Friday, November 9, 2012

Problematika Pembaruan Ushul Fiqh


Dalam upaya menelisik lebih jauh tentang pembaruan Ushul Fiqih, perlu dipahami karakteristik kajian dari ilmu ini. Hasan Hanafi, seorang pemikir modernis Mesir, dalam bukunya "Min al-Nash ila Al-Wâqi’" menyebutkan beberapa karakteristik umum yang dimiliki Ushul Fiqih, yaitu :

1. Rasional. Dalam proses pengambilan hukum, Ushul Fiqih selalu mengedepankan analisis yang bersumber dari rasio seorang mujtahid. Tanpa ada analisis, sebuah produk hukum tidak mungkin bisa dihasilkan. 

2. Eksperimental. Sebuah produk hukum tidak bisa dihasilkan secara instan. dalam prosesnya, harus melalui berbagai tahapan dan pengujian agar bisa diterapkan dengan benar. 

3. Metodologis; merupakan karakteristik murni yang dimiliki Ushul Fiqih sebagai ‘alat’ dalam pengambilan hukum. 

4. Logis. Artinya, metode pemikiran yang sistematis yang dimiliki Ushul Fiqih, harus bisa diterima oleh akal sehat. 

5. Sesuai dengan tabiat manusia. Ilmu Ushul Fiqih pada dasarnya tidak terkhususkan pada agama ataupun golongan tertentu saja, namun lebih dari itu, dia merupakan ilmu yang dikaruniakan oleh Allah dan muncul dari dan berdasar pada tabiat manusia itu sendiri. 

6. Subjektif. Kesakralan wahyu mengalami pergeseran karena objek profan dan posisi ego berada di antara wahyu dan realita. 

7. Kondisional; selalu berhubungan dengan realita dan sejarah, seperti yang diungkapkan Syatibi. 

8. Praktis. Kajian Ushul Fiqih berkisar pada dalil-dalil global yang cenderung mengacu pada seruan, ajakan, ataupun larangan (perbuatan). 

9. Humanis, karena produk hukum yang dihasilkan itu sejatinya akan diterapkan kepada manusia. 

10. Autentisitas. Ushul Fiqih beserta komponennya merupakan ilmu yang murni dari Islam layaknya ilmu Ushuluddin, Kalam, dan Tasawuf. 


Selain karakteristik yang telah disebutkan diatas, kiranya ada karakteristik lainnya yang perlu kita cermati ketika melakukan pembaruan Ushul Fiqih. Ketika mengkaji Ushul Fiqih beserta komponennya, kita akan banyak menemukan teks-teks. Tentunya hal ini bisa dimaklumi mengingat objek kajian Ushul Fiqih itu sendiri seputar dalil-dalil dari teks Al-Qur’an dan Sunah. Oleh karena itu, metode kajian ini seputar analisis kebahasaan (qawâid al-lughah). Kajian analisis kebahasan dalam Ushul Fiqih setidaknya mencakup empat pokok permasalahan, yaitu : 

1. Analisis makna kata sesuai dengan bentuk kata. Seperti teks khâsh yang merujuk pada makna tertentu, ataupun teks ‘âm yang merujuk kepada makna umum. Ataupun juga merujuk pada makna yang komplek (musytarak) dan ada juga yang merujuk pada makna tunggal (murâdif). 

2. Analisis makna sesuai dengan maksud penggunaan teks. Ini bisa kita cermati pada teks yang menunjukkan makna sesuai dengan ungkapannya (haqîqî) ataupun pada teks yang menunjukkan makna yang berbeda dengan ungkapannya (majâz) baik itu karena ada ada hubungan dengan teks lain ataupun ada indikasi (qarînah) yang menghalangi dari pemaknaan sebenarnya. 

3. Analisis teks berdasarkan kekuatannya dalam menunjukkan makna. Dalam kategori ini, teks dibagi menjadi dua yaitu, teks yang menggambarkan ketidak-jelasan (alfâzh ghairu al- wâdhih) dan teks yang mengungkapkan kejelasan makna (alfâzh al-wâdhih). Termasuk dalam kategori pertama semisal mutasyâbih, mujmal, musykil, dan khâfi. Sedangkan yang termasuk dalam kategori kedua seperti muhkam, mufassar, nash, dan zhâhir. 

4. Analisis teks dari segi cara pengungkapan makna yang dikandungnya. Seperti mantûq dan mafhûm yang dipakai oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, serta ‘ibârat an-nash, isyârat an-nash, dalâlat an-nash, dan dalâlat al-iqtida’ yang digunakan ulama Hanafiah


Analisis kebahasaan ini kiranya merupakan sesuatu yang urgen dan mengkajinya adalah sebuah keniscayaan karena teks akan menyingkap sisi historis yang menyelimutinya. Hal ini pula yang kemudian coba diterapkan Hasan Hanafi ketika mengkaji Ushul Fiqih. 


Selain dari segi kebahasaan, pembaruan Ushul Fiqih juga dapat dilakukan dengan mengkaji lebih dalam komponen Ushul Fiqih itu sendiri. Dalam hal ini lebih dititikberatkan pada metode pengambilan hukum yang berupa analogi, baik itu qiyas dan istihsan. Metode ini merupakan metode analisa substantif dimana dalam proses konklusi hukum berdasarkan adanya kesamaan ‘illat (permasalahan). Istihsan sendiri pada hakikatnya merupakan dua kajian analogi. Kedua metode ini-qiyas dan istihsan- merupakan metode ijtihad yang telah dipakai oleh para sahabat sejak zaman kenabian. Meski menduduki peringkat keempat dalam setelah Al-Qur’an, Sunah, dan Ijma sebagai sandaran pengambilan hukum, qiyas dinilai sebagai metode ijtihad yang prioriti bagi seorang mujtahid, mengingat terbatasnya teks-teks wahyu sementara permasalahan dalam masyarakat terus berkembang. Terlebih lagi, banyak ulama berpendapat bahwa salah satu sebab kejumudan saat ini adalah ketika ijtihad dianggap telah tertutup. Maka, tak salah jika metode ijtihad patut dicermati lagi sebagai upaya untuk melakukan pembaruan. 


Metode lain yang bisa kita lakukan, yaitu dengan melakukan kajian seputar maqâshid asy-syarîah yang erat kaitannya dengan aspek kemaslahatan. Di dalam Ushul Fiqih sendiri dikenal tiga jenis maslahat, yaitu : (1) maslahat mu’tabarah; aspek kemasalahatan yang terjangkau atau berdasar dari pernyataan eksplisit teks, (2) maslahat mursalat; aspek kemasalahatan yang tidak terjangkau dari pernyataan eksplisit teks, namun masih bisa diakomodir dari teks tersebut, (3) maslahat maskût; aspek kemaslahatan yang sama sekali tidak terjangkau dan tidak bisa diakomodir dari teks. 


Pandangan dan Usaha Ulama Kontemporer Seputar Pembaruan Ushul Fiqih 

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pembaruan Ushul Fiqih merupakan sebuah perkara yang rumit. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa pembaruan Ushul Fiqih merupakan sebuah tuntutan. Namun di sisi lain, ada pula yang tidak sepakat. Hal ini bisa kita temui ketika mencermati tulisan-tulisan yang membahas seputar terma ini. 


Problem ini pada dasarnya mengacu pada dua pokok permasalah dimana yang pertama ketika Ushul Fiqih dianggap sebagai suatu ilmu yang suci dan qath’i (=pasti) maka secara tidak langsung akan beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Kalaupun perlu diperbaharui, maka hanya pada formatnya saja, bukan pada substansinya. 

Sementara yang kedua, jika Ushul Fiqih dianggap relatif (zhannî) dimana banyak didapati perbedaan pendapat di dalam seperti semisal kehujjahan qiyas, maslahat mursalah, istihsan, dan lain sebagainya, maka pembaruan Ushul Fiqih merupakan sebuah tuntutan dan keharusan. Sejalan dengan pendapat ini, Yusuf Qardhawi memandang perlu adanya pembaruan dalam Ushul Fiqih. 

Dr. Ramadhan Al-Buthi sendiri, berpendapat bahwa Ushul Fiqih tidak perlu diperbarui lagi, namun yang perlu ditinjau ulang yaitu pemahaman terhadap syariat itu sendiri yang menyebabkan terjadinya kejumudan. Lemahnya pemahaman terhadap metodologi Ushul Fiqih menjadi sebab kemunduran, bukan karena tertutupnya pintu ijtihad. Karenanya beliau menganjurkan untuk mendalami lebih dalam substansi Ushul Fiqih itu sendiri sehingga dengan sendirinya ijtihad itu akan mendongkrak kembali posisinya yang telah terpinggirkan seakan-akan tertutup. 


Sejatinya, Ushul Fiqih dalam perjalanannya telah mengalami perkembangan. Artinya, sejak awal kemunculannya hingga saat ini, Ushul Fiqih telah melalui proses pembaruan baik itu dari segi metodologi maupun dari segi kodifikasi. Imam Syafi’i sebagai peletak batu pertama dalam sejarah Ushul Fiqih dengan Magnum Opus-nya yang terkenal Ar-Risalah, menulis tentang ushul fiqh dengan metodologi yang sangat sederhana. Jauh dari kesan sistematis. Meski demikian, buku ini sangat padat dan berbobot. Kelak, buku ini menjadi sandaran para ulama-ulama selanjutnya dalam penulisan Ushul Fiqih. Dalam tahapan selanjutnya, Ushul Fiqih dikembangkan lagi oleh Imam Haramain (478 H) dengan bukunya Al-Burhân fî Ushûl Al-Fiqh dan Imam Ghozali (505 H) dengan Al-Mustashfâ-nya dan di susun secara lebih sistematis dan apik oleh Imam Fakhru Rozi (606 H) dengan karyanya Al-Mahshûl fî ‘Ilm Al-Ushûl


Hingga saat ini, banyak bermunculan buku-buku ushul fiqh yang metodologi penulisannya menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu seperti pendekatan yang memudahkan para penuntut ilmu, atau yang menekankan pada penelitian, atau yang cenderung kepada studi komparatif, ataupun yang cenderung untuk mengambilkan fungsi awal ushul fiqh yang digunakan untuk memahami Al Qur’an dan Hadist. Maka, tidaklah berlebihan jika kita sebut bahwa Ushul Fiqih berkembang dan berubah. 


Namun demikian, kiranya kita perlu membuka mata terhadap usaha-usaha ulama modern yang telah berusaha menampilkan sebuah gagasan baru dalam tubuh Ushul Fiqih, terlepas dari berbagai pandangan yang bertolak belakang dari hal tersebut. 


Salah satunya yaitu Dr. Hasan At-Turabi. Gagasan-gagasan beliau mengenai pembaruan Ushul Fiqih mencakup tiga poin penting, yaitu:

1. Mengedepankan orientasi praktis yang merupakan karakteristik dasarnya daripada orientasi abstrak yang selalu mengarah pada perdebatan tanpa ujung dengan menyoroti realita yang ada

2. Mengembangkan metodologi Ushul Fiqih itu sendiri agar selalu relevan dengan realita

3. Memperluas komponen ijtihad (qiyâs dan Istishhâb). Namun demikian, gagasan yang ditawarkan beliau ini banyak mendapat tanggapan. Dr. Ali Jum’ah sendiri menilai, gagasannya ini terkesan buram, dan agak melenceng dari substansi. Hal senada juga diamini oleh Dr. Abdussalam Balaji. 

Sementara itu, usaha lainnya juga coba ditawarkan oleh Dr. Muhammad Dasuki. Dalam gagasannya, Dasuki menawarkan pembaruan Ushul Fiqih pada beberapa pokok pikiran, yaitu :

1. Membuang masalah-masalah yang tidak ada kaitannya dengan ushul fiqh

2. Pembelajaran maqashid asy-syariah yang komprehensif

3. Pengembangan pemahaman terhadap dalil-dalil

4. Mengaplikasikan setiap masalah yang dibahas dengan contoh-contoh konkrit yang dibutuhkan di masyarakat. 

Sedangkan Dr. Jamaluddin ‘Athiyyah menyoroti pembaruan pada beberapa permasalahan yaitu: 

1. Pengembalian bentuk ilmu tersebut

2. Pengaplikasian metode dalam ilmu-ilmu sosiologi dan psikologi

3. Pengaplikasian ilmu sosiologi pada Ushul Fiqih. 

Dari pemaparan di atas, setidaknya dapat dikonklusikan bahwa pembaruan Ushul Fiqih diperlukan pada permasalahan sebagai berikut : 

- Pembatasan masalah yang dibahas dalam Ushul Fiqih 

- Membuang segala permasalahan yang tidak berhubungan dengan ilmu ini 

- Pengembangan metodologi 

- Pengaplikasiannya 

- Rekonstruksi fitur 


Selain permasalahan tersebut, ada pula permasalahan lainnya yang juga perlu diperbaharui yang ditawarkan oleh ulama-ulama kontemporer meski kebanyakan juga menyoroti lima permasalahan sebelumnya. Permasalah lainnya, seperti : penyederhanaan ibarat, pemahaman yang komprehensif pada istilah-istilah yang sulit dipahami, fokus pada pembahasan seputar maqâshid asy-syarîah


Setidaknya, dari beberapa tawaran yang diajukan para ulama kontemporer tersebut, pembaruan Ushul Fiqih mencakup tiga pokok pembahasan, yaitu: 1. Seputar istilah dan epistemologi, 2. Metodologi, dan 3. Batasan masalah di dalamnya. 

No comments:

Post a Comment