Wednesday, November 21, 2012

Akta Kelahiran Anak Hasil Perzinahan



Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang perempuan hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Jika si pria menikahinya, maka anak yang lahir menjadi anak sah. Pasal 272 KUH Perdata juga menyebutkan demikian. Pengakuan si ayah terhadap anak biologisnya membawa konsekuensi adanya hubungan perdata (Pasal 280 KUH Perdata). Ibu dan/atau ayah dapat meminta ke pengadilan untuk mengesahkan status anak tersebut. Lihat misalnya penetapan PN CilacapNo 29/Pdt.P/201/PN.CLP tanggal 18 April 2011 lalu, yang menyatakan bahwa para pemohon mengesahkan seorang anak yang lahir di luar nikah sebagai anak sah dari para pemohon.


Dalam praktik, sering terjadi anak luar kawin tak mendapat kejelasan atau tidak dibuktikan ayah biologisnya. Inilah yang mendasari pandangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 46/PUU-VIII/2010, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti test DNA (deoxyribo nucleic acid), atau sistem pembuktian hukum, dapat dipergunakan untuk memperjelas ayah biologis anak.


Norma hukum ‘anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya’ membawa konsekuensi antara lain pada akta kelahiran. Pada akta kelahiran biasanya hanya tertulis nama ibu yang melahirkan. Sekalipun ayah biologis berusaha merebut si anak lewat jalur pengadilan, umumnya pengadilan tetap mengukuhkan hubungan perdata anak hanya dengan ibunya. Pasal 55 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(“UUP”) menyebutkan asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang.


Putusan kasasi Mahkamah Agung No. 9 K/Pdt/2004, misalnya, menegaskan anak yang diperebutkan adalah anak luar kawin yang dilahirkan dari hubungan penggugat dan tergugat, tetapi hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu. Si ibu diberi hak untuk menguasai, mendidik, dan mengasuh dalam arti seluas-luasnya anak luar kawin. Ada banyak putusan pengadilan sejenis, yang menegaskan hubungan perdata anak luar kawin hanya dengan ibunya.


Dalam bukunya, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (2006), Hakim Agung Abdul Manan, menyebutkan hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah biologisnya menimbulkan kewajiban timbal balik dalam hal pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, dan mewaris.


Namun, kini berdasarkan Putusan Mahkamah Konstutusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 telah merevisi isi Pasal 43 ayat (1) UUP yang bunyinya menjadi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan resmi mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Yang dimaksud “di luar pernikahan resmi” dalam pasal tersebut, adalah: kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau samen leven.


Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 inilah yang menjadi dasar dapat dicantumkannya nama Saudara dalam akta kelahiran si anak setelah melengkapi bukti menurut hukum adanya hubungan darah. Adapun cara pengurusan akta kelahiran, dapat mendatangi pihak Kelurahan untuk menanyakan syarat-syarat pengurusannya. Bayi yang dilaporkan ke Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil akan terdaftar dalam kartu keluarga dan diberikan nomor induk kependudukan sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lainnya. Sebagai hasil dari pelaporan kelahiran tersebut akan dicantumkan dalam kartu keluarga dan diterbitkan akta kelahiran.




No comments:

Post a Comment