Tuesday, January 7, 2014

Subyek Hukum: Kedewasaan dalam Hukum Islam

Oleh Anif Rahmawati*
A. Pendahuluan
Ushul fikih adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, di mana kaidah tersebut bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas.[3]Adapun ruang lingkup kajian ushul fikih secara garis besar terbagi menjadi empat, meliputi: (1) Hukum, (2) Sumber Hukum, (3) Metode Penemuan Hukum dan (4) Mujtahid/Ijtihad.


Mengenai hukum, kajian dibagi lagi menjadi beberapa bahasan, tentang hakikat hukum itu sendiri, hâkim (pencipta hukum), Mahkum fîh (perbuatan yang dihukumi) dan Mahkum ‘Alaih (orang yang dibebani hukum/subyek hukum). Dari pemetaan kajian ushul fikih tersebut, makalah ini akan difokuskan pada pembahasan subyek hukum dalam hal ini terkait kedewasaan. Pembahasan ini akan berusaha menjawab pertanyaan tentang bagaimana restrukturalisasi kedewasaan yang terdapat dalam hukum Islam.Terminologi hukum Islam yang dimaksud dalam makalah ini meliputi: hukum Islam dalam terminologi syari’ah, hukum Islam dalam terminologi fikih serta hukum Islam dalam pengertian qanun.[4]


Kedewasaan dari berbagai sudut pandang memiliki kriteria tersendiri, baik kedewasaan dalam arti psikologi,[5] hukum (baca: hukum positif),[6]kedewasaan dalam pengertian adat, maupun dalam hukum Islam. Dalam terminologi hukum Islam kedewasaan disebut juga dengan istilah baligh.Sebelum mencapai tahapan baligh ada beberapa fase yang harus dilewati oleh manusia di mulai dari fase janin, fase anak-anak, fase tamyiz hingga fase dewasa (baligh).


Sebelum membahas lebih lanjut tentang kedewasaan dalam hukum Islam terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat tentang subyek hukum dan kecakapan hukum yang melekat terhadapnya serta hal-hal yang dapat mengurangi atau menghilangkan kecakapan tersebut. Setelahnya, kedewasaan akan dijelaskan dalam tiga terminologi penggunaan istilah hukum Islam, serta terakhir dipaparkan kesimpulan dari pembahasan secara keseluruhan.


B. Subyek Hukum 
Dalam sub-peta kajian ushul fiqh, subyek hukum biasa disebut dengan istilah mahkum‘alaih.[7]Mahkum ‘alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’. Sedangkan mukallafdapat diartikan sebagai orang yang ahli (baca: cakap) dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.[8]Subyek hukum juga dapat diartikan dengan tiga aspek yang melekat padanya.(1) sesuatu yang dapat memiliki hak, (2) dapat memikul kewajiban, (3) tindakan hukumnya dapat dinilai secara syar’i.[9]Subyek hukum dalam hukum Islam adalah orang dan badan hukum,namun badan hukum belum diakui dan belum mendapat landasan teoritisnya dalam ranah kajian ushul fiqh.


Orang sebagai subyek hukum memiliki kecakapan hukum atau disebut al-ahliyah.Kecakapan hukum menurut hukum Islam dibagi menjadi dua:[10] (1) ahliyatul wujub atau kecakapan menerima hukum[11](kecakapan hukum pasif), (2) ahliyatul ada’ atau kecakapan bertindak hukum[12] (kecakapan hukum aktif).Masing-masing dari keduanya dibagi menjadi kecakapan hukum sempurna dan kecakapan hukum tidak sempurna.Dengan demikian, secara keseluruhan terdapat empat tingkat kecakapan hukum, yaitu:[13]

a. Kecakapan menerima hukum tidak sempurna (ahliyyatul wujub an-naqishah), yang dimiliki subyek hukum ketika berada dalam kandungan ibu.

b. Kecakapan menerima hukum sempurna (ahliyyatul wujub al-kamilah), yang dimiliki oleh subyek hukum sejak lahir hingga meninggal.

c. Kecakapan bertindak hukum tidak sempurna (ahliyyatul ada` an-naqishah), yang dimiliki subyek hukum ketika berada dalam usia tamyiz.

d. Kecakapan bertindak hukum sempurna (ahliyyatul ada` al-kamilah), yang dimiliki subyek hukum sejak menginjak dewasa hingga meninggal.

Kecakapan hukum terkait dengan fase-fase kehidupan manusia dapat digambarkan dalam skema sebagaimana berikut:


Kecakapan tidak selamanya melekat pada subyek hukum, kecakapan hukum juga dapat berkurang bahkan menghilang.Hal yang menghalangi kecakapan hukum dalam hukum Islam disebut awaridul ahliyyah.Dalam hal ini awaridul ahliyyah hanya berlaku pada ahliyatul ada’, sedang ahliyatul wujub tidak pernah terhapus dengan adanya penghalang.Hal yang dapat mengurangi atau menghilangkan kecakapan dibagi menjadi dua,[14](1) penghalang yang berasal dari ketentuan syara’ yang dinamakan awaridus samawiyah seperti gila, rusak akal, tidur, lupa, pingsan, sakit, haid, nifas, dan meninggal dunia. (2) penghalang yang berasal dari perbuatan mukallaf sendiri yang dinamakan awaridul muktasabah seperti boros, mabuk, bepergian, kekeliruan, main-main, hutang dan paksaan (ancaman). 


C. Kedewasaan dalam Hukum Islam
Kecakapan mengalami perkembangan dalam kehidupan manusia ke dalam empat tahap, meliputi: masa janin, masa kanak-kanak, periode tamyiz, dan periode dewasa (baligh). Dalam fase-fase tersebut subyek hukum baru dikatakan memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna ketika telah memasuki usia dewasa.Kedewasaan juga telah mendapatkan perhatian tersendiri dalam hukum Islam baik dalam pengertian syari’ah, fikih ataupun qanun.Berikut penjabaran mengenai konsep kedewasaan dalam ketiga pengertian hukum di atas.

1. Kedewasaan dalam Al-Qur’an dan Hadiṣ
Mengkaji kedewasaan dalam hukum Islam tidak terlepas dari memahami konsep al-Qur’an maupun Hadiṣ dalam menentukan indikator-indikator kedewasaan. Terdapat beberapa naṣ yang dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui batasan dari kedewasaan, pertama dalam Q.S. An-Nisa’ (4): 6 

Artinya: “Dan ujilah[16] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)."


Ayat di atas berbicara masalah tindakan hukum dalam ranah harta kekayaan.Para ahli fiqh sepakat bahwa harta anak kecil itu belum boleh diserahkan kepadanya sampai ia mencapai umur dewasa atau dirasa sudah ada kedewasaan. Ayat ini memberikan dua syarat: baligh dan rusyd yaitu sudah mampu mempergunakan harta dengan baik. Menurut pendapat Ash-Shabuni bahwa yang dimaksud dengan rusyd (kematangan mental) adalah ada kemampuan mengurus harta, sementara yang dimaksud “akbar” ialah kedewasaan yang dapat menghemat harta atau tidak boros.[17]


Menurut pendapat al-Mawardi sebagaimana dikutip oleh Syamsul Anwar bahwa kandungan hukum dalam ayat tersebut yakni harta kekayaan anak di bawah umur baru dapat diserahkan setelah memenuhi dua syarat, meliputi baligh untuk menikah dan matang (rusyd).[18] Sedangkan yang dimaksud baligh menikah adalah ketika anak tersebut telah ihtilam yaitu keluar mani sehingga memungkinkan menikah. Adapun mengenai kapan ihtilam itu terjadi ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan terjadi pada usiasembilan, sepuluh atau dua belas tahun. Sedangkan menurut as-Sarakhsi menetapkan pada usia dua belas tahun anak sudah pasti mengalami ihtilam(keluar mani).[19]Adapun al-Razi dalam kitabnya Tafsir al Kabir melihat bahwa tanda-tanda baligh pada umumnya ada lima hal, dan tiga dari kelima perkara tersebut terdapat pada laki-laki dan perempuan yaitu datangnya mimpi, ditentukan dengan usia khusus, dan tumbuhnya rambut pada daerah tertentu. Sedangkan dua yang terakhir hanya dialami oleh perempuan yaitu datangnya haid dan terjadinya kehamilan.[20]


Berdasarkan keterangan di atas, dalam pembebanan hukum kepada seseorang atau dalam bahasa lain disebut mukallaf (orang yang dianggap mampu dibebani hukum) ditandai dengan kematangan mental yang ditandai dengan gejala fisik tertentu. Adapun naṣ yang melandasi pendapat ini adalah Q.S. An-Nur (24): 59.

Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Selain itu, terdapat hadiṣ yang menjelaskan bahwa dihapus tanggung jawab dari anak sampai iabaligh dengan ihtilam.

رفع القلم عن ثلاثة: عن الصّبيّ حتّى يحتلم وعن النّائم حتّى يستيقظ وعن المجنون حتّى يفيق [22 
Artinya: “Dosa itu dihapuskan dari tiga orang: pertama dari anak-anak hingga dia ihtilam (jadi dewasa), dari orang yang tidur sampai dia bangun, kedua dan ketiga dari orang gila sampai dia waras.”


Pemahaman terkait tiga naṣ di atas (Q.S. An-Nisa’ (4): 6, Q.S. An-Nur (24): 59 dan hadiṣ riwayat Abu Dawud) kesemuanya menunjukkan indikasi kedewasaan dari kematangan seksualitas, yakni keluarnya mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan.


Sementara landasan naṣ yang mengindikasikan kedewasaan dari usiadapat dilihat dari hadiṣ yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar r.a:

عرضت على النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم يوم احد واناابن اربع عشرة سنّة فلم يجزنى، وعرضت عليه يوم الخنذق واناابن خمس عشرة سنّة فأجازنى[23]

Artinya: “aku dihadapkan kepada Nabi SAW pada waktu perang Uhud, sedangkan pada waktu itu aku adalah seorang anak yang berusia empat belas tahun, maka beliau tidak mengijinkan aku ikut perang. Lalu aku dihadapkan kembali kepada beliau saat perang Khandaq, sedang pada waktu itu aku adalah anak yang berusia lima belas tahun, maka beliau memberikan ijin kepadaku untuk ikut berperang.”


Sedangkan dasar penentu usia tujuh tahun sebagai cakap hukum adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

مرواصبيانكم بالصّلاة اذابلغوا سبعا واضربوهم عليها اذابلغوا عشرا، وفرّقوا بينهم في المضاجع[24

Artinya: “Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun belum juga shalat dan pisahkanlah tempat tidur mereka (putera-puteri).


Selanjutnya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim tentang `Aisyah yang dinikahi oleh Rasulullah saw:

عن عائشة قال: تزوّجني النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم وانابنت ستّ سنين وبنى بي وانا بنت تسع سنين[25
Artinya: "Dari ‘Aisyah r.a. mengatakan: Nabi SAW telah mengawiniku ketika aku berusia enam tahun, dan beliau membinaku ketika aku berusia sembilan tahun.” 


Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa naṣ di atas adalah dalam konteks syari’ah kedewasaan diindikasikan dalam bentuk tanda-tanda fisik dan umur seseorang.Adadua istilah penting dalam menentukan kedewasaan yakni bulugh/baligh dan rusyd(kematangan mental).Dengan tanda-tanda fisik berupa kematangan seksual yakni keluar mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan secara otomatis anak telah mempunyai beban hukum yang harus ditanggungnya.Sedangkan berdasarkan usia, dewasa bagi laki-laki yakni ketika berusia lima belas tahun sedangkan bagi perempuan dimulai ketika berusia tujuh tahun dan hingga rentang usia sembilan tahun.


2. Kedewasaan dalam Fikih
Sebagaimana dikemukakan oleh al-Mawardi bahwa menurut jumhur ulama fikih, kedewasaan pada pokoknya ditandai dengan tanda-tanda fisik berupa ihtilam ataupun haid, namun bilamana tanda-tanda tersebut tidak muncul pada waktunya maka kedewasaan ditandai dengan umur yaitu 15 tahun.[26] Berbeda dengan jumhur, Imam Abu Hanifahberpendapat lain tentang batasan usia kedewasan bagi seseorang. Pendapat Abu Hanifah yang terdapat dalam kitab Fiqh Al-Islam Wa’ Adilatuh karangan Wahbah al-Zuhaili, menyatakan bahwa usia kedewasaan bagi laki-laki adalah ketika berusia 18 tahun dan perempuan ketika berusia 17 tahun.

وقال ابو حنيفة: يبلغ الغلام اذا اتم ثماني عشرة سنة والأنثى سبع عشرة سنة لانه انما يقع اليائس عن الاحتلام الذي علق الشرع الحكم به بهذه السن. 

Artinya: “Abu Hanifah berkata: “Seorang anak laki-laki dikatakan baligh ketika telah mencapai umur 18 tahun, sedangkan wanita pada usia 17 tahun. Karena, mimpi yang menjadi tolok ukur syari’at dalam menetukan baligh terjadi pada usia di atas.”[27]


Adapun Syamsul Anwar membedakan pengertian kedewasaan dan tamyiz dalam dua hal: (1) tamyizdan dewasa dalam ranah ibadah dan (2) kedewasaan dan tamyiz dalam ranah hukum harta kekayaan (muamalat maliah).[28] Terkait pendapat jumhur mengenai usiakedewasaan adalah 15 tahun berdasarkan hadiṣ Ibn ‘Umar, Syamsul Anwar sebagaimana kutipannya dari Ibnu Qayyim menyatakan bahwa:


“Hadiṣ tersebut tidak secara tegas menunjukkan kedewasaan dalam umur 15 tahun.Oleh karenanya hadiṣ tersebut mengandung beragam interprestasi. Bisa saja Rasulallah SAW mengizinkan Ibn Umar berperang pada usia 15 tahun karena beliau melihatnya telah mampu untuk melakukan tugas tertentu dalam pertempuran, tetapi hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kedewasaan.[29]


Selain pendapat di atas, pendapat lain yang menyatakan mulai sejak usiatujuh tahunadalah usia tamyiz, serta pendapat yang sebelumnya telah dikemukakan bahwa kedewasaan di tandai ihtilam dalam rentang usia sembilan, sepuluh, atau dua belas tahun, kesemuanya merupakan pengertian kedewasaan dan tamyiz dalam ranah ibadah. Sedangkan Q.S. An-Nur (24): 59 masih menurut Syamsul Anwar lebih banyak terkait dengan etika pergaulan anggota keluarga dalam rumah.


Sedangkan dalam ranah muamalat maliah lebih tepat jika di dasarkan pada Q.S. An-Nisa’ (4): 6. Ayat tersebut berbicara masalah harta kekayaan bahwa anak-anak yatim di bawah umur harta kekayaannya dibawah kekuasaan wali dan dapat diserahkan kepadanya ketika dua syarat terpenuhi yakni, baligh untuk menikah dan rusyd (kematangan mental). Sedangkan batasan usia baligh kecenderungan Syamsul Anwar lebih kepada pendapat fukaha Hanafi dalam Ibn Jauzi bahwa dewasa itu adalah ketika seseorang genap berusia 18 tahun dan memasuki 19 tahun tanpa ada perbedaan laki-laki maupun perempuan.[30]


Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan tentang periodesasi hidup manusia terkait tingkat kecakapan hukum dalam lapangan muamalat maliah.Periodesasi ini juga dapat diterapkan pada ranah pidana.[31] Gambaran tahap-tahap tersebut sebagaimana tertuang dalam table berikut:

Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Subyek Hukum

Periodesasi kecakapan hukum membawa implikasi terhadap hak, kewajiban serta tanggung jawab subyek hukum dari masing-masing periode tersebut, terkait hal ini Syamsul Anwar mengklarifikasikannya sebagai berikut:


a) Periode Janin
Janin dalam kandungan ibu mempunyai kecakapan menerima hukum tak sempurna, ia tidak dapat menerima kewajiban-kewajiban. Ia hanya dapat menerima hak-hak dan itu pun terbatas, yaitu hak warisan, wasiat dan bagian dari hasil wakaf. Kecakapan menerima hukum tak sempurna ini berlaku jika janin lahir dalam keadaan hidup.Apabila janin itu lahir setelah meninggal dalam rahim, kecakapan menerima hukum tak sempurna ini tidak berlaku dan hak-hak tadi terhapus.Personalitas hukum untuk dapat menerima beberapa hak dimiliki janin sejak terjadinya konsepsi dalam rahim ibu.[32]


b) Periode kanak-kanak
Yang dimaksud kanak-kanak di sini adalah anak dari sejak lahir sampai mencapai usia tamyiz 11 tahun memasuki 12 tahun. Dalam periode ini anak mumayyiz memiliki kecakapan menerima hukum sempurna, yaitu dapat menerima hak-hak dan dapat juga memiliki kewajiban terbatas jika ia memiliki kakayaan seperti berikut:


Ø Ia terikat untuk memikul kewajiban yang timbul sebagai akibat tindakan-tindakan hukum wali sehubungan dengan harta kekayaan itu. Jika ia mencapai dewasa, ia wajib memenuhi perikatan itu, karena tindakan hukum yang dilakukan oleh wali itu adalah atas namanya dan dalam batas-batas yang dibenarkan oleh syara’.

Ø Jika ia mempunyai harta kekayaan, maka harta kekayaan itu dapat ditetapkan segala kewajiban harta seperti pajak, dan menurut jumhur ahli hukum Islam juga zakat. Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, ia juga wajib mengeluarkan zakat fitrah dari harta kekayaannya.

Ø Dari kekayaannya juga dapat dikeluarkan nafkah kerabatnya yang tidak mampu.

Ø Ia juga wajib membayar ganti rugi dari hartanya atas perbuatannya yang merugikan orang lain, karena ia memiliki dzimmah yang dapat menerima kewajiban yang bertalian denga harta kekayaan.[33]


Bila ia tidak mempunyai harta kekayaan, maka kewajiban-kewajiban harta tadi gugur. Adapun kewajiban-kewajiban terkait dengan hak-hak Allah seperti ibadah dan hubungan publik berada di luar kecakapanya.


c) Periode tamyiz
Periode ini dalam hukum Islam mulai dari anak mencapai usia genap 12 tahun hingga usia dewasa. Dalam periode ini anak di samping memiliki kecakapan menerima hukum sempurna juga memiliki kecakapan bertidak hukum tidak sempurna.

Adapun akibat hukum dari tindakan anak mumayiz, maka tidak dapat seluruh tindakan hukumnya dipandang sah. Perjanjian-perjanjian dan akibat hukumnya dalam kaitan dengan anak mumayiz dipilah-pilah dalam kategori berikut:[34]

Ø Tindakan yang semata-mata menguntungkan baginya karena memasukkan sesuatu ke dalam kekayaannya tanpa imbalan seperti menerima hibah, menerima wasiat, menerima hasil wakaf dan semacamnya adalah sah tanpa tergantung kepada ratifikasi wali.

Ø Tindakan yang semata-mata merugikan karena mengeluarkan sesuatu dari kekayaannya tanpa mendapatkan imbalan seperti member hibah, melakukan wakaf, dan memberi hadiah adalah tidak sah dan tidak dapat diratifikasi oleh wali.

Ø Tindakan-tindakan yang dari satu segi menguntungkan karena memasukkan sesuatu ke dalam kekayaannya dan dalam waktu yang sama dari segi lain merugikan karena mengeluarkan sesuatu dari kekayaannya seperti akad jual beli dan semua akad timbal balik adalah sah, karena anak memiliki kecakapan bertindak hukum. Hanya saja, tindakan-tindakan itu masih maukuf (terhenti, artinya akibat hukumnya belum dapat dilaksanakan dengan serta merta, melainkan masih tergatung kepada ratifikasi (ijin) wali. 


d) Periode dewasa
Pada periode ini manusia normal memiliki kecakapan sempurna baik yang pasif (menerima hukum) maupun yang aktif (bertindak hukum).Pada periode dewasa ini seluruh kewajiban agama dibebankan kepada manusia.Ia dituntut melakukan shalat, puasa, haji dan kewajiban-kewajiban lain. Dan kepadanya dipertanggung jawabkan seluruh perbuatannya.Dalam kaitan dengan aspek keperdataan, semua pernyataan kehendaknya untuk melahirkan suatu akibat hukum dihormati secara syarak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum syariah, dan seluruh perbuatan hukumnya dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Misalnya apabila melakukan perbuatan melawan hukum, ia dapat dimintai pertanggung jawabannya.[35]


3. Kedewasaan dalam Qanun
Pada pembahasan ini tidak akan dikemukakan secara keseluruhan terkait peraturan perundang-undangan Indonesia yang membahas batasan-batasan kedewasaan. Pembahasan dibatasi pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam serta Undang-Undang yang terkait dengan pembahasan dalam dua peraturan yang dimaksud.


Bidang perkawinan
Ada beberapa pasal yang membahas batasan-batasan kedewasaan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ataupun dalam Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, di antaranya:

Pasal 7 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”[36]


Hal ini juga selaras dengan ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 14 ayat (1) bagian kedua tentang calon mempelai.

“Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.” [37]


Jika usia calon mempelai belum memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku maka dibutuhkan dispensasi dari Pengadilan untuk melangsungkan pernikahan.[38]Terdapat ketentuan tambahan bagi calon mempelai yang berusia di bawah 21 tahun, jika hendak melaksanakan pernikahan harus seizin walinya.[39]

Adapun dalam soal hak dan kewajiban, maka yang menjadi tolok ukur kedewasaan seseorang telah diatur di dalam Pasal 47 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: 

“Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”[40]


Soal kedewasaan juga telah diatur dalam Pasal 50 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:

“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.”[41]

Berbeda dengan kedewasaan yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam, batasan usia kedewasaan mempunyai kriteria yang lebih tinggi yakni pada usia 21 tahun atau kurang dari 21 namun telah menikah. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 98 ayat (1) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:

“Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.”[42]

Persoalan kedewasaan dalam Kompilasi Hukum Islam juga di atur dalam Pasal 107 ayat (1) yang berbunyi:

“Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernahmelangsungkan perkawinan.”[43]


Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjabaran di atas adalah:

(1) Dalam UU No. 1/1974 tentang perkawinan terdapat ambiguitas term kedewasaan. Meskipun usia minimal pernikahan telah ditentukan masing-masing 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, namun dalam pelaksanaan perkawinan diharuskan bagi calon mempelai yang belum genap berusia 21 tahun untuk mendapatkan izin dari walinya. Dalam pembahasan lain secara tersirat kedewasaan dalam UU ini yakni bagi seseorang yang berusia 18 tahun (Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang perkawinan) atau seseorang yang telah menikah meskipun usianya kurang dari 18 tahun.


Memaknai keharusan mendapat ijin nikah dari orang tua atau wali bagi yang hendak menikah sebelum berumur 21 tahun tentu dimaksudkan sebagai ukuran apakahseseorang sudah matang untuk berumah tangga ataukah belum, bukan sebagaipatokan kedewasaan seseorang dalam arti memiliki kecakapan bertindak hukum. Sebelum berumur 21 tahun sesungguhnya sudah dewasa dan memiliki kecakapanbertindak, tetapi belum matang jiwanya untuk berumah tangga. Oleh karena itudiperlukan ijin orang tua atau walinya bagi mempelai laki-laki yang sudah berumur19 tahun dan bagi mempelai perempuan yang sudah berumur 16 tahun, tetapikedua-duanya belum berumur 21 tahun.


(2) Berbeda dengan UU No. 1 tahun 1974, dalam Kompilasi Hukum Islam secara tegas dinyatakan bahwa batas kedewasaan adalah usia 21 tahun dan yang kurang dari 21 tapi telah menikah juga dianggap telah dewasa. 


Bidang Perjanjian

Pada buku III Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang perwakafan ada satu pasal yang secara implisit mengatur tentang kecakapan bertindak hukum atau kedewasaan itu sendiri. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 217 ayat (1) yang berbunyi:

“Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehatakalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, ataskehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturanperundang-undangan yang berlaku.”[44]


Dalam pasal ini memang tidak dijelaskan secara pasti pada usia berapa seseorang dikatakan dewasa. Hal senada juga terdapat dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dalam Pasal 8 ayat (1).[45] Oleh karenanya dewasa yang dimaksud dalam kedua pasal di atas dapat merujuk pada aturan yang berlaku sebelumnya yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (baca: KUHPerdata). Terkait dengan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1330 yang berbunyi:

“Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah; (1) anak yang belum dewasa; (2) orang yang ditaruh di bawah pengampuan; (3) perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan padaumumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuantertentu.”[46]

Makna belum dewasa dalam Pasal 1330 di atas terdapat penjelasannya secara detail dalam Pasal 330 KUHPerdata[47] yang memberi pemahaman bahwa batas usia dewasa adalah 21 tahun atau yang telah menikah.

Perbedaan penetapan batas usia dalam hukumIslam baik menurut ulama mufasir, ulama fikih maupun dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pada dasarnya sah menurut syari’at karena tidak dapat dipungkiri lagi kedewasaan erat kaitannya dengan kondisi sosial-masyarakat serta kondisi alam yang melingkupi kehidupan seseorang. Karena faktor-faktor eksternal tersebut mampu mempengaruhi kondisi baik fisik maupun psikis seseorang yang berpengaruh terhadap kedewasaan.Keberagaman batasan itu dikatakan sah karena dalam hukum Islam dikenal bahwa perubahan hukum karena perubahan tempat, waktu, keadaan, adat istiadat dan niat tidak dapat dipungkiri adanya.Dan pemberian batasan kedewasaan tidak lepas dari tujuan pembentukan hukum yakni menuju kepada kemaslahatan umat.


D. Kesimpulan 
Sebagaimana pokok masalah yang diangkat dalam makalah ini, yakni mengenai restrukturalisasi kedewasaan dalam hukum Islam, maka kesimpulan yang dapat ditarik dari pemaparan di atas adalah: pertama, kedewasaan dalam hukum Islam pada dasarnya ditandai dengan gejala fisik seperti ihtilambagi laki-laki dan haid bagi perempuan namun jika tanda-tanda tersebut tidak muncul maka kedewasaan seseorang didasarkan pada umur. Dalam penentuan umur ulama fikih berbeda pendapat, hal ini menurut penulis didasari pada penentuan umur sebagai tanda kedewasaan tidak terlepas dari kondisi sosial, lingkungan, kesehatan serta faktor-faktor lainnya baik interen dari diri seseorang maupun eksteren yang dapat berpengaruh terhadap munculnya tanda-tanda fisik yang dimaksud. Dalam hal ini perkembangan zaman berpengaruh terhadap perbedaan penentuan usia yang dimaksud.

Kedua, dalam memahami naṣ- naṣyang berhubungan dengan indikasi kedewasaan haruslah dibedakan antara kedewasaan dan tamyiz dalam ranah ibadah serta kedewasaan dan tamyiz dalam ranahmuamalat maliah.

Ketiga, berdasarkan pemahaman tentang beberapa naṣ dan pendapat ulama fikih kecakapan hukum hingga sampai pada kedewasaan dalam ranah muamalat maliah dapat juga mencakup ranah pertanggung jawaban pidana diklasifikasikan ke dalam empat tahapan, yakni: (1) periode janin, pada periode ini orang hanya memiliki kecakapan menerima hukum tidak sempurna, (2) periode kanak-kanak, ketika seseorang berumur 0 hingga 11 tahun, di mana ia memiliki kecakapan menerima hukum sempurna namun dalam menjalankan kewajibannya hanya terbatas pada hal-hal tertentu, (3) anak mumayyizyakni anak usia 12 tahun hingga genap 18 tahun, dalam periode ini anak menerima hukum sempurna namun memiliki kecakapan beban hukum tidak sempurna dan (4) periode dewasa, berusia genap 18 tahun (memasuki 19 tahun) adalah orang dewasa yang memiliki kecakapan menerima hukum sempurna dan kecakapan beban hukum yang sempurna.

Keempat, dalam perundang-undangan Indonesia terdapat keberagaman batasan usia seseorang dikatakan dewasa. Ada dua hal penting yang menjadi tolok ukur dalam menentukan kedewasaan seseorang, yakni usia dan pernikahan.








Daftar Pustaka
-------------------------------
Almath, Muhammad Faiz, 1100 Hadiṣ Terpilih: Sinar Ajaran Muhammad, terj. Aziz Salim Basyarahil, cet. Ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 1991. 

Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syari’ah, cet. ke-1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

Bahreisj, Hussein, Al-Jami’us Shahih: Hadits Shahih Bukhari-Muslim, Surabaya: CV Karya Utama, t.t.

Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Karim, Syafi’i, Fiqh/Ushul Fiqh, cet ke-1, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1997.

Kartono, Kartini, Psikologi Wanita: Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, cet. Ke-VI, Bandung: Mandar Maju, 2006.

Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), terj. Noer Iskandar, cet. ke-6, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)

Razi, Al, Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, terj. Mudzakir, cet. ke-2, Bandung: Alma’arif, 1988, jilid 14.

Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, cet ke-10, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.

Shabuni, Muhammad ‘Ali Ash, Tafsir Ayat Ahkam, terj. Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, buku I, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf 


Endnotes
---------------------
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), terj. Noer Iskandar, cet. ke-6 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 3. 

[4] Keterangan lebih lanjut tentang pengertian hukum Islam dalam beberapa terminologi dapat dibaca dalam Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, cet. ke-1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 3-11. 

[5] Baca Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, cet ke-10 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 11. Juga Kartini Kartono, Psikologi wanita: Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, cet. Ke-VI (Bandung: Mandar Maju, 2006), hlm. 148, 168 dan 172. 

[6]Terdapatdalam beberapa perundang-undangan Indonesia baik dalam ranah Pidana maupun Perdata. 

[7]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah…, hlm. 213. 

[8]Ibid., hlm. 217. 

[9] Prof. Syamsul Anwar, penjelasan dalam diskusi kelas pada mata kuliah Ushul Fiqh hari Kamis, 31 Oktober 2013 di ruang 303 Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

[10]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian …, hlm. 109. 

[11]Kecakapan menerima hukum yaitu kelayakan seseorang untuk ada padanya hak-hak dan kewajiban.Kelayakan ini didasarkan pada kekhususan naluri kemanusiaan yang melekat pada setiap manusia.oleh karena itu kecakapan ini ada pada manusia sepanjang hidupya sejak ia berada dalam kandungan ibu sebagai janin sampai lahir ke dunia dan kemudian meninggal. Hanya saja ketika masih dalam kandungan ibu, kecakapan tersebut belum sempurna, karena subyek hukum hanya cakap menerima beberapa hak terbatas dan ia sama sekali tidak cakap untuk menerima kewajiban. Oleh sebab itu, kecakapan ini dinamakan kecakapan menerima hukum tidak sempurna. Setelah lahir kecakapannya meningkat menjadi kecakapan menerima hukum sempurna, yaitu ia cakap untuk menerima hak dan kewajiban dan kecakapan ini berlangsung hingga ia meninggal. Hanya saja kecakapan ini ketika berada dalam periode kanak-kanak bersifat terbatas, kemudian menngkat pada periode tamyiz dan meningkat lagi pada periode dewasa. Baca Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum…, hlm. 217. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian…, hlm. 110-111. 

[12]Kecakapan bertindak hukum kelayakan seseorang untuk perkataan dan perbuatannya dianggap sah secara hukum syariah.Artinya, kemampuan seseorang untuk melahirkan akibat hukum melalui pernyataan kehendaknya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Kecakapan ini dimiliki oleh subyek hukum sejak ia memasuki usia tamyiz dan berlangsung terus hingga ia meninggal. Hanya saja, pada periode tamyiz, kecakapan bertindak hukum ini belum sempurna karena subyek hukum hanya dapat dipandang sah tindakan hukumnya dalam beberapa kasus tertentu.Oleh karena itu, kecakapan ini dinamakan kecakapan bertindak hukum tidak sempurna. Baru setelah menginjak usia dewasa kecakapan ini berubah menjadi kecakapan bertindak hukum sempurna. Jika dasar kecakapan menerima hukum adalah hidup manusia.Maka kecakapan bertindak hukum dasarnya adalah tamyiz.Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian…, hlm. 111. 

[13]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian…, hlm. 109. 

[14] Syafi’i Karim, Fiqh/Ushul Fiqh, cet ke-1 (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1997), hlm.135 

[15]Q.S. An-Nisa’ (4): 6. 

[16] Yang dimaksud “ujilah” yakni: mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai. 

[17] Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam, terj. Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, buku I (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983), hlm. 376. 

[18] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian…, hlm. 114. 

[19]Ibid. 

[20]Al-Razi, Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid V: 196. 

[21]Q.S. An-Nur (24): 56. 

[22]Hadiṣ riwayat Abu Dawud, dalam Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj.Mudzakir, cet. ke-2 (Bandung: Alma’arif, 1988) jilid 14, hlm. 207. 

[23]Hadiṣ riwayat al-Bukhari, Ibid., hlm. 208. 

[24] Hadiṣ diriwayatkan oleh Abu Dawud, dalam Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadiṣ Terpilih: Sinar Ajaran Muhammad, terj. Aziz Salim Basyarahil, cet. Ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), hlm. 87-88. 

[25] Hadiṣ diriwayatkan oleh Muslim, dalam Hussein Bahreisj, Al-Jami’us Shahih: Hadits Shahih Bukhari-Muslim (Surabaya: CV Karya Utama, t.t), hlm. 166. 

[26]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian…, hlm. 112. 

[27] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fiqr, t.t), V: 423. 

[28]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian…, hlm. 113. 

[29]Ibid.,hlm. 115. 

[30]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian…, hlm. 115. 

[31]Ibid.,hlm. 116. 

[32]Ibid., hlm. 116. 

[33]Ibid.,hlm. 117. 

[34]Ibid.,hlm. 119-120. 

[35]Ibid.,hlm. 120. 

[36]Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 

[37]Pasal 14 ayat (1) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 

[38]Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.” 

[39]Ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. yang berbunyi: “Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.” 

[40]Pasal 47 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 

[41]Pasal 50 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 

[42]Pasal 98 ayat (1) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 

[43]Pasal 107 ayat (1) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 

[44]Pasal 217 ayat (1) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 

[45] Pasal 8 ayat (1) UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf yang berbunyi: “wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: a. dewasa, b. berakal sehat, c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan (d) pemilik sah harta benda wakaf. 

[46]Pasal 1330 KUHPerdata 

[47]Pasal 330 KUHPerdata yang berbunyi: “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara seperti yang diatur dalam Bagian 3, 4, 5 dan 6 dalam bab ini. Penentuan tentang arti istilah "belum dewasa" yang dipergunakan dalam beberapa peraturan undang-undang terhadap penduduk Indonesia. Untuk menghilangkan keraguan-raguan yang disebabkan oleh adanya Ordonansi tanggal 21 Desember 1971 dalam S.1917-738, maka Ordonansi ini dicabut kembali, dan ditentukan sebagai berikut: (1) Bila peraturan-peraturan menggunakan istilah "belum dewasa", maka sejauh mengenai penduduk Indonesia, dengan istilah ini dimaksudkan semua orang yang belum genap 21 tahun dan yang sebelumnya tidak pernah kawin. (2) Bila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka berumur 21 tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. (3) Dalam pengertian perkawinan tidak termasuk perkawinan anak-anak.

No comments:

Post a Comment