem Hukum Islam
Adapun yang dimaksud dengan sistem ini adalah watak pengetahuan yang membangun hukum Islam. Hukum Islam ditetapkan berdasarkan pengetauan seorang faqih terhadap teks-teks yang menjadi sumber rujukan hukum Islam, untuk membokar validasi semua kognisi (pengetahuan tentang teks dan nash).[54] Maksudnya ialah, bahwa kebanyakan umat Islam mempersepsikan fiqh sebagai aturan Tuhan, sehingga tidak heran jika masyarakat kita masih menganggap mazhab-mazhab sebagai aturan yang tidak boleh diubah dan taklid terhadapnya. Padahal, fiqh adalah produk hukum atau hasil penalaran (ijtihad) manusia terhadap nash sesuai dengan tempat dan waktu. Sehingga, dengan berjalannya waktu, fiqh tersebut dapat berubah pula. 


2) Keutuhan Integritas (Wholeness) Sistem Hukum Islam
Wholeness ialah saling terkait antar berbagai komponen atau unit yang ada. Adapun salah satu faktor yang mendorong Auda menganggap penting komponen ini adalah pengamatannya terhadap adanya kecenderungan beberapa ahli hukum Islam untuk membatasi penedekatan berpikirnya pada pendekatan yang bersifat reduksionistic dan atomistik, yang umum digunakan dalam ushul al-fiqh.[56] Hal ini dapat dilihat dari gamabr sebagai berikut.


Pada intinya, Jasser Auda menyatakan bahwa prinsip dan cara berpikir holistik sangat dibutuhkan dalam kerangka ushul fiqh, karena dapat memainkan peran dalam isu-isu kontemporer, sehingga dapat dijadikan prinsip-prinsip permanen dalam hukum Islam. Dengan sistem ini, Auda mencoba membawa dan memperluas Maqasid al-Syari’ah yang berdimensi individu menuju dimensi universal, sehingga bisa diterima oleh masyarakat banyak, seperti masalah keadilan dan kebebasan. Sedangkan mengenai asas kausalitas, ketidakmungkinan penciptaan tanpa adanya sebab akan bergeser menjadi tidak mungkin ada penciptaan tanpa ada tujuan.


3) Keterbukaan (Openness) Sistem Hukum Islam
Dalam teori sistem dinyatakan bahwa sebuah sistem yang hidup pasti merupakan sistem yang terbuka. Keterbukaan sebuah sistem bergantung pada kemampuannya untuk mencapai tujuan dalam berbagai kondisi. Kondisi inilah yang mempengaruhi tercapainya suatu tujuan dalam sebuah sistem. Sistem yang terbuka adalah suatu sistem yang selalu berinteraksi dengan kondisi dan lingkungan yang berada di luarnya.[57] Jadi, seorang ahli hukum (Openness) yang mempunyai wawasan yang luas sangat berperan dalam menghadapi masalah isu-isu kontemporer.


4) Interrelasi Hierarki (Interrelated Hierarchy) Sistem Hukum Islam
Sistem ini memiliki struktur hirarki, di mana sebuah sistem terbangun dari sub-sistem yang lebih kecil di bawahnya. Hubungan interelasi menentukkan tujuan dan fungsi yang ingin dicapai. Usaha untuk membagi sistem keseluruhan yang utuh menjadi bagian yang kecil merupakan proses pemilahan antara perbedaan dan persamaan di antara sekian banyak bagian-bagian yang ada. Bagian terkecil menjadi representasi dari bagian yang besar, demikian juga sebaliknya.[58] Salah satu implikasi fitur interrelated hierarchy ini menurut Amin Abdullah, yaitu baik daruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat, dinilai sama pentingnya.[59] Contohnya penerapan fitur ini adalah baik shalat (daruriyyat), olahraga (hajiyyat) maupun rekreasi (tahsiniyyat) adalah sama-sama dinilai penting untuk dilakukan.


5) Multi-Dimensi (Multi-Dimensionality) Sistem Hukum Islam
Sebuah sistem bukanlah sesuatu yang tunggal, namun terdiri dari beberapa bagian yang saling terkait antara yang satu dengan lainnya. Di dalam sistem terdapat struktur yang koheren, karena sebuah sistem terdiri dari bagian-bagian yang cukup kompleks yang memiliki spektrum dimensi yang tidak tunggal. Hal ini juga berlaku dalam hukum Islam. Hukum Islam merupakan sebuah sistem yang memiliki berbagai dimensi. 


Di sini Auda mengkritik pemikiran para pemikir hukum Islam yang sering kali terjebak pada pola berpikir one-dimensional, yaitu hanya berfokus pada satu faktor yang terdapat dalam satu kasus.[60] Sebagai contoh dalam hal ta’arud al-dilalah. Bagaimana mungkin firman yang diturunkan Tuhan sendiri saling bertentangan? Hal ini yang perlu dicermati. Para pemikir hukum Islam perlu berpikir multi-dimensional, sehingga tidak ada pertentangan antara ayat yang satu dengan lain. 

6) Tujuan (Porposefulness) Sistem Hukum Islam
Setiap sistem memiliki output (tujuan). Dalam teori sistem, tujuan dibedakan menjadi goal (al-hadad) dan purpose (al-ghoyah). Sebuah sistem akan menghasilkan goal jika hanya menghasilkan tujuan dalam situasi yang konstan, bersifat mekanistik, dan hanya dapat melahirkan suatu tujuan saja. Sedangkan sebuah sistem akan menghasilkan purpose (al-ghoyah), jika mampu menghasilkan berbagai tujuan dalam situasi yang beragam. Dalam konteks ini, Maqasid al-Syari’ah berada dalam pengertian porpuse (al-ghoyah), tidak monolitik dan mekanistik, tetapi beragam sesuai dengan situasi dan kondisi.[61]


F. Pencatatan Perkawinan; Aplikasi Teori Maqāsid Al-Syari’ah
Perkawinan sah dalam Islam ialah perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, yaitu terdapat calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan kabul. Hal ini berbeda dengan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (2) menjelaskan, “Tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Sementara dalam dijelaskan dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam, yaitu agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.


Secara eksplisit, tidak ada ketentuan dalam al-Qur’an maupun hadits yang mengatur secara khusus tentang pencatatan perkawinan. Dalil-dalil tentang pencatatan hanya ditemukan pada persoalan muamalah seperti, hutang piutang dan perdagangan. Sebagaimana firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[62] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)


Walaupun demikian dapat dipahami bahwasannya Islam mengenal pencatatan dan menganggap penting pencatatan sebagai alat bukti dari suatu transaksi antara satu manusia dengan manusia yang lainnya.


Pada dasarnya, adanya peraturan untuk mencatatkan pernikahan bukan untuk memberatkan pasangan yang ingin menikah. Pencatatan merupakan sarana untuk menjaga ketertiban dalam berkehidupan bermasyarakat. Ini bertujuan untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan sosial yang dapat merugikan salah satu pihak dan menyebabkan ketidakteraturan dalam menjalani rantai kehidupan sosial. Menurut hemat penulis, pencatatan perkawinan ini merupakan langkah tepat yang dilakukan pemerintah untuk mencapai kemaslahatan rakyat. 

تصرّ ف الإما م علي ا لرّ عيّة منو ط با لمصلحة[63]

Artinya: “Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.”


Kaidah ini menerangkan bahwa pemerintah mempunyai otoritas mengambil kebijakan dengan mengedepankan kemaslahatan umat. Pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam mengadung tujuan-tujuan demi kemaslahatan bagi warga Indonesia. Tujuan-tujuan hukum atau kemaslahatan dengan adanya pencatatan perkawinan, menuru hemat penulis setidaknya ada empat (mengacu pada porposefulness Jasser Auda). Pertama, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaqan galizan) sebuah perkawinan, khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Kedua, untuk keperluan administrasi negara dan data kependudukan yang berhubungan dengan perkawinan itu sendiri, perceraian, status anak atas hak kewarisan dan sebagainya. Ketiga, sebagai alat bukti yang sah telah melaksanakan perkawinan, sehingga dapat menuntut hak dan kewajiban akibat dari pernikahan tersebut. Keempat, terwujudnya ketertiban hukum dan kepastian hukum di bidang perkawinan dalam masyarakat.


Pencatatan perkawinan dapat juga sebagai bentuk untuk menanggulangi hal-hal yang bisa menyulitkan salah satu pihak. Hal-hal yang menyulitkan atau kemafsadatan yang penulis maksud di sini praktek kawin kontrak, nikah sirri, poligami liar, dan sebagainya. Hal ini senada dengan kaidah:

د رء المفا سد مقدّ م على جلب المصا لح[64]

Artinya: “Menolak kemadaratan lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan.”

Menurut kaidah ini, kalau dalam suatu masalah terlihat adanya maslahat, namun di situ juga terdapat kemafsadatan, maka haruslah yang didahulukan adalah menanggulangi kemafsadatan. Dengan menolak kemafsadatan, sebagaimana yang penulis jelaskan di atas, pencatatan perkawinan dapat berfungsi sebagai meminimalisir dan mencegah terjadinya praktek kawin kontrak, nikah sirri, praktek poligami liar. 


Selain penjelasan di atas, pencatatan perkawinan sudah menjadi kebutuhan primer (daruriyat) bagi masyarakat Indonesia. Kebutuhan esensial itu meliputi memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kebutuhan yang lima ini dapat digambarkan dalam kemaslahatan yang telah penulis jelaskan sebelumnya, yaitu dapat mencegah praktek kawin kontrak, nikah sirri, dan poligami liar, mendapat kejelasan dalam status anak yang dilahirkan dalam pernikahan, baik berupa hak waris, mendaftarkan sekolah, mebuat ktp/sim dan sebagainya. Adanya pencatatan perkawinan dibuktikan akta nikah, dapat berfungsi sebagai memperoleh hak-hak dan kewajiban akibat terjadinya sebuah perkawinan.


G. Penutup
Dari pembahasan yang telah penulis jelaskan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang perlu digarisbawahi:

1. Maqasid al-syari’ah telah ada sebelum masa al-Syathibi, namun baru menjadi sistematis pembahasannya pada masa al-Syathibi.

2. Ada perubahan paradigma dari maqasid yang lama ke maqasid yang baru. Titik tekan maqasid yang lama lebih pada protection (perlindungan) dan perservation (penjagaan/pelestarian). Sedangkan maqasid baru lebih menekankan pada development (pengembangan) dan righ (hak).

3. Kemaslahatan dalam pencatatan perkawinan, menuru hemat penulis setidaknya ada empat. Pertama, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaqan galizan) sebuah perkawinan, khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Kedua, untuk keperluan administrasi negara dan data kependudukan. Ketiga, sebagai alat bukti yang sah telah melaksanakan perkawinan, sehingga dapat menuntut hak dan kewajiban akibat dari pernikahan tersebut. Keempat, terwujudnya ketertiban hukum dan kepastian hukum di bidang perkawinan dalam masyarakat.


Menurut hemat penulis, maqasid al-syari’ah yang telah dijelaskan masih bersifat abstrak. Artinya, walaupun sudah ada para pemikir Islam yang berusaha menjelaskan maqasid al-syari’ah dari segi teori dan metodologinya (seperti al-Syathibi, Jasser Auda, dll), namun masih bersifat “meraba-raba”. Hal ini wajar, dikarenakan maqasid al-syari’ah Auda ini berusaha unuk mengubah cara berpikir ulama klasih dan dalam pertingkatan norma termasuk dalam nilai-nilai dasar filosofis[65] Perlu adanya para pemikir muslim selanjutnya untuk menyumbangkan pemikirannya untuk menyusun maqasid al-syari’ah yang lebih sistematis.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam Dalam Merespon Globalisasi”, dalam Asy-Syir’ah, Vol. 46, No. II, Juli-Desember, 2012 .

Al-Qardhawi, Yusuf, Fikih Maqashid Syari’ah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.

Al-Raisuni, Ahmad, Naẕariyyat Al-Maqashid ‘inda Al-Imam Asy-Syathibi, Beirut: Al-Muassasah Al-Jami’iyyah Li Al-dirasat wa Al-Nasyr wa Al-Tauzi’, 1995.

Al-Syathibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat fi Usủl al-Syarỉ’ah, Jilid II, Bayrut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M.

Al-Syathibi, Al-Muawafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.

Al-Yubi, Mas’ud, Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaaqtuha bil ‘Adillah asy-Syar’iyah, Riyadh: Darul Hamzah, 1998.

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh Islami, Juz II, Damaskus: Dar al Fikri, 1986.

Asmawi, Studi Hukum Islam; dari Tekstualis-Rasionalis Sampai Rekonsiliatif, Yogyakarta: Teras, 2012.

Auda, Jasser, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: Syistems Approch, London: The International Institute of Islamic Thought, 2008.

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.III, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t..

Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awaliyyah, Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, t.t..

Ibn Asyur, Muhammad Thahir, Maqasid al-Syariah al-Islamiyyah, Malaysia: Dar al-Fajr, 1999.

La Jamaa, “Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqashid al-Syari’ah”, dalam Asy-Syir’ah, Vol. 45 No. II, Juli-Desember 2011.

Lihasanah, Ahsan, al-Fiqh al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syathibi, Mesir: Dar al-Salam, 2008.

Masud, Muhammad Kholid, Filsafat Hukum Islam, Cet. I, Bandung: Pustaka, 1996.

Muammar, M. Arfan dan Abdul Wahid Hasan, dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.

Nursidin, Ghilman, “Konstruksi Pemikiran Maqashid Syari’ah Imam al-Haramain al-Juwaini (Kajian Sosio-Historis)”, Tesis tidak diterbitkan, Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, 2012.

Syah, Ismail Muhammad, dkk, Filsafat Hukum Islam, cet. II, Jakarta: Bumi Askara, 1992.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.

Umar, Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1990.



Endnotes
-----------------------
[1] Asmawi, Studi Hukum Islam; dari Tekstualis-Rasionalis Sampai Rekonsiliatif, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 108. 
[2] Ahsan Lihasanah, al-Fiqh al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syathibi, (Mesir: Dar al-Salam, 2008), hlm. 11. 
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1990), hlm. 24. 
[4] Yusuf Al-Qardhawi, Fikih Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), hlm. 12. 
[5] Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm. 36. 
[6] Syamsul Anwar, “Ushul Fiqh: Teori Dan Metodologi,” disampaikan dalam mata kuliah di kelas Hukum Keluarga A Prodi Hukum Islam PPs Sunan Kalijaga pada tanggal 31 Desember 2013. 
[7] Al-Syathibi, Al-Muawafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), hlm. 3. 
[8] Muhammad Thahir bin Asyur, Maqasid al-Syariah al-Islamiyyah, (Malaysia: Dar al-Fajr, 1999), hlm. 251. 
[9] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, Juz II, (Damaskus: Dar al Fikri, 1986), hlm. 225. 
[10] Al-Qardhawi, Fikih……, hlm. 17-19. 
[11] Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.III, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.t), hlm. 1108. 
[12] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 123. 
[13] Sahabat Nabi SAW yang paling sering melakukan kreasi dalam bidang hukum sebagai implikasi dari perubahan sosial itu adalah Umar Ibn al-Khatab. 
[14] Ahmad Al-Raisuni, Naẕariyyat Al-Maqashid ‘inda Al-Imam Asy-Syathibi, (Beirut: Al-Muassasah Al-Jami’iyyah Li Al-dirasat wa Al-Nasyr wa Al-Tauzi’, 1995), hlm. 32. 
[15] Ghilman Nursidin, “Konstruksi Pemikiran Maqashid Syari’ah Imam al-Haramain al-Juwaini (Kajian Sosio-Historis)”, Tesis tidak diterbitkan, Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, 2012, hlm. 4-5. 
[16] Al-Ghazali mengembangkan pemikiran gurunya al-Juwaini; yakni memperjelas klasifikasi maqashid al-syari’ah pada lima penjagaan, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, kemudian menyusun secara sistematis berdasarkan tiga tingkatan: Dharuriyah, Hajiyah, dan Tahsiniyah. 
[17] Abu al-Khatab benrama Makhfudz ibn Ahmad ibn Hasan al-Kalwadzani, Ia bermadzhab hanbali. Di antara gurunya ialah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Khalaf ibn Ahmad Abu Ya’la al-Faraa. 
[18] Nama Aslinya ialah Ahmad ibn ‘Ali ibn Burhan Abu Fath dari kalangan Hanbali, dan kemudia ia berpindah haluan kepada madzhab Syafi’i. 
[19] Nama aslinya ialah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Ahmad, Abu Bakar ‘Alaauddin as-Samarqand. Ia dari kalangan ulama Hanafi. Kitab ushulnya Mizanul Ushul fi Nataij al-‘Uqul. 
[20] Ar-Razi adalah nama dari Muhammad ibn ‘Umar ibn Husain ibn ‘Ali at-Tamimi al-Bakriyi ath-Thabrastani ar-Razi, ia juga mendapat julukan Ibnul Khatib. Kitab ushul yang terkenal darinya ialah “al-Mahsul fi al-Ushul”. 
[21] Ia termasuk ulama madzhab Hanbali, nama aslinya ialah Abdullah ibn Muhammad ibn Qudamah al-Jama’ily, al-Miqdasi, al-Damasyi. Ia dilahirkan di Palestina daerah Jama’il. Gurunya ialah Abdullah ad-Daqaq, Ibnu Bathi. Kitab usulnya ialah Raudhatu Nadzir wa Jannatul Manadzir fi Ushul Fiqh. 
[22] Nama asli al-Amidi adalah ‘Ali ibn Abi ‘Ali ibn Muhammad ibn Salim ats-Tsa’labi yang diberi gelar Saifuddin. Di antara kitab Ushulnya ialah “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam”. 
[23] Al-Izzu sebenarnya hanyalah gelar, sedangkan nama aslinya ialah ‘Abdul ‘Aziz ibn Abdissalam ibn Abi Qasim as-Salami, ia meneruskan ushul fiqhnya al-Amidi. Diantara kitab karangannya yang terkenal ialah “al-Qawaid al-Kubra” yang kemudia sering disebut dengan kitab “Qawa’id al-Ahkam fi mashalih al-Anam”. 
[24] Nama asli al-Qarafi ialah Ahmad ibn Idris ibn Abdurrahman ibn Abdullah ash-Shanhaji. 
[25] Ibnu Taimiyah ialah Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyah. Kitab karangannya yang cukup terkenal ialah “Majmu’ al-Fatawi”. 
[26] Nama aslinya ialah Muhammad ibn Abu Bakar ibn Ayub ibn S’ad ibn Jarir az-Zara’i. Ia diberi gelas Syasmsuddin, Abu Abdillah, dan Ibnu al-Qayim al-Jauziyah. Kitab ushul yang cukup populer juga darinya ialah “I’lamul Muwaqi’in”. Lihat: Mas’ud al-Yubi, Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaaqtuha bil ‘Adillah asy-Syar’iyah, (Riyadh: Darul Hamzah, 1998), hlm. 63. 
[27] Ath-Thufi adalah Sulaiman ibn Abdul Qawwi ibn Sa’id ath-Thufi ash-Sharshari. Sezaman dengan ibn Qayyim sebagai seorang Hambaliyah yang meneruskan pemikiran ibn Taimiyah. Karyanya ialah “Mi’razul Wushul ila ‘Ilmil Ushul”. 
[28] Imam Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.), hlm. 5. 
[29] Ibnu ‘Asyur ini berani mengatakan bahwa Maqashid Syari’ah adalah satu disiplin ilmu independen dengan pertimbangan logis bahwa ketika seluruh permasalah istidlal fiqhiyah besifat relatif tergantung bagaimana bentuk metode isitnbat-nya, sehingga dalam prakteknya akan membutuhkan pokok-pokok dari maksud syari’ah. Maka teori ini harus memiliki konseptual sendiri di mana seluruh praktek istinbath akan mengacu kepadanya. Sehingga, bagi ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa ilmu maqashid al-syari’ah merupakan salah satu pondasi qhat’i untuk memahami sebuah syari’ah. Ibnu ‘Asyur membagi pembahasan maqashid pada tiga bagian: meneguhkan kebutuhan maqahasid bagi seorang yang menggeluti hukum, kajian maqashid ‘ammah, dan maqashid khashah. Lihat: Isma’il al-Hasani, Nadzariyah al-Maqashid Inda Imam Muhammad at-Thahir ibn ‘Asyur, (Amerika: The International Institute of Islamic Thought, 1995) dan Abdul Aziz ibn Abdurahman ibn ‘Ali ibn Rabi’ah, ‘Ilmu Maqashid asy-Syari’, (Riyadh: Kerajaan Arab Saudi, 2002). 
[30] Ibn Asyur membagi maqasid al-syari’ah menjadi tiga, yaitu maqasid ammah, maqasid khassah, dan makasid juziyyah. 
[31] Nama aslinya Yusuf Hamid al-‘Alam, orang Sudan yang meraih gelar doktor di Universitas al-Azhar. Kitab yang ia ciptakan ialah “al-Maqashid al-‘Aammah li asy-Syari’ah al-Islamiyah”, “an-Nidzam as-Siyasi wa al-Iqtishadi fi al-Islam”. 
[32] Ia mengarang buku yang berjudul, Ahdaf at-Tasyri’ al-Islami. 
[33] M. Amin Abdullah, “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam Dalam Merespon Globalisasi”, dalam Asy-Syir’ah, Vol. 46, No. II, Juli-Desember, 2012, hlm. 364. 
[34] Dapat juga dilihat dalam surat Ali Imran: 159 dan al-Baqarah: 201-202. 
[35] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h.206. 
[36] Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Usủl al-Syarỉ’ah, Jilid II (Bayrut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M), hlm. 5. 
[37] Al-Syathibi, al-Muawafaqat......, hlm. 6. 
[38] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 126. 
[39] Al-Syathibi, al-Muawafaqat......, hlm. 7. 
[40] Urutan kelima dharuriyyat ini bersifat ijtihady bukan naqly, artinya ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra’ (induktif). Dalam merangkai kelima dharuriyyat ini (ada juga yang menyebutnya dengan al-kulliyyat al-khamsah), Imam al-Syathibi terkadang lebih mendahulukan aql dari pada nasl, terkadang nasl terlebih dahulu kemudian aql dan terkadang nasl lalu mal dan terakhir aql. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam susunan yang manapun Imam al-Syathibi tetap selalu mengawalinya dengan din dan nafs terlebih dahulu. 
[41] Ibid., hlm. 10. 
[42] Ismail Muhammad Syah, dkk, Filsafat Hukum Islam, cet. II, (Jakarta: Bumi Askara, 1992), hlm. 67. 
[43] Ibid., hlm. 101. 
[44] La Jamaa, “Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqashid al-Syari’ah”, dalam Asy-Syir’ah, Vol. 45 No. II, Juli-Desember 2011, hlm. 1259. 
[45] Djamil, Filsafat Hukum......, hlm. 126. 
[46] La Jamaa, “Dimensi Ilahi......, hlm. 1260. 
[47] Firman Tuhan dalam menjelaskan bahwa al-Qur’an turun dengan menggunakan bahasa arab adalah terdapat dalam surat Yusuf :2 dan as-Syu’ara: 195. 
[48] Secara harfiah, kata ummi berasal dari umm (ibu) yang mengandung arti orang yang tetap dalam keadaan seperti dia dilahirkan, yakni dalam keadaan belum belajar sesuatu apapun. Namun, menyebut Bangsa Arab sebagai bangsa yang ummi tidaklah bearti bahwa mereka sama sekali jahil dan tak berbudaya. Dalam kenyataanya mereka memiliki cabang-cabang tertentu ilmu pengetahuan seperti astronomi, sejarah, pengobatan, dan budaya-budaya. Lihat: Muhammad Kholid Masud, Filsafat Hukum Islam, Cet. I, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 264-265. 
[49] Contohnya adalah sabda Nabi: “Janganlah kamu marah”. Hadits ini tidak berarti melarang marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat dihindari. Akan tetapi, maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri ketika marah atau menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah. Lihat: Al-Syathibi, al-Muawafaqat......, hlm. 82. 
[50] Ibid., hlm. 93. 
[51] Ibid., hlm. 128. 
[52] La Jamaa, “Dimensi Ilahi ......, hlm. 1259. 
[53] Adapun yang dimaksud dengan sistem dalam istilah filsafat sistem, yaitu sebuah pendekatan filsafat sistem yang memandang bahwa penciptaan dan fungsi dari alam dan semua komponennya terdiri dari sistem yang luas dan menyeluruh yang terdiri dari jumlah yang tak terbatas dari sub-sistem. Sistem adalah sesuatu yang terdiri dari beberapa rangkaian yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya secara menyeluruh dan utuh, karena sistem adalah lahan multidisiplin yang muncul dari berbagai bidang ilmu dari kemanusiaan. Lihat: Jasser Auda, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: Syistems Approch, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2008), hlm. 26. 
[54] Ibid., hlm. 45. 
[55] M. Arfan Muammar dan Abdul Wahid Hasan, dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hlm. 402-403. 
[56] Abdullah, “Bangunan Baru ......., hlm. 343. 
[57] Muammar, Studi Islam......, hlm. 408. 
[58] Ibid., hlm. 462. 
[59] Abdullah, “Bangunan Baru ......., hlm. 351. 
[60] Ibid., hlm. 354. 
[61] Muammar, Studi Islam......, hlm. 464. 
[62] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya. 
[63] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyyah, (Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Putra, t.t.), hlm. 39. 
[64] Ibid., hlm. 34. 
[65] Syamsul Anwar membagi pertingkatan norma menjadi tiga tingkatan. Pertama, al-qiyam al-asasiyyah (nilai-nilai/filosofis/dasar). Kedua, al-usul al-kulliyah (norma-norma tengah/doktrin-doktrin umum). Ketiga, al-ahkam al-far’iyyah (peraturan-peraturan hukum konkret). Lihat: Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam,” dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: ar-Ruzz, 2002), hlm. 158-159.

* Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga 2012

No comments:

Post a Comment