Wednesday, January 8, 2014

Tipologi Penelitian Hukum Islam

Oleh Diyan Wuryaningrum*
A. Pendahuluan
hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang penting. Hal ini antara lain karena hukum Islam terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Ilmu Hukum Islam di kategorikan sebagai ilmu al-hal, yaitu ilmu yang wajib di pelajari, karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan kewajibanya mengabdi kepada Allah melalui ibadah seperti salat, puasa, haji dsb. Demikian besar fungsi hukum Islam maka nampak menyatu dengan misi agama Islam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar tercapai ketertiban dan keteraturanya. 

Berdasarkan pada pengamatan terhadap fungsi hukum Islam atau fikih tersebut, maka munculah serangkaian penelitian dan pengembangan hukum Islam, yaitu penelitian yang ingin melihat seberapa jauh produk-produk hukum Islam tersebut masih sejalan dengan tuntutan zaman, dan bagaimana seharusnya hukum Islam itu di kembangkan dalam rangka meresponi dan menjawab secara konkret berbagai masalah yang timbul di masyarakat. Sejalan dengan pemikiran tersebut di atas, maka pada bagian ini akan di kemukakan tentang Tipologi penelitian hukum Islam dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian terminologi hukum Islam serta objek kajiannya. 


B. Terminologi Hukum Islam
Hukum islam merupakan dua rangkaian kata “hukum” dan “islam”. Hukum islam dipahami sebagai seperangkat peraturan yang berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul SAW yang mengatur tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku untuk semua umat yang beragama islam.[1] Karena hukum islam ini berdasarkan wahyu Allah (Al-Quran) dan sunnah Rasul SAW maka hukum ini bersifat religius[2] dan memiliki prinsip-prinsip yang universal.[3]


Namun demikian, Al-Quran sebagai sumber hukum islam tidak pernah menyebutkan kata hukum islam, melainkan hanya kata hukum Allah yang terdapat dalam QS. Al-Mumtahanah (60) : 10.[4]


Oleh karena itu untuk memahami hukum islam penting kiranya untuk memahami makna syari’at dan fiqih. Hal ini disebabkan oleh karena hubungan antara keduanya sangat erat dengan hokum islam, walaupun dapat dibedakan, tetapi keduanya tidak mungkin dipisahkan, karena syariat adalah landasan fiqih sedangkan fiqih merupakan pemahaman tentang syariat.[5] Dalam literatur Barat terdapat term Islamic law yang secara harfiah dapat disebut hukum Islam. dalam penjelasan terhadap kata Islamic law sering ditemukan definisi; keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala “aspeknya” dari definisi ini terlihat bahwa hukum Islam itu mendekati kepada arti Syari’at Islam.[6]


Syari’ah sering digunakan sebagai sinonim dari kata “din” dan “millah” yang bermakna segala peraturan yang berasal dari Allah swt yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadits yang bersifat “qathi” atau jelas nashnya.[7]


Syari’at secara harfiah bermakana “sumber air” atau “sumber kehidupan”, sedangkan syariat dalam kalangan ahli hokum islam mempunyai pengertian umum dan khusus. Syariat dalam pengertian umum ialah keseluruhan tata kehidupan dalam islam, atau seperti yang diungkapkan oleh At-Tahanami penulis kitab Kasyafu istilahati al-funun yang dikutip langsung oleh Wahbah Zuhaili bahwa Syariat adalah apa yang telah disyariatkan oleh Allah untuk hambanya dari beberapa hokum yang dibawa oleh seorang Nabi dan para nabi, baik yang berkaitan dengan cara melakukan sesuatu yang disebut syari’ah far’iyah atau syari’ah amaliyah, hal ini termaktub dalam ilmu fiqih. Jika berkenaan dengan akidah disebut dengan syari’at ashliyah atau syari’at I’tiqodiyah yang dikaji dalam ilmu kalam.[8] Dalam pengertian semacam ini, syariat dipahami sebagai syariat agama secara keseluruhan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Atas dasar itu ilmu syariah meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam seperti kalam, tasauf, tafsir, hadis, fiqh dan usulnya, dan seterusnya.


Adapun syari’at dalam pengertian khusus dikenal sebagai hokum amaliyah yang ditetapkan Allah untuk umat manusia melalui wahyu yang disampaikan oleh Rosul sebagai jalan menuju kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak.[9] Syariat dalam pengertian inilah yang pada akhirnya dipahami sebagai hokum islam atau hokum syari’at sebagai khithob Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, yang mengandung perintah atau larangan, atau berbentuk pilihan, dan bisa pula tentang sesuatu yang menjadi sebab, syarat dan bahkan menjadi penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.


Syariah dalam arti sempit juga dibahasakan sebagai bagian dari ajaran agama Islam yang berupa norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku konkret baik tingkah individual maupun tingkah laku kolektif. Atas dasar itu ilmu syariah dibatasi hanya meliputi ilmu fikih dan usul fikih. Arti sempit inilah yang umum dipakai oleh para pengkaji nilai mereka menyebut kata syariah atau hukum Islam.[10]


C. Obyek Kajian Hukum Islam
Al-Gazzali dalam pendahuluan al-Mustasfa menjelaskan sisi yang menjadi perhatian ahli hukum Islam untuk dikaji dari keseluruhan obyek kajian ilmu-ilmu keagamaan Islam dengan mengatakan, “Ahli hukum mengambil satu sisi tertentu, yaitu tingkah subyek hukum, yang diselidikinya dalam kaitan dengan diktum hukum.[11]


Menurut pernyataan al- Gazzali ini obyek kajian ilmu syariah (ilmu hukum Islam) adalah tingkah laku dalam kaitannya dengan norma hukum. Konsepsi ini sangat berbeda dengan pengertian yang lazim dalam hukum Islam, yaitu bahwa ilmu hukum Islam mengkaji hukum-hukum (norma-norma) syariah yang disimpulkan dari dalil-dalilnya berupa teks-teks al-Qur’an dan hadis serta dalil-dalil sebsider lainnya. Bagi pengkaji modern, pernyataan al-Gazzali mungkin lebih menarik karena memberi peluang kepada pendekatan empiris dalam kajian hukum. Konsekuensi dari definisi ini adalah bahwa analisis hukum bukan semata –mata hanya analisis teks tetapi juga berarti analisis tingkah laku.[12]


D. Tipologi Penelitian Hukum Islam
Menurut Prof Syamsul Anwar dengan meminjam kerangka penelitan ilmu hukum secara umum, serta diilhami oleh definisi al-Gazzali mengenai objek ilmu syariah dan tesisnya tentang pemaduan antara wahiriyu dan ra’yu, penelitian hukum Islam secara garis besar kiranya dapat dibedakan menjadi dua bagian: (i) penelitian hukum deskriptif (wasfi), (ii) penelitian hukum Islam normatif (mi’yari). [13]

Penelitian hukum Islam deskriptif tidak mempertanyakan apa hukumnya, dengan kata lain tidak mencari norma hukum terbaik yang harus dipegangi, melainkan mendeskripsikan fenomena hukum dengan mencari hubungan variabel-variabel hukum dan variabel-variabel non-hukum. Di sini pertanyaannya adalah mencari hubungannya. Variabel-variabel hukum dalam penelitian deskriptif ini dapat dilihat baik sebagai variabel independen maupun sebagai variabel dependen. 


Apabila hukum Islam itu menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai aspek kehidupan masyaraka, maka ini merupakan penelitian deskriptif dengan melihat hukum sebagai variabel independen. contohnya Penelitian tentang apa pengaruh penerapan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap menurunnya tingkat perceraian 


Sedangkan jika hukum Islam dikaji sebagai tergantung/akibat yang timbul sebagai hasil dari berbagai kekuatan dalam proses kehidupan masyarakat, maka ini merupakan penelitian deskriptif dengan melihat hukum sebagai variabel dependen. Misalnya, penelitian mengenai pengaruh adat masyarakat terhadap rumusan pasal-pasal tertentu dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Contoh lain, penelitian yang dilakukan oleh Abdullah Salim tentang kitab fikih karya Kiai Saleh Darat Semarang yang meneliti kitab fikih berbahasa Jawa (huruf Pegon) akhir abad ke-19 ini menggunakan pendekatan budaya (filologi)[14] yang menempatkan hukum Islam sebagai variabel dependen. Pendekatan dalam penelitian deskriptif ini bisa antropologis, sosiologis, historis, politik dan semacam itu.


Penelitian hukun normatif bertujuan menyelidiki norma-norma hukum Islam untuk menemukan kaidah tingkah laku yang dipandang terbaik. Dengan kata lain penelitian normatif melakukan penyelidikan terhadap norma hukum Islam dalam tataran das sollen (yang seharusnya). Di zaman lampau para ahli hukum Islam membuat perjenjangan norma-norma hukum Islam itu dengan membaginya menjadi dua jenjang, yaitu asas-asas umum (al-usul-al-kuliyyah) dan peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah) singkatnya biasa disebut al-usul dan al-furu’.[15]


Di zaman modern ahli-ahli hukum Islam mengembangkan suatu cabang baru kajian hukum Islam, yaitu studi filsafat hukum Islam yang mengkaji antara lain nilai-nilai dasar hukum Islam. Oleh karena itu Prof Syamsul Anwar membagi perjenjangan norma hukum Islam menjadi tiga lapis yang pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofis (al-qiyam al-asasiyyah), yaitu norma-norma abstrak yang merupakan nilai-nilai dasar dalam hukum Islam seperti kemaslahatan, keadilan, kebebasan, persamaan persaudaraan, akidah, dan ajaran-ajaran pokok dalam etika Islam (akhlak). Kedua, norma-norma tengah, yang terletak antara dan sekaligus menjembatani nilai-nilai dasar dengan peraturan hukum konkret. Norma-norma tengah ini dalam ilmu hukum Islam merupakan doktrin-doktrin (asas-asas) umum hukum Islam, dan secara konkretnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu an-nadhariyyat al-fiqhiyyah (asas-asas umum hukum Islam) dan al-qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah hukum Islam). Ketiga, peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah). Pelapisan norma-norma hukum Islam dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:[16]


Pelapisan norma hukum Islam:
I → Nilai-nilai Filosofis/Dasar
(al-Qiyam al-Asasiyyah)

II → Norma-norma Tengah/Doktrin-doktrin Umum Hukum Islam
(­al-Usul al-Kulliyyah) Al-qawa’id al-fiqhiyyah an-nazariyyat al-fiqhiyyah

III → Peraturan-peraturan Hukum Kongkret
(al-Ahkam al-Far’iyyah)

Sui generis-kum-empiris


Ketiga lapisan norma ini tersusun secara hirarkies dimana norma yang paling abstrak dikonkretisasi ata diejawantahkan dalam norma yang lebih konkret. Dengan kata lain nilai-nilai dasar (filosofos) dikonkretisasi dalam norma-norma hukum Islam (an-nazariyyat al-fiqhiyyah) maupun kaidah-kaidah hukum Islam (al-Qawaid al-fiqhiyyah). Norma-norma tengah (doktrin-doktrin umum) hukum Islam ini pada gilirannya dikonkretkan lagi dengan mengejewantahkannya dalam bentuk peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah). Misalnya nilai dasar kemaslahatan yang termasuk dalam al-Qiyam al-Asasiyyah dikonkretisasi dalam norma tengah (doktrin umum) yang berupa al-qawa’id al-fiqhiyyah yang antara lain “kesukaran memberi kemudahan”. Norma tengah atau doktrin umum ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret, misalnya dalam hukum ibadah boleh berbka puasa bagi musafir. [17]


Contoh lain dalam hukum perkawinan, misalnya tentang kewarisan. Nilai dasar tentang keadilan diejawantahkan dalam bidang hukum kewarisan dalam asas bahwa setiap orang, baik itu lelaki atau perempuan, mendapat bagian warisan dari peninggalan orang tua atau kerabatnya.[18] Asas ini dikonkretisasi lagi dalam peraturan hukum konkret berupa ketentuan yang lebih rinci mengenai bagian masing-masing ahli waris.


Atas dasar pelapisan norma-norma hukum Islam ini, maka penelitian normatif hukum Islam dapat dibedakan menjadi (i) penelitian filosofis, yaitu kajian mengena nilai-nilai dasar hukum Islam, (ii) penelitian doktrinal, yaitu kajian untuk menemukan doktrin-doktrin atau asas-asas umum hukum Islam, dan (iii) penelitian klinis, yang disebut juga sebaga penemuan hukum syar’i untuk menemukan hukum in concrito guna menjawab suatu kasus tertentu.[19]


Hukum sebagai Hukum sebagai penelitian penelitian penelitian Independent Dependent norma- asas-asas nilai-nilai Variable Variable norma in hukum dasar concreto 

Penelitian normatif hukum Islam dalam metodologi klasik umumnya bersifat sui generis, dalam arti penyelidikan mengenai norma-norma hukum Islam lebih banyak dilihat dari segi ajaran normatif dan karenanya terfokuss pada teks-teks (al-Qur’an dan hadis). Berdasarkan tesis al-Ghazzali tentang pemaduan wahyu dan akal (yang meliputi rasio dan pengalaman) manusia dan pandangannya bahwa ilmu hukum Islam menyelidiki tingkah laku, kiranya penelitian normatif hukum Islam ini dapat dikembangkan tidak hanya melalui teks-teks saja (bersifat sui generis), tetapi juga dapat dipadukan dengan pengalaman sehingga menjadi penelitian sui generis kum empiris, yang berarti normanorma hukum tidak hanya dicari dalamteks-teks syari’ah belaka, tetapi juga di dalam kehidupan manusia dan perilaku masyarakat itu sendiri.[20]


Pemaduan ini dilakukan dengan membuat hubungan dialektis antara teks-teks syari’ah dan pengalaman eksistensial manusia, di mana teks-teks itu menjadi sumber yang memberikan pengaarahan tingkah laku dalam kehidupan, tetapi pengalaman eksistensial kehidupan dalam suatu lokasi sosial tertentu juga memberi wawasan bagaimana teks-teks syari’ah itu hars dipahami dan ditafsirkan. Apabila hukum-hukum yang diperoleh dari kenyataan masyarakat berbeda dengan ketentuan teks, maka kenyataan direkonstruksi dan dihadapkan kepada yang ideal dalam suatu hubungan dilektis.[21]


Contoh paling sederhana adalah pasal 171 huruf h dari KHI yang merupakan hasil pemaduan kreatif antara norma tekstual[22] yang melarang pengangkatan anak yang menisbatkan anak angkat kepada orang tua angkatnya, dan memperlakukan hukumnya seperti anak kandung dengan kenyataan empiris masyarakat indonesia dimana banyak kasus pengangkatan anak dengan tujuan pemeliharaan. Maka pasal tersebut merumuskan anak angkat sebagai “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkat berdasarkan putusan Pengadilan.”


E. Kesimpulan
Syariat dalam pengertian umum ialah keseluruhan tata kehidupan dalam islam. Adapun syari’at dalam pengertian khusus dikenal sebagai hokum amaliyah yang ditetapkan Allah untuk umat manusia melalui wahyu yang disampaikan oleh Rosul sebagai jalan menuju kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Syariat dalam pengertian inilah yang pada akhirnya dipahami sebagai hokum islam. Arti sempit inilah yang umum dipakai oleh para pengkaji nilai mereka menyebut kata syariah atau hukum Islam.Objek kajian hukum Islam tidak terbatas hanya analisis teks tetapi juga berarti analisis tingkah laku.


Penelitian hukum Islam secara garis besar kiranya dapat dibedakan menjadi dua bagian: (i) penelitian hukum deskriptif (wasfi), (ii) penelitian hukum Islam normatif (mi’yari). Penelitian hukum Islam deskriptif tidak mempertanyakan apa hukumnya, dengan kata lain tidak mencari norma hukum terbaik yang harus dipegangi, melainkan mendeskripsikan fenomena hukum dengan mencari hubungan variabel-variabel hukum dan variabel-variabel non-hukum. Penelitian hukun normatif bertujuan menyelidiki norma-norma hukum Islam untuk menemukan kaidah tingkah laku yang dipandang terbaik. Dengan kata lain penelitian normatif melakukan penyelidikan terhadap norma hukum Islam dalam tataran das sollen (yang seharusnya).


F. Daftar Pustaka
----------------------------------------
Anwar, Syamsul. Pengembangan Metodologi Penelitian Hukum Islam. dalam M. Amin Abdullah,dkk. Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002. 

Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Cet. I. Jakarta: Gema Insani Pres, 1996

Al-Ghazali. al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul. Kairo: Syirkah at-Tiba’ah al Fanniyyah al-Muttahida, 1971.

Ali, Muhammad Daud .Hukum Islam. cet.V. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996.

Jamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. cet.I. Jakarta: Penerbit Logos Wacana Ilmu, 1991.

Mas’ud, Kholid. Filsafat Hukum Islam. Cet.I. Bandung:Penerbit PUSTAKA, 1996.

Muzhar, Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. cet. 8. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM Unisba,1995.

Syarifuddin, Amir. Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam, Cet. II. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Syarifuddin, Amir . Ushul Fiqih.Jilid I. cet. I. Jakarta;Logos Wacana Ilmu, 1997.

Zuhaili, Wahbah. Al-Qur’an, Paradigma Hukum dan Peradaban. Surabaya: Risalah Gusti, cet.I, 1996.



Endnotes
---------------------------------------
[1] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, cet.I, (Jakarta: Penerbit Logos Wacana Ilmu, 1991) hal. 12. 
[2] Kholid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, cet.I, (Bandung: Penerbit PUSTAKA, 1996) hal. 14. 
[3] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam,(Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM Unisba,1995) hal. 69. 
[4] Artinya; ”Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Mumtahanah: 10). 
[5] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, cet.V, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,Anggota IKAPI, 1996) hal. 44 
[6] Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam, cet. II (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 17-18. 
[7] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, cet. I (Jakarta: Gema Insani Pres, 1996), hal. 41. 
[8] Wahbah Zuhaili,Al-Qur’an, Paradigma Hukum dan Peradaban,(Surabaya: Risalah Gusti, cet.I,1996) hlm. 48 
[9] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih ,jilid I, cet. I (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 4. 
[10] Syamsul Anwar, Pengembangan Metodologi Penelitian Hukum Islam dalam M. Amin Abdullah,dkk, Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hal. 155. 
[11] Al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, (Kairo: Syirkah at-Tiba’ah al Fanniyyah al-Muttahida, 1971) hal .13. 
[12] Syamsul Anwar Pengembangan Metodologi Penelitian Hukum Islam... hal. 156-157. 
[13] Ibid., hal. 157. 
[14] Atho Muzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, cet. 8 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 41-42. 
[15] Syamsul Anwar Pengembangan Metodologi Penelitian Hukum Islam... hal. 158. 
[16] Ibid., hal. 159. 
[17] Ibid., hal. 160. 
[18] Sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an, “Lelaki mendapat bagian (warisan) dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat mereka dan wanitapun mendapatkan bagian (warisan) dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat mereka...” (Q.4:7) 
[19]
[20] Ibid., hal. 161-162. 
[21] Ibid. 
[22] "Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu." (al-Ahzab: 4-5)


* Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2012

No comments:

Post a Comment